Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1

DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA Tn. R DIBANGSAL


BOUGENVILE RSUD MAJENANG
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Keperawatan Medikal Bedah
Dosen Pengampu : Ahmad Muzaki, S.Kep., Ns.,

Disusun Oleh :
Nama : Frida Octaviani
NIM : 21040
Diagnosa : BPH

AKADEMI KEPERAWATAN PEMKAB PURWOREJO

2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah 1 dengan judul “BENIGNA
PROSTA HIPERPLASIA” ini disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik


A. PENGERTIAN
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai
pembesaran kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih,
yang menghambat aliran urin, serta menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare,
2003). Secara patologis, BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah
sel stroma dan epitelia pada bagian periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel
stroma dan epitelia ini disebabkan adanya proliferasi atau gangguan
pemrograman kematian sel yang menyebabkan terjadinya akumulasi sel
(Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
cara menutupi orifisium uretra.

B. ETIOLOGI

Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan


bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti
usia, adanya peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut
selanjutnya mempengaruhi prostat untuk mensintesis protein growth factor,
yang kemudian memicu proliferasi sel prostat. Selain itu, pembesaran prostat
juga dapat disebabkan karena berkurangnya proses apoptosis. Roehrborn (2011)
menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar bukan hanya karena
meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa.

Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat menimbulkan


ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS (lower
urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi
(voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi
berkemih meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering
terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap
selanjutnya terjadi retensi urin (IAUI, 2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan.

C. MANIEFESTASI KLINIS

Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan
dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor
gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran
miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu
lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin
dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan
tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada
malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri
pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
a) Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine


sampai habis.
b) Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine


walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada
rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala
dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih,
anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan
saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah
berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :

a) Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :

 Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.

 Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.

 Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.

 Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.

 Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.

b) Clinical Gradding

Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
 Normal : Tidak ada sisa

 Grade I : sisa 0-50 cc

 Grade II : sisa 50-150 cc

 Grade III : sisa > 150 cc

 Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

D. PATOFISIOLOGI dan PATHWAY

a. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang


terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo
(2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa
pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron
estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo
(2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung
pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon
ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek
terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan.
Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya
disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus
trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis
besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum,
leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah
pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba
mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih
dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi
(buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan
mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut
divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot
dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi
prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan
kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum
puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,
sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan
sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat,
nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria
tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih
tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia
paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks
vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi
yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria
akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
b. Pathway
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Urinalisa

Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya


sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-
10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA
serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya
dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap

Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif


maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah
tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji. Pemeriksaan
darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT,
golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis

Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG,


dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH,
derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat
dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-
buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika
urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah
terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-
buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan.
Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi
kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,


diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor
alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek
positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses
hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak
dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan


biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila


diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita


dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif
adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi
LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada
BPH dapat dilakukan dengan:
a) Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan,


kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing
dan colok dubur.
b) Medikamentosa

 Mengharnbat adrenoreseptor α

 Obat anti androgen

 Penghambat enzim α -2 reduktase

 Fisioterapi

c) Terapi Bedah

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan


fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
 TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat


melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
 Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat


pada kandung kemih.
 Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen


bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
 Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah


insisi diantara skrotum dan rektum.
 Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula


seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal

 Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang


disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
 Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy

(TULIP)

 Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

2. Keperawatan

a. Pre operasi

 Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah,


CT, BT, AL)
 Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan
lansia
 Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax

 Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8


jam. Sebelum pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap
2 hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk
meminimalkan masuknya udara.
b. Post operasi

1. Irigasi/Spoling dengan Nacl

 Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit

 Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit


 Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
 Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit

 Hari ke 4 post operasi diklem

 Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada


masalah (urin dalam kateter bening)
2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum
dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam
post operasi
5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post
oprasi dengan betadin
6. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)

7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi

8. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.

9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi

10. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan


dorongan untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada
kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar kateter.
Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat membantu
mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat
membantu menghilangkan spasme.
11. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-
jalan tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan
tekanan abdomen, perdarahan
12. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali
kontrol berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai
passien mencapai kontrol berkemih.
13. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah
vena tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena
diatasi dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang
menahan kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada
fossa prostatik.

G. PENGKAJIAN FOKUS KEPERAWATAN

Pengkajian secara umum pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan


proses keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan
BPH adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi

Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan
oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan
nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena
kekurangan volume cairan.
2. Integritas Ego

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya


karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat
dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3. Eliminasi

Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh


pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran
urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi
berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH
yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu
adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan
mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas,
warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga
ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi
karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH,
karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan cairan

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek


penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi
pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan
pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan kenyamanan

Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar


yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri
suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
6. Keselamatan/ keamanan

Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan
tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk
menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang
perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan
seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya
inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah
maupun pada saluran perkemihannya.
7. Seksualitas

Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang


mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya,
takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan
kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
8. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun


postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur
urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih.
Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit
karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi.

1. Pengkajian

1. Identetas klien

Nama :

Tempar tanggal lahir :

Alamat :

Umur :

Jenis kelamin :

Pekerjaan :

Pendidikan :

Agama :

Selain ini juga dilakukan pengkajian tentang penanggung jawab.

2. Keluhan utama

Menanyakan kepada pasien tentang tanda dan gejala yang dialami


Oleh pasien
3. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat pengikajian apakah gejala terjadi pada waktu yang, tertentu saja
seperti sebelum atau sesudah gerakan
atau aktivitas tertentu.

4. Riwayat penyakit dahulu

Mengkaji Riwayat penyakit yang, pernah diderita apakah ada


hubungannya
atau tidak dengan penyakit sekarang.

5. Riwayat Kesehatan keluarga

Mengkaji apakah dalam keluarganya ada yang memiliki


penyakit yang sama dengan pasien.
e. Intervensi

Setelah merumuskan diagnosa dilanjutkan dengan intervensi dan aktifitas


keperawatan untuk mengurangi,mengnilangkan serta mencegah masalah
keperawatan klien tahpan ini disebut perencanaan keperawatan.
d. implementasi

Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat


melaksanakkan rencana atau intervensi yang, sudah dilaksanakan
sebelumnya.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus


Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi

 Nyeri akut

 Cemas

 Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh

 Kerusakan eleminasi urin

2. Post operasi

 Nyeri akut

 Resiko infeksi

 Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan

 Defisit perawatan diri

I. EVALUASI

Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil dan proses


seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan.
Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam
perencenaan, membanduingkan hasil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai
efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan
pelaksanaan. Evaluasi disusun menggunakan SOAP yang berarti:
- S: keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga atau pasien
setelah diberikan implementasi keperawatan.
- O: keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat
menggunakan pengamatan yang objektif.
- A: analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif
meliputi masalah teratasi (perubahan tingkah laku dan
perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian 28
yang sudah ditetapkan), masalah teratasi sebagian (perubahan dan
perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian
yang sudah ditetapkan), masalah belum teratasi (sama sekali tidak
menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan
atau bahkan muncul masalah baru).
- P: perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis
DAFTAR PUSTAKA

1. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia
2009. Komnas Lansia: Jakarta
2. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakan
kaum renta. Style sheet: http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?
name=News&file=article&sid =26. (Diunduh 16 Februari 2015)
3. Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing:
Promoting the health of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
4. Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract
symptoms: Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder
Dysfunct Rep, 5:212–218.
5. Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style
sheet: http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-
kota.html. (Diunduh 16 Februari 2015).
6. Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia:
etiology, pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh
Urology. (10th ed). Philadelphia: Saunders Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai