Nama Kelompok 3:
1. Dwani Yuliasih (G1F0130)
2. Ratna Mutiara (G1F013017)
3. Siti Rohmatillah H (G1F0130)
4. Isrohatun Sya’diah (G1F0130)
5. Firrizki Adam (G1F0130)
6. Tofik Hidayat (G1F0130)
7. Hertian Pratiwi (G1F0130)
8. Puspita Kusuma P (G1F0130)
9. Dian Meilani D A (G1F013081)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
I. DEFINISI
Ada beberapa pengertian penyakit Benign Prostate Hyperplasia (BPH) menurut
beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam
prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat
tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan
obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran
kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau
lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat
mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar
ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
4. Secara klinikal, menurut NCI: Definition of Cancer Terms, BPH adalah suatu
pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh hiperplasia beberapa atau
semua komponen dari prostat yang meliputi jaringan dari kalenjar maupun
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan terjadinya penyumbatan uretra prostat
dan brsifat non-kanker.
5. Secara histologi, BPH dapat didefenisikan sebagai pembesaran nodular secara
regional dengan kombinasi poliferasi stroma dan glandular yang berbeda (Berry
SJ, 1984). Ini dapat kita dinyatakan secara khusus, bahwa BPH ini merupakan
suatu penyakit yang ditandai dengan adanya peningkatan sel epitel dan sel stroma
di dalam daerah periurethra pada prostat (gambar 1).
Gambar 1. Histopatologi BPH Gambar 2. Perbedaan kelenjar prostat pada
menunjukkan adanya terjadi pembesaran orang normal dan BPH (Berry SJ, 1984)
nodular kalenjar prostat (Berry SJ, 1984).
Tekanan vesika yang lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat
bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
2. Gejala iritatif
Disebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada
saat miksi atau karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
kandung kemih, sehingga kandung kemih sering berkontraksi meskipun belum
penuh (Sjamsuhidajat, 2005). Gejala iritatif terdiri dari sering miksi
(frequency), miksi sulit ditahan (urgency), buang air kecil malam hari lebih
dari satu kali (nocturia), dan nyeri saat miksi (disuria) (Nickel, 2008).
Gejala iritatif antara lain:
1) Bertambahnya frekuensi miksi (frequency)
2) Nokturia
3) Miksi sulit ditahan (urgency)
4) Disuria (nyeri pada waktu miksi)
Kumpulan gejala yang ditandai dengan gejala obstruktif dan iritatif pada
saluran kemih disebut Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) (As’ari, et al., 2008).
Lebih dari 50% pria berusia di atas 50 tahun mengalami sebagai manifestasi klinis
dari BPH (Nickel, 2008). Pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur/ Digital
Rectal Examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,
walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan
derajat obstruksi (Sjamsuhidajat, 2005).
Pembesaran prostat jinak terbagi dalam empat derajat berdasarkan gambaran
klinisnya.
1. Derajat I: pada colok dubur didapatkan penonjolan prostat dengan batas atas
mudah diraba. Sisa volume urine < 50 mL.
2. Derajat II: pada colok dubur didapatkan penonjolan prostat jelas dengan batas atas
dapat dicapai. Sisa volume urine 50-100 mL.
3. Derajat III: pada colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba. Sisa volume
urine >100 mL.
4. Derajat IV: terdapat retensi urine total (Sjamsuhidajat,2005).
IV. TATALAKSANA TERAPI
A. Prinsip penanganan:
Penentuan terapi ditentukan pada tingkat keparahan dari gejala dan tingkat
gangguan yang dialami pasien (Nieckel, J.C., et.al., 2010). Diagnosis BPH dapat
ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan awal dan berbagai pemeriksaan
tambahan. Bila terdapat masalah berkemih maka Anamnese, Pemeriksaan Fisik
(DRE= Digital Rectal Examination), Pemeriksaan Laboratorium (PSA=Prostate-
specific antigen) dan terkadang Biopsi dan Ultrasonografi (TRUS = TransRectal
UltraSonography ataupun TAUS= TransAbdominal UltraSonography) digunakan
untuk menemukan jenis kelainan dari prostat (BPH, kanker prostat atau
prostatitis).
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya
gejala serta untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan akibat pembesaran
prostat dibuatlah sistem skoring yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung
sendiri oleh pasien. Sistem yang dianjurkan oleh WHO ini adalah International
Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini juga berguna untuk menilai dan
memantau keadaan pasien BPH (Barry et al, 1992; Mc Nicholas et al, 2011).
Analisis gejala ini terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan LUTS yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total
maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia) dan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup (quality of life
atau QoL) yang terdiri atas tujuh kemungkinan jawaban. LUTS dibagi atas ringan
(IPSS 0-7), sedang (IPSS 8-19) atau berat (IPSS 20-35) tergantung pada
banyaknya gejala yang mengganggu kualitas hidup dan aktivitas penderita.
Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seseorang pasien
memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring > 7 berarti pasien perlu
mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain.
Standar perawatan : Pasien dengan gejala ringan dapat dilakukan modifikasi
gaya hidup dan watcful waiting. Penanganan pasien dengan gejala sedang (IPSS
8-18) dan gejala berat (IPSS 19-35) dapat dengan modifikasi gaya hidup dan
penanganan medis secara invasive atau dengan terapi operasi (Nickel. J.C., et.al.,
2010)
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Bila LUTS dikaitkan dengan BPH, tingkat gangguan dari gejala atau yang
mempengaruhi kualitas hidup harus dipertimbangkan disaat menentukan pilihan
tatalaksana terbaik. Masalah medis yang lain mungkin dapat mempengaruhi
tatalaksana BPH.
2. 5 Alpha-reductase inhibitor
5 Alpha-reductase inhibitor bekerja dengan menghambat 5α-reductase tipe II
secara kompetitif, sehingga menekan produksi DHT intraprostat dan
menurunkan level serum DHT. DHT (dihidrotestosteron) merupakan metabolit
aktif dari testicular androgen dan adrenal androgen dengan bantuan 5 Alpha-
reductase. Ada dua tipe DHT yaitu tipe I yang menyebabkan timbulnya
jerawat, melebatkan rambut tubuh dan wajah, dan pola kebotakan pada pria.
sedangkan tipe II terletak di prostat, jaringan di kemaluan, tipe II ini
menstimulasi pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat. 5α reduktase
inhibitor telah menunjukkan dapat menunda perkembangan penyakit dengan
menghambat pembesaran kelenjar prostat (Di Piro, 2008).
Tabel 3. Perbandingan α1-adrenergik antagonis dan 5α-reduktase inhibitor (diadopsi
dari Di Piro, 2008)
d. Stent
Stent merupakan pengobatan BPH pada pasien dengan obstruksi kemih
parah sekunder. Penyisipan stent prostat dalam saluran kemih pada laki-
laki dengan obstruksi sekunder prostat jinak dari benign prostatic
hyperplasia telah terbukti efektif. Stent permanen seperti Urolume dan
Memokath menawarkan alternatif pengobatan berkhasiat dan aman untuk
pria dengan obstruksi kandung kemih dari benign prostatic hyperplasia
yang dianggap beresiko tinggi untuk pembedahan (reseksi transurethral
tradisional prostat) (Vanderbrink, 2007). Operasi (Nickel, J.C., et al.,
2010).
V. MONITORING EVALUASI
1. Laju aliran urin
Pengukuran laju aliran urin adalah bersifat opsional. Hal ini bertujuan untuk
mengevaluasi penilaian diagnostik awal dan selama atau setelah terapi untuk
mengkonfirmasi respon. Puncak laju (Qmax) adalah penentuan tunggal yang
terbaik untuk memperkirakan probabilitas dari seorang pasien yang akan
mengalami obstruksi, minimal 2 tingkat laju aliran harus diperoleh, idealnya
keduanya dengan volume yang lebih besar dari 150 mL urin.
Secara umum deskripsi dari alat ini dimulai dari input, pemrosesan dan output.
Proses input adalah urin yang keluar dari proses berkemih dan dialirkan melalui
kincir. Perputaran kincir akibat aliran air urin akan membuat piringan bercelah
yang dihubungkan kekincir ikut berputar. Perputaran piringan bercelah ini akan
dicacah menggunakan optocoupler. Dengan pengkondisi isyarat keluaran sensor
disesuaikan dengan kebutuhan masukan mikrokontroler AT Mega16 yang
digunakan sebagai pencacahan kemudian data hasil hasil cacahan dikirim ke PC
menggunakan komunikasi serial UART.
2. Urin residual
Urin residual yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini
dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan
kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan
ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post
voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong,
sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika.
Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk
melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi. Keuntungan yaitu dalam
penentuannya sebaiknya dilakukan dengan ultrasonografi transabdominal
noninvasive karena menghasilkan evaluasi volume BPH dalam saluran kemih.
Kerugian yaitu variabilitas dari intra-individu, tes harus diulang untuk
meningkatkan presisi, terutama jika sisa volume urin pertama adalah signifikan
dan menunjukkan perubahan dalam perencanaan terapi.
Gambar 13. Pengamatan saluran kemih atas dengan ultrasonografi tampak ukuran
prostat membesar,tampak indentasi caudal ke buli-buli (Smeltzer,2002).
VI. KESIMPULAN
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat
yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun
keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan. Tatalaksana
terapi yaitu alpha blocker, 5 Alpha-reductase inhitor, Antikolinergik,
Phosphodiasterasi Inhibitor, Phytoterapi atau Operasi.
DAFTAR PUSTAKA
As’ari M., Alif S., Santoso A., Widodo J.P. 2008. Hubungan antara derajat intravesical
prostatic protrussion dengan Q max, volume prostat, dan international
prostate symptom score pada pasien BPH dengan LUTS tanpa
komplikasi. Disertasi.
Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Reproduksi & Seksualitas. EGC : Jakarta
Berry, SJ. (1984). The development of human benign prostatic hyperplasia with age. 132 (3),
474- 479.
Dipiro, J.T., et al, 2005, Handbook of Pharmacotherapy Sixth edition, The Mc. Graw Hill
Company, USA.
Muruganandham K., Dubey D., Kapoor R. 2007. Acute urinary retention in benign prostatic
hyperplasia: Risk factors and current management. Indian J Urol. 23: 347-53.
Nicholas, A. M., 2014, Transurethral Needle Ablation of the Prostate (TUNA), diakses dari
http://emedicine.medscape.com pada tanggal 16 Maret 2016.
Nickel J.C. 2008. Inflammation and benign prostatic hyperplasia. Urol Clin North Am. 35(1) :
109–15.
Nickel, J.C., et al., 2010, Guidelines for the management of benign prostatic hyperplasia,
Canadian Urological Assosiation, Vol 4 (5): 310-316
Nunzio, C D., et al., 2012, The Correlation Between Metabolic Syndrome and Prostatic
Diseases, European Urology, 61 (560 – 570).
Raharjo D. 1997. Pembesaran Prostat Jinak Manifestasi Klinik Dan Manajemen. Ropanasuri
: Jakarta; 15(1) : 37-44
Sjamsuhidayat, R. dan De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Copy Editor: Adinda
Candralela. EGC : Jakarta
Smeltzer, S dan Bare, B. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth, Edisi 8, Volume 2, Alih bahasa oleh Kuncara..(dkk). EGC: Jakarta
Vanderbrink, B. A., Rastinehad, A. R., Badlani, G. H., 2007. Prostatic Stents for the
Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia, Curr Opin Urol, 17(1): 1-6
Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, 2008, Campbell’s Urology,
Philadelphia, Saunders.