OLEH:
NAMA : NOOR JAM’IYAH
NIM : P07120216078
SEMESTER :V
PRODI : DIPLOMA IV
NIM : P07120216078
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
BPH merupakan penyakit yang biasa terjadi pada laki-laki usia lanjut,
yang ditandai dengan perubahan yang sangat cepat pada epitel prostat dan
daerah transisi jaringan fibromuskular pada daerah periuretral yang bisa
menghalangi dan mengakibatkan pengeluaran urine yang tertahan.
Benigna Prostat Hiperplasia atau lebih dikenal dengan BPH adalah
pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan
obstruksi dan retriksi pada jalan urine (uretra). (Setih Setio)
Secara histologi, BPH dapat didefinisikan sebagai pembesaran nodular
secara regional dengan kombinasi poliferasi stromadan grandular yang
berbeda (Berry SJ,1984)
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah
kondisi ketika kelenjar prostat mengalami pembengkakan, namun tidak
bersifat kanker. Kelenjar prostat merupakan sebuah kelenjar berukuran kecil
yang terletak pada rongga pinggul antara kandung kemih dan penis.
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang berfungsi untuk menyuburkan
dan melindungi sel-sel sperma. Pada saat terjadi ejakulasi, prostat akan
berkontraksi sehingga cairan tersebut akan dikeluarkan bersamaan dengan
sperma
2. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan
hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses
aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati
4. Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).
4. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan
bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal
yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel
prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam
inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia
kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi
penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat
mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329;
Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi
gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).
5. Pathway
6. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan colok dubur atau DRE (Digital Rectal Examina-tion)
merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH untuk
memperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya
nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.
b. Urinalisis, dapat mengungkap adanya leukosituria dan hematuria.
c. Pemeriksaan fungsi ginjal, berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya
melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas
d. Kultur urine, dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus,
Klebsiella, pseudomonas, atau Escherichia coli.
e. Uroflometri, merupakan pemeriksaan untuk mencatat pancaran urin
selama miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini berfungsi untuk
mengetahui adanya obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak
invasif.
f. IVP dengan film pasca berkemih : Menunjukkan pelambatan
pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung
kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan
penebalan abnormal otot kandung kemih.
g. Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk
memvisualisasi kandung kemih dan uretra.
h. Sistouretroskopi : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat
dan perubahan dinding kandung kemih.
i. Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostate dan jumlah residu
urine, dalam hal ini residu urine menjadi patokan yaitu dibagi menjadi
beberapa derajat antara lain :
1. Derajat I, sisa urine < 50 ml.
2. Derajat II, sisa urine 50-150 ml.
3. Derajat III, sisa urine > 150 ml.
4. Derajat IV, retensi urine total.
j. USG ( Ultrasonografi ), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien benigna prostat hiperplasia terdiri dari
penatalaksanaan medis, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan
diit.
a. Penatalaksanaan medis
- Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti : doxazosin,
prazosin tamsulosin dan terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan
pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga penderita lebih mudah
berkemih. Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya laju aliran kemih
dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat ini adalah berkurangnya
gairah seksual. Untuk prostatitis kronis diberikan antibiotik.
- Pembedahan
1. Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP ) prosedur pembedahan
yang dilakukan melalui endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran
terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra. Sedapat
mungkin hanya sedikit jaringan yang mengalami reseksi sehingga
pendarahan yang besar dapat dicegah dan kebutuhan waktu untuk bedah
tidak terlalu lama.
2. Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
prostat dari uretra melalui kandung kemih..
3. Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu
insisi dalam perineum yaitu diantara skrotum dan rektum.
4. Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih.
5. Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan
cara memasukkan instrumen melalui uretra.
6. Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui
uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang
dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas sehingga terjadi koagulasi
sepanjang jarum yang menancap dijaringan prostat.
b. Penatalaksanaan keperawatan menurut Brunner and Suddart, (2000)
1. Mandi air hangat
2. Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul.
3. Menghindari minuman beralkohol
4. Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam
hari.
5. Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan
beberapa jam sebelum tidur.
c. Penatalaksanaan diit menurut Brunner and Suddart, (2000)
Klien dengan benigna prostat hiperplasia dianjurkan untuk
menghindari minuman beralkohol, kopi, teh, coklat, cola, dan makanan
yang terlalu berbumbu serta menghindari asupan cairan yang berlebihan
terutama pada malam hari.
8. Komplikasi
a. Urinary traktus infection
b. Hematuria
c. Impotensi
d. Inkontinensia urin
e. Gagal ginjal
3. Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
a. pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
b. penggunaan alat-alat bantu
c. penggunaan obat-obatan.
4. Pola Aktivitas
a. pola aktivitas, latihan dan rekreasi
b. pembatasan gerak
c. alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
2. Sesudah operasi
Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires