Anda di halaman 1dari 23

TUGAS FARMAKOTERAPI III

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Nama Kelompok 3:
1. Dwani Yuliasih (G1F0130)
2. Ratna Mutiara (G1F013017)
3. Siti Rohmatillah H (G1F0130)
4. Isrohatun Sya’diah (G1F0130)
5. Firrizki Adam (G1F0130)
6. Tofik Hidayat (G1F0130)
7. Hertian Pratiwi (G1F0130)
8. Puspita Kusuma P (G1F0130)
9. Dian Meilani D A (G1F013081)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

I. DEFINISI
Ada beberapa pengertian penyakit Benign Prostate Hyperplasia (BPH) menurut
beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam
prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat
tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan
obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran
kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau
lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat
mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar
ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
4. Secara klinikal, menurut NCI: Definition of Cancer Terms, BPH adalah suatu
pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh hiperplasia beberapa atau
semua komponen dari prostat yang meliputi jaringan dari kalenjar maupun
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan terjadinya penyumbatan uretra prostat
dan brsifat non-kanker.
5. Secara histologi, BPH dapat didefenisikan sebagai pembesaran nodular secara
regional dengan kombinasi poliferasi stroma dan glandular yang berbeda (Berry
SJ, 1984). Ini dapat kita dinyatakan secara khusus, bahwa BPH ini merupakan
suatu penyakit yang ditandai dengan adanya peningkatan sel epitel dan sel stroma
di dalam daerah periurethra pada prostat (gambar 1).
Gambar 1. Histopatologi BPH Gambar 2. Perbedaan kelenjar prostat pada
menunjukkan adanya terjadi pembesaran orang normal dan BPH (Berry SJ, 1984)
nodular kalenjar prostat (Berry SJ, 1984).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat


Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh
proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang
mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan
kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan (gambar 2).
II. PATOFISIOLOGI

Gambar 3. Pathophysiology of metabolic syndrome.


(HPA = hypothalamic–pituitary adrenal axis; IGF-1 = insulinlike growth factor 1; TNF-a =
tumour necrosis factor 1; IL-6 = interleukin-6; CRP = C-reactive protein; PAI-1 =
plasminogen activator inhibitor 1; HDL = high-density lipoprotein; LDL = low-density
lipoprotein)

Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa


majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot
polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-
lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-
buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase
kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika
urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi
alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).

Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan


aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi
urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan
didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong
setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek
(nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan
ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria (Purnomo,
2011).

Tekanan vesika yang lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat
bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

III. TANDA GEJALA


Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru yang terjadi ketika
neoplasma telah menekan lumen urethra prostatika, urethra menjadi panjang
(elongasil), sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran
noduler ini tidaklah berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan
yang lain dengan kelenjar prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya
sedikit, karena dapat ditoleransi dengan baik. Tingkat keparahan penderita BPH
dapat diukur dengan skor IPSS (Internasional Prostate Symptom Score) diklasifikasi
dengan skore 0-7 penderita ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat
(Rahardjo,1997).
Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok:
1. Gejala obstruktif
Terjadi karena penyempitan uretra pars prostatica karena didesak oleh
prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup
kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus (Sjamsuhidajat,
2005). Gejala obstruktif BPH terdiri dari pancaran melemah (poor stream),
harus menunggu lama pada permulaan miksi (hesistency), miksi terputus-
putus (intermittency), harus mengejan saat buang air kecil (straining), menetes
pada akhir miksi (terminal dribbling), dan rasa belum puas setelah miksi
(incomplete emptying) (Nickel, 2008).
Obstruksi saluran kemih pada BPH menyebabkan terjadinya retensi
urine akut. Retensi urine akut ditemukan pada hampir sepertiga penderita
BPH yang menjalani terapi bedah (Muruganandham, Dubey, dan Kapoor,
2007).
Gejala obstruktif antara lain :
1) Harus menunggu pada permulaan miksi (hesistancy)
2) Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
3) Miksi terputus (intermittency)
4) Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling)
5) Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder
emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat
masih tergantung tiga faktor, yaitu :
1) Volume kelenjar periuretral
2) Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3) Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala


obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretral sudah membesar
dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun,
tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot
detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.

2. Gejala iritatif
Disebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada
saat miksi atau karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
kandung kemih, sehingga kandung kemih sering berkontraksi meskipun belum
penuh (Sjamsuhidajat, 2005). Gejala iritatif terdiri dari sering miksi
(frequency), miksi sulit ditahan (urgency), buang air kecil malam hari lebih
dari satu kali (nocturia), dan nyeri saat miksi (disuria) (Nickel, 2008).
Gejala iritatif antara lain:
1) Bertambahnya frekuensi miksi (frequency)
2) Nokturia
3) Miksi sulit ditahan (urgency)
4) Disuria (nyeri pada waktu miksi)

Kumpulan gejala yang ditandai dengan gejala obstruktif dan iritatif pada
saluran kemih disebut Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) (As’ari, et al., 2008).
Lebih dari 50% pria berusia di atas 50 tahun mengalami sebagai manifestasi klinis
dari BPH (Nickel, 2008). Pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur/ Digital
Rectal Examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,
walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan
derajat obstruksi (Sjamsuhidajat, 2005).
Pembesaran prostat jinak terbagi dalam empat derajat berdasarkan gambaran
klinisnya.
1. Derajat I: pada colok dubur didapatkan penonjolan prostat dengan batas atas
mudah diraba. Sisa volume urine < 50 mL.
2. Derajat II: pada colok dubur didapatkan penonjolan prostat jelas dengan batas atas
dapat dicapai. Sisa volume urine 50-100 mL.
3. Derajat III: pada colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba. Sisa volume
urine >100 mL.
4. Derajat IV: terdapat retensi urine total (Sjamsuhidajat,2005).
IV. TATALAKSANA TERAPI

Gambar 4. algoritma terapi BPH (diadopsi dari Di Piro, 2008)

A. Prinsip penanganan:
Penentuan terapi ditentukan pada tingkat keparahan dari gejala dan tingkat
gangguan yang dialami pasien (Nieckel, J.C., et.al., 2010). Diagnosis BPH dapat
ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan awal dan berbagai pemeriksaan
tambahan. Bila terdapat masalah berkemih maka Anamnese, Pemeriksaan Fisik
(DRE= Digital Rectal Examination), Pemeriksaan Laboratorium (PSA=Prostate-
specific antigen) dan terkadang Biopsi dan Ultrasonografi (TRUS = TransRectal
UltraSonography ataupun TAUS= TransAbdominal UltraSonography) digunakan
untuk menemukan jenis kelainan dari prostat (BPH, kanker prostat atau
prostatitis).
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya
gejala serta untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan akibat pembesaran
prostat dibuatlah sistem skoring yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung
sendiri oleh pasien. Sistem yang dianjurkan oleh WHO ini adalah International
Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini juga berguna untuk menilai dan
memantau keadaan pasien BPH (Barry et al, 1992; Mc Nicholas et al, 2011).
Analisis gejala ini terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan LUTS yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total
maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia) dan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup (quality of life
atau QoL) yang terdiri atas tujuh kemungkinan jawaban. LUTS dibagi atas ringan
(IPSS 0-7), sedang (IPSS 8-19) atau berat (IPSS 20-35) tergantung pada
banyaknya gejala yang mengganggu kualitas hidup dan aktivitas penderita.
Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seseorang pasien
memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring > 7 berarti pasien perlu
mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain.
Standar perawatan : Pasien dengan gejala ringan dapat dilakukan modifikasi
gaya hidup dan watcful waiting. Penanganan pasien dengan gejala sedang (IPSS
8-18) dan gejala berat (IPSS 19-35) dapat dengan modifikasi gaya hidup dan
penanganan medis secara invasive atau dengan terapi operasi (Nickel. J.C., et.al.,
2010)
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Bila LUTS dikaitkan dengan BPH, tingkat gangguan dari gejala atau yang
mempengaruhi kualitas hidup harus dipertimbangkan disaat menentukan pilihan
tatalaksana terbaik. Masalah medis yang lain mungkin dapat mempengaruhi
tatalaksana BPH.

Tabel 1. Quesioner IPSS


B. Terapi Farmakologi

Tabel 1. Opsi Terapi farmakologi BPH (diadopsi dari Di Piro, 2008)

1. Alpha adrenergic antagonist


Tiga generasi α-blocker sudah digunakan untuk terapi BPH. α-blocker bekerja
merelaksasikan otot polos pada prostat dan leher kandung kemih dengan
memblok reseptor α. Ketidak selektifan generasi pertama menyebabkan efek
samping (takikardi dan aritmia) karena alfa blocker ini juga dapat memblok
reseptor α2 di presinap. Generasi kedua dan ketiga ini memblok selektif
reseptor α1 adrenergik postsinap, khususnya generasi ketiga selektif pada
reseptor α1A adrenergik di prostat. Selanjutnya penggunaan generasi pertama
diganti generasi 2 dan 3. α blocker ini tidak mempunyai efek menurunkan
volume kelenjar prostat (Di Piro, 2008)
Tabel 2. Dosis α1-adrenergik antagonis untuk BPH (diadopsi dari Di Piro, 2008)

2. 5 Alpha-reductase inhibitor
5 Alpha-reductase inhibitor bekerja dengan menghambat 5α-reductase tipe II
secara kompetitif, sehingga menekan produksi DHT intraprostat dan
menurunkan level serum DHT. DHT (dihidrotestosteron) merupakan metabolit
aktif dari testicular androgen dan adrenal androgen dengan bantuan 5 Alpha-
reductase. Ada dua tipe DHT yaitu tipe I yang menyebabkan timbulnya
jerawat, melebatkan rambut tubuh dan wajah, dan pola kebotakan pada pria.
sedangkan tipe II terletak di prostat, jaringan di kemaluan, tipe II ini
menstimulasi pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat. 5α reduktase
inhibitor telah menunjukkan dapat menunda perkembangan penyakit dengan
menghambat pembesaran kelenjar prostat (Di Piro, 2008).
Tabel 3. Perbandingan α1-adrenergik antagonis dan 5α-reduktase inhibitor (diadopsi
dari Di Piro, 2008)

3. Kombinasi Terapi (Alpha blocker dan 5 Alpha-reductase inhibitor)


Kombinasi alpha-adrenergic receptor blocker dan 5 alpha-reductase inhibitor
adalah pilihan yang baik dan efektif dalam strategi penanganan untuk pasien
dengan BPH yang parah (pembesaran kelenjar prostat sampai 40 g).
Kelemahan penggunaan kombinasi yaitu peningkatan biaya dan peningkatan
timbulnya efek samping obat (Di Piro, 2008).

4. Peranan pengobatan Antikolinergik


Antikolinergik bekerja dengan memblok reseptor muskarinik di otot kandung
kemih. Golongan ini dapat mengurangi kontraksi otot kandung kemih (gejala
berkepanjangan dari obstruksi kandung kemih dari BPH) sehingga dapat
mengurangi frekuensi dan urgensi berkemih. Antikolinergik mempunyai efek
samping pada system saraf pusat dan mulut kering sehingga penggunaannya
harus dimulai dari dosis terendah kemudian perlahan dinaikkan. antikolinergik
juga dapat menyebabkan retensi urin akut. Penggunaan obat golongan ini
harus hati-hati dan dipantau secara ketat (Di Piro, 2008).
C. Terapi Intervensi
1. Pembedahan
Indikasi pembedahan adalah:
- Retensi urin kronik
- Hematuria
- Batu kandung kemih
- Penurunan fungsi ginjal
- kegagalan terapi medis
- penonjolan prostat ke intravesikal > 1.5 cc (Wein, 2008)
Jenis pembedahan yang dapat dilakukan antara lain.
a. TURP (Transurethral Resection of the Prostate)
TURP dilakukan dengan endoskopi resektoskop yang dimasukkan
melalui uretra untuk menghapus dalam inti prostat. Hal tersebut
dilakukan untuk memperbesar pembukaan uretra di leher kandung
kemih. TURP dilakukan hanya pada pria dengan pembesaran prostat
yang kurang dari 50g sehingga reseksi dapat diselesaikan dalam waktu
kurang dari 1 jam. Biasanya terapi ini dilakukan sebagai operasi rawat
jalan. Efek samping dari pembedahan ini antara lain berkurangnya
kemampuan ejakulasi (terjadi pada 75% pasien), perdarahan, disfungsi
ereksi (terjadi pada 2 sampai 15%). 12 hingga 15% pasien melakukan
pembedahan yang kedua setelah 8 tahun pembedahan pertama (DiPiro,
2005).

Gambar 5. Transurethral resection of the prostate


b. Prostatektomi terbuka
Pria dengan prostat yang lebih besar ( > 50 g ) memerlukan prosedur
bedah terbuka (Prostatektomi terbuka), yang dapat dilakukan retro atau
suprapubically. Prosedur ini memerlukan rawat inap untuk setidaknya
beberapa hari, anestesi, dan waktu penyembuhan lebih lama. Efek
samping prostatektomi terbuka antara lain perdarahan, infeksi jaringan
kemih, berkurangnya kemampuan ejakulasi (terjadi pada 77 % pasien),
disfungsi ereksi (terjadi pada 16 % pasien). 3 sampai 5% pasien
melakukan pembedahan yang kedua setelah 10 tahun pembedahan
pertama (DiPiro, 2005).

Gambar 6. prostatektomi terbuka


2. Invasif Minimal
Sebuah tren baru dalam pengobatan bedah untuk pasien BPH adalah invasif
minimal. Prosedur ini menggunakan sumber energi, (misalnya, panas, dingin,
atau laser) untuk menghilangkan jaringan prostat yang berlebihan,
memerlukan waktu yang lebih singkat yang pendek (beberapa menit),
memiliki potensi yang lebih rendah untuk menghasilkan efek yang merugikan,
dan lebih murah dari terapi obat yang berkelanjutan.Kerugian dari semua
prosedur bedah minimal invasif adalah bahwa banyak pasien mungkin
memerlukan pengobatan ulang setelah melakukan prosedur (DiPiro, 2005).
a. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Dari berbagai prosedur yang tersedia, hanya (TUIP) yang telah dievaluasi
secara menyeluruh. Prosedur ini sangat ideal untuk pasien dengan gejala
BPH sedang atau berat yang mengalami pembesaran prostat kelenjar
kurang dari 30 g. TUIP sama efektifnya dengan TURP, tetapi
membutuhkanwaktu pembedahan yang lebih singkat, sehingga
kemungkinan kekurangan darah lebih rendah, dan efek samping yang
dihasilkan lebih sedikit. TUIP dilakukan dengan membuat 2-3 sayatan di
leher kandung kemih untuk memperluas pembukaan. Sayatan ini dibuat
menggunakan resectoscope endoskopi (DiPiro, 2005).

Gambar 7. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)

b. Transurethral microwave therapy (TUMT)


TUMT adalah pembedahan untuk pasien yang memiliki gejala sedang,
ukuran kelenjar kecil sampai sedang dan menghindari terapi yang lebih
invasif. TUMT kurang efektif dibandingkan dengan tingkat pengulangan
pengobatan yang lebih tinggi. Prinsip umum yang mendasari TUMT
adalah bahwa antena microwave yang berada dalam kateter uretra
ditempatkan di daerah intraprostatic uretra. Kateter terhubung ke kotak
kontrol di luar tubuh pasien dan menghasilkan radiasi gelombang mikro ke
dalam prostat untuk memanaskan jaringan dan menyebabkan nekrosis.
Satu kali pengobatan berlangsung sekitar 30 menit sampai 1 jam,
tergantung pada sistem yang digunakan (Nickel, 2010).

Gambar 8. Transurethral microwave therapy


c. Transurethral needle ablation (TUNA)
Transurethral needle ablation (TUNA) adalah prosedur yang digunakan
untuk mengobati benign prostatic hyperplasia (BPH). Pengobatan ini
dilakukan dengan menempatkan jarum interstitial frekuensi radio (RF)
melalui uretra dan masuk ke lobus lateral prostat, menyebabkan nekrosis
koagulasi akibat panas. Jaringan tersebut dipanaskan sampai 110 ° C pada
daya RF dari 456 kHz selama kurang lebih 3 menit per lesi (Nicholas,
2014).
Terapi minimal invasif umumnya merupakan langkah berikutnya setelah
manajemen medis gagal. Terapi ini juga merupakan pengobatan utama
untuk pasien yang tidak tertarik dalam terapi medis dan tidak mau
menjalani TURP. Umumnya, pasien yang ideal untuk TUNA adalah
seorang pria dengan gejala obstruktif dan prostat 60 g atau kurang dengan
lobus didominasi lateral (Nicholas, 2014).

Gambar 9. Transurethral needle ablation

d. Stent
Stent merupakan pengobatan BPH pada pasien dengan obstruksi kemih
parah sekunder. Penyisipan stent prostat dalam saluran kemih pada laki-
laki dengan obstruksi sekunder prostat jinak dari benign prostatic
hyperplasia telah terbukti efektif. Stent permanen seperti Urolume dan
Memokath menawarkan alternatif pengobatan berkhasiat dan aman untuk
pria dengan obstruksi kandung kemih dari benign prostatic hyperplasia
yang dianggap beresiko tinggi untuk pembedahan (reseksi transurethral
tradisional prostat) (Vanderbrink, 2007). Operasi (Nickel, J.C., et al.,
2010).
V. MONITORING EVALUASI
1. Laju aliran urin
Pengukuran laju aliran urin adalah bersifat opsional. Hal ini bertujuan untuk
mengevaluasi penilaian diagnostik awal dan selama atau setelah terapi untuk
mengkonfirmasi respon. Puncak laju (Qmax) adalah penentuan tunggal yang
terbaik untuk memperkirakan probabilitas dari seorang pasien yang akan
mengalami obstruksi, minimal 2 tingkat laju aliran harus diperoleh, idealnya
keduanya dengan volume yang lebih besar dari 150 mL urin.

Gambar 10. Alat untuk mengukur laju aliran urin (Smeltzer,2002).

Secara umum deskripsi dari alat ini dimulai dari input, pemrosesan dan output.
Proses input adalah urin yang keluar dari proses berkemih dan dialirkan melalui
kincir. Perputaran kincir akibat aliran air urin akan membuat piringan bercelah
yang dihubungkan kekincir ikut berputar. Perputaran piringan bercelah ini akan
dicacah menggunakan optocoupler. Dengan pengkondisi isyarat keluaran sensor
disesuaikan dengan kebutuhan masukan mikrokontroler AT Mega16 yang
digunakan sebagai pencacahan kemudian data hasil hasil cacahan dikirim ke PC
menggunakan komunikasi serial UART.

2. Urin residual
Urin residual yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini
dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan
kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan
ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post
voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong,
sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika.
Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk
melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi. Keuntungan yaitu dalam
penentuannya sebaiknya dilakukan dengan ultrasonografi transabdominal
noninvasive karena menghasilkan evaluasi volume BPH dalam saluran kemih.
Kerugian yaitu variabilitas dari intra-individu, tes harus diulang untuk
meningkatkan presisi, terutama jika sisa volume urin pertama adalah signifikan
dan menunjukkan perubahan dalam perencanaan terapi.

3. Pengujian aliran tekanan urin


Studi aliran tekanan urin, meskipun invasif, adalah satu-satunya tes yang langsung
mengukur kontribusi relatif dari kandung kemih, saluran kemih, dan prostat untuk
menurunkan fungsi salura kemih, disfungsi, atau LUTS. Pengujian ini tidak
diindikasikan dalam evaluasi rutin pria dengan LUTS atau untuk memprediksi
respons terhadap terapi medis tetapi mungkin bermanfaat dalam kasus-kasus di
mana Qmax lebih besar dari 10 mL per detik untuk menentukan kebutuhan terapi
invasif untuk menghilangkan BOO. Keuntungan monitoring adalah Baik untuk
kelenjar besar, banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat, operasi
banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit dan kerugiannya
adalah tidak dianjurkan untuk BPH yang besar dan keterampilan khusus dalam
memonitoring. Tujuan pemeriksaan aliran tekanan urin adalah satu-satunya
metode dengan potensi untuk membedakan laki-laki dengan laju aliran urin
rendah. Aliran tekanan urin rendah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan
uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau
daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal
tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-
Griffiths Nomogram (Gambar 11). Dengan cara ini maka sekaligus tekanan
intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.

Gambar 11. Monitoring aliran tekanan urin (Abrams-Griffiths Nomogram)


(Smeltzer,2002)
4. Pengamatan prostat dengan Transabdominal atau transrektal Ultrasound
Tujuan dilakukan pemeriksaan ini ketika urin sisa ditentukan dengan
ultrasonografi transabdominal dengan menghasilkan mesin realtime gambar B-
mode, bentuk prostat, ukuran, konfigurasi dan tonjolan ke dalam kandung kemih
dapat dievaluasi secara bersamaan. Di luar konteks ini, pengamatan dari prostat
dengan USG transabdominal atau transrectal adalah opsional pada pasien tertentu.
Keberhasilan pengobatan tertentu mungkin tergantung pada karakteristik anatomi
kelenjar prostat (misalnya, terapi hormonal, termoterapi, atau sayatan transurethral
dari prostat). Ketika pengobatan direncanakan, transabdominal atau TRUS dapat
digunakan untuk menilai ukuran prostat dan bentuk. Pada pria dengan PSA serum
meningkat di atas rentang referensi yang diterima, TRUS adalah metode pilihan
untuk mengevaluasi prostat dan untuk memandu jarum dari area yang
mencurigakan, atau untuk melakukan biopsi sistematis untuk menyingkirkan
kanker prostat. Keuntungan pengamatan menggunakan transekal ultrasound yaitu
mengidentifikasi kelainan struktural atau anatomi, portabel, dan mudah
digunakan dengan biaya yang murah dibandingkan dengan metode lainnya, tidak
ada masalah kesehatan yang timbul dari dan kerugian yaitu tidak dapat diandalkan
untuk mendeteksi refluks vesicoureteral , panas yang dihasilkan dapat membentuk
gelembung udara. Efek ini memang hanya memiliki pengaruh kecil, namun secara
keseluruhan prosedur adalah aman.

Gambar 12. Monitoring transrektal Ultrasound (Smeltzer,2002)

5. Pengamatan Saluran Kemih Atas dengan Ultrasonografi


Tujuan dilakukan pemeriksaan pencitraan ini adalah mempekirakan volume BPH,
menentukan derajat disfungsi buli – buli dan volume residu urin, dan mencari
kelainan patologi lainnya baik yang berhubungan dengan BPH maupun tidak.
Meskipun pengamatan saluran kemih bagian atas dengan computerized tomografi
(atau urografi intravena atau ultrasonografi) tidak dianjurkan sebagai prosedur
rutin, metode tersebut dapat diindikasikan pada pasien dengan 1 atau lebih tanda-
tanda atau gejala, riwayat infeksi saluran kemih bagian atas (ISK ) atau urolitiasis,
insufisiensi ginjal (dalam hal ini ultrasonography), dan baru-baru ini enuresis
nokturnal onset. Pengamatan saluran atas juga diindikasikan untuk hematuria
(mikroskopik atau makroskopik) jika penyakit ginjal primer yang tidak hadir atau
jika salah satu dari berikut yang hadir pada pasien dengan temuan mikroskopis:
sejarah merokok; paparan bahan kimia atau pewarna; sejarah hematuria gross;
usia lebih dari 40 tahun; gangguan urologi sebelumnya atau penyakit; sejarah
gejala iritasi berkemih; atau riwayat ISK berulang (AUA Best Practice Pernyataan
asimtomatik mikroskopik Hematuria). Keuntungan yaitu bersifat invasive,
memberikan gambaran dan informasi yang jelas, sehingga dokter dapat
mendiagnosa dan memberikan pengobatan yang tepat mulai tanpa harus
melakukan pembedahan, diagnosa kelainan tentang kerusakan. Kerugian yaitu
selalu ada kemungkinan terjadinya kanker akibat paparan radiasi yang diperoleh.

Gambar 13. Pengamatan saluran kemih atas dengan ultrasonografi tampak ukuran
prostat membesar,tampak indentasi caudal ke buli-buli (Smeltzer,2002).

6. Endoskopi dari Saluran Kemih Bagian Bawah


Tujuan dilakukan evaluasi endoskopi saluran kemih bagian bawah tidak
dianjurkan pada pasien yang sehat dengan evaluasi awal sesuai dengan BOO,
meskipun memiliki indikasi tertentu seperti yang dijelaskan sebelumnya untuk
pengamatan. Ada alternatif pengobatan di mana keberhasilan atau kegagalan
tergantung pada konfigurasi anatomi prostat (misalnya, sayatan transurethral dari
prostat, termoterapi, dll). Endoskopi dianjurkan jika dianggap membantu ketika
pengobatan alternatif tersebut dapat memberikan identifikasi yang baik terhadap
gangguan prostrat. Keuntungan yaitu endoskopi umumnya tidak menimbulkan
rasa sakit meskipun masih dapat merasakan beberapa ketidaknyamanan,
dibanding dengan prosedur operasi penuh (operasi besar), sederhana, resiko
rendah, cepat dalam pemulihannya, dan biaya yang efektif. Kerugian yaitu infeksi
robeknya organ, perdarahan yang berlebihan, dan reaksi alergi terhadap anestesi.

Gambar 14. Monitoring Endoskopi BPH (Smeltzer,2002).

VI. KESIMPULAN
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat
yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun
keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan. Tatalaksana
terapi yaitu alpha blocker, 5 Alpha-reductase inhitor, Antikolinergik,
Phosphodiasterasi Inhibitor, Phytoterapi atau Operasi.
DAFTAR PUSTAKA

American Urological Association. 2010. American Urological Association Guideline:


Management of Benign Prostatic Hyperplasia. American Urological
Association Education and Research, Inc.

As’ari M., Alif S., Santoso A., Widodo J.P. 2008. Hubungan antara derajat intravesical
prostatic protrussion dengan Q max, volume prostat, dan international
prostate symptom score pada pasien BPH dengan LUTS tanpa
komplikasi. Disertasi.

Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Reproduksi & Seksualitas. EGC : Jakarta

Berry, SJ. (1984). The development of human benign prostatic hyperplasia with age. 132 (3),
474- 479.

Dipiro, J.T., et al, 2005, Handbook of Pharmacotherapy Sixth edition, The Mc. Graw Hill
Company, USA.

Di Piro, 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th edition, McGraw-Hill


Companies, USA.

Muruganandham K., Dubey D., Kapoor R. 2007. Acute urinary retention in benign prostatic
hyperplasia: Risk factors and current management. Indian J Urol. 23: 347-53.

Nicholas, A. M., 2014, Transurethral Needle Ablation of the Prostate (TUNA), diakses dari
http://emedicine.medscape.com pada tanggal 16 Maret 2016.

Nickel J.C. 2008. Inflammation and benign prostatic hyperplasia. Urol Clin North Am. 35(1) :
109–15.

Nickel, J.C., et al., 2010, Guidelines for the management of benign prostatic hyperplasia,
Canadian Urological Assosiation, Vol 4 (5): 310-316

Nunzio, C D., et al., 2012, The Correlation Between Metabolic Syndrome and Prostatic
Diseases, European Urology, 61 (560 – 570).

Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi,. Jakarta: Sagung Seto

Price, S. A dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,


Edisi 6, Volume 2, Alih Bahasa Brham,..(dkk). EGC: Jakarta

Raharjo D. 1997. Pembesaran Prostat Jinak Manifestasi Klinik Dan Manajemen. Ropanasuri
: Jakarta; 15(1) : 37-44

Sjamsuhidayat, R. dan De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Copy Editor: Adinda
Candralela. EGC : Jakarta
Smeltzer, S dan Bare, B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth, Edisi 8, Volume 2, Alih bahasa oleh Kuncara..(dkk). EGC: Jakarta

Vanderbrink, B. A., Rastinehad, A. R., Badlani, G. H., 2007. Prostatic Stents for the
Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia, Curr Opin Urol, 17(1): 1-6

Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, 2008, Campbell’s Urology,
Philadelphia, Saunders.

Anda mungkin juga menyukai