Penyusun:
Rahmi Nurbadriyah N
712021076
Pembimbing:
dr. Asmar Dwi Agustine, Sp.OG
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di Departmen Ilmu Obstetri Dan Ginekologi Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang BARI
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
Palembang,November 2022
Pembimbing
6
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan referat ini. Penulisan referat ini
dilakukan dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Obstetri Dan Ginekologi RSUD Palembang BARI
pada Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
kepaniteraan klinik sampai pada penyusunan laporan kasus ini, sangatlah sulit
bagi saya untuk menyelesaikan referat ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan
terima kasih kepada:
1) dr. Asmar Dwi Agustine, Sp.OG selaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan referat ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3) Sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan referat
ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Penulis
6
DAFTAR ISI
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan uterus abnormal (PUA) didefinisikan sebagai perubahan
signifikan pada pola atau volume darah menstruasi. Manifestasi klinisnya
dapat berupa perdarahan dalam jumlah yang banyak atau sedikit, dan
haid yang memanjang atau tidak beraturan.1 Perdarahan uterus abnormal
merupakan perdarahan yang berasal dari uterus, dengan durasi, volume,
frekuensi, atau jadwal yang abnormal diluar masa kehamilan dan merupakan
keluhan ginekologi yang umum ditemukan.2
Data di beberapa Negara industri menyebutkan bahwa seperempat
penduduk perempuan pernah mengalami menorrhagia, 21% mengeluh siklus
haid memendek, 17% mengalami perdarahan antar haid,dan 6 % mengeluh
perdahan pasca senggama. Selain menyebabkan gangguan kesehatan,
gangguan haid ternyata berpengaruh pada aktivitas sehari-hari yaitu 28%
dilaporkan merasa terganggu saat bekerja sehingga berdampak pada bidang
ekonomi. Prevalensi perdarahan uterus abnormal di Indonesia belum
dilaporkan secara pasti. PUA diketahui terjadi sekitar 20% pada kelompok
usia remaja, dan 50% pada usia 40-50 tahun.3
FIGO (Federal Internationale de Gynecologie et d’sistem Obstetrique
onkologi) mengklasifikikasikan perdarahan uterus abnormal secara bertingkat
ke dalam sembilan kategori berdasarkan etiologi yang diatur menurut
singkatan PALM-COEIN : Polip, adenomyosis, leiomyoma, keganasan dan
hyperplasia serta kelainan non-struktural yang terdiri dari kelainan
koagulopati, disfungsi ovulasi, endometrial, iatrogenik dan kelompok yang
belum diklasifikasikan.4
PUA dapat mengganggu seorang wanita dari segi fisik, sosial, maupun
emosional. PUA adalah masalah yang sering terjadi dan penanganannya
begitu kompleks. Dokter sering tidak dapat mengidentifikasi penyebab PUA
setelah menanyakan riwayat dan melakukan pemeriksaan fisik. Management
1
dari PUA dapat melibatkan banyak keputusan tergantung diagnosa
penyebabnya.3
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi Institusi
Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan
dan sebagai tambahan referensi dalam bidang ilmu penyakit
Obstetri dan Ginekologi terutama mengenai perdarahan uterus
abnormal.
2. Bagi Akademik
Diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan untuk penulisan
karya ilmiah selanjutnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
aktivitas sehari-hari yaitu 28% dilaporkan merasa terganggu saat bekerja
sehingga berdampak pada bidang ekonomi.3
4
Gambar 1. Klasifikasi PUA berdasarkan penyebab menurut FIGO4
5
patologi keduanya sering hadir bersama, atau suspek polip terlihat pada
transvaginal ultrasound scanning dapat digambarkan sebagai fibroid
(leiomyoma).8
6
keliru disebut sebagai fibroid. Insiden di kalangan perempuan
umumnya antara 20 hingga 25 persen, tapi telah terbukti setinggi 70
sampai 80 persen dalam studi menggunakan histologis atau
pemeriksaan sonografi.4,8
Secara kasar, leiomioma berbentuk bulat, putih seperti mutiara,
berbatas tegas, seperti karet. Uterus dengan leiomioma biasanya
memiliki 6-7 tumor dengan ukuran yang bervariasi. Leiomioma
memiliki otonomi yang berbeda dari miometrium di sekitarnya karena
lapisan jaringan ikat luarnya tipis. Hal ini memungkinkan leiomioma
untuk dapat dengan mudah "dikupas" dari uterus selama operasi. Secara
histologis, leiomioma memiliki sel-sel otot polos memanjang yang
tersusun dalam bundel.7
Gejala yang ditimbulkan berupa perdarahan uterus abnormal,
penekanan terhadap organ sekitar uterus, atau benjolan dinding
abdomen. Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan
biasanya bukan penyebab tunggal PUA. Pertimbangan dalam membuat
sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan mioma uteri denga
endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlkah mioma uteri.4
Berikut adalah klasifikasi mioma uteri : 1) Primer yaitu ada atau
tidaknya satu atau lebih mioma uteri 2) Sekunder yaitu membedakan
mioma uteri yang melibatkan endometrium (mioma uteri submukosum)
dengan jenis mioma uteri lainnya. 3) Tersier yaitu klasifikasi untuk
mioma uteri submukosum, intramural dan subserosum.4
Tumor fibromuskular jinak dari miometrium dikenal dengan
beberapa nama, termasuk "leiomyoma," "myoma," dan "fibroid" yang
sering digunakan. "Leiomyoma" umumnya diterima sebagai istilah
yang lebih akurat dan dipilih untuk digunakan dalam sistem saat ini.
Seperti polip dan adenomyosis, banyak leiomyoma tidak bergejala, dan
seringkali kehadiran mereka bukanlah penyebab PUA. Selain itu,
leiomyoma memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat bervariasi,
bahkan dalam satu individu.4
7
Gambar 1.1 Klasifikasi AUB-L
8
vaskularisasi abnormal. Setelah ovulasi, korpus luteum menghasilkan
progesteron yang berfungsi untuk menghentikan penebalan
endometrium dan menstabilkan endometrium. Jika tidak terjadi ovulasi,
estrogen akan melanjutkan stimulasi endometrium dan proliferasi
berlebihan pada lapisan endometrium. Endometrium menjadi tidak
stabil, tidak berdiferensiasi, dan luruh secara tidak terduga. Pembuluh
darah menjadi lebih besar, lebih berliku-liku, dan lebih mudah rapuh.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perdarahan.4
Kanker endometrium merupakan keganasan ginekologik tersering
di negara barat. Menurut sejarah, kanker endometrium jarang terjadi
pada wanita premenopause; tetapi, dengan peningkatan obesitas dan
kenaikan prevalensi sindroma metabolik, frekuensi keganasan
endometrium meningkat.4
Diagnosis kanker serviks dapat dipertimbangkan, terutama dengan
perdarahan intermentruasi persisten, dan jarang kanker ovarium dapat
menyebabkan PUA. Menariknya, pandangan yang sebelumnya
dipegang adalah bahwa pembesaran uterus dengan cepat akan
meningkatkan kecurigaan untuk keganasan. Ini sekarang tidak lagi
dianggap benar karena fibroid jinak dapat tumbuh dengan cepat dan
sarkoma tumbuh secara perlahan. Namun, investigasi yang lebih
obyektif masih kurang. Baik ultrasound scanning (USS) dan magnetic
resonance imaging (MRI) belum memiliki kriteria yang kuat untuk
secara akurat memprediksi diferensiasi antara leiomioma dan
leiomyosarcoma.4
9
2.4.6 Disfungsi Ovulasi (PUA-O)
Kegagalan terjadinya ovulasi yang menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal yang dapat menyebabkan terjadinya
pendarahan uterus abnormal. Beberapa manifestasi ini berhubungan
dengan tidak adanya produksi progesteron siklik yang dapat diprediksi
dari korpus luteum setiap 22-35 hari, keadaan luteal-out-of-phase yaitu
recruitment folikel yang matang terlalu dini, menyebabkan peningkatan
kadar estradiol, yang menyebabkan endometrium fase proliferasi. Hal
ini menyebabkan stimulasi estrogen berlebihan (unopposed estrogen)
pada endometrium. Endometrium mengalami proliferasi berlebih tanpa
diikuti pembentukan jaringan penyangga yang baik karena kadar
progesteron rendah, sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan.
Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang,
hingga perdarahan haid banyak. Gangguan ovulasi dapat disebabkan
oleh sindrom ovarioum polikistik, hiperprolaktenemia, hipotiroid,
obesitas, penurunan berat badan, anoreksia atau olahraga berat yang
berlebihan.4
Siklus anovulatori dapat berkontribusi terhadap PUA oleh efek
estrogen yang tidak diimbangi pada endometrium yang menyebabkan
proliferasi dan penebalan yang nyata yang mengakibatkan perdarahan
menstruasi yang berat bersama dengan frekuensi menstruasi yang
berubah. Ini diamati pada usia reproduksi ekstrim; Namun, dampak
pada sumbu HPO bersama dengan endokrinopati juga ditemukan. Yang
terakhir termasuk sindrom ovarium polikistik, hiperprolaktinemia,
hipotiroidisme serta faktor-faktor seperti obesitas, anoreksia, penurunan
berat badan, stres mental dan olahraga ekstrim.5
10
diidentifikasi. Jika gejalanya adalah HMB, mungkin ada gangguan
utama mekanisme yang mengatur "hemostasis" pada endometrium lokal
itu sendiri. Adanya penurunan produksi factor yang terkait
vasokontriksi seperti endothelin-1 dan prostaglandin F2⍺ serta
peninkatan aktivitas fibrionolisis. Gejala lain kelompok ini adalah
perdarahan tengah atau perdarahan yang berlanjut akibat gangguan
hemostasis local endometrium. Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah
menyingkirkan gangguan lain pada siklus haid yang berevolusi.4,9
11
2.4.9 Belum diklasifikasikan (PUA-N)
Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang
atau sulit dimasukkan dalam klasifikasi. Kelainan yang termasuk dalam
kelompok ini adalah endometritis kronik atau malformasi arteri-vena.
Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian PUA.
Kelainan seperti endometritis kronis, malformasi arteriovenosa, dan
hipertrofi myometrium. Selain itu, mungkin ada gangguan lain, belum
teridentifikasi.4
12
juga perdarahan. Riwayat dan tanda penyakit sistemik perlu secara cermat
ditanyakan. Beberapa penyakit yang mungkin bisa jadi penyebab
perdarahan, misalnya penyakit tiroid, hati, gangguan pembekuan darah,
tumor hipofisis, sindroma ovarium polikistik dan keganasan tidak boleh
dilewatkan untuk dieksplorasi.6
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas
keadaan hemodinamik. Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis
servikalis dan tidak berhubungan dengan kehamilan. Pemeriksaan IMT,
tanda-tanda hiperandrogen, pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi
hipotiroid/hipertiroid, galaktorea, gangguan lapang pandang (adenoma
hipofisis), purpura dan ekimosis wajib diperiksa.10
Awalnya, lokasi perdarahan uterus harus dikonfirmasi karena
perdarahan juga dapat berasal dari saluran reproduksi yang letaknya lebih
rendah, sistem pencernaan, atau saluran kemih. Hal ini lebih sulit
dilakukan jika tidak ada perdarahan aktif. Dalam situasi ini, urinalisis atau
evaluasi guaiac feses mungkin membantu pemeriksaan fisik.10
13
Memar, perdarahan gusi Koagulopati
Servisitis Endometritis
C. Pemeriksaan Penunjang
Hitung darah lengkap dianjurkan jika ada riwayat perdarahan.
Kehamilan dieksklusi melalui serum β-hCG. Thyrotropin diukur hanya
jika ada gejala atau temuan yang sugestif ke penyakit tiroid. Pengujian
untuk gangguan koagulasi harus dipertimbangkan pada wanita yang
memiliki riwayat perdarahan berat yang dimulai dari menarche, riwayat
14
perdarahan postpartum atau perdarahan saat ekstraksi gigi, bukti masalah
perdarahan lainnya, atau riwayat keluarga cenderung mengarah ke
gangguan koagulasi. Tidak ada bukti bahwa pengukuran gonadotropin
serum, estradiol, atau kadar progesteron membantu dalam pengelolaan
AUB.11
1) Ultrasound
Transvaginal sonografi memungkinkan evaluasi dari kelainan
anatomi uterus dan endometrium.Selain itu, patologi dari
miometrium, serviks, tuba, dan ovarium juga dapat dievaluasi.
Modalitas investigasi ini dapatmembantu dalam diagnosis polip
endometrium, adenomiosis, leiomioma, anomali uterus,
danpenebalan endometrium yang berhubungan dengan hiperplasia
dan keganasan.11
2) Saline Infusion Sonohysterography
Saline infusion sonohysterography menggunakan 5 sampai 15 mL
larutan saline yang dimasukkan ke dalam rongga rahim selama
sonografi transvaginal dan mengimprovisasi diagnosis patologi
intrauterin. Terutama dalam kasus polip dan fibroid uterus, SIS
memungkinkan pemeriksaan untuk membedakan lokasi dan
hubungannya dengan kavitas uterus. SIS juga dapat menurunkan
kebutuhan MRI dalam diagnosis dan manajemen dari anomali
uterus.11
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI jarang digunakan untuk menilai endometrium pada pasien
yang memiliki perdarahan uterus abnormal. MRI mungkin
membantu untuk memetakan lokasi yang tepat dari fibroid dalam
perencanaan operasi dan sebelum terapi embolisasi untuk fibroid.
Hal ini juga mungkin berguna dalam menilai endometrium ketika
USG transvaginal atau tidak dapat dilakukan.
4) Histeroskopi
15
Evaluasi histeroskopi untuk perdarahan uterus abnormal adalah
pilihan yang menyediakan visualisasi langsung dari patologi kavitas
dan memfasilitasi biopsi langsung. Histeroskopi dapat dilakukan
dalam suasana praktek swasta dengan atau tanpa anestesi ringan atau
di ruang operasidengan anestesi regional atau umum. Risiko dari
histeroskopi termasuk perforasi rahim, infeksi, luka serviks, dan
kelebihan cairan.11
5) Biopsi Endometrium
Biopsi endometrium biasanya dapat dilakukan dengan mudah pada
wanita premenopause dengan persalinan pervaginam sebelumnya.
Biopsi lebih sulit dilakukan pada wanita dengan riwayat persalinan
sesar sebelumnya, wanita yang nulipara, atau yang telah memiliki
operasi serviks sebelumnya. Biopsi endometrium dapat mendeteksi
lebih dari 90% dari kanker. Patologi dari endometrium dapat
mendiagnosa kanker endometrium atau menentukan kemungkinan
kanker.11
D. Pemeriksaan Laboratorium
1) Tes β-Human Chorionic Gonadotropin dan Hematologik
Abortus, kehamilan ektopik dan mola hidatidosa dapat
menyebabkan perdarahan yang mengancam nyawa. Komplikasi
dari kehamilan dapat secara cepat dieksklusi dengan penentuan
kadar subunit beta human chorionic gonadotropin (β-hCG) dari
urin atau serum. Sebagai tambahan, pada wanita dengan
perdarahan uterus abnormal, complete blood count dapat
mengidentifikasi anemia dan derajat kehilangan darah. Diperlukan
juga skrining untuk gangguan koagulasi jika sebab yang jelas tidak
dapat ditemukan. Yang termasuk adalah complete blood count
dengan platelet count, partial thromboplastin time, dan
prothrombin time dan mungkin juga memeriksa tes spesial untuk
penyakit von Willebrand.10,11
2) Pemeriksaan “Wet Prep” dan Kultur Serviks
16
Pemeriksaan mikroskopik dari sekresi serviks diperlukan jika
perdarahan dicurigai karena servisitis yang akan memperlihatkan
gambaran sel darah merah dan neutrofil. Servisitis sekunder karena
herpes simplex virus (HSV) juga dapat menyebabkan perdarahan
dan diindikasikan untuk melakukan kultur secara langsung.
Trikomoniasis juga dapat menyebabkan servisitis dan ektoserviks
yang rapuh.
3) Pemeriksaan Sitologi
Kanker serviks dan kanker endometrium dapat menyebabkan
perdarahan yang abnormal dan dapat sering ditemukan dengan
skrining Pap smear.
4) Biopsi Endometrium
Pada wanita dengan perdarahan abnormal, evaluasi histologi
endometrium mungkin mengidentifikasikan lesi infeksi atau
neoplastik seperti hiperplasia endometrium atau kanker. Terdapat
perdarahan abnormal pada 80 sampai 90 persen wanita dengan
kanker endometrium.
E. Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan ginekologi dilakukan untuk menyingkirkan kelainan
organik yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal, misalnya
mioma uteri, polip serviks, ulkus, trauma, erosi, tumor, atau keganasan.
Seringkali evaluasi untuk menentukan diagnosis tumpang tindih dengan
penanganan yang dilakukan pada perdarahan abnormal.9
F. Penilaian Endometrium
Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada
semua pasien PUA. Pengambilan sample endometrium hanya dilakukan
pada :11
1) Perempuan umur > 45 tahun
2) Terdapat faktor risiko genetik
17
3) USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium
kompleks yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau
kanker endometrium.
4) Terdapat faktor risiko diabetes melitus, hipertensi, obesitas,
nulipara
5) Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectar
cancer memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan
rerata umur saat diagnosis antara 48-50 tahun. Pengambilan
sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahna uterus
abnormal yang menetap (tidak respon terhadap pengobatan).
G. Penilaian Kavum Uteri
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium
atau mioma uteri submukosum. USG transvaginal merupakan alat penapis
yang tepat dan harus dilakukan pada pemeriksaan awal PUA. Bila
dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri submukosum
disarankan untuk melakukan SIS atau histeroskopi. Keuntungan dalam
penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat dilakukan
bersamaan.
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6 Penatalaksanaan Perdarahan Uterus Abnormal
1. Tatalaksana perdarahan uterus abnormal akut:13
a. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan
hemodinamik dan atau Hb< 10 g/dl perlu dilakukan rawat inap
b. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan
c. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2 liter/menit
dan transfuse darah jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan hemodinamik
18
d. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin kjonyugasi (EEK) 2-5 mg per
oral setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg per oral atau injeksi IM
setiap 4-6 jam (untuk mengatasi mual). Asam traneksamat 3x1 gr atau
anti inflamasi nonsteroid 3x500 mg diberikan bersama dengan EEK.
Untuk pasien dirawat, dapat dipasang balon kateter foley no 10 ke
dalam uterus dan diisi cairan kurang lebih 15 ml, dipertahankan 12-24
jam.
e. Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam lakukan dilatasi dan
kuretase.
f. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan kontrasepsi
oral kombinasi (KOK) 4x1 tablet perhari (4 hari), 3x1 tablet perhari (3
hari), 2x1 tablet perhari (2 hari) dan 1x 1 tablet (3 minggu) kemudian
stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3 minggu dengan jeda 1 minggi
selama 3 siklus
g. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron asetat
(MPA) 10 mg perhari (7 hari) siklik selama 3 bulan
h. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya injeksi gonadotropin
releasing hormone (GnRH) agonis dapat diberikan bersamaan dengan
pemberian KOK untuk stop perdarahan). GnRH diberikan 2-3 siklus
dengan interval 4 minggu.
i. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk
mencari penyebab perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG
transvaginal/ transrektal, periksa darah perifer lengkap (DPL) hitung
trombosit, prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time
(aPTT) dan thyroid stimulating hormone (TSH). Saline Infused
Sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan jika endometrium yang terlihat
tebal, untuk melihat adanya polip endometrium ataumioma
submukosim. Jika terapi medika mentosa tidak berhasil atau ada
kelainan organik, maka dapat dilakukan terapi pembedahan seperti
ablasi endometrium, miomektomi, polipektomi, histerektomi.
19
2. Tatalaksana perdarahan uterus abnormal kronik:13,9
a. Jika dari anamnesa yang terstruktur ditemukan bahwa pasien
mengalami satu atau lebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak
dapat diramalkan dalam 3 bulan terakhir.
b. Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah
perifer lengkap wajib dilakukan.
c. Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut
d. Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat
memicu PUA dan lakukan juga pemeriksaan koagulopati bawaan jika
terdapat indikasi
e. Pastikan apakah pasien masih ingin menginginkan keturunan
f. Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan
penggunaan yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien
untuk memiliki keturunan dapat menentukan penanganan selanjutnya.
Pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap,
pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi (fungsi tiroid, prolaktin,
dan androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis.
g. Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan :
Reseksi secara histeroskopi
Dilatasi dan kuretase
Kuret hisap
Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.
a) Pemilihan obat-obatan pada perdarahan uterus abnormal (non-
hormonal)13,9
1. Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen.
Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk
memecah fibrin menjadi fibrin degradation product (FDPs). Oleh
karena itu obat ini berfungsi sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini
akan menghambat faktor-faktor yang memicu terjadinya pembekuan
darah, namun tidak menimbulkan kejadian trombosis. Perdarahan
20
menstruasi melibatkan pencairan darah beku dari arteriol spinal
endometrium, maka pengurangan dari proses ini dipercaya sebagai
mekanisme penurunan jumlah darah mens. Efek samping : gangguan
pencernaan, diare, sakit kepala. Dosisnya untuk perdarahan mens yang
berat adalah 1g (2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari.
2. Obat anti inflamasi non steroid (AINS)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid
akan meningkat. AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase,
dan akan menurunkan sintesa prostaglandin pada endometrium.
Prostaglandin mempengaruhi reaktivitas jaringan lokal dan terlibat
dalam respon inflamasi, jalur nyeri, perdarahan uterus, dan kram
uterus. AINS dapat mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50
persen Pemberian AINS dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama
astau sebelumnya hingga perdarahan yang banyak berhenti. Efek
samping: gangguan pencernaan, diare, perburukan asma pada
penderita yang sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan
terjadinya perdarahan dan peritonitis.
21
akan meningkat sehingga diharapkan pengobatan selanjutnya dengan
menggunakan progestin akan lebih baik. Efek samping berupa gejala
akibat defek estrogen yang berlebihan seperti perdarahan uterus,
mastodinia dan retensi cairan.
2. PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi
kombinasi akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada
saat perdarahan akut adalah 4x1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan
dengan 3x1 tablet selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2x1 tablet selama 2
hari, dan selanjutnya 1x1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil
selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi
kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila pengobatannya
ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat tersebut dapat diberikan
secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat
perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan mood, sakit
kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein trombosis,
stroke dan serangan jantung.
3. Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen
serta akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehodrogenase pada
sel-sel endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron
yang efek biologisnya lebih rendah dibandingkan estradiol. Meski
demikian penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek mitotik
yang menyebabkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat
diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan
selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang
tanpa memperhatikan pola perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi
progestin, makan dosis obat progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya
22
hitung hari pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan
selanjutnya progestin diminum sampai 14 hari. Pemberian progestin
secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi
apabila terdapat kontraindikasi (misalkan : hipersensitivitas, kelainan
pembekuan darah, riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner
atau infark miokard, kecurigaan keganasan payudara ataupun genital,
riwayat penyakit kuning akibat kolestatis, kanker hati). Sediaan
progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1x10 mg, norestiron
asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogestron 2x5 mg atau nomegestrol
asetat 1x 5 mg selama 10 hari per siklus.
Apabila pasien mengalami perdarahan hebat saat kunjuungan,
dosis progestin dapat dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan
berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari dan kemudian berhenti
selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti pemberian
progestin secra kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya untuk
membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan yaitu :
- Pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari
- Pemberian DMPA setiap 12 minggu
- Penggunaan LNG IUS
Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa
begah, payudara tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan
depresi.
4. Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasala dari turunan
17a-etinil tetosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang
berfungsi untuk menekan produksi estradiol dari ovarium, serta
memiliki efek langsung terhadap reseptor estrogewn di endometrium
dan di luar endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau lebih per
hari dapat dipergunakan untuk mengobati perdarahan menstrual hebat.
Danazol dapat menurunkan hilangnya darah dalam menstruasi kurang
lebih 50% bergantung dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih efektif
23
dibanding dengan AINS atau progestin oral. Dengan dosis lebih dari
400 mg per hari dapat menyebabkan amenorea. Efek sampingya dialami
oleh 75% pasien yakni: penigkatan berat badan, kulit berminyak,
jerawat, perubahan suara.
24
Prognosis perdarahan uterus abnormal dapat baik dengan terapi yang tepat
guna dan tepat waktu.14
25
BAB III
KESIMPULAN
1. Perdarahan uterus abnormal (PUA) merupakan perubahan signifikan pada
pola atau volume darah menstruasi. Manifestasi klinisnya dapat berupa
perdarahan dalam jumlah yang banyak atau sedikit, dan haid yang
memanjang atau tidak beraturan Hal ini sering dijumpai pada wanita pada
usia reproduksi
2. Perdarahan uterus abnormal dapat diklasifikasikan berdasarkan FIGO yaitu
polyp, adenomyosis, leiomyoma, malignancy and hyperplasia,
coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenic, dan not yet
classified
3. Diagnosis dari perdarahan uterus abnormal dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui penyebab
dari perdarahan tersebut.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
13. Marret H, Fauconnier A, Chabbert-Buffet N, Cravello L, Golfier F, Gondry
J, Agostini A, Bazot M, Brailly-Tabard S, Brun JL, De Raucourt, Gervaise
A. Clinical practice guidelines on menorrhagia: management of abnormal
uterine bleeding before menopause. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology 152 (2010) 133–137
14. Davis E, Sparzak PB. Abnormal Uterin Bleeding (Dysfunctional Uterin
Bleeding). National Center for Biothecnology Information Journal.2019.
27