Anda di halaman 1dari 30

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Epilepsi

a. Definisi

Epilepsi merupakan sebuah kondisi yang ditandai dengan

munculnya kejang berulang (dua kali atau lebih) yang kejadian tiap

kejangnya berjarak lebih dari 24 jam (Hauser, 2016). Pasien yang

mengalami hanya kejang demam atau serangan saat neonatal tidak

dimasukkan dalam klasifikasi epilepsi (Ünver et al., 2015). Hal tersebut

disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara

berlebihan dan berkala tetapi reversibel dengan berbagai etiologi

(Tjahjadi et al., 2007).

b. Epidemiologi

Sekitar 50 juta jiwa di dunia menderita epilepsi dan diperkirakan

terdapat 2,4 juta jiwa terdiagnosis kasus epilepsi setiap tahun.

Perbandingan penduduk yang mengalami epilepsi aktif dengan populasi

umum diperkirakan 4 dan 10 per 1000 orang, dimana pada negara

berpenghasilan rendah dan menengah didapatkan proporsi yang jauh

lebih tinggi yaitu 7 dan 14 per 1000 orang (WHO, 2017).

Di Indonesia pada tahun 2013 didapatkan 2288 pasien yang terdiri

dari 487 kasus baru dan 1801 kasus lama (Perhimpunan Dokter
commit to user

6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI, 2014). Prevalensi epilepsi pada

bayi dan anak cukup tinggi dengan insiden terbanyak pada kelompok

usia 1-5 tahun yakni 42% (Suwarba, 2011). Di RSUD Dr. Moewardi

Surakarta dalam kurun waktu enam bulan (Januari – Juni 2008) terdapat

86 penderita epilepsi anak dengan rentang usia tujuh bulan sampai 14

tahun yang terdiri dari 39 penderita berjenis kelamin laki-laki dan 47

penderita perempuan (Data RSDM (2008) dalam Setiawati, 2009).

c. Etiologi

Epilepsi bukan suatu penyakit, melainkan sekumpulan gejala dan

tanda akibat berbagai etiologi yang berbeda (Setiawati, 2009). Etiologi

epilepsi dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu epilepsi idiopatik

yang penyebabnya tidak diketahui dan epilepsi simtomatik yang

penyebabnya sangat bervariasi, bergantung pada usia awitan (Tjahjadi

et al., 2007).

Epilepsi dikategorikan idiopatik apabila didapatkan pemeriksaan

neurologis normal, tidak ada lesi yang teridentifikasi pada MRI

(Magnetic Resonance Imaging) dan tidak ada tanda atau gejala lain

yang mengindikasikan abnormalitas neurologi (Hermann et al., 2008).

Epilepsi simtomatik disebabkan oleh (WHO, 2017) :

1) Kasus-kasus prenatal atau perinatal yang menyebabkan kerusakan

otak, misalnya kehilangan oksigen, trauma saat proses persalinan

dan berat badan lahir rendah (BBLR)

commit to user

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2) Kelainan kongenital atau kondisi genetik yang berhubungan

dengan malformasi otak

3) Trauma kepala : luka panetrasi, perdarahan

4) Tumor otak

5) Stroke yang menyebabkan jumlah oksigen menuju otak terbatas

6) Infeksi : infeksi kongenital yang disebabkan oleh bakteri maupun

virus (TORCH); meningitis bakterial, ensefalitis virus,

neurosistiserkosis.

Etiologi epilepsi juga dibagi menjadi (Berg et al., 2010):

1) Genetik : kelainan genetik dimana kejang merupakan gejala utama

dari gangguan, namun ada kemungkinan bahwa faktor lingkungan

turut berkontribusi dalam manifestasi gejala.

2) Struktural atau metabolik : stroke, trauma, infeksi

3) Tidak diketahui

d. Klasifikasi

Epilepsi yang terklasifikasi merupakan kunci untuk klinisi

mengevaluasi individu yang memperlihatkan tanda kejang dan juga

untuk menentukan pemilihan obat antiepilepsi yang sesuai (Scheffer et

al., 2017). Pengklasifikasian untuk kejang demam dan epilepsi ini terus

berkembang dan semakin kompleks (Mountz et al., 2016).

commit to user

8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Klasifikasi epilepsi dilihat dari tipe kejang yang dibagi menjadi :

Tabel 2.1. Klasifikasi epilepsi (Berg et al., 2010; Fisher at al., 2017).

Tidak dapat
Umum Fokal
diklasifikasikan
1) Tonik-klonik 1) Motorik
2) Absans a) Automatisme
a) Tipikal b) Atonik
b) Atipikal c) Klonik
c) Absans dengan d) Spasme
ciri khas epileptik
(1) Absans e) Hiperkinetik
mioklonik f) Mioklonik
(2) Mioklonia g) Tonik
kelopak mata 2) Non motorik
3) Mioklonik a) Autonomik
a) Mioklonik b) Perilaku
b) Mioklonik atonik c) Kognitif
c) Mioklonik tonik d) Emosional
4) Klonik e) Sensori
5) Tonik 3) Fokal menjadi
6) Atonik bilateral tonik-
klonik

Tipe epilepsi dibagi menjadi (Scheffer et al., 2017) :

1) Umum

Biasanya memiliki gambaran taji-dan-gelombang (spike-wave)

pada elektroensefalogram. Diagnosis dibuat atas dasar klinis dan

didukung oleh hasilcommit


dari pelepasan
to user elektroensefalogram interiktal.

9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2) Fokal

Epilepsi fokal termasuk gangguan unifokal dan multifokal

serta kejang yang melibatkan salah satu hemisfer. Diagnosis dibuat

atas dasar klinis dan didukung oleh hasil elektroensefalogram

dengan hasil elektroensefalogram interiktal biasanya menunjukkan

kelainan epileptiform fokal (Peljto et al., 2014; Scheffer et al.,

2017).

3) Umum-fokal

Individu mempunyai dua tipe kejang yaitu umum dan fokal.

Diagnosis ditentukan berdasarkan temuan klinis dan didukung hasil

elektroensefalogram, namun hasil elektroensefalogram interiktal

kurang esensial. Contoh dari tipe epilepsi umum-fokal dimana

kedua jenis kejang terjadi adalah sindrom Dravet dan sindrom

Lennox-Gastaut.

4) Tidak dapat diklasifikasikan

Epilepsi yang tidak dapat diklasifikasikan digunakan untuk

individu yang memiliki epilepsi tetapi dokter tidak dapat

menentukan tipe epilepsi yang dialami, apakah fokal atau umum,

karena kurangnya informasi yang tesedia.

e. Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor mulai dari prenatal hingga perinatal yang

saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang

commit to user

10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dilahirkan sehingga menyebabkan epilepsi (Raharjo, 2007;

Wiknjosastro, 2009).

1) Faktor prenatal

a) Usia ibu saat hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

b) Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

c) Kehamilan primipara atau multipara

d) Pemakaian bahan toksik

2) Faktor perinatal

a) Asfiksia

b) Berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu berat badan lahir kurang

dari 2500 gram

c) Kelahiran prematur atau postmatur

d) Partus lama

e) Persalinan dengan alat (forsep, vakum, seksio sesaria)

f) Perdarahan intrakranial

3) Faktor postnatal

a) Kejang demam

b) Trauma kepala / cedera kepala

c) Infeksi susunan saraf pusat

d) Epilepsi akibat toksik

e) Gangguan metabolik

4) Faktor herediter

commit to user

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

f. Patofisiologi

Neuron memiliki potensial membran karena adanya perbedaan

muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan luar neuron. Perbedaan

jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran

dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Sinyal akan masuk

melalui sinapsis yang bersifat eksitasi menyebabkan depolarisasi

membran yang berlangsung singkat, kemudian terjadi inhibisi yang

menyebabkan hiperpolarisasi membran (Tjahjadi et al., 2007). Kejang

terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi, misalnya

eksitasi yang berlebihan atau berkurangnya inhibisi. Hal ini

menyebabkan sinkronisasi abnormal pada aktivitas listrik di neuron

dimana manifestasi setiap kejang berbeda tergantung dari lokasi asal

dan struktur otak yang melepas muatan (Brodie et al., 2016). Bila

terdapat lesi pada neuron di otak, muncul beberapa fenomena yaitu

(Price dan Wilson, 2006) :

1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah

mengalami pengaktifan

2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan

muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan

secara berlebihan

3) Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelainan asetilkolin atau

defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA)

commit to user

12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa

atau elektrolit mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga

terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan

ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmiter

eksitatorik atau deplesi neurotransmiter inhibitorik.

g. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis epilepsi dikelompokkan berdasarkan klasifikasi

dari epilepsi, yaitu (Tjahjadi et al., 2007; Lowenstein, 2008; Fenichel,

2009; Goldenberg, 2010):

1) Kejang umum

a) Kejang absans

Serangan ditandai dengan kehilangan kesadaran yang

berlangsung sangat singkat, berhenti melakukan aktivitas yang

sedang dilakukan, melamun atau mata yang menatap kosong,

kadang disertai gerakan ritmik dari kelopak mata, dan kemudian

kembali melakukan aktivitas. Serangan tersebut terjadi selama 5

hingga 10 detik dan dapat berlangsung hingga 100 kali dalam

sehari.

b) Kejang atonik

Terjadi kehilangan tonus otot secara mendadak selama 1

hingga 2 detik. Kesadaran dapat hilang sesaat atau tidak sama

sekali dan tidak didapatkan kebingungan post-iktal.

commit to user

13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

c) Kejang mioklonik

Kontraksi otot-otot tubuh secara cepat, sinkron dan bilateral

atau kadang-kadang hanya mengenai kelompok otot tertentu.

d) Kejang tonik-klonik

Terdapat gejala prodromal berupa kecemasan yang tidak

menentu atau rasa tidak nyaman sebelum serangan. Serangan

dimulai dengan kehilangan kesadaran dan disusul dengan gejala

motorik secara bilateral dapat berupa ekstensi tonik dari semua

ekstremitas selama beberapa menit, disusul oleh gerakan klonik

yang sinkron dari otot-otot tersebut. Segera sesudah serangan

berhenti, kesadaran belum pulih dan penderita tertidur.

2) Kejang parsial

a) Kejang parsial sederhana

Serangan ditandai dengan kesadaran masih baik dan terdapat

gejala motorik, sensorik, otonom, atau psikis. Kejang ini juga

dapat dimanifestasikan sebagai perubahan sensasi somatik

(misalnya parestesia atau kesemutan), penglihatan, keseimbangan,

perubahan fungsi otonom olfaktori, dan pendengaran.

b) Kejang parsial kompleks

Gejala yang timbul yaitu penurunan kesadaran disertai

amnesia tanpa adanya aktivitas tonik-klonik umum. Seringkali

serangan terjadi selama 1 hingga 2 menit dan jarang kurang dari

commit to user

14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30 detik. Gejala pertama yang timbul yaitu menatap, otomatisme,

atau ekstensi tonik dari satu atau kedua lengan atas.

2. Obat Antiepilepsi

a. Definisi

Obat antiepilepsi merupakan terapi medikamentosa yang berguna

untuk menghentikan serangan yang terjadi. OAE bekerja dengan

mengurangi aktivitas listrik berlebihan di otak yang menyebabkan

timbulnya kejang (Epilepsy Society, 2014). Tujuan dari terapi epilepsi

adalah untuk memperbaiki kualitas hidup kemudian mengontrol kejang

yang terjadi (Hadjiloizou dan Bourgeois, 2007). Pemberian OAE

dimulai dengan obat pilihan pertama dan diberikan tunggal

(monoterapi), dimulai dengan dosis yang rendah kemudian dinaikkan

secara perlahan hingga beberapa minggu sampai obat dapat

menghentikan kejang. Bila kejang tidak dapat dikontrol dengan

pemberian tunggal OAE, dapat diberikan kombinasi OAE (politerapi)

(Epilepsy Society, 2014). Terapi kombinasi ialah terapi dengan

menggunakan dua OAE atau lebih, namun terapi kombinasi dapat

meningkatkan toksisitas dan timbul interaksi antar OAE (Badan POM

RI, 2015).

b. Golongan Obat Antiepilepsi

Terdapat dua golongan obat antiepilepsi yaitu golongan lama dan

golongan baru. OAE lama terdiri dari barbeksaklon, karbamazepin,

klonazepam, etosuksimid, fenobarbital, fenitoin, primidon dan asam


commit to user

15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

valproat, sedangkan OAE baru yaitu felbamat, gabapentin, lamotrigin,

levetirasetam, okskarbazepin, pregabalin, tiagabin, topiramat dan

vigabatrin (Hsia et al., 2010).

Selain dibedakan menjadi lama dan baru, obat-obat antiepilepsi

berdasarkan struktur kimiawi digolongkan sebagai berikut (Utama dan

Gan, 2012) :

1) Golongan hidantoin

Fenitoin efektif untuk kejang parsial dan kejang umum tonik-

klonik (Utama dan Gan, 2012). Sedangkan mefenitoin dan etotoin

mengobati kejang umum tonik-klonik dan kejang parsial dengan

memiliki metabolisme yang tersaturasi dalam rentang dosis

terapeutik berkisar 5 mcg/mL hingga 16 mcg/mL (Katzung et al.,

2012).

2) Golongan barbiturat

Fenobarbital merupakan obat pilihan pertama untuk kejang

neonatal dan dapat digunakan untuk kejang umum tonik-klonik dan

kejang parsial (Hadjiloizou dan Bourgeois, 2007). Contoh lain ialah

primidon untuk bangkitan parsial kompleks dan umum tonik-klonik

(Fenichel, 2009; Utama dan Gan, 2012).

3) Golongan oksazolidindion

Contoh dari golongan oksazolidindion ialah trimetadion yang

digunakan sebagai antiepilepsi tipe absans namun sudah jarang

digunakan (Utama dan Gan, 2012).


commit to user

16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4) Golongan suksinimid

Etosuksimid digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk

kejang tipe absans. Obat ini memiliki sedikit efek samping, termasuk

salah satunya adalah tidak adanya gangguan kognitif (Hadjiloizou

dan Bourgeois, 2007). Etosuksimid efektif pada bangkitan mioklonik

dan bangkitan akinetik (Utama dan Gan, 2012).

5) Karbamazepin

Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama untuk pasien

yang baru terdiagnosis epilepsi parsial, setelah berusia 2 tahun (Naik,

2009).

6) Golongan benzodiazepin

Diazepam sangat efektif untuk menghentikan aktivitas kejang

kontinu, terutama status epileptikus umum tonik-klonik (Katzung et

al., 2012). Klonazepam efektif terhadap kejang absans, kejang

mioklonik dan spasme infantil (Katzung et al., 2012). Nitrazepam

dapat digunakan untuk hipsaritmia, spasme infantil dan bangkitan

mioklonik namun lebih efektif dengan klonazepam (Utama dan Gan,

2012).

7) Asam valproat

Asam valproat digunakan untuk terapi epilepsi tonik-klonik

umum, terutama yang primer dan kurang efektif terhadap epilepsi

fokal (Utama dan Gan, 2012).

commit to user

17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8) Antiepilepsi lain

Seperti fenasemid, vigabatrin, lamotrigin, gabapentin, topiramat,

tiagabin, zonisamid, dan levetirasetam (Utama dan Gan, 2012).

Tabel 2.2. Dosis umum Obat Antiepilepsi anak (Epilepsy Council,


2010; Hadjiloizou dan Bourgeois, 2007).
Obat Antiepilepsi Dosis Harian Dosis / Hari
Awal : 5 mg/kg.
Karbamazepin 2-3
Pemeliharaan : 10-20 mg/kg.
Awal : 0,02 mg/kg.
Klonazepam 2-3
Pemeliharaan : 0,1-0,2 mg/kg.
Awal : 1,5 mg/kg (2-5 tahun),
0,9 mg/kg (6-11 tahun)
Diazepam 3
Pemeliharaan : sama dengan
dosis awal
Awal : 10 mg/kg
Etosuksimid 2-3
Pemeliharaan : 20-40 mg/kg
Awal : 10 mg/kg
Gabapentin 2-3
Pemeliharaan : 30-60 mg/kg
Awal : 0,6 mg/kg
Lamotrigin 1-2
Pemeliharaan : 5-15 mg/kg
Awal :
Levetirasetam 2
Pemeliharaan : 20-50 mg/kg
Awal : 10 mg/kg
Okskarbazepin 2
Pemeliharaan : 20-40 mg/kg
Awal : 15 mg/kg
Felbamat 2-3
Pemeliharaan : 15-45 mg/kg
Awal : 3-5 mg/kg
Fenobarbital 1-2
Pemeliharaan : 3-5 mg/kg
Fenitoin Awal : 5 mg/kg 1
commit to user

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pemeliharaan : 5 mg/kg
Awal : 0,1 mg/kg
Tiagabin 2-3
Pemeliharaan : 0,6-1 mg/kg
Awal : 0,5-1 mg/kg
Topiramat 2
Pemeliharaan : 3-9 mg/kg
Awal : 40 mg/kg
Vigabatrin 2
Pemeliharaan : 80-100 mg/kg
Awal : 10-20 mg/kg
Pemeliharaan : 20-40 mg/kg
Asam valproat 2
(anak di bawah 20 kg), 20-30
mg/kg (anak di atas 20 kg)

c. Mekanisme Obat Antiepilepsi

Mekanisme obat antiepilepsi meliputi (French dan Gazzola, 2013;

Stafstrom, 2010; Utama dan Gan, 2012) :

1) Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson.

Setelah membran depolarisasi, kanal Na+ akan terbuka dan

menjadi inaktif dalam dua fase kinetik: cepat dan lambat. Obat yang

memblok kanal Na+ dengan berikatan pada kanal Na+ dalam keadaan

aktif ialah fenitoin dan karbamazepin. Okskarbazepin, lamotrigin,

dan zonisamid bekerja dengan memfasilitasi kanal Na+ dalam

keadaan inaktif fase kinetik cepat.

2) Inhibisi kanal Ca2+

Kanal Ca2+ menyebabkan terjadinya fusi antara vesikel yang

mengandung neurotransmiter dengan membran terminal prasinaptik,

sehingga terjadi pengeluaran neurotransmiter. Etosuksimid bekerja


commit to user

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan memblok kanal Ca2+ tipe T pada neuron thalamus dan

lamotrigin memblok kanal Ca2+ teraktivasi voltase tinggi.

3) Peningkatan inhibisi GABA dengan cara menghambat degradasi

GABA, dan langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-.

Vigabatrin menghambat degradasi GABA dengan inhibisi enzim

yang digunakan untuk mengurai GABA yaitu GABA transaminase,

sedangkan tiagabin bekerja dengan memblok prasinaptik dan

astrositik transporter GABA. Benzodiazepin dan barbiturat bekerja

pada kompleks reseptor GABAA dan Cl-.

4) Penurunan eksitasi glutamat melalui blok reseptor NMDA dan

AMPA

Topiramat bekerja pada reseptor glutamat tipe kainate dan tipe

AMPA dan mengurangi eksitasi neuron. Felbamat memiliki

beberapa target dalam mekanismenya yaitu kanal Na+ fase kinetik

cepat, kanal Ca2+ teraktivasi voltase tinggi, reseptor GABA, dan

reseptor glutamat tipe N-metil-D-aspartat (NMDA).

Tabel 2.3. Mekanisme Obat Antiepilepsi (Stafstrom, 2010).

Blok kanal Blok kanal Peningkatan Antagonis Mekanisme


Na+ Ca2+ inhibisi reseptor ganda
GABA glutamat
PHT TPM BZD TPM VPA
CBZ LTG TGB FBM TPM
OXZ ESM VGB FBM
LTG PB PB
commit to user

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2.1. Mekanisme OAE yang meningkatkan inhibisi (A) dan mengurangi
eksitasi (B) (Stafstrom, 1998).

d. Prinsip Pemberian Obat Antiepilepsi pada Anak

Prinsip pemberian obat antiepilepsi pada anak berbeda dengan

dewasa, dikarenakan pada masa anak terdapat pertumbuhan dan

perkembangan otak yang berjalan terus menerus. Untuk menentukan

obat antiepilepsi spesifik yang akan diberikan harus dipikirkan apakah

obat tersebut benar sesuai indikasi atau tidak (Hadjiloizou dan

Bourgeois, 2007).

Pemberian pada anak harus benar-benar dipertimbangkan secara

masak, dengan mengingat efek yang berbeda terhadap fungsi kognitif

dan perilaku (Harsono, 2007). Selanjutnya, epilepsi pada anak lebih

memungkinkan untuk remisi dan kejang cenderung terjadi setelah terapi


commit to user
berhasil dan pemberhentian obat (Hadjiloizou dan Bourgeois, 2007).

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Anak penderita epilepsi memerlukan pengobatan sampai 2 tahun

bebas kejang, bukan 2 tahun minum obat, kecuali untuk jenis epilepsi

tertentu seperti epilepsi mioklonik juvenile yang memerlukan

pengobatan seumur hidup. Namun, pengobatan diteruskan hingga 3

tahun bebas kejang jika pada pemeriksaan EEG ulang masih terdapat

gelombang kejang setelah 2 tahun bebas kejang (Ikatan Dokter Anak

Indonesia (IDAI), 2016).

3. Fungsi Hati

a. Definisi

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat rata-

rata sekitar 1500 gram atau 2% berat badan orang dewasa normal (Price

dan Wilson, 2006). Hati berfungsi untuk sekresi garam empedu dalam

sistem pencernaan dan juga melakukan berbagai fungsi yang tidak

berkaitan dengan sistem pencernaan, antara lain (Sherwood, 2016) :

1) Memproses secara metabolis ketiga kategori utama nutrien

(karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zat-zat ini diserap dari

saluran cerna.

2) Mendetoksifikasi zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan senyawa

asing lain.

3) Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk

pembekuan darah dan yang untuk mengangkut hormon steroid dan

tiroid serta kolestrol dalam darah.

4) Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.


commit to user

22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5) Mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan

ginjal.

6) Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya

makrofag residennya.

7) Mengekskresikan kolestrol dan bilirubin, bilirubin adalah produk

penguraian yang berasal dari destruksi sel darah merah tua.

Fungsi detoksifikasi sangat penting dikarenakan hati bertanggung

jawab atas biotransformasi zat-zat berbahaya (misal, obat) menjadi zat-

zat yang tidak berbahaya melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau

konjugasi zat-zat yang dilakukan oleh enzim hati dan mengubahnya

menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif (Price dan Wilson, 2006).

b. Pengukuran fungsi hati

Tes fungsi hati (Liver Function Test / LFT) merupakan tes yang

paling sering digunakan untuk menilai fungsi hati, keparahan dari

penyakit hati dan efek terapi terutama efek pada hati setelah

menggunakan obat yang menginduksi kerusakan hati (DILI / drug-

induced liver injury) (Rahmioglu, 2009). Sel hati yang terdiri dari

hepatosit dan sel Kupffer dapat mengalami kerusakan yang dapat

dideteksi dengan transaminase hati (Sherwood, 2016; Chang et al.,

2013). Secara klinis, tes yang paling sering dilakukan dan merupakan

indikator yang spesifik untuk evaluasi derajat keparahan dari kerusakan

hati atau penyakit hati adalah SGOT dan SGPT. Hasil pemeriksaan

laboratorium yang ditemukan ketika terjadi gangguan fungsi hati ialah


commit to user

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

peningkatan SGOT dan SGPT. SGPT merupakan marker yang lebih

spesifik untuk mengevaluasi kerusakan hati dibanding SGOT (Bibiloni

et al., 2016).

1) Serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT)

Banyak dijumpai di jantung, otot-otot skelet dan ginjal.

Bebasnya enzim intra-seluler dari sel-sel yang rusak ke dalam

sirkulasi menyebabkan terjadinya peningkatan kadar SGOT dalam

serum ketika kerusakan hati terjadi (Hadi, 2013). Nilai normal

SGOT pada anak yaitu perempuan < 31 u/l dan laki-laki < 35 u/l di

RSUD Dr. Moewardi.

2) Serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT)

Dapat dijumpai dalam hati, sedangkan dalam jantung dan otot-

otot skelet agak kurang jika dibandingkan dengan SGOT. Kadar

dalam serum akan meningkat terutama pada kerusakan hati, jika

dibandingkan dengan kadar SGOT (Hadi, 2013). Nilai normal

SGPT pada anak yaitu perempuan < 34 U/L dan laki-laki < 45 u/l

di RSUD Dr. Moewardi.

c. Gangguan fungsi hati

Contoh obat yang dapat meningkatkan enzim hati yaitu obat anti

inflamasi nonsteroid, antibiotik, statin, antiepilepsi dan antituberkulosis

(Limdi dan Hyde, 2003). Insiden kerusakan hati akibat obat dilaporkan

terjadi pada 1 dari 10.000 hingga 1 dari 100.000 orang (Haque et al.,

2016). Usia, jenis kelamin, konsumsi alkohol, penyakit hati yang sudah
commit to user

24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ada sebelumnya, faktor genetik dan formulasi obat merupakan faktor

risiko terjadinya kerusakan hati akibat obat (Mehta et al., 2016). Faktor

lain yang juga menjadi risiko ialah dosis harian, interaksi obat dan

polifarmasi (Vuppalanchi dan Chalasani, 2013). Mekanisme kerusakan

hati akibat obat yaitu (Mehta et al., 2016) :

a) Kerusakan hepatosit

Ikatan kovalen antara obat dan protein intraselular

mengakibatkan penurunan adenosine triphosphate (ATP) sehingga

terjadi gangguan pada aktin. Pembongkaran fibril aktin pada

permukaan hepatosit mengakibatkan bleb dan rupturnya membran.

b) Gangguan transpor protein

Obat yang mempengaruhi transpor protein pada membran

kanalikular dapat mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses

pembentukan vili dan gangguan pada pompa transpor seperti pada

multidrug resistance-associated protein 3 (MRP3) menghambat

ekskresi bilirubin sehingga menyebabkan kolestasis.

c) Aktivasi sel T sitolitik

Ikatan kovalen antara obat dan enzim P450 dianggap imunogen,

mengaktifkan sel T dan sitokin dan merangsang respon imun

multifaset.

d) Apoptosis hepatosit

commit to user

25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF-α menyebabkan

berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel

terprogram (apoptosis).

e) Gangguan mitokondria

Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria pada

produksi energi β-oksidasi dengan inhibisi sintesis nikotinamid

adenin dinukleotid (NAD+) dan flavin adenin dinukleotid (FAD),

sehingga terjadi penurunan produksi ATP.

f) Kerusakan duktus biliaris / saluran empedu

Metabolit toksik yang diekskresikan dalam empedu dapat

menyebabkan kerusakan pada epitel saluran empedu.

4. Obat Antiepilepsi terhadap Fungsi Hati

Drug-Induced Liver Injury Network (DILIN) mendapatkan bahwa

antiepilepsi dan antipsikotik merupakan dua obat paling umum

menyebabkan kerusakan hati, dan lebih berpengaruh pada usia muda

dengan penyakit otak organik, keterlambatan perkembangan, gangguan

metabolik kongenital, atau malnutrisi (Chalasani et al., 2015). Kerusakan

pada sel hepatosit akan meningkatkan kadar SGOT dan SGPT dalam darah

(Aragon dan Younossi, 2010). Peningkatan SGOT dan SGPT dapat terjadi

hingga 50% pada pasien epilepsi karena pemberian obat antiepilepsi

seperti karbamazepin, fenitoin, dan asam valproat (Hussein et al., 2013).

Devarbhavi dan Andrade (2014) mendapatkan bahwa mayoritas obat

antiepilepsi yang menginduksi kerusakan hati berhubungan dengan


commit to user

26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pemberian obat antiepilepsi golongan lama seperti karbamazepin, asam

valproat, atau fenobarbital.

a. Lama penggunaan obat antiepilepsi

Jenis OAE yang berbeda dan lama pemakaian menimbulkan pola

kerusakan hati yang berbeda, yaitu (Haque et al., 2016) :

Tabel 2.4. Implikasi obat terhadap kerusakan hati (Haque et al., 2016).

Obat Antiepilepsi Lama Pemakaian Pola


Asam valproat 1-6 bulan Hepatoseluler atau
campuran, peningkatan
amonia, kadang asidosis
Fenitoin 0-3 bulan Hepatoseluler, kolestatik
Karbamazepin 1-3 bulan atau campuran ;
imunoalergik
Peningkatan rata-rata kadar SGOT dan SGPT dalam penelitian

Sonmez et al. (2006) didapatkan sebesar 2,2±1,0 U/L dan 1±2,0 U/L

pada 24 pasien yang menggunakan asam valproat setelah 12 bulan.

Simtom hepatotoksisitas akibat fenitoin pada kebanyakan pasien

muncul setelah 6 minggu sejak pemberian pertama fenitoin. Pada 2

bulan pertama setelah pemberian pertama karbamazepin terjadi

peningkatan kadar pada tes fungsi hati (Björnsson, 2008). Kadar SGOT

meningkat 1±3,3 U/L dan SGPT meningkat 7,8±0,7 U/L setelah 12

bulan terapi karbamazepin (Sonmez et al., 2006). Rata-rata kadar enzim

hati mengalami peningkatan secara signifikan pada bulan ke-3, 6, dan

12 setelah pemberian fenobarbital (Sonmez et al., 2006).

commit to user

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Usia penderita

Salah satu faktor risiko dari interaksi obat yang menginduksi

kerusakan hati (DILI) adalah usia (Kaplowitz dan DeLeve, 2013).

Risiko kerusakan hati terkait OAE meningkat pada anak berusia kurang

dari 24 bulan (Stargrove et al., 2008). Pada pemberian OAE multipel,

anak berusia kurang dari 2 tahun berisiko tertinggi mengalami

gangguan hati (Lopez dan Hendrickson, 2014). Pemberian asam

valproat berisiko tinggi pada anak berusia kurang dari 2 tahun dengan

keterlambatan perkembangan dan menerima beberapa obat

antikonvulsan (Squires, 2008).

c. Jenis pemberian obat antiepilepsi

Pemberian terapi dimulai dengan obat tunggal (Fenichel, 2009).

Pemberian obat kombinasi memungkinkan timbul risiko pada interaksi

farmakokinetika dan farmakodinamika (French dan Gazzola, 2013).

Pemberian obat tunggal atau monoterapi berpotensi mengalami

interaksi obat yang merugikan lebih sedikit daripada politerapi (St.

Louis et al., 2009). Masalah yang timbul dari politerapi yaitu (Fenichel,

2009) :

1) Antar obat saling berkompetisi menempati tempat ikatan protein

2) Obat pertama dapat meningkatkan laju dan jalur katabolisme obat

kedua

3) Terdapat akumulasi toksisitas

4) Kepatuhan lebih sukar


commit to user

28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d. Mekanisme obat antiepilepsi terhadap fungsi hati

1) Asam valproat

Biotransformasi asam valproat di hati merupakan jalur eliminasi

utama valproat dimana terjadi proses glukuronidasi, β-oksidasi, dan

ω-oksidasi (Ahmed dan Siddiqi, 2006). Beberapa mekanisme

kerusakan hati akibat asam valproat yaitu (Björnsson, 2008) :

a) Kombinasi antara asam valproat dan karnitin dapat menghabiskan

simpanan karnitin di dalam tubuh, dimana karnitin merupakan ko-

faktor penting dalam proses β-oksidasi asam lemak di

mitokondria.

b) Menghambat oksidasi asam lemak rantai panjang dalam

mitokondria dengan menginhibisi ketersediaan koenzim A (CoA).

c) Menghambat enzim yang terlibat dalam β-oksidasi melalui

metabolit hepatotoksik.

Pada dewasa jalur eliminasi utama pada metabolisme asam

valproat adalah glukuronidasi, sedangkan pada bayi dan anak kecil

asam valproat lebih banyak dimetabolisme melalui mitokondria dan

biotransformasi dengan CYP. Induksi CYP oleh obat antiepilepsi

enzim induser secara teoritis dapat meningkatkan pembentukan 4-

ene-VPA, mendorong lebih banyak substrat melalui jalur β-oksidasi,

dan meningkatkan risiko stres mitokondria dan hepatotoksisitas

(Ghodke-Puranik et al., 2013). Pemberian asam valproat pada 16

commit to user

29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

responden menyebabkan perubahan SGPT pada 6,25% responden

dalam penelitian Hussein et al. (2013).

Gambar 2.2. Metabolisme asam valproat (Ghodke-Puranik et al., 2013).

2) Fenitoin

Terdapat proporsi yang cukup tinggi pada pasien dengan terapi

fenitoin mengalami peningkatan serum aminotransferase (SGOT dan

SGPT) (LiverTox, 2017). Dalam penelitian Hussein et al. (2013)

didapatkan perubahan kadar SGOT 5,88% dan SGPT 17,65% pada

17 pasien epilepsi yang dilakukan penelitian. Sekitar 10% dari efek

samping yang timbul dari penggunaan fenitoin adalah kerusakan hati

yang dapat terjadi karena reaksi hipersensitivitas dan menyerupai

kasus hepatotoksisitas imunoalergik (Björnsson, 2008; LiverTox,

2017). Disfungsi hati yang disebabkan oleh fenitoin pada reaksi


commit to user

30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hipersensitivitas disertai demam, ruam kulit, limfadenopati, nefritis,

dan eosinofilia darah perifer (Shorvon et al., 2009). Hipotesis arena

oksida menjadi mekanisme timbulnya hepatotoksisitas, dimana

fenitoin dimetabolisme di hati diubah menjadi p-HPPH

(hidroksifenitoin) melalui perantara arena oksida reaktif (Thorn et

al., 2012).

Gambar 2.3. Alur metabolisme fenitoin (Thorn et al., 2012).

3) Karbamazepin

Metabolisme karbamazepin terjadi di hati dengan mengubah

karbamazepin menjadi metabolit 3-OH-CBZ dan 2-OH-CBZ melalui

hidroksilasi oleh perantara epoksida yang sama seperti arena oksida

sehingga terjadi pembentukan hapten. Pada tempat pembentukan

hapten terdapat keterlibatan sistem imun yang menyebabkan

commit to user

31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terjadinya kerusakan pada jaringan termasuk hati (Thorn et al., 2011;

Pandit et al., 2012).

Gambar 2.4. Alur metabolisme karbamazepin (Thorn et al., 2011).

4) Fenobarbital

Fenobarbital dimetabolisme di hati oleh CYP2C9 (Pacifici,

2016). Fenobarbital dapat mengurangi kadar karnitin yang

merupakan penyusun utama untuk produksi energi mitokondria

(Rakel, 2007). Aktivitas utama karnitin adalah transpor asam lemak

rantai panjang ke membran mitokondria untuk β-oksidasi (Campistol

et al., 2000). Monoterapi dengan fenobarbital menurunkan level

karnitin lebih signifikan daripada monoterapi dengan asam valproat

(Stargrove et al., 2008). Fenobarbital mengakibatkan peningkatan

asimtomatik SGOT dan SGPT, hepatotoksisitas tergantung dosis,

atau reaksi idiosinkratik (Husain, 2015). Arena oksida yang

dihasilkan melalui metabolisme oksidatif (CYP) dari antikonvulsan


commit to user

32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

seperti fenobarbital dapat memulai patogenesis beberapa reaksi

hipersensitivitas. Arena oksida dapat berikatan dengan

makromolekul seluler sehingga mengganggu fungsi sel dan inisiasi

respons imunologis (Kliegman et al., 2016). Mekanisme

hepatotoksisitas terjadi dari reaksi hipersensitivitas atau respons

imunologis terhadap kompleks obat-protein yang dihasilkan dari

metabolisme. Reaksi hipersensitivitas dengan onset demam, ruam,

edema wajah, limfadenopati, peningkatan hitungan sel darah putih

dan eosinofilia terjadi 1 minggu sampai beberapa bulan setelah mulai

terapi (LiverTox, 2017).

commit to user

33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran

Variabel bebas
Obat Antiepilepsi

Asam Valproat Karbamazepin Fenitoin Fenobarbital

Kehilangan Hidroksilasi oleh Reaksi Penurunan


simpanan epoksida hipersensitivitas level karnitin
karnitin
Pembentukan Menjadi
Inhibisi hapten Reaksi
oksidasi metabolit p- hipersensitivitas
asam lemak HPPH oleh
arena oksida
Inhibisi enzim
untuk β-oksidasi
Metabolisme Hepar
Faktor lain:
Lama penggunaan OAE
Kerusakan hati 1. Jenis kelamin
Usia penderita
2. Genetik
Jenis pemberian OAE
3. Dosis obat
Pelepasan enzim 4. Alkohol
hati ke pembuluh 5. Riwayat penyakit hati

Variabel terikat
Kadar fungsi hati:
SGOT ­
SGPT ­

Penurunan fungsi hati

Gambar 2.5. Kerangka pemikiran

Keterangan
: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak


diteliti
commit to user
: variabel luar

34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis Penelitian

Terdapat pengaruh antara jenis pemberian politerapi, lama penggunaan

panjang, dan usia penderita lebih muda dengan kadar fungsi hati penderita

epilepsi anak.

commit to user

35

Anda mungkin juga menyukai