Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL

Pembimbing
dr. Herlangga P, Sp.OG

Penyusun
Huda Fajar Arianto (201704200257)
I Gde Putu Paramartha (201704200258)
I GN Ade Jaya Permana (201704200259)
I GN Bayu Darma Putra (201704200260)

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSAL Dr. RAMELAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Referat “Perdarahan Uterus Abnormal” telah diperiksa dan


disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan
studi kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan Ginekologi.

Pembimbing

dr. Herlangga P, Sp.OG

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkah
dan rahmat Nya, kami dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Perdarahan Uterus Abnormal” ini. Laporan kasus ini disusun sebagai
salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian
Obstetri dan Ginekologi RSAL dr. Ramelan Surabaya, dengan harapan
dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi
pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk saya mengucapkan terima
kasih kepada:
a. dr. Herlangga, Sp.OG selaku pembimbing
b. Para dokter di bagian Obstetri dan Ginekologi RSAL dr. RAMELAN
Surabaya
c. Para perawat dan staff di bagian Obstetri dan Ginekologi RSAL dr.
RAMELAN Surabaya
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, Agustus 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................1


KATA PENGANTAR ....................................................................................................2
DAFTAR ISI .................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................6
2.1 DEFINISI ..............................................................................................................6
2.2 KLASIFIKASI .........................................................................................................8
2.3 EPIDEMIOLOGI ......................................................................................................9
2.4 ETIOLOGI .............................................................................................................9
2.4.1 Polyp Endometrium .....................................................................................9
2.4.2 Adenomyosis.............................................................................................10
2.4.3 Leiomyoma................................................................................................10
2.4.4 Malignancy ................................................................................................10
2.4.5 Coagulopathy ............................................................................................11
2.4.6 Ovulatory Disfunction ................................................................................11
2.4.7 Endometrial ...............................................................................................11
2.4.8 Iatrogenic ..................................................................................................11
2.4.9 Not Yet Classified......................................................................................12
2.5 PATOFISIOLOGI...................................................................................................12
2.6 MANIFESTASI KLINIS ...........................................................................................14
2.7 DIAGNOSIS .........................................................................................................15
2.7.1 Anamnesa .................................................................................................15
2.7.2 Pemeriksaan Fisik .....................................................................................16
2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium .......................................................................17
2.7.4 Pencitraan Area Abdominal ......................................................................17
2.8 DIAGNOSIS BANDING ..........................................................................................17
2.9 TATALAKSANA ....................................................................................................18
2.10 KOMPLIKASI & PROGNOSA ................................................................................21
BAB III KESIMPULAN ...............................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................23

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan haid merupakan hasil interaksi kompleks yang
melibatkan sistem hormon dengan organ tubuh, yaitu hipotalamus,
hipofise, ovarium dan uterus serta faktor lain di luar organ reproduksi. Bisa
dibayangkan penyebab gangguan haid pasti sangat banyak dan
bervariasi. Diagnosis banding gangguan haid menjadi sangat luas
sehingga menyebabkan para klinisi mengalami kesulitan saat menangani
keadaan tersebut. agar dapat memahami secara benar penyebab, cara
evaluasi, dan penanganan gangguan haid, maka pemahaman terhadap
fisiologi haid menjadi sangat penting (Sarwono, 2011).
Perdarahan uterus abnormal merupakan sebuah istilah yang lebih
banyak digunakan untuk mendeskripsikan spektrum gejala seperti
perdarahan menstruasi yang banyak (heavy menstrual bleeding),
perdarahan diantara siklus menstruasi dan kombinasi keduanya.
Terminologi ini diusulkan oleh kelompok kerja FIGO pada tahun 2011 dan
semenjak itu telah diadopsi di seluruh dunia hingga sekarang. Kelompok
kerja ini mengusulkan sebuah akronim PALM-COEIN yang hingga
sekarang masih digunakan secara luas untuk mengkategorisasi penyebab
dari perdarahan uterus abnormal (Bradley, 2016).
Perdarahan abnormal uterus merupakan masalah klinis yang umum
terjadi, yang mempengaruhi kurang lebih 14% wanita di dunia pada usia
reproduksi dan menjadi masalah yang mengganggu kualitas hidup mereka
karena dapat menjadi penghalang yang signifikan dari sisi fisik,
emosional, seksual, sosial dan finansial (Bradley, 2016). Data di beberapa
negara industri menyebutkan bahwa seperempat penduduk perempuan
dilaporkan pernah mengalami menoragia, 21% mengeluh siklus haid
memendek, 17% mengalami perdarahan antar haid dan 6% mengeluh
perdarahan pasca senggama (Sarwono et al, 2011). Di negara Inggris,
lebih dari 800.000 wanita membutuhkan pertolongan terkait dengan

4
kondisi perdarahan uterus yang abnormal. Sedangkan di RSUD dr.
Soetomo sendiri pada tahun 2007 dan 2008 didapatkan angka kejadian
perdarahan uterus abnormal sebesar 12.8 % dan 8.4% dari seluruh
kunjungan pasien ke poli kandungan (Sarwono dkk, 2011).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Siklus menstruasi yang normal berkisar antara 21-35 hari dengan
durasi menstruasi antara 2-7 hari. Perdarahan uterus abnormal adalah
semua jenis perdarahan yang berasal dari uterus yang abnormal dari segi
volume perdarahan, regularitas, waktu atau apakah berada dalam siklus
menstrual atau tidak (Tan Kim Teng et al, 2006). Perdarahan uterus
abnormal merupakan sebuah istilah yang lebih banyak digunakan untuk
mendeskripsikan spektrum gejala seperti perdarahan menstruasi yang
berat (heavy menstrual bleeding), perdarahan diantara siklus menstruasi
dan kombinasi keduanya (Bradley, 2016). Perdarahan ini dapat bersifat
akut dan kronik. Perdarahan uterus ini dikatakan akut jika bersifat eksesif
yang memerlukan intervensi/tindakan segera untuk mencegah kehilangan
darah yang lebih lanjut. Jika perdarahan ini telah berlangsung selama
terus menerus kurang lebih 6 bulan, maka dikatakan perdarahan ini
bersifat kronis. (Tan Kim Teng et al, 2006).
Perdarahan uterus abnormal merupakan perdarahan yang ditandai
dengan adanya perubahan pada siklus menstruasi normal baik dari
interval atau panjang siklus, durasi maupun jumlah perdarahan (Singh S,
2013). Siklus menstruasi yang normal biasanya memiliki interval atau
panjang selama 28±7 hari, durasi selama 4±3 hari, dan jumlah perdarahan
sebanyak 30-80 ml (Rimsza, 2002). Terdapat beberapa terminologi yang
menunjukkan adanya perubahan tersebut seperti menoragia yaitu durasi
menstruasi yang lebih lama dari tujuh hari atau jumlah perdarahan lebih
dari 80 ml, metroragia yaitu perdarahan intermenstrual, menometroragia
yaitu gabungan antara menoragia dan metroragia, hipomenore yaitu
perdarahan dengan durasi yang lebih pendek atau jumlah perdarahan
yang lebih sedikit dari menstruasi normal, oligomenore yaitu siklus
menstruasi dengan interval lebih lama dari 35 hari (Bradley, 2016).
Perdarahan uterus abnormal dapat dibagi menjadi dua kategori

6
yaitu perdarahan anovulasi dan ovulasi. Perdarahan anovulasi
mempunyai karakteristik perdarahan yang iregular dengan jumlah
perdarahan yang bervariasi dari sedikit hingga banyak. Yang termasuk
dalam perdarahan anovulasi diantaranya amenorea (tidak terjadinya
menstruasi selama lebih dari tiga bulan), oligomenore, metroragia, dan
perdarahan uterus disfungsi (perdarahan uterus abnormal yang terjadi
tanpa adanya keadaan patologi pada panggul). Perdarahan ovulasi
mempunyai karakteristik perdarahan yang regular tetapi dengan durasi
yang lebih lama dan jumlah perdarahan yang lebih banyak. Yang
termasuk perdarahan ovulasi yaitu menoragia (Sweet et al, 2012).
Tabel 2. 1 Parameter Klinis Menstruasi (Fraser et al, 2011)

Parameter Definisi Klinis Batasan (persentil ke-5-95)


Menstruasi
Frekuensi Sering < 24
menstruasi (hari) Normal 24 – 38
Jarang > 38
Keteraturan siklus Absen Tidak ada perdarahan
dalam 12 bulan Reguler 2 – 20
(hari) Ireguler > 20
Durasi (hari) Memanjang >8
Normal 4,5 – 8
Memendek < 4,5
Volume darah (ml) Banyak > 80
Normal 5 – 80
Sedikit <5

7
2.2 Klasifikasi
Dahulu, perdarahan uterus abnormal ini terbagi menjadi 4 jenis
perdarahan, pertama adalah perdarahan berat pada menstruasi (heavy
menstrual bleeding), kemudian perdarahan diantara siklus menstruasi
(intermenstrual bleeding), perdarahan pada periode paska menopause,
dan perdarahan paska koitus (postcoital bleeding). Tabel dibawah ini
menjelaskan definisi dari masing-masing perdarahan tersebut (Tan Kim
Teng et al, 2006).
Tabel 2. 2 Definisi dari Jenis Perdarahan (Tan Kim Teng et al, 2006)

Perdarahan Berat Didefinisikan sebagai perdarahan saat


Pada Menstruasi menstruasi namun darah yang keluar sangat
(Heavy Menstrual banyak yang dapat mempengaruhi kehidupan
Bleeding) wanita baik secara fisik, emosional, sosial dan
kualitas material. Perdarahan ini dapat disertai
dengan gejala-gejala lain yang dirasakan.
Perdarahan Perdararahan uterus yang terjadi diantara siklus
diantara Siklus haid/menstruasi yang teratur terjadi.
Menstruasi
(Intermenstrual
Bleeding)
Perdarahan Paska Merupakan perdarahan pervaginam pada wanita
Menopause yang sudah masuk dalam periode menopause
(Postmenopause
Bleeding)
Perdarahan Paska Merupakan perdarahan pervaginam yang terjadi
Koitus/Berhubungan tidak pada periode menstruasi dan segera
Seksual (Post muncul setelah hubungan seksual/koitus.
Coitus Bleeding)

Saat ini, penyebab perdarahan uterus abnormal terbagi sesuai dengan


penyebabnya. Hal ini telah diungkapkan oleh Federasi Internasional

8
Obstetrik dan Ginekologi (FIGO), dengan menggunakan akronim yang
disebut PALM-COEIN. Klasifikasi ini akan dibahas pada bagian etiologi
(Bradley. 2016)

2.3 Epidemiologi
Perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada wanita pada usia reproduksi (Singh S, 2013). Menurut
penelitian Lee et al., keluhan ini banyak terjadi pada masa awal terjadinya
menstruasi. Sebanyak 75% wanita pada tahap remaja akhir memiliki
gangguan yang terkait dengan menstruasi. Penelitian yang dilakukan
Bieniasz J et al. pada remaja wanita menunjukan prevalensi amenorea
primer sebanyak 5,3%, amenorea sekunder 18,4%, oligomenorea 50%,
polimenorea 10,5%, dan gangguan campuran sebanyak 15,8% (Sianipar
et al, 2009). Berdasarkan data yang didapatkan di beberapa negara
industri, sebanyak seperempat penduduk perempuan pernah mengalami
menoragia, 21% mengeluh siklus menstruasi yang memendek, 17%
mengalami perdarahan intermenstrual, dan 6% mengalami perdarahan
pascakoitus (Sarwono et al, 2011).

2.4 Etiologi
Federasi internasional obstetrik dan ginekologi (FIGO) pada tahun
2011 menyebutkan akronim dari etiologi perdarahan uterus abnormal
yakni PALM-COIEN. Akronim tersebut merupakan komponen etiologi
antara lain Polyp, Adenomyosis, Leiomyoma, Malignancy or Hyperplasia,
Coagulopathy, Ovulatary Disfunction, Endometrial, Iatrogenic, Not Yet
Classified (Whitaker, Lucy 2016).
2.4.1 Polyp Endometrium
Polip endometrium merupakan hasil dari proliferasi epitel yang
berasal dari stroma dan kelenjar endometrial. Polip ini mayoritas
bersifat asimptomatis. Meskipun kontribusi polip terhadap kejadian
perdarahan uterus abnormal bervariasi antara 3.7% hingga 65%, tapi

9
hal ini telah di tetapkan sebagai salah satu penyebab dari perdarahan
ini. Insidensi polip dengan fibroid meningkat seiring dengan usia.

2.4.2 Adenomyosis
Hubungan antara adenomiosis dan perdarahan uterus abnormal
masih kurang jelas. Adenomiosis berhubungan dengan peningkatan
usia dan berkaitan dengan adanya fibroid.

2.4.3 Leiomyoma
Hubungan antara kejadian perdarahan uterus abnormal dengan
leiomioma masih belum dapat dimengerti secara jelas. Teori yang
dahulu telah diungkapkan mengatakan bahwa adanya peningkatan
area endometrium dan adanya vaskularisasi yang mudah pecah/rentan
pada sekitar perimyoma. Peningkatan aliran vaskular pada pembuluh
darah yang membesar oleh karena leiomyoma dapat mengatasi aksi
platelet. Pada wanita dengan fibroid/leiomyoma, dilaporkan bahwa
terdapat peningkatan level interleukin (IL)-13, 17, 10 didalam plasma
darah yang beredar dalam tubuh. Namun, apakah hal ini dapat
mempengaruhi fungsi imun dan proses inflamasi terkait dengan
luruhnya endometrium, masih belum dipahami hingga sekarang.

2.4.4 Malignancy
Kanker endometrium merupakan keganasan yang umum dibidang
ginekologis pada masyarakat barat. Dulu, kanker ini jarang terjadi pada
wanita usia pre-menopause, namun seiring meningkatnya kejadian
obesitas dan meningkatnya kejadian metabolik sindrom, hal ini juga
meningkatkan kejadian kanker endometrium.
Keganasan lain yang dapat menjadi penyebab perdarahan uterus
abnormal yang dapat dipertimbangkan adalah adanya kanker serviks,
khususnya apabila didapatkan perdarahan yang terjadi diantara siklus
menstruasi. Selain itu, sarcoma uterina seperti leiomyosarcoma juga

10
dilaporkan dapat menimbulkan perdarahan uterus abnormal, namun
kejadian ini lebih sering didiagnosa saat setelah pembedahan
dilakukan.

2.4.5 Coagulopathy
Pengaruh koagulopati dilaporkan terjadi pada 13% wanita dengan
perdarahan menstruasi yang berat. Mayoritas dari wanita ini mengidap
penyakit Von-Willebrand. Kelainan hemostasis dapat diidentifikasi pada
90% wanita yang mengalami perdarahan uterus abnormal.

2.4.6 Ovulatory Disfunction


Siklus anovulasi dapat berkontribusi terhadap kejadian AUB
dengan cara tidak menentang efek estrogen pada endometrium yang
menyebabkan proliferasi yang bermakna dan penebalan dinding uterus
dengan meningkatnya frekuensi menstruasi.

2.4.7 Endometrial
Perdarahan uterus abnormal pada kondisi struktur uterus yang
normal dan siklus menstruasi yang normal tanpa adanya bukti bahwa
terdapat koagulasi, dapat disebabkan oleh karena endometrium.

2.4.8 Iatrogenic
Penyebab iatrogenik dari kasus perdarahan uterus abnormal
adalah karena penggunaan terapi eksogen, seperti penggunaan terapi
estrogen/progestin yang berkelanjutan baik diberikan melalui sistemik
maupun intrauterine dan intervensi dari pelepasan steroid ovarian
seperti GnRH agonis dan penghambat aromatase yang dapat
menyebabkan perdarahan endometrial. Penggunaan IUD/AKDR juga
dapat menyebabkan endometritis grade rendah yang dapat
menyebabkan perdarahan uterus abnormal.

11
2.4.9 Not Yet Classified
Suatu hal yang tak dapat dihindarkan jika perdarahan uterus
abnormal disebabkan oleh adanya suatu kondisi yang sangat jarang
terjadi, seperti AVM, pseudoaneurisma endometrial, hipertrofi
myometrium dan lain sebagainya yang tidak dapat dimasukkan
kedalam salah satu kategori diatas.

2.5 Patofisiologi
Endometrium terdiri dari dua lapisan yang berbeda yaitu lapisan
fungsionalis dan lapisan basalis Lapisan basalis terletak di bawah lapisan
fungsionalis, berkontak langsung dengan miometrium, dan kurang
responsif terhadap hormon. Lapisan basalis berfungsi sebagai reservoir
untuk regenerasi pada saat menstruasi sedangkan lapisan fungsionalis
mengalami perubahan sepanjang siklus menstruasi dan akhirnya terlepas
saat menstruasi. Secara histologis, lapisan fungsionalis memiliki epitel
permukaan yang mendasari pleksus kapiler subepitel (Hoffman et al,
2016).

Gambar 2. 1 Perubahan Struktur Myometrium saat Menstruasi (Hoffman


et al, 2016)

Uterus divaskularisasi oleh dua arteri uterina. Di lateral bawah


uterus, arteri uterina pecah menjadi dua cabang yaitu arteri vaginalis yang

12
mengarah ke bawah dan cabang asenden yang mengarah ke atas.
Cabang asenden dari kedua sisi uterus membentuk dua arteri arkuata
yang berjalan sejajar dengan kavum uteri. Kedua arteri arkuata tersebut
membentuk anastomose satu sama lain, membentuk cincin yang
melingkari kavum uteri. Arteri radialis merupakan cabang kecil arteri
arkuata yang berjalan meninggalkan arteri arkuata secara tegak lurus
menuju kavum uteri. Arteri radialis memiliki fungsi untuk memperdarahi
miometrium lalu pada saat memasuki lapisan endometrium, arteri radialis
memberi cabang arteri yang lebih kecil ke arah lateral yaitu arteri basalis.
Arteri basalis memiliki fungsi untuk memperdarahi lapisan basalis
endometrium dan tidak sensitif terhadap stimulus hormon. Arteri radialis
kemudian memasuki lapisan fungsionalis endometrium dan menjadi arteri
spiralis. Arteri spiralis sangat peka terhadap stimulus hormon dan
bertugas untuk memperdarahi lapisan fungsionalis endometrium
(Hoffman, Sarwono, 2016).
Sebelum terjadinya menstruasi, pada arteri ini terjadi peningkatan
statis aliran darah, kemudian terjadi vasodilatasi dan perdarahan dari
arteri spiralis dan dinding kapiler. Maka dari itu darah menstruasi akan
hilang melalui pembuluh darah tersebut. Hal ini diikuti dengan terjadinya
vasokonstriksi yang menyebabkan iskemi dan nekrosis endometrium.
Jaringan nekrotik tersebut lalu luruh saat menstruasi (Sarwono. 2011).
Ketika menstruasi terjadi, platelet dan thrombin serta adanya
vasokonstriksi dari arteri yang mensuplai endometrium akan mengontrol
jumlah darah yang hilang. Jika terjadi perubahan struktur pada uterus
(karena leiomyoma, polip, adenomyosis, keganasan atau hyperplasia),
perubahan pada system/jalur koagulasi darah (karena koagulopati atau
iatrogenic), atau gangguan pada system aksis hipotalamus-pituitari-
ovarium (karena penyakit endokrin/penyakit dari ovarium sendiri atau
iatrogenic) maka akan mempengaruhi menstruasi dan dapat
menyebabkan perdarahan uterus abnormal (Emily Davis, 2019).

13
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada perdarahan uterus abnormal
adalah sebagai berikut (Hoffman, et al, 2012) :
• Menoragia dan metroragia
Adanya perubahan pola dalam siklus menstruasi berupa interval yang
normal teratur tetapi jumlah darah dan durasinya lebih dari normal
merupakan menoragia. Interval yang tidak teratur dengan jumlah
perdarahan dan durasi yang lebih dari normal merupakan metroragia.
Banyak gangguan yang bersifat patologis yang menyebabkan
menoragia, metroragia ataupun keduanya (menometroragia).
• Perdarahan pascakoitus
Perdarahan pascakoitus merupakan perdarahan yang paling umum
dijumpai pada wanita berusia 20 - 40 tahun serta pada mereka yang
multipara. Lesi yang dijumpai pada perdarahan pascakoitus biasanya
jinak. Berdasarkan observasi yang dilakukan pada 248 wanita dengan
perdarahan pascakoitus didapatkan bahwa seperempat dari kasus
tersebut disebabkan oleh eversi serviks. Penyebab lain yang dapat
mendasari diantaranya polip endoserviks, servisitis, dan polip
endometrium. Pada servisitis, penyebab yang paling sering adalah
infeksi Chlamydia trachomatis. Menurut penelitian Bax et al., risiko
relatif infeksi klamidia pada wanita dengan pendarahan pascakoitus
adalah 2,6 kali lebih tinggi daripada kelompok kontrol tanpa
perdarahan.
Pada beberapa wanita, perdarahan pascakoitus dapat berasal dari
neoplasia serviks atau saluran kelamin. Pada neoplasia intraepitel
serviks dan kanker yang invasif, epitel menjadi tipis dan rapuh
sehingga mudah lepas dari serviks. Pada wanita dengan perdarahan
pascakoitus, neoplasia intraepitel seviks ditemukan sebanyak 7 –
10%, kanker yang invasif sebanyak 5%, dan kanker endometrium
sebanyak kurang dari 1%. Dalam studi lain, Jha dan Sabharwal
melaporkan bahwa sejumlah perempuan dengan perdarahan

14
pascakoitus memiliki lesi patologis yang diidentifikasi dengan
kolposkopi. Sebagian besar wanita dengan perdarahan yang tidak
dapat dijelaskan pascakoitus harus menjalani pemeriksaan kolposkopi
jika sumber perdarahan belum dapat diidentifikasi.
• Nyeri pelvis
Adanya kram yang menyertai perdarahan diakibatkan dari peran
prostaglandin. Dismenore yang terjadi bersamaan dengan perdarahan
uterus abnormal dapat disebabkan oleh polip, leiomioma,
adenomiosis, infeksi, dan komplikasi kehamilan. Nyeri yang dirasakan
saat berhubungan seksual dan nyeri nonsiklik jarang dirasakan pada
wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Jika nyeri ini dirasakan,
maka penyebabnya adalah kelainan dari struktural atau infeksi.
Lippman et al., melaporkan peningkatan tingkat dispareunia dan nyeri
panggul nonsiklik pada wanita dengan leiomioma uterus. Sammour et
al., menyatakan adanya korelasi nyeri panggul yang meningkat seiring
dengan adanya invasi miometrium dengan adenomiosis.

2.7 Diagnosis
Perdarahan abnormal uterus dapat di diagnose melalui beberapa
langkah, dimulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik, penunjang baik
laboratorium maupun pencitraan elektronik seperti USG (Bradley, 2012).
2.7.1 Anamnesa
Untuk dapat mendiagnosa suatu perdarahan uterus abnormal
dapat ditanyakan mengenai pola perdarahan yang dikeluhkan oleh
pasien. Pola perdarahan ini dapat ditanyakan mengenai kuantitas,
frekuensi pergantian tampon/pembalut dalam satu hari saat menstruasi.
Kemudian juga dapat ditanyakan apakah perdarahan yang muncul
darah segar atau bergumpal-gumpal, waktu terjadinya perdarahan dan
apakah keluhan ini telah mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Selain itu, juga dapat ditanyakan mengenai gejala anemia pada
pasien, meliputi pusing, dada berdebar-debar, sesak nafas, lemas,

15
mual dan muntah. Berlanjut kepada, riwayat seksual dan reproduksi.
Pasien dapat ditanyakan hal-hal mengenai penggunaan alat
kontrasepsi, kemudian adanya riwayat infeksi menular seksual, pap
smear, kemungkinan adanya kehamilan. Kemudian, pada pasien juga
dapat ditanyakan mengenai gejala yang berhubungan dengan penyakit
yang sekarang, seperti demam, nyeri abdominal, nyeri pada area
pelvis, difungsi dari pencernaan dan perkemihan, serta apakah terdapat
duh vagina.
Gejala-gejala lain yang perlu dicermati yang berhubungan dengan
penyebab perdarahan uterus abnormal secara sistemik meliputi
obesitas, kelebihan berat badan, PCOS (Polycystic Ovarii Syndrome),
hipotiroid, hiperprolaktinemia serta adanya gangguan pada kelenjar
adrenal dan hipotalamus. Perlu ditanyakan juga mengenai penyakit-
penyakit kronis yang sebelumnya sudah diderita oleh pasien, seperti
diabetes mellitus, hipertensi, gangguan hemostatis darah yang
diturunkan oleh keluarga, SLE, penyakit liver atau penyakit ginjal.
Terakhir, pasien juga perlu ditanyakan mengenai riwayat pengobatan
yang sudah pernah dilakukan. Baik pengobatan yang terkait dengan
keluhan yang sekarang atau pengobatan pada penyakit-penyakit kronis
lain yang sudah diderita oleh pasien sebelumnya.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada pasien dapat dimulai dengan memeriksa
tanda-tanda vital, meliputi tekanan darah, nadi, laju pernafasan, suhu
tubuh (aksiler), berat badan, tinggi badan dan BMI. Beralih pada area
leher, dapat dilakukan pemeriksaan tiroid dan melihat apakah ada
pembesaran kelenjar getah bening pada area tersebut. Kemudian
dapat dilihat juga pada regio dada, dapat dilihat apakah terdapat
kelainan pada jantung dan paru. Pada area abdomen/perut, hal-hal
yang perlu diperhatikan antara lain, apakah terdapat masa diluar perut,

16
apakah perut membesar atau masih dalam kondisi normal. Dilanjutkan
dengan palpasi apakah teraba masa intraabdominal.
Setelah itu, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan melakukan
pemeriksaan dalam vagina (vaginal touche) untuk menilai kondisi
vagina, apakah terdapat massa didalam vagina, kemudian menilai
serviks, forniks, kemudian juga menilai adneksa parametrium kanan
dan kiri, serta menilai massa yang terdapat didalam uterus.

2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain, hitung
darah lengkap dan trombosit. Pemeriksaan beta-HCG dapat dilakukan
pada pasien untuk menyingkirkan adanya kemungkinan hamil. Serta
pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan TSH,
Testosteron bebas, Prolaktin serta faal hemostasis.

2.7.4 Pencitraan Area Abdominal


Pencitraan yang dapat dilakukan meliputi USG Abdominal, USG
Transvaginal, MRI, Histeroskopi. USG Transvaginal tidak menyebabkan
pasien terpapar dengan radiasi dan dapat menunjukkan secara jelas
ukuran uterus dan bentuknya, leimyoma, adenomiosis, penebalan
endometrial dan anomali ovarium. Selain itu MRI juga dapat
memberikan gambaran secara detail kondisi uterus yang dapat
membantu proses operasi dikemudian hari.

2.8 Diagnosis Banding


Setiap perdarahan dari saluran genitourinary atau gastrointestinal
(saluran GI) dapat meniru perdarahan uterus yang abnormal. Karena itu
perdarahan dari sumber lain cocok dengan diagnosis banding dan harus
disingkirkan. Diagnosis banding untuk perdarahan saluran genital
berdasarkan lokasi atau sistem anatomi (Davis Emily, 2019):

17
• Vulva : Pertumbuhan jinak atau ganas
• Vagina : Pertumbuhan jinak, IMS, Vaginitis
Keganasan, Trauma, Benda Asing
• Serviks : Pertumbuhan jinak, IMS, Keganasan
• Tuba Fallopi dan Ovarium : Penyakit radang panggul, Keganasan
• Saluran kemih : Infeksi, Keganasan
• Saluran pencernaan : Penyakit radang usus, sindrom behcet
• Komplikasi Kehamilan : Aborsi Spontan, KET, Plasenta previa
• Uterus : Etiologi perdarahan yang timbul dari
korpus uterus

2.9 Tatalaksana
Pada kasus perdarahan uterus abnormal, tatalaksana yang dapat
dilakukan meliputi tatalaksana farmakologi dan non-farmakologis (Smith,
Roger MD, 2008).
Ø Non farmakologi :
a. Umum : evaluasi
b. Spesific : fokus kepada pencarian penyebab perdarahan, jika
belum di ketahui dapat digunakan terapi progestin secara
berkala untuk menstabilkan siklus menstruasi dan menekan
perdarahan selama menstruasi. Selain itu dapat digunakan
GNRH agonis, long acting progestin, endometrial ablation,
hysterectomy untuk menekan siklus menstruasi.
c. Diet : tidak spesifik ( bebas )
Ø Farmakologi :
a. Drug of choice adalah medroxyprogesterone acetate 5 – 10 mg
selama 14 hari setiap bulan.
b. Alternative drug adalah norethindrone acetate 5 – 10 mg
selama 10 – 14 hari setiap bulan
Menurut (Sarwono dkk, 2011) penanganan pertama adalah
menentukan kondisi hemodinamik, apabila tidak stabil segera mendapat

18
perawatan intensif untuk perbaikan kondisi umum. Apabila kondisi stabil
maka dapat diberikan penanganan untuk memberhentikan perdarahan.
Perdarahan akut dan banyak : keadaan ini sering terjadi pada 3 kondisi
yaitu pada remaja dengan gangguan koagulopati, dewasa dengan mioma
uteri, dan penggunaan obat koagulan di tangani dengan 2 cara yaitu
dilatasi kuret dan medikamentosa sbb :
1. Dilatasi dan kuretase : tidak mutlak dilakukan, hanya apabila ada
kecurigaan keganasan dan kegagalan dengan terapi
medikamentosa. Perdarahan uterus abnormal dengan resiko
keganasan yaitu bila usia lebih dari 35 tahun, obesitas dan siklus
anovulasi kronis.
2. Medikamentosa ; menggunakan terapi hormon sbb :
ü Kombinasi estrogen progestin : perdarahan biasanya akan
membaik dengan menggunakan jenis terapi hormon kombinasi
ini. Dosis dimulai dari 2x1 tablet selama 5-7 hari kemudian
setelah terjadi perdarahan berupa bercak dapat dilanjutkan
dengan dosis 1x1 tablet selama 3-6 siklus. Dapat pula diberikan
dengan metode tapering diawali dengan dosis 4x1 tablet selama
4 hari, 3x1 tablet selama 3 hari, 2x1 tablet selama 2 hari dan 1x1
tablet selama 3 minggu kemudian tidak konsumsi obat selama 1
minggu, di lanjutkan kembali dengan dosis 1x1 tablet selama 3
siklus.
ü Estrogen : didapatkan 2 bentuk yaitu oral dan intravena (susah di
dapat di indonesia). Pemberian estrogen oral dosis tinggi cukup
efektif untuk menghentikan perdarahan yaitu dengan estrogen
konjugasi dosis 1,25 mg 4x1 tablet. Setelah perdarahan berhenti
dilanjutkan dengan pil kombinasi estrogen progestin. Efek
samping tersing adalah mual.
ü Progestin : diberikan selama 14 hari kemudian berhenti tanpa
obat selama 14 hari, diulang selama 3 bulan. Sediaan progestin
berupa merdoksi progesteron asetat (MPA) dengan dosis 2x10

19
mg, noretisteron 2x5 mg, digrogerteron 2x10 mg dan
normegestrol 2x5 mg. Progestin akan mencegah terjadinya
endometrium hiperplasia.
3. Medikamentosa non hormonal
ü Obat anti inflamasi non steroid (NSID) : terdapat 5 kelompok
yaitu salisilat (aspirin), analog asam indoleasitik (indometasin),
derivat asam aril proponik (ibu profen), fenamat (asam
mefenamat), coxibs (celecoxib). Empat kelompok pertama
menghambat (COX-1) dan kelompok terakhir menghambat
(COX-2). NSID dapat memperbaiki hemostasis endometrium dan
mampu menurunkan jumlah darah haid 20-50%. Efek samping
keluhan gastrointestinal dan kontraindikasi gangguan lambung
(ulkus peptikum).
4. Anti fibrinolisis : pada perempuan dengan keluhan perdarahan yang
abnormal dari uterus ditemukan kadar aktivator plasminogen pada
endometrium lebih tinggi daripada normal. Penghambat aktivator
plasminogen atau obat antifibrinolisis dapat digunakan untuk
memberhentikan perdarahan. Asam traneksamat dapat
menghambat plasminogen secara reversibel mampu mengurangi
perdarahan pada uterus yang mengalami perdarahan abnormal.

Penanganan terapi bedah : histrektomi merupakan prosedur bedah


utama yang dilakukan pada kegagalan terapi medikamentosa. Angka
keberhasilan terhadap perdarahan mencapai 100%. Walaupun demikian,
komplikasi tetap bisa terjadi berupa perdarhan, infeksi, dan masalah
penyembuhan luka operasi. Selain hitrektomi prosedur bedah invasif
minimal dengan cara ablasi untuk mengurangi ketebalan endometrium.
Cara ini lebih mudah di lakukan dan sedikit komplikasi. Prosedur bedah
lain yaitu reseksi transerviks, histeroskopi operatif, miomektomi, dan oklusi
atau emboli arteri uterine

20
2.10 Komplikasi & Prognosa
Anemia, syok, hipotensi, hiperplasi endometrium hingga karsinoma
merupakan salah satu komplikasi dari perdarahan uterus abnormal (Smith
Roger, MD, 2008). Sedangkan untuk prognosa, seharunya pola
menstruasi dapat kembali normal apabila kelainan atau patologinya di
koreksi atau di terapi dengan adekuat (Smith Roger, MD, 2008).
Prognosis untuk perdarahan uterus abnormal adalah baik tetapi
tergantung pada etiologi. Tujuan utama evaluasi dan pengobatan AUB
kronis adalah untuk menyingkirkan kondisi serius seperti keganasan dan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, serta tujuan kesuburan saat ini
dan di masa depan dan kondisi medis komorbid lainnya yang dapat
memengaruhi pengobatan atau gejala. Pengobatan non-hormonal dengan
obat antiinflamasi anti-fibrinolytic dan non-steroid telah terbukti
mengurangi perdarahan selama menstruasi hingga 50%. Pil kontrasepsi
oral efektif, tetapi ada kekurangan data dari uji coba secara acak.
Progestogen injeksi dan agonis GnRH dapat menghasilkan amenore
hingga 50% dan 90% wanita. Namun, progestogen yang dapat
disuntikkan dapat menghasilkan efek samping dari bercak perdarahan,
dan agonis GnRH biasanya hanya digunakan selama 6 bulan karena efek
sampingnya dalam menghasilkan keadaan estrogen yang rendah (Davis
emily, 2019).

21
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan uterus abnormal didefinisikan sebagai perdarahan yang
ditandai dengan adanya perubahan pada siklus menstruasi normal baik
dari interval atau panjang siklus, durasi maupun jumlah perdarahan.
Perdarahan uterus abnormal dapat diklasifikasikan sebagai perdarahan
anovulasi dan ovulasi. Klasifikasi ini penting untuk memberikan petunjuk
mengenai etiologi dari perdarahan tersebut dan untuk menentukan terapi
yang akan diberikan.
Diagnosa dari perdarahan uterus abnormal dilakukan dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk
menemukan penyebab dari perdarahan tersebut. Perlu ditanyakan sifat
perdarahan, waktu perdarahan, penyakit sistemik yang sedang diderita
dan riwayat pengobatan. Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan arah
kecurigaan yang dilakukan dari anamnesis sambil mencari tanda-tanda
dari penyakit sistemik atau kelainan yang menyebabkan perdarahan
tersebut. Pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah pemeriksaan
laboratorium darah, biopsi serta pencitraan berupa USG dan
histerosalphingogram. Perdarahan uterus abnormal adalah keluhan yang
sering dijumpai pada praktek sehari-hari pada wanita usia reproduksi
maupun menopause, oleh karena itu petugas layanan primer diharapkan
memiliki kemampuan untuk mendiagnosa serta menangani dan merujuk
pasien dengan keluhan semacam ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Sarwono, et al. 2011. Ilmu kandungan edisi tiga. Jakarta. PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. page 168-171.

Bradley, MD et al. 2015. The medical management of abnormal uterine


bleeding in reproductive-aged women. American Journal of Obstetric
and Gynecology. Januari 2016. 31-44.

Tan Kim Teng, et al. 2014. Practical Obstetric and Gynaecology


Handbook for O&G Clinicians and General Practitioner Second Edition.
Singapore. World Scientific Publishing. 365-379.

Singh S et al. Abnormal Uterine Bleeding in Pre-Menopausal Women.


Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2013 May;5:1–28.

Rimsza ME. Dysfunctional Uterine Bleeding. Pediatrics in Review. 2002


Jul;23 (7):227–33.

Sweet MG, Schmidt TA, Weiss PM, Madsen KP. Evaluation and
Management of Abnormal Uterine Bleeding in Premenopausal Women.
2012 Jan 1;85 (1):35–43.

Fraser IS, Critchley HOD, Broder M, Munro MG. The FIGO


Recommendations on Terminologies and Definitions for Normal and
Abnormal Uterine Bleeding. Seminars in Reproductive Medicine.
2011;383–90.

Sianipar O et al. Prevalensi Gangguan Menstruasi dan Faktor-faktor yang


Berhubungan pada Siswi SMU di Kecamatan Pulo Gadung Jakarta
Timur. Maj Kedokt Indon. 2009 Jul;59 (6):308–13.

Whiteker Lucy. 2016. Best Practice and Research Clinical Obstetrics and
Gynaecology Abnormal Uterine Bleeding. France. Elsevier. page 3 – 6

Smith Roger, MD. 2008. Netter Obstetrics & Gynecology second edition.
USA. Saunder Elsevier. page 276-278.

Davis emily. 2019. Abnormal Uterine Bleeding (Dysfunctional Uterine


Bleeding). NCBI Bookshelf

Hoffman, et all. 2016. Williams Gynecology Third Edition. USA. McGraw


Hill. 180-201.

Hoffman, et all. 2012. Williams Gynecology Second Edition. USA. McGraw


Hill. 219-245.

23

Anda mungkin juga menyukai