Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

Perdarahan Uterus Abnormal

Pembimbing:
dr. Dwi Faradina, M.Ked(OG) Sp.OG(K)

Penyusun:

Haznur Ikhwan 140100009


Andhika Reza Akbar 140100140
Hanifa Rana Zahra H. 140100071

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Perdarahan Uterus Abnormal”.
Selama penyusunan laporan kasus ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih dan rasa hormat kepada dr. Dwi Faradina, M.Ked(OG)
Sp.OG(K) selaku supervisor pembimbing laporan kasus di Departemen
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan waktunya dalam membimbing dan membantu hingga
laporan kasus ini dapat selesai dengan baik.
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian
pembelajaran dalam kepaniteraan klinik senior. Penulisan laporan kasus ini
merupakan salah satu untuk melengkapi persyaratan Departemen Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis sangat menyadari laporan kasus ini pasti tidak luput dari
kekurangan oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga
laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 29 Oktober 2019

Penulis
ii

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Tujuan .......................................................................................... 2
1.3. Manfaat ........................................................................................ 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1. Definisi ........................................................................................ 3
2.2. Faktor Resiko .............................................................................. 6
2.3. Klasifikasi.................................................................................... 7
2.4. Patofisiologi ................................................................................ 9
2.5. Gambaran Klinis ......................................................................... 10
2.6. Diagnosis ..................................................................................... 12
2.7. Tatalaksana .................................................................................. 15
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT ................................................................. 25
BAB 4 DISKUSI KASUS ............................................................................... 29
BAB 5 KESIMPULAN .................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 32
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdarahan Uterus Abnormal (PUA) merupakan perdarahan yang berasal
dari uterus, dengan durasi, volume, frekuensi, atau jadwal yang abnormal diluar
masa kehamilan dan merupakan keluhan ginekologi yang umum ditemukan, yang
menjadi salah satu alasan paling sering bagi wanita untuk mencari pertolongan
medis.1 Gejala utama yang sering muncul adalah menorrhagia, yaitu suatu
perdarahan yang berasal dari uterus yang banyak, berkepanjangan, sering terjadi,
dan belum diketahui penyebabnya.2
Perdarahan uterus abnormal (PUA) yang terjadi pada kasus ginekologi dapat
mempengaruhi aspek fisik dan emosional pada kehidupan wanita, sehingga dapat
mengganggu kualitas hidup. Dalam kasus perdarahan akut dan berat, wanita
mungkin memerlukan perawatan segera. Dalam beberapa kasus tertentu dengan
perdarahan yang lebih intens dan berkepanjangan, pembedahan mungkin
diperlukan.1 Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi PUA bervariasi pada
populasi yang berbeda, dengan prevalensi keseluruhan berfluktuasi antara 10% dan
30%.2
Sekitar 30% wanita mengalami perdarahan uterus abnormal (PUA) selama
hidup mereka, paling sering di tahun-tahun sebelum menopause. Dampak PUA
antara lain kehilangan darah, rasa sakit, dan berkurangnya kesehatan dan
produktivitas seksual, meningkatnya penggunaan layanan perawatan kesehatan
serta biaya perawatan. Sekitar 800.000 wanita Inggris mencari bantuan medis
karena PUA setiap tahunnya. Sebuah penelitian di AS melaporkan bahwa kerugian
finansial diatas 20.00 dolar per pasien per tahun akibat absen kerja dan biaya
perawatan di rumah akibat PUA.3,4,5
Berbagai istilah telah banyak digunakan untuk merujuk pada perdarahan
uterus yang abnormal, antara lain menorrhagia, metrorrhagia, menometrorrhagia,
perdarahan uterus disfungsional, polimenorea, oligomenorea, dan perdarahan
uterus. Kurangnya definisi yang jelas telah menghambat penelitian dan interpretasi
data klinis di seluruh dunia. Pada awal tahun 2005, sebuah inisiatif oleh Federasi
Internasional Ginekologi dan Obstetri (FIGO) mulai mengklarifikasikan istilah dan
definisi untuk perdarahan uterus. Pada tahun 2010, FIGO mengadopsi sistem yang

1
dikembangkan oleh Menstrual Disorder Comitte (MDC) yaitu PALM-COEIN. Pada
tahun 2011, nomenklatur baru dari PUA diperkenalkan, dan istilah perdarahan
uterus dan menstruasi eksesif disingkirkan. Pada 2013, American College of
Obstetricians dan Gynaecologists (ACOG) mendukung sistem PALM-COEIN
sebagai klasifikasi untuk penyebab pendarahan uterus abnormal, dan para peneliti
dan dokter sangat disarankan untuk mengadopsi sistem PALM-COEIN di seluruh
dunia. Saat ini akronim PALM- COEIN sudah digunakan secara luas dengan
menggunakan pengelompokan PUA yaitu : Polip (PUA-P), Adenomiosis (PUA-A),
Leiomyoma (PUA-L), Malignancy dan Hiperplasia (PUA-M), Koagulopati (PUA-
C), Disfungsi Ovulasi (PUA-O), Endometrial (PUA E), Iatrogenik (PUA I), dan
tidak terklasifikasi (Not otherwise classified). PALM merupakan klasifikasi
struktural dan COEIN merupakan klasifikais nonstrukturral.3
Evaluasi terhadap perdarahan uterus abnormal bergantung pada usia pasien dan
adanya faktor risiko yang mencakup siklus anovulasi, obesitas, nullipara, usia diatas
35 tahun. Penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2015 menyimpulkan
bahwa, mmutiparitas dan usia diatas 40 tahun dapat dikaitkan dengan gejala klinis
dari kejadian PUA.6,7,8 Berdasarkan penelitian Dahiya, didapati hasil kelompok
usia yang paling umum mengalami PUA adalah 41-45 tahun (36%), dan patologi
yang paling umum pada kelompok usia ini adalah hiperplasia endometrium. Pola
perdarahan yang paling umum adalah perdarahan menstruasi yang berat dan insiden
tertinggi terlihat pada wanita multipara (74%).6
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori-
teori tentang Perdarahan Uterus Abnormal mulai dari definisi sampai prognosisnya.
Penyusunan penulisan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan
pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami
dan mengenal Perdarahan Uterus Abnormal.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pendarahan Uterus Abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan saat ini
untuk mengambarkan kondisi perubahan pola menstruasi akibat peningkatan
volume, durasi, atau frekuensi perdarahan yang terjadi pada wanita yang sedang
tidak hamil. Istilah seperti perdarahan uterus disfungsional atau menorrhagia sudah
tidak dipakai lagi sekarang. Pendarahan uterus yang abnormal memiliki efek negatif
pada aspek fisik, emosional dan seksual dari kehidupan perempuan, serta dapat
memperburuk kualitas hidup seoarang wanita. 1

2.1.1 Terminologi PUA


1. PUA akut didefinisikan sebagai perdarahan haid yang banyak sehingga perlu
dilakukan penanganan yang cepat untuk mencegah kehilangan darah. Perdarahan
uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi PUA kronik atau tanpa riwayat
sebelumnya.
2. PUA kronik merupakan terminologi untuk perdarahan uterus abnormal yang telah
terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan penanganan yang
cepat dibandingkan PUA akut.
3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan perdarahan haid yang
terjadi di antara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi kapan saja atau
dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk
menggantikan terminologi metroragia.2

Gambar 2.1.1 Terminologi PUA

Siklus menstruasi yang teratur dikaitkan dengan ovulasi dan produksi


progesteron dalam fase luteal. Menstruasi normal didefinisikan sebagai perdarahan
uterus dengan frekuensi 24 – 38 hari, regularitas atau keteraturan siklus menstruasi

3
dari siklus ke siklus yaitu 2 – 20 hari, durasi 4-8 hari, dan volume ≤ 80 mL. Siklus
anovulatori bisa sangat bervariasi dalam pola perdarahannya. Sepertiga dari
kunjungan pasien ke dokter kandungan adalah karena PUA dan lebih dari 70% dari
semua konsultasi ke bagian ginekologi yaitu pada saat perimenopause dan
pascamenopause. Evaluasi pasien secara menyeluruh penting dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab perdarahan sehingga terapi yang tepat dapat diberikan.2
Perdarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai perdarahan haid
yang masif dimana diperlukan penanganan segera untuk mencegah kehilangan
banyak darah. PUA akut dapat terjadi secara spontan ataupun pada PUA kronis
(pendarahan uterus abnormal yang terjadi dalam kurun waktu 6 bulan terakhir).
Proses umum untuk mengevaluasi pasien yang datang dengan PUA akut dapat
dilakukan dalam tiga tahap yaitu 1) menilai dengan cepat gambaran klinis yang
muncul, 2) menentukan kemungkinan etiologi dari pendarahan, dan 3) memilih
pengobatan yang paling tepat.2-3

Tabel 2.1.2 Dimensi Klinis Menstruasi

2.1.3 Pola dari perdarahan uterus abnormal


Penggolongan standar dari perdarahan abnormal dibedakan menjadi 7 pola:
1) Menoragia (hipermenorea) adalah perdarahan menstruasi yang banyak dan
memanjang. Adanya bekuan-bekuan darah tidak selalu abnormal, tetapi dapat
menandakan adanya perdarahan yang banyak. Perdarahan yang ‘gushing’ dan

4
‘open-faucet’ selalu menandakan sesuatu yang tidak lazim. Mioma submukosa,
komplikasi kehamilan, adenomiosis, IUD, hiperplasia endometrium, tumor ganas,
dan perdarahan disfungsional adalah penyebab tersering dari menoragia.
2) Hipomenorea (kriptomenorea) adalah perdarahan menstruasi yang sedikit, dan
terkadang hanya berupa bercak darah. Obstruksi seperti pada stenosis himen atau
serviks mungkin sebagai penyebab. Sinekia uterus (Asherman’s Syndrome) dapat
menjadi penyebab dan diagnosis ditegakkan dengan histerogram dan histeroskopi.
Pasien yang menjalani kontrasepsi oral terkadang mengeluh seperti ini, dan dapat
dipastikan ini tidak apa-apa.
3) Metroragia (perdarahan intermenstrual) adalah perdarahan yang terjadi pada
waktu-waktu diantara periode menstruasi. Perdarahan ovulatoar terjadi di tengah-
tengah siklus ditandai dengan bercak darah, dan dapat dilacak dengan memantau
suhu tubuh basal. Polip endometrium, karsinoma endometrium, dan karsinoma
serviks adalah penyebab yang patologis. Pada beberapa tahun administrasi estrogen
eksogen menjadi penyebab umum pada perdarahan tipe ini.
4) Polimenorea berarti periode menstruasi yang terjadi terlalu sering. Hal ini biasanya
berhubungan dengan anovulasi dan pemendekan fase luteal pada siklus menstruasi.
5) Menometroragia adalah perdarahan yang terjadi pada interval yang iregular.
Jumlah dan durasi perdarahan juga bervariasi. Kondisi apapun yang menyebabkan
perdarahan intermenstrual dapat menyebabkan menometroragia. Onset yang tiba-
tiba dari episode perdarahan dapat mengindikasikan adanya keganasan atau
komplikasi dari kehamilan.
6) Oligomenorea adalah periode menstruasi yang terjadi lebih dari 35 hari. Amenorea
didiagnosis bila tidak ada menstruasi selama lebih dari 6 bulan. Volume perdarahan
biasanya berkurang dan biasanya berhubungan dengan anovulasi, baik itu dari
faktor endokrin (kehamilan, pituitari-hipotalamus) ataupun faktor sistemik
(penurunan berat badan yang terlalu banyak). Tumor yang mengekskresikan
estrogen menyebabkan oligomenorea terlebih dahulu, sebelum menjadi pola yang
lain.
7) Perdarahan kontak (perdarahan post-koitus) harus dianggap sebagai tanda dari
kanker leher rahim sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Penyebab lain dari
perdarahan kontak yang lebih sering yaitu servikal eversi, polip serviks, infeksi
serviks atau vagina (Tichomonas) atau atropik vaginitis. Hapusan sitologi negatif

5
tidak menyingkirkan diagnosis kanker serviks invasif, kolposkopi dan biopsi
sangat dianjurkan untuk dilakukan.3

2.1.4 Perdarahan Bukan Haid

Yang dimaksudkan disini ialah perdarahan yang terjadi dalam masa antara 2
haid. Perdarahan itu tampak terpisahdan dapat dibedakan dari haid, atau 2 jenis
perdarahan ini menjadi satu; yang pertama dinamakan metroragia,yang kedua
menometroragia. Metroragia atau menometroragia dapat disebabkan oleh kelainan
organik pada alat genital atau oleh kelainan fungsional.1

2.2 Faktor Resiko


Evaluasi lebih lanjut dari perdarahan uterus yang abnormal tergantung pada
usia pasien dan adanya faktor risiko untuk perdarahan uterus abnormal yang
meliputi usia, siklus anovulasi, obesitas, nulliparitas. Periode klimakterium menjadi
salah satu faktor resiko kejadian perdarahan uterus abnormal. Ketika wanita
mendekati menopause, siklus menstruasi menjadi memendek, dan sering terjadi
anovulasi secara intermiten, karena adanya penurunan jumlah folikel ovarium dan
peningkatan resistensi terhadap stimulasi gonadotropik yang menyebabkan
terjadinya penurunan kadar estradiol sehingga endometrium tidak dapat
mempertahankan pertumbuhan normalnya. Sebelum menstruasi berhenti total dan
menopause dimulai, seorang wanita melewati periode yang disebut perimenopause.
Selama perimenopause, siklus hormon normal mulai berubah dan ovulasi menjadi
tidak konsisten. Sementara sekresi estrogen terus berlanjut, sekresi progesteron
menjadi menurun. Hal ini menyebabkan endometrium berproliferasi atau
memproduksi jaringan yang berlebihan, dan meningkatkan kemungkinan
terbentuknya polip atau fibroid yang menyebabkan terjadinya PUA.3
Perdarahan uterus abnormal juga dikaitkan dengan parietas wanita.
Dikatakan bahwa multipara dapat mengurangi resiko PUA. Fase folikular pada
wanita multipara satu hari lebih lama daripada wanita nullipara dan kondisi dimana
tidak adanya ovulasi selama kehamilan. Estrogen berfungsi untuk proliferasi
endometrium. Jika kadar estrogen menurun, maka tidak terjadi proliferasi
endometrium secara berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya PUA. Setelah
melahirkan akan terjadi penurunan fungsi ovarium yang memanjang yang

6
berlangsung beberapa tahun atau lebih, dan paparan terhadap estradiol bebas akan
berkurang sehingga dapat menurunkan risiko kanker reproduksi yang dapat
menyebabkan terjadinya PUA. Kadar steroid ovarium meningkat seiring
bertambahnya waktu kelahiran terakhir. Sehingga suatu keadaan multipara dapat
menurunkan resiko insidensi PUA.3
Risiko terkena kanker endometrium juga meningkat seiring bertambahnya
usia. Insiden kanker ini secara keseluruhan adalah 10,2 kasus per 100.000 pada
wanita berusia 19 hingga 39 tahun. Insiden lebih dari dua kali lipat dari 2,8 kasus
per 100.000 pada mereka yang berusia 30 hingga 34 tahun menjadi 6,1 kasus per
100.000 pada mereka yang berusia 35 hingga 39 tahun. Pada wanita berusia 40
hingga 49 tahun, kejadian karsinoma endometrium adalah 36,5 kasus per 100.000.
Dengan demikian, American College of Obstetricians dan Gynecologists
merekomendasikan evaluasi endometrium pada wanita berusia 35 tahun ke atas
yang mengalami perdarahan uterus abnormal.1

2.3 Klasifikasi PUA


Sistem klasifikasi FIGO memiliki 9 kategori utama, yang disusun menurut
akronim PALM-COEIN: polip; adenomiosis; leiomioma; keganasan dan
hiperplasia; koagulopati; disfungsi ovulasi; endometrium; iatrogenik; dan belum
diklasifikasikan. Secara umum, komponen dari kelompok PALM adalah kelainan
struktural yang dapat diukur secara visual dengan teknik pencitraan dan / atau
histopatologi, sedangkan kelompok COEIN terkait dengan kelainan non struktural
atau yang tidak didefinisikan oleh pencitraan atau histopatologi.4

7
Gambar 2.3 Klasifikasi Perdarahan Uterus Abnormal menurut FIGO

Tabel 2.3 Sistem Klasifikasi Dasar

2.3.1 Disfungsi Ovulasi (PUA-O)


Gangguan ovulasi dapat muncul sebagai ketidaknormalan menstruasi mulai
dari amenore, sampai pendarahan yang sangat ringan dan jarang, hingga episode
HMB yang tidak dapat diprediksi dan ekstrem. Beberapa manifestasi ini
berhubungan dengan tidak adanya produksi progesteron siklik yang dapat
diprediksi dari korpus luteum setiap 22-35 hari, keadaan luteal-out-of-phase yaitu
recruitment folikel yang matang terlalu dini, menyebabkan peningkatan kadar
estradiol, yang menyebabkan endometrium fase proliferasi. Hal ini menyebabkan
stimulasi estrogen berlebihan (unopposed estrogen) pada endometrium.
Endometrium mengalami proliferasi berlebih tanpa diikuti pembentukan jaringan

8
penyangga yang baik karena kadar progesteron rendah, sehingga mengakibatkan
terjadinya perdarahan. 2,4
Sebagian besar gangguan ovulasi tidak memiliki etiologi yang jelas,
banpolikistik, hipotiroidisme, hiperprolaktinemia, stres mental, obesitas, anoreksia,
penurunan berat badan, atau olahraga ekstrem seperti pelatihan atletik elit). Dalam
beberapa kasus dapat disebabkan oleh steroid gonad atau obat-obatan yang
berdampak pada metabolisme dopamin, seperti fenotiazin dan antidepresan
trisiklik. Gangguan ovulasi yang tidak dapat dijelaskan sering terjadi pada usia
reproduksi ekstrim, yaitu masa remaja dan transisi menopause.2,4

2.4 Patofisiologi
Schröder pada tahun 1915, setelah penelitian histopatologik pada uterus dan
ovarium pada waktu yang sama, menarik kesimpulan bahwa gangguan perdarahan
yang dinamakan metropatia hemoragika terjadi karena persistensi folikel yang tidak
pecah sehingga tidak terjadi ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Akibatnya,
terjadilah hiperplasia endometrium karena stimulasi estrogen yang berlebihan dan
terus–menerus. Penjelasan ini masih dapat diterima untuk sebagian besar kasus-
kasus perdarahan disfungsional.1,4
Akan tetapi, penelitian menunjukkan pula bahwa perdarahan disfungsional
dapat ditemukan bersamaan dengan berbagai jenis endometrium, yakni
endometrium atrofik, hiperplastik, proliferatif, dan sekretoris, dengan endometrium
jenis nonsekresi merupakan bagian terbesar. Pembagian endometrium dalam
endometrium jenis nonsekresi dan endometrium jenis sekresi penting artinya,
karena dengan dengan demikian dapat

Gambar 2.4. Siklus Menstruasi Wanita

9
dibedakan perdarahan yang anovulatoar dan yang ovulatoar. Klasifikasi ini
mempunyai nilai klinik karena kedua jenis perdarahan disfungsional ini mempunyai
dasar etiologi yang berlainan dan memerlukan penanganan yang berbeda. Pada
perdarahan disfungsional yang ovulatoar gangguan dianggap berasal dari faktor-
faktor neuromuskular, vasomotorik, atau hematologik, yang mekanismenya belum
seberapa dimengerti, sedangkan perdarahan anovulatoar biasanya dianggap
bersumber pada gangguan endokrin.1

2.5 Gambaran Klinik

2.5.1 Perdarahan Ovulatoar


Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional
dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk
menegakkan diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada masa
mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur siklus haid
tidak dikenali lagi, maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat
menolong. Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe
sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologinya:
1. Korpus luteum persisten; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang
bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari kehamilan
ektopik karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul sering
menunjukkan banyak persamaan antara keduanya. Korpus luteum persisten dapat
pula menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur (irregular shedding).
Diagnosis irregular shedding dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya,
yakni menurut Mc Lennon pada hari ke-4 mulainya perdarahan. Pada waktu ini
dijumpai endometrium dalam tipe sekresi disamping tipe nonsekresi.
2. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia,
atau polimenore. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron disebabkan oleh
gangguan LH releasing factor. Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi endometrial
dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang seharusnya
didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
3. Apopleksia uteri : pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh
darah dalam uterus.

10
4. Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopeni, dan gangguan dalam
mekanisme pembekuan darah.

2.5.2 Perdarahan anovulatoar


Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan
menurunnya kadar estrogen dibawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang
kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali.
Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut-pautnya dangan jumlah folikel yang
pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen
sebelum mengalami atresia, dan kemudian diganti oleh folikel-folikel baru.
Endometrium dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus, dan dari endometrium
yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium bersifat hiperplasia kistik.
Jika gambaran itu dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat
diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulatoar.
Walaupun perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam
kehidupan menstrual seorang wanita, namun hal ini paling sering terdapat pada
masa pubertas dan pada masa pramenopause. Pada masa pubertas sesudah
menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya
proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa pembuatan Releasing
Factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada wanita dalam masa
pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan lancar.
Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada
harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi
ovulatoar, pada seorang wanita dewasa dan terutama dalam masa pramenopause
dengan perdarahab tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada
tidaknya tumor ganas.
Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan
penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang
menahun, tumor-tumor ovarium, dan sebagainya.1,5 Akan tetapi, disamping itu,
terdapat banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa adanya penyakit-
penyakit tersebut diatas. Dalam hal ini stress yang dialami dalam kehidupan sehari-
hari, baik didalam maupun di luar pekerjaan, kejadian-kejadian yang mengganggu
keseimbangan emosional seperti kecelakaan, kematian dalam keluarga, pemberian
obat penenang terlalu lama, dan lain-lain, dapat menyebabkan perdarahan

11
anovulatoar. Biasanya kelinan dalam perdarahan ini hanya untuk sementara waktu
saja.

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Pendekatan klinis pada penegakan diagnosis PUA penting dilakukan secara
cermat untuk dapat menetukan jenis PUA berdasarkan PALM-COEIN. Tiga
pertanyaan awal yaitu adalah status kehamilan, status reproduksi, dan asal
perdarahan.5
Pemeriksaan kehamilan merupakan dasar dalam mendiagnosis PUA. Pasien
dengan usia premenstrusasi atau posmenopause memiliki diagnosis banding yang
berbeda dengan PUA. Perlu diingat bahwa PUA adalah perdarahan yang berasal
dari uterus. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dapat menyingkirkan
penyebab perdarahan yang berasal dari extra-uterine. Evaluasi lebih lanjut pada
perempuan tidak hamil dalam usia reproduktif dapat didasarkan dengan pertanyaan
lanjutan berikut yaitu:5
a. Bagaimana pola perdarahan?
b. Apakah perlu dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap?
c. Apakah perlu dilakukan pengambilan sampel endometrium?
d. Apakah perlu pemeriksaan faktor koagulasi?
e. Apakah perdarahan berhubungan dengan metode kontrasepsi?
Pola perdarahan ditanyakan dengan menanyakan hari pertama haid terakhir
dan haid-haid sebelumnya, durasi perdarahan, perdarahan antara menstruasi, dan
berapa volume darah yang keluar. Beberapa pola perdarahan yang tipikal pada PUA
seperti :
a. Heavy Menstrual Bleeding dengan etiologi tersering adalah leiomyoma
(submukosa), adenomyosis (disertai dysmenorrhea atau nyeri panggul kronis),
defek bekas sectio cesarea, dan penyakit koagulasi. Etiologi lainnya yaitu
hiperplasia endometrium atau carcinoma, AKDR, polip endometrium, endometritis,
atau PID, malformasi arterivena, dan kelainan hemostasis.
b. Intermenstrual Bleeding dengan etiologi polip endometrium, perdarahan tidak
terjadwal akibat kontrasepsi, keganasan, luka endometrium, atau endometritis.
c. Irregular Bleeding (ovulatory dysfunction) dengan penyebab akibat kelainan
hypothalamic-ptiutary axis primer, atau penyakit hormonal lainnya.2

12
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup tanda-tanda vital dengan pemeriksaan
ginekologi mencakup lokasi perdarahan (vulva, vagina, serviks, uretra, anus, atau
perineum), luka pada traktus genitalia atau duh, ukuran dan kontur uterus,
perdarahan uterus saat ini, massa adnexa atau nyeri parametrium. Pemeriksaan
umum antara lain demam, ekimosis, pembesaran tiroid, tanda hiperandrogenisme,
acanthosis nigricans, dan galaktorrhea.5

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu tes kehamilan dan darah
perifer lengkap. Pemeriksaan tambahan lainnya dilakukan sesuai dengan kecurigaan
diagnosis seperti: fungsi tiroid, kadar prolaktin, kadar androgen, kadar FSH atau
LH, kadar esterogen, tes koagulasi, IVA atau papsmear, gram staining duh vagina,
dan pemeriksaan swab endometrium. Pencitraan dilakukan sesuai dengan klinis
pasien untuk menilai massa pada uterus dan ekstrauterus.
Penilaian endometrium dilakukan untuk mendiagnosis keganasan atau kondisi pra-
ganas dan untuk mengevaluasi pengaruh hormonal endometrium. Spencer dkk.,
meninjau 142 penelitian untuk menentukan nilai metode evaluasi endometrium
pada wanita dengan PUA. Data tidak mendukung rekomendasi yang seragam untuk
evaluasi endometrium.2,5
Pengambilan sampel endometrium harus dipertimbangkan pada semua
wanita yang berusia di atas 40 tahun dengan pendarahan abnormal atau pada wanita
yang berisiko tinggi kanker endometrium, yaitu nulliparitas dengan riwayat
infertilitas, onset perdarahan berat yang tidak teratur, badan gemuk, ovarium
polikistik, riwayat keluarga kanker endometrium dan kolon, dan terapi
tamoxifen.27 Pengambilan sampel yang diarahkan secara histeroskopi mendeteksi
persentase abnormalitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan dilatasi dan
kuretase sebagai prosedur diagnostik. Bahkan jika rongga uterus tampak normal
pada histeroskopi, endometrium harus diambil sampelnya karena histeroskopi saja
tidak cukup untuk menyingkirkan neoplasia endometrium dan karsinoma.2,5

2.6.3.1 Pemeriksaan USG


Sonografi transvaginal (TVS) menilai ketebalan endometrium dan
mendeteksi polip dan mioma dengan sensitivitas 80 persen dan spesifisitas 69

13
persen. Ultrasonografi transvaginal dapat digunakan untuk mengevaluasi
endometrium menggunakan gray scale, color atau power dopler, media kontras
(SIS), atau teknologi ultrasound 3 dimensi. Selain itu, TVS memungkinkan
visualisasi adnexa dan organ-organ pelvik, termasuk kandung kemih dan cul de sac.
Abnormalitas yang dapat terdeteksi meliputi fibroid (termasuk leimyoma
submucosa) dan polip endometrium. Evaluasi dengan TVS antara lain meliputi
penilaian endometrium dalam sagittal plane, dengan ketebalan bilayer yang diukur
dari perbatasan myometrium endometrium proximal sampai bagian distal. Pada
pengamatan koronal, pengukuran sebaiknya dari serviks hingga fundus. Bila
terdapat cairam intraluminal maka ketebalan endometrium sebaiknya diukur secara
terpisah (dalam lapisan tunggal), dan jumlah ketebalan endometrium sebaiknya
diekspresikan sebagai penjumlahan 2 lapisan. Meskipun ada bukti bahwa ketebalan
endometrium dapat menjadi indikasi patologi pada wanita pascamenopause, bukti
seperti itu kurang bagi wanita dalam masa reproduksinya. Meta analisis dari 35
penelitian menunjukkan bahwa pada wanita menopause, ketebalan endometrium 5
mm pada USG memiliki sensitivitas 92 persen untuk mendeteksi penyakit
endometrium dan 96 persen untuk mendeteksi kanker.3,4
2.6.3.2 Histeroskopi
Histeroskopi sekarang ini mempunyai nilai lebih dalam penanganan
perdarahan uterus abnormal. Temuan yang didapat pada histeroskopi memberikan
berbagai informasi mengenai bermacam-macam keadaan klinis pasien. Temuan
pada histeroskopi memiliki korelasi yang akurat dengan hasil histopatologi kelainan
yang diperoleh. Pada penelitian pemakaian histeroskopi dengan dilatasi dan
kuretase pada sampling endometrium menunjukkan bahwa keduanya memiliki
sensitivitas yang sama yaitu 100%, namun spesivisitas histeroskopi lebih tinggi
(98%) dibandingkan dengan kuretase (65%).3

14
Tabel Pemeriksaan Laboratorium Pada Evaluasi Pasien PUA

2.7 Tatalaksana

Setelah dilakukan evaluasi etiologi penyebab PUA, maka penatalaksanaan


disesuaikan dengan jenis PUA. Etiologi primer seperti kelainan anatomi dapat
ditanganin dengan operasi. PUA yang dicurigai akibat infeksi dapat ditangani
dengan antibiotik. PUA akibat penyakit sistemik ditangani dengan mengobati
penyakit dasarnya.3
Tatalaksana medikamentosa umumnya diterima oleh sebagian besar
perempuan sebagai tatalaksana awal. HMB dapat ditangani dengan pemberian
kontrasepsi oral kombinasi atau AKDR levonogestrel, pemilihan didasarkan dengan
keinginan pasien dan jika tanpa kontraindikasi.28 Obat lain seperti asam tranexamat
dapat diberikan pada pasien dengan kontraindikasi penggunaan kontrasepsi
hormonal. Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) juga ditemukan bermanfaat
dalam mengurangi perdarahan pada HMB. AKDR levonogestrel memiliki efikasi
terbaik dengan penurunan 71-95% perdarahan menstruasi jika dibandingkan
dengan: progestin oral 87%, kontrasepsi esterogen-progestin 35- 69%, asam

15
tranexamat 26-54%, dan OAINS 10-52%. PUA-O dapat ditangani dengan pilihan
serupa, namun data uji klinis masih sedikit.

Tabel 2.7 Terapi Penatalaksanaan PUA

Tatalaksana bedah dapat dipikirkan pada pasien yang tidak efektif dengan
medikamentosa atau pasien yang ingin mendapatkan penanganan definitive
(histerektomi). HMB akibat kelainan anatomi merupakan indikasi utama operasi.
Pemilihan tatalaksana dari PUA harus selalu disesuaikan dengan kondisi pasien.
Tidak ada baku emas dalam penatalaksanaan PUA, jumlah anak, usia reproduksi,
penyakit sistemik lain dapat menjadi bahan pertimbangan dari pilihan modalitas
tatalaksana yang sesuai pada pasien.3 Himpunan Endokrin dan Fertilitas Indonesia
(HIFERI) mengeluarkan suatu panduan penatalaksaan PUA, dimana tatalaksana
untuk PUA-O sendiri yaitu;
1. Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi klinik
perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
2. Pemeriksaan hormon tiroid dan prolaktin perlu dilakukan terutama pada keadaan
oligomenorea. Bila dijumpai hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh hipotiroid
maka kondisi ini harus diterapi.
1. Pada perempuan umur > 45 tahun atau dengan risiko tinggi keganasan
endometrium perlu dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan pengambilan
sampel endometrium.
2. Bila tidak dijumpai faktor risiko untuk keganasan endometrium lakukan penilaian
apakah pasien menginginkan kehamilan atau tidak.

16
3. Bila menginginkan kehamilan dapat langsung mengikuti prosedur tata laksana
infertilitas.
4. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat diberikan terapi hormonal dengan
menilai ada atau tidaknya kontra indikasi terhadap PKK (Pil KB Kombinasi).
5. Bila tidak dijumpai kontra indikasi, dapat diberikan PKK selama 3 bulan.
6. Bila dijumpai kontra indikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat progestin
selama 14 hari, kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3 bulan siklus.
7. Setelah 3 bulan dilakukan evaluasi untuk menilai hasil pengobatan.
8. Bila keluhan berkurang pengobatan hormonal dapat dilanjutkan atau distop sesuai
keinginan pasien.
9. Bila keluhan tidak berkurang, lakukan pemberian PKK atau progestin dosis tinggi
(naikkan dosis setiap 2 hari sampai perdarahan berhenti atau dosis maksimal).
Perhatian terhadap kemungkinan munculnya efek samping seperti sindrom pra haid.
Lakukan pemeriksaan ulang dengan USG TV atau SIS untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma uteri. Pertimbangkan tindakan
kuretase untuk menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan
medikamentosa gagal, dapat dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan
histeroskopi atau histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada perdarahan
uterus yang banyak dapat ditawarkan setelah memberikan informed consent yang
jelas pada pasien. Pada uterus dengan ukuran < 10 minggu.

17
Gambar 2.7.1 Penanganan Disfungsi Ovulatori
2.7.2 Tatalaksana PUA menurut Strata Pelayanan Kesehatan

1 2 3
Stabilisasi hemodinamik + + +
Stop perdarahan + + +
Medikamentosa
PKK 2-4x/hr ATAU + + +
EEK 2,5 mg tid + + +
Evaluasi 12-24 jam: Berhasil
Tidak berhasil
Jika berhasil, Mencegah
kambuh
Apabila dimulai dengan EEK + + +

18
4x1 - 4d
3x1 – 3d
2x1 – 2d
1x1 – 21d
Apabila dimulai dengan PKK + + +
PKK 1x1 – 14d

Bila darah tidak berhenti  kuretase

AINS (jika nyeri) + + +

Tabel 2.7.2. Penanganan Perdarahan Uterus Abnormal Menurut Strata Pelayanan Kesehatan

Primer Sekunder Tersier


Emergensi (Hb Pasang IV line Transfusi bila Hb <7,5
<10, hemodinamik  resusitasi
tidak stabil) cairan dengan
RL  rujuk
Stop perdarahan EEK 4x2.5 mg (bila Medikamentosa
tidak berhenti dalam - Agonis GnRH
waktu 24 jam, lakukan - LNG IUS
D&K, harus ada - Danazol
persetujuan pada nona)
Operatif
PKK 4x1 4d - D&K
PKK 3x1 3d - Ablasi
PKK 2x1 2d - Histerektomi
Manajemen PKK 1x1 21d

As. traneksamat 3x1 g


AINS 3x500mg
Follow up PKK

regulasi haid Progestin siklik

ingin hamil tata laksana infertilitas tata laksana


infertilitas

risiko tinggi D&K (bila dijumpai ablasi


kanker hiperplasia atipik  endometrium
endometrium histerektomi)
hiperplasia non atipik
 progestin siklik

19
gagal histerektomi ablasi
medikamentosa endometrium

ingin stop haid LNG IUS GnRH ablasi


agonis Danazol endometrium

Keterangan: EEK = estrogen ekuin konyugasi, PKK = pil kontrasepsi kombinasi,


D&K = dilatasi dan kuretase, AINS = anti inflamasi non steroid, LNG-IUS =
levonorgestrel intra uterine system

2.7.3 Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal (NON-


HORMONAL)

1. Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen.
Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin
menjadi fibrin degradation products (FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi
sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktor-faktor yang
memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian
trombosis. Perdarahan menstruasi melibatkan pencairan darah beku dari arteriol
spiral endometrium, maka pengurangan dari proses ini dipercaya sebagai
mekanisme penurunan jumlah darah mens. Efek samping : gangguan pencernaan,
diare dan sakit kepala. Dosisnya untuk perdarahan mens yang berat adalah 1g
(2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari.6

Gambar 2.7.3. (1) Asam Traneksamat

20
2. Obat anti inflamasi non steroid (AINS)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan
meningkat. AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan akan
menurunkan sintesa prostaglandin pada endometrium. Prostaglandin mempengaruhi
reaktivitas jaringan lokal dan terlibat dalam respon inflamasi, jalur nyeri,
perdarahan uterus, dan kram uterus. AINS dapat mengurangi jumlah darah haid
hingga 20-50 persen. Pemberian AINS dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama
atau sebelumnya hingga hingga perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping :
gangguan pencernaan, diare, perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus
peptikum hingga kemungkinan terjadinya perdarahan dan peritonitis.6

Gambar 2.7.3 (2) Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)

2.7.4 Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal (HORMONAL)


1. Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak. Sediaan
yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam waktu 48
jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan pemberian obat
anti-emetik seperti promethazine 25 mg per oral atau intra muskular setiap 4-6 jam
sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme kerja obat ini belum jelas, kemungkinan
aktivitasnya tidak terkait langsung dengan endometrium. Obat ini bekerja untuk
memicu vasospasme pembuluh kapiler dengan cara mempengaruhi kadar
fibrinogen, faktor IV, faktor X, proses agregasi trombosit dan permeabilitas
pembuluh kapiler. Pembentukan reseptor progesteron akan meningkat sehingga

21
diharapkan pengobatan selanjutnya dengan menggunakan progestin akan lebih baik.
Efek samping berupa gejala akibat efek estrogen yang berlebihan seperti
perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan.6

2. PKK (Pil KB Kombinasi)


Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi
akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut
adalah 4 x 1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama 3 hari,
dilanjutkan dengan 2 x 1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1 x 1 tablet selama 3
minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila
pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat tersebut dapat
diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat
perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan mood, sakit kepala, mual,
retensi cairan, payudara tegang, deep vein thrombosis, stroke dan serangan
jantung.6

3. Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta akan
mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada sel-sel endometrium,
sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek biologisnya lebih
rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian penggunaan progestin yang
lama dapat memicu efek anti mitotik yang mengakibatkan terjadinya atrofi
endometrium. Progestin dapat diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian
siklik diberikan selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-
ulang tanpa memperhatikan pola perdarahannya.6
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi progestin, maka
dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari pertama perdarahan tadi
sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin diminum sampai hari ke 14.
Pemberian progestin secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi
kombinasi apabila terdapat kontra-indikasi (misalkan : hipersensitivitas, kelainan
pembekuan darah, riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner atau infark
miokard, kecurigaan keganasan payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning
akibat kolestasis, kanker hati). Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain

22
MPA 1 x 10 mg, noretisteron asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogesteron 2 x 5
mg atau nomegestrol asetat 1 x 5 mg selama 10 hari per siklus. Apabila pasien
mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin dapat dinaikkan setiap
2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari dan
kemudian berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti.6
Pemberian progestin secara kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya
untuk membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan, yaitu pemberian progestin
oral : MPA 10-20 mg per hari, Pemberian DMPA setiap 12 minggu, penggunaan
LNG IUS. Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah,
payudara tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi.6

4. Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan 17a-etinil
testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk menekan
produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap reseptor
estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg
atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati perdarahan menstrual
hebat. Danazol dapat menurunkan hilangnya darah menstruasi kurang lebih 50%
bergantung dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih efektif dibanding dengan
AINS atau progestogen oral. Dengan dosis lebih dari 400mg per hari dapat
menyebabkan amenorea. Efek sampingnya dialami oleh 75% pasien yakni:
peningkatan berat badan, kulit berminyak, jerawat, perubahan suara.6

5. Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)


Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada
hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca
reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada pelepasan hormon
gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan pada wanita dengan
kontraindikasi untuk operasi. Obat ini dapat membuat penderita menjadi amenorea.
Dapat diberikan leuprolide acetate 3.75 mg intra muskular setiap 4 minggu, namun
pemberiannya dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan karena terjadi percepatan
demineralisasi tulang. Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat
diberikan tambahan terapi estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy).
Efek samping biasanya muncul pada penggunaan jangka panjang, yakni: keluhan-

23
keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat yang bertambah,
kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular apabila
penggunaan GnRH agonist lebih dari 6 bulan).6

24
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT

3.1 ANAMNESIS
Anamnesis Pribadi
Nama : Deici Siringo-ringo (03.88.70)
Umur : 30 tahun
Suku : Batak
Alamat : Jl. Bunga Sedap Malam 9, Kec. Medan Selayang
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : S2 — Strata-2
Status Pernikahan : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 24 Oktober 2019
Jam Masuk : 10.317 WIB

Anamnesis Penyakit
Ny. D, 30 tahun, Virgo, Batak, Kristen Protestan, S2, Wiraswasta datang ke Poliklinik Obgyn
RS USU dengan:
Keluhan utama : Haid memanjang
Telaah : Hal ini telah dialami pasien sejak ± 3 minggu ini. Darah yang keluar selama
haid merupakan darah segar dengan jumlah yang banyak sehingga pasien
harus ganti pembalut hingga 5x/hari. Perdarahan yang dialami pasien
disertai nyeri perut. Riwayat keputihan disangkal. Pasien juga mengeluhkan
perutnya terasa semakin membesar sejak 1 tahun ini. BAK dan BAB dalam
batas normal.
RPT : tidak ada
RPO : tidak ada
Riwayat pekerjaan, sosio ekonomi dan psikososial, yaitu wiraswasta, ekonomi menengah, dan
tidak ada riwayat gangguan psikososial.

Riwayat Menstruasi
Menarche : 14 tahun

25
Lama : 5–6 hari
Siklus : 30–45 hari (tidak teratur)
Volume : ± 2–3 doek/hari
Nyeri : (+)
HPHT : 01/10/2019
ANC :-

Riwayat Menikah
Pasien belum menikah.

Riwayat Persalinan
1. Virgo

3.2 PEMERIKSAAN FISIK

Vital Sign
Status Presens:
Sensorium : Compos Mentis Anemis : (–)
Tekanan darah : 120/70 mmHg Ikterik : (–)
Nadi : 84 kali/menit Sianosis : (–)
Pernapasan : 22 kali/menit Dispneu : (–)
Temperatur : 36,5oC Edema : (–)

Status Generalisata:
Kepala : konjungtiva palpebra inferior pucat (–/–), sklera ikterik (–/–)
Leher : limfadenopati (–)
Thorax : Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri, kesan normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Jantung: S1(+) S2(+) reguler, murmur (–)
Paru : SP: vesikuler
ST: ronkhi (–/–), wheezing (–)
Ekstremitas: akral hangat, CRT< 2 detik, edema pretibial (–/–)

26
Status Lokalisata:
Abdomen : distensi (+), nyeri tekan (+)
TFU : tidak teraba
Perdarahan pervaginam : (+)

Status Ginekologi:
Inspekulo : tidak dilakukan pemeriksaan
V/T : tidak dilakukan pemeriksaan

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


USG-TAS (24 Oktober 2019)

Gambar 3.1. Hasil pemeriksaan USG-TAS pasien Ny. D.

27
- Kandung kemih terisi
- Uterus antefleksi, ukuran 9,4 mm x 67,6 mm x 42,4 mm
- Ovarium kanan ukuran 25,2 x 20,7 mm
- Ovarium kiri ukuran 17,3 x 15,5 mm
Kesan : Ginekologi tidak ada kelainan

LABORATORIUM (24 Oktober 2019)


Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
Hemoglobin g/dL 11,7 12–14
Leukosit /µL 5.750 4.000–11.000
Hematokrit % 36,5 36,0–42,0
Trombosit /µL 278.000 150.000–400.000
PT Detik 11,6 13,4
APTT Detik 23,9 30,4
INR 0.81
GDS mg/dL 85 <200
Ureum mg/dL 31,5 <50
Kreatinin mg/dL 0,78 0,6-1,3
Natrium mmol/L 140 135-155
Kalium mmol/L 3,0 3,5-5,0
Klorida mmol/L 106 96-106
HBsAg Non-reaktif Non-reaktif
Anti-HIV Non-reaktif Non-reaktif

3.4 DIAGNOSIS KERJA


Perdarahan Uterus Abnormal- Disfungsi Ovulatori

3.5 TATALAKSANA
MEDIKAMENTOSA
- Primolut 5mg 2x1 tab

RENCANA TINDAKAN
- Kontrol 7 hari lagi

28
BAB 4

DISKUSI KASUS

Teori Kasus
Definisi Ny. D, 30 tahun, Virgo, Batak, Kristen
Pendarahan Uterus Abnormal (PUA) Protestan, S2, Wiraswasta datang ke
adalah istilah yang digunakan saat ini untuk Poliklinik Obgyn RS USU dengan keluhan
mengambarkan kondisi perubahan pola utama haid memanjang.
menstruasi akibat peningkatan volume, durasi,
atau frekuensi perdarahan yang terjadi pada
wanita yang sedang tidak hamil. Istilah seperti
perdarahan uterus disfungsional atau
menorrhagia sudah tidak dipakai lagi
sekarang. Pendarahan uterus yang abnormal
memiliki efek negatif pada aspek fisik,
emosional dan seksual dari kehidupan
perempuan, serta dapat memperburuk kualitas
hidup seoarang wanita
Gejala dan Tanda Hal ini telah dialami pasien sejak ± 3
 Perdarahan Ovulatoar minggu ini. Darah yang keluar selama haid

Perdarahan ini merupakan kurang lebih merupakan darah segar dengan jumlah yang

10% dari perdarahan disfungsional dengan banyak sehingga pasien harus ganti pembalut

siklus pendek (polimenorea) atau panjang hingga 5x/hari. Perdarahan yang dialami

(oligomenorea). Untuk menegakkan pasien disertai nyeri perut. Riwayat

diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu keputihan disangkal. Pasien juga

dilakukan kerokan pada masa mendekati mengeluhkan perutnya terasa semakin

haid. Etiologi: Korpus luteum persisten, membesar sejak 1 tahun ini. BAK dan BAB

Insufisiensi korpus luteum, Apopleksi uteri, dalam batas normal.

Kelainan darah RPT : tidak ada


RPO : tidak ada
 Perdarahan Anovulatoar Riwayat pekerjaan, sosio ekonomi dan

Stimulasi dengan estrogen psikososial, yaitu wiraswasta, ekonomi

menyebabkan tumbuhnya endometrium. menengah, dan tidak ada riwayat gangguan

Dengan menurunnya kadar estrogen psikososial.

29
dibawah tingkat tertentu, timbul
perdarahan yang kadang-kadang bersifat
siklis, kadang-kadang tidak teratur sama
sekali. Sering terjadi pada masa pubertas
dan menopause.

Pemeriksaan Status Lokalisata:


- Anamnesis
Abdomen : distensi (+), nyeri tekan (+)
- Pemeriksaan fisik
TFU: tidak teraba
- Pemeriksaan penunjang:
Perdarahan pervaginam: (+)
USG
Histeroskopi
Status Ginekologi:
Inspekulo : tidak dilakukan pemeriksaan
V/T: tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Laboratorium Darah:


PT, APTT memendek

Pemeriksaan USG:
Kesan : Ginekologi tidak ada kelainan
Penatalaksanaan

- Estrogen - Primolut 5mg 2x1 tab

- Pil KB Kombinasi
R/ Kontrol 7 hari lagi
- Progestin
- Androgen
- GnRH Agonis

30
BAB 5
KESIMPULAN

Ny. D, 30 tahun, Virgo, Batak, Kristen Protestan, S2, Wiraswasta datang ke


Poliklinik Obgyn RS USU dengan keluhan utama haid memanjang yang dialami sejak
± 3 minggu ini. Darah yang keluar selama haid merupakan darah segar dengan jumlah
yang banyak sehingga pasien harus ganti pembalut hingga 5x/hari. Perdarahan yang
dialami pasien disertai nyeri perut. Pasien didiagnosis dengan Perdarahan Uterus
Abnormal – Disfungsi Ovulatori, dan diberikan tatalaksana Primolut 5mg 2x1 tab.
Pasien dianjurkan untuk kontrol kembali ke Poliklinik Obgyn RS USU 7 hari lagi.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Simanjuntak Pandapotan. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam :Wiknjosastro GH,


Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan. Edisi 5. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2005 : pp. 223-228
2. Karkata Kornia Made, et al, Perdarahan Uterus Disfungsional, dalam : Pedoman
Diagnosis-Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien, 2003 : pp 68 - 71
3. Silberstein Taaly, Complications of Menstruation; Abnormal Uterine Bleeding.
Dalam : DeCherney Alan H; Nathan Lauren, Current Obstetric & Gynecologic
Diagnosis and Treatment, 9th Edition, Los Angeles:Lange Medical Books/McGraw-
Hill; 2003 : pp 623-630
4. Bulun E Serdar, et al, The Physiology and Pathology of the Female Reproductive
Axis, dalam William Textbook of Endocrinology, 10th Edition, Elsevier 2003 : pp
587-599
5. Baziad Ali, et al. Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Abnormal, dalam:
Himpunan Endokrinologi Reproduksi Fertilitas Indonesia POGI, Aceh, 29 April-1
Mei 2011.
6. Chou Betty, Vlahos Nikos, Abnormal Uterine Bleeding, dalam : The John Hopkins
Manual of Gynecology and Obstetrics, 2nd Edition , 2002 : p.42

32

Anda mungkin juga menyukai