Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BHP)

OLEH:
NAMA : NOOR JAM’IYAH
NIM : P07120216078
SEMESTER :V
PRODI : DIPLOMA IV

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIV
BANJARBARU
2018
LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : NOOR JAM’IYAH

NIM : P07120216078

JUDUL : LAPORAN PENDAHULUAN

BENIKNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

PEMBIMBING AKADEMIK PEMBIMBING KLINIK


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
DIAGNOSA BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
DI RUANG BEDAH UMUM
RSUD ULIN BANJARMASIN

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
BPH merupakan penyakit yang biasa terjadi pada laki-laki usia lanjut,
yang ditandai dengan perubahan yang sangat cepat pada epitel prostat dan
daerah transisi jaringan fibromuskular pada daerah periuretral yang bisa
menghalangi dan mengakibatkan pengeluaran urine yang tertahan.
Benigna Prostat Hiperplasia atau lebih dikenal dengan BPH adalah
pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan
obstruksi dan retriksi pada jalan urine (uretra). (Setih Setio)
Secara histologi, BPH dapat didefinisikan sebagai pembesaran nodular
secara regional dengan kombinasi poliferasi stromadan grandular yang
berbeda (Berry SJ,1984)
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah
kondisi ketika kelenjar prostat mengalami pembengkakan, namun tidak
bersifat kanker. Kelenjar prostat merupakan sebuah kelenjar berukuran kecil
yang terletak pada rongga pinggul antara kandung kemih dan penis.
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang berfungsi untuk menyuburkan
dan melindungi sel-sel sperma. Pada saat terjadi ejakulasi, prostat akan
berkontraksi sehingga cairan tersebut akan dikeluarkan bersamaan dengan
sperma

2. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan
hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses
aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati
4. Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).

3. Tanda dan gejala


Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract
Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi pada
malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
(urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak lampias sehabis
miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining) anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi yang
memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena
overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian
atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya
dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan
darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia
inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan
intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH,
mempunyai tanda dan gejala:
a. Hemorogi
1) Hematuri
2) Peningkatan nadi
3) Tekanan darah menurun
4) Gelisah
5) Kulit lembab
6) Temperatur dingin
b. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
c. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
1) bingung
2) agitasi
3) kulit lembab
4) anoreksia
5) mual
6) muntah
d. warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi
lebih tua.

4. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan
bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal
yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel
prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam
inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia
kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi
penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat
mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329;
Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi
gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).

5. Pathway
6. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan colok dubur atau DRE (Digital Rectal Examina-tion)
merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH untuk
memperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya
nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.
b. Urinalisis, dapat mengungkap adanya leukosituria dan hematuria.
c. Pemeriksaan fungsi ginjal, berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya
melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas
d. Kultur urine, dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus,
Klebsiella, pseudomonas, atau Escherichia coli.
e. Uroflometri, merupakan pemeriksaan untuk mencatat pancaran urin
selama miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini berfungsi untuk
mengetahui adanya obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak
invasif.
f. IVP dengan film pasca berkemih : Menunjukkan pelambatan
pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung
kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan
penebalan abnormal otot kandung kemih.
g. Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk
memvisualisasi kandung kemih dan uretra.
h. Sistouretroskopi : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat
dan perubahan dinding kandung kemih.
i. Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostate dan jumlah residu
urine, dalam hal ini residu urine menjadi patokan yaitu dibagi menjadi
beberapa derajat antara lain :
1. Derajat I, sisa urine < 50 ml.
2. Derajat II, sisa urine 50-150 ml.
3. Derajat III, sisa urine > 150 ml.
4. Derajat IV, retensi urine total.
j. USG ( Ultrasonografi ), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien benigna prostat hiperplasia terdiri dari
penatalaksanaan medis, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan
diit.
a. Penatalaksanaan medis
- Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti : doxazosin,
prazosin tamsulosin dan terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan
pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga penderita lebih mudah
berkemih. Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya laju aliran kemih
dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat ini adalah berkurangnya
gairah seksual. Untuk prostatitis kronis diberikan antibiotik.
- Pembedahan
1. Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP ) prosedur pembedahan
yang dilakukan melalui endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran
terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra. Sedapat
mungkin hanya sedikit jaringan yang mengalami reseksi sehingga
pendarahan yang besar dapat dicegah dan kebutuhan waktu untuk bedah
tidak terlalu lama.
2. Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
prostat dari uretra melalui kandung kemih..
3. Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu
insisi dalam perineum yaitu diantara skrotum dan rektum.
4. Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih.
5. Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan
cara memasukkan instrumen melalui uretra.
6. Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui
uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang
dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas sehingga terjadi koagulasi
sepanjang jarum yang menancap dijaringan prostat.
b. Penatalaksanaan keperawatan menurut Brunner and Suddart, (2000)
1. Mandi air hangat
2. Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul.
3. Menghindari minuman beralkohol
4. Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam
hari.
5. Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan
beberapa jam sebelum tidur.
c. Penatalaksanaan diit menurut Brunner and Suddart, (2000)
Klien dengan benigna prostat hiperplasia dianjurkan untuk
menghindari minuman beralkohol, kopi, teh, coklat, cola, dan makanan
yang terlalu berbumbu serta menghindari asupan cairan yang berlebihan
terutama pada malam hari.

8. Komplikasi
a. Urinary traktus infection
b. Hematuria
c. Impotensi
d. Inkontinensia urin
e. Gagal ginjal

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian ini penulis menggunakan teori konseptual
menurut GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional sesuai dengan post
operasi benigna prostat hipertrophy.

1. Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan


Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan
bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang
status dan riwayat kesehatan, hubungannya dengan aktivitas dan rencana yang
akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan pasien untuk menjaga
kesehatannya.
2. Pola Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan
metabolik dan suplai nutrisi, kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan
dan makanan yang disukai maupun penggunaan vitamin tambahan. Keadaan
kulit, rambut, kuku, membran mukosa, gigi, suhu, BB, TB, juga kemampuan
penyembuhan.

3. Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
a. pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
b. penggunaan alat-alat bantu
c. penggunaan obat-obatan.

4. Pola Aktivitas
a. pola aktivitas, latihan dan rekreasi
b. pembatasan gerak
c. alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.

5. Pola Istirahat – Tidur


Yang menggambarkan:
a. Pola tidur dan istirahat
b. Persepsi, kualitas, kuantitas
c. Penggunaan obat-obatan.

6. Pola Kognitif – Perseptual


a. Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan
b. Kemampuan bahasa
c. Kemampuan membuat keputusan
d. Ingatan
e. Ketidaknyamanan dan kenyamanan
7. Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
a. Body image
b. Identitas diri
c. Harga diri
d. Peran diri
e. Ideal diri.

8. Pola peran – hubungan sosial


Yang menggambarkan:
a. Pola hubungan keluarga dan masyarakat
b. Masalah keluarga dan masyarakat
c. Peran tanggung jawab.

9. Pola koping toleransi stress


Yang menggambarkan:
a. Penyebab stress
b. Kemampuan mengendalikan stress
c. Pengetahuan tentang toleransi stress
d. Tingkat toleransi stress
e. Strategi menghadapi stress.

10. Pola seksual dan reproduksi


Yang menggambarkan:
a. Masalah seksual
b. Pendidikan seksual.

11. Pola nilai dan kepercayaan


Yang menggambarkan:
a. Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan
b. Realisasi dalam kesehariannya.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Sebelum Operasi
a. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan
kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
Tujuan : tidak terjadi obstruksi
Kriteria hasil : Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi
kandung kemih
Rencana tindakan dan rasional
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang
dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5. Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan

b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli,


distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
Tujuan : Nyeri hilang / terkontrol.
Kriteria hasil : Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan
ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk
situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.
Rencana tindakan dan rasional
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).
R / Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin
sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih
berat pada pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).
2. Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang
bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan
resiko distensi / spasme buli - buli.
3. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
4. Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan
posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik.
R/ Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
5. Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta
meningkatkan penyembuhan ( pendekatan perineal ).
6. Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme

c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca


obstruksi diuresis.
Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -
tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran
mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
Rencana tindakan dan rasional
1. Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-
200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl
cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
2. Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan
pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
4. Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
5. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai
indikasi, contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan
koagulasi, jumlah trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian.
Serta dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan
faktor pembekuan darah,

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau


menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : Pasien tampak rileks.
Kriteria hasil : Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi,
menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa
takut.
Rencana tindakan dan rasional
1. Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
2. Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
3. Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau
perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan
masalah
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan
prognosisnya.
Kriteria hasil : Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu,
berpartisipasi dalam program pengobatan.
Rencana tindakan dan rasional
1. Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
2. Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
informasi terapi.

2. Sesudah operasi

a. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder


pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
1. Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
2. Ekspresi wajah klien tenang.
3. Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4. Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5. Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk
mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa
diberikan
3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang
dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah
tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam,
visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah
peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat
bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan
distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8. Observasi tanda – tanda vital
R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau
anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.

b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama


pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
1. Klien tidak mengalami infeksi.
2. Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3. Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda
shock.
Rencana tindakan:
1. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan
steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2. Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal.
3. Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke
kandung kemih.
4. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5. Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.

c. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan


pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
1. Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
2. Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3. Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah
pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan
perdarahan kandung kemih
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk
memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau
huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi
dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik,
menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan
warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat
mencegah kerusakan jaringan yang permanen .

d. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan


impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
1. Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
2. Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
3. Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
4. Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1. Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh
TUR – P terhadap seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2. Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula
dan kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak
disfungsi seksual
3. Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4. Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah
sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada
penjelasan yang spesifik.
e. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang
informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan
berobat lanjutan
Kriteria hasil:
1. Klien akan melakukan perubahan perilaku.
2. Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
3. Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan
kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6
minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi
kebutuhan mengedan pada waktu BAB
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan


Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
1. Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
2. Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
3. Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam
tindakan perawatan .
2. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi
kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat
3. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi
nyeri
( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .
DAFTAR PUSTAKA

B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog

Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.

Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta.

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan

Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan

Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.

Kumpulan Kuliah, 2010, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan

Gangguan Sistem Perkemihan, Cirebon.

Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires

dkk, EGC ; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai