Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KEPERAWATAN JWA

FENOMENA PERMASALAHAN KESEHATAN JIWA YANG ADA


DIMASYARAKAT TERKAIT SOSIAL KULTURAL
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
Dosen Pengempu Ns. Sutejo,. M.Kep, Sp.Kep. Jiwa

Oleh Kelompok 7 :

1. Nurfajriani (P07120520032)

2. Siti Hasanah (P07120520033)

3. Aprilianti Firdaus (P07120520034)

4. Norsida Laili (P07120520035)

5. Robiatul Islamiah (P07120520036)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT.karena berkat rahmat-


Nyalah tugas Mata kuliah ini dapat kami selesaikan sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata pelajaran
Keperawatan Kritisserta untuk memperdalam pemahaman dalam pembuatan
makalah.
Kami menyadari bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan
dan kekurangan, oleh karena itu dengan kerendahan hati kami mohon saran dan
kritiknya .Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 10 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Tujuan.......................................................................................................3
C. Manfaat.....................................................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Konsep Teori..............................................................................................4
1. Masalah Kesehatan Jiwa........................................................................4
2. Sosial Kultural........................................................................................5

BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN


A. Kasus..........................................................................................................7
B.Pembahasan.................................................................................................7

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................14
B. Saran........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan tidak dilihat dari segi fisik saja tetapi dari segi mental juga
harus diperhatikan agar tercipta sehat yang holistik. Seseorang yang terganggu
dari segi mental dan tidak bisa menggunakan pikirannya secara normal maka
bisa dikatakan mengalami gangguan jiwa. Efendi dan Makhfudli (2009)
mengatakan gangguan jiwa berat merupakan bentuk gangguan dalam fungsi
alam pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai
antara lain oleh gejala gangguan pemahaman (delusi waham), gangguan
persepsi berupa halusinasi atau ilusi, serta dijumpai daya nilai realitas yang
terganggu yang ditunjukkan dengan perilaku-perilaku aneh (bizzare).
Gangguan jiwa sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang serius
di dunia. WHO (World Health Organization) (2013) menegaskan jumlah klien
gangguan jiwa di dunia mencapai 450 juta orang dan paling tidak ada 1 dari 4
orang di dunia mengalami masalah gangguan jiwa. Di Indonesia jumlah klien
gangguan jiwa mencapai 1,7 juta yang artinya 1 sampai 2 orang dari 1.000
penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa dan di Jawa Barat sendiri
klien gangguan jiwa mencapai 465.975 orang, serta tiap tahunnya akan terus
meningkat (Riskesdas 2013). Banyaknya kasus tentang gangguan jiwa ini bisa
menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar bagi pemerintah.
Pemerintah dalam menanggulangi gangguan jiwa masih banyak
mengalami hambatan. Agusno (2011) mengatakan akar permasalahan pada
kesehatan mental berasal dari tiga inti pokok. Pertama adalah pemahaman
masyarakat yang kurang mengenai gangguan jiwa, kedua adalah stigma
mengenai gangguan jiwa yang berkembang di masyarakat dan terakhir tidak
meratanya pelayanan kesehatan mental. Mestdagh dan Hansen (2013)
menyatakan masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap klien gangguan
jiwa cenderung menghindari dan tidak mau memberikan bantuan terhadap
orang yang menderita gangguan jiwa sehingga mempersulit dalam proses
penyembuhan.

1
Stigma dipengaruhi oleh beberapa komponen. Menurut Taylor dan Dear
(1981) menjelaskan bahwa ada empat dimensi atau domain stigma gangguan
jiwa di masyarakat, yaituotoriterisme, kebajikan, pembatasan sosial dan
ideologi komunitas kesehatan mental. Pengertian stigma sendiri menurut
Goffman (2003) merupakan tanda atau tanda yang dibuat pada tubuh seseorang
untuk diperlihatkan dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-
orang yang mempunyai tanda tersebut merupakan seorang budak, kriminal,
atau seorang penghianat serta suatu ungkapan atas ketidakwajaran dan
keburukan status moral yang dimiliki oleh seseorang. Jadi stigma ini mengacu
kepada atribut yang memperburuk citra seseorang.
Stigma yang terus tumbuh di masyarakat dapat merugikan dan
memperburuk bagi yang terkena label sosial ini. Girma dkk (2013) mengatakan
individu yang terkena stigma di masyarakat sulit untuk berinteraksi sosial
bahkan dalam kasus terburukdapat menyebabkan individu melakukan tindakan
bunuh diri. Selain itu penolakan untuk mencari pengobatan, penurunan kualitas
hidup, kesempatan kerja yang lebih sedikit, penurunan peluang untuk
mendapatkan pemukiman, penurunan kualitas dalam perawatan kesehatan, dan
penurunan harga diri (Covarrubias & Han, 2011). Selain itu penelitian yang
dilakukan oleh Mestdagh (2013) stigma tidak hanya berdampak pada klien
gangguan jiwa, pada masyarakat yang ada sekitar pun ikut terkena, mereka
merasa ketakutan kalau ada klien gangguan jiwa di lingkungan masyarakatnya
karena mereka berpikir klien gangguan jiwa suka mengamuk dan mencelakai
orang lain. Semua itu merupakan konsekuensi dari stigma gangguan jiwa.
Pemerintah dalam menangani permasalahan stigma ini adalah
denganmengadakan pelayanan, penyuluhan dan penanganan yang terintegrasi
berbasis pelayanan kesehatan primer (puskesmas), yang menjangkau seluruh
area sampai ke area yang sulit dijangkau. Pemerintah juga mengadakan
program pelatihan bagi semua pelayanan kesehatan termasuk kader
masyarakat, yang nantinya akan disosialiasikan di masyarakat yang bertujuan
meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai gangguan jiwa dan nantinya
diharapkan bisa mengurangi akan stigma ini.

2
Kegiatan Pemerintah untuk mengurangi stigma gangguan jiwa masih
tidak berjalan dengan lancar. Masyarakat masih banyak yang mendiskriminasi
orang yang terkena gangguan jiwa. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan Mestdagh (2013) mengatakan masih banyak pasien yang mengalami
perlakuan diskriminasi meskipun mereka sudah dalam perawatan kesehatan
mental berbasis komunitas. Hal ini ditunjang juga dengan penelitian yang
dilakukan Muhlisin (2015) yang mengatakan pasien yang kembali ke
masyarakat setelah dinyatakan sembuh tidak mendapatkan dukungan dari
rekan-rekan, keluarga dan lingkungan masyarakat, karena mereka beranggapan
takut penyakitnya kambuh lagi. Pratiwi dan Nurlaily (2010) menambahkan
keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang menderita penyakit mental,
mereka tidak dilibatkan dalam masalah keluarga, mereka dikurung dan dirantai
saat kambuh atau mengamuk.
B. Tujuan
Untuk mengetahui fenomena permasalahan kesehatan jiwa yang ada
dimasyarakat terkait sosial kultural.
C. Manfaat
Untuk mengetahui dan menambah wawasan penulis dan pembaca
tentang fenomena permasalahan kesehatan jiwa yang ada dimasyarakat terkait
sosial kultural.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Masalah Kesehatan Jiwa
Gangguan kesehatan j i w a merupakan kondisi dimana seorang
individu mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya dengan kondisi di
sekitarnya. Ketidakmampuan dalam memecahkan sebuah masalah sehingga
menimbulkan stres yang berlebih menjadikan kesehatan mental individu
tersebut menjadi lebih rentan dan akhirnya dinyatakan terkena sebuah
gangguan kesehatan mental.
Gangguan kesehatan mental adalah kondisi individu yang memiliki
gejala-gejala gangguan kejiwaan. Terdapat berbagai unsur penyebab
terjadinya gangguan kesehatan mental pada seseorang, gangguan kesehatan
mental ini dibagi menjadi tiga kategori penyebab yakni faktor-faktor
somatogenik, psikogenik, dan sosiogenik.
Faktor somatogenik yang terdiri dari neroanatomi, nerofisiologi,
nerokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik, dan faktor-faktor
pre dan perinatal. Faktor psikogenik meliputi interaksi ibu-anak yang tidak
abnormal seperti tidak adanya rasa percaya, peranan ayah, sibling rivaly,
intelegensi, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat,
kehilangan yang menyebabkan kecemasan, depresi, rasa malu atau salah, pola
adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya, dan tingkat
perkembangan emosi. Faktor sosiogenik yang di dalamnya terdapat kestabilan
keluarga, pola mengasuh anak, keluarga dengan ekspresi emosi tinggi atau
rendah, tingkat pendapatan atau ekonomi, tempat tinggal, masalah kelompok
minoritas yang berprasangka, fasilitas kesehatan, pendidikan, serta
kesejahteraan yang tidak memedai, pengaruh rasial dan keagamaan, dan nilai-
nilai yang dijadikan pedoman.
Dari ketiga faktor tersebut diketahui bahwa penyebab gangguan
kejiwaan atau gangguan mental tidak hanya dapat disebabkan salah satu faktor,
karena sifat manusia yang utuh dimana sistem dalam diri manusia merupakan
sebuah kesatuan oleh karena itu sangat memungkin bahwa penyebab

4
gangguan kesehatan mental merupakan kombinasi dari ketiga kategori dengan
satu kategori sebagai penyebab utamanya. Oleh sebab perihal ini lah dalam
melakukan assessment pada penderita haruslah dilakukan secara detail dan
menyeluruh.
Menurut Santrock (1999) penyebab gangguan jiwa pada umumnya
dikategorikan menjadi aspek jasmaniah atau biologi seperti contohnya
keturunan, kegemukan yang cenderung psikosa manik depresi dan dapat pula
menjadi skizofernia, tempramen karena orang yang telalu sensitif, penyakit,
dan cedera tubuh.
Santrock juga menjelaskan bahwa gangguan jiwa juga dapat
disebabkan oleh faktor psikologi dimana seseorang dengan pengalaman
frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan mewarnai perilaku,
kebiasaan, dan sifatnya di masa yang akan datang. Pernyataan bahwa hidup
manusia dapat dibagi atas 7 masa dan pada suatu keadaan tertentu dapat
mendukung terjadinya gangguan jiwa.

B. Social Kultural
Banyak masalah-masalah psikososial yang dihadapi oleh keluarga dan
masyarakat khususnya daerah perkotaan maupun pedesaan. Menurut
Gerald (1983) dalam Hidayati 2018, keluarga menyediakan 3 fungsi dasar
sebelum, selama dan setelah masa remaja. 3 fungsi ini tidak sepenuhnya dapat
digantikan oleh peergroups / struktur sosial yang lain sepanjang hidup. 3
fungsi tersebut adalah:
1. Keluarga menyediakan ‘sense of cohesion’ Kohesi ini atau ikatan
emosi membuat kondisi untuk identifikasi dengan kelompok dasar yang
utama dan meningkat secara emosional, intelektual dan kedekatan fisik.
2. Keluarga menyediakan model kemampuan adaptasi.
Keluarga mengilustrasikan melalui fungsi dasar bagaimana sebuah
struktur kekuatan dapat berubah, bgaimana peran hubungan dapat
berkembang dan begaimana peraturan hubungan dapat terbentuk.
Remaja yang memiliki pengalaman tipe keluarga yang rigid (rendah

5
tingkat adaptasinya) cenderung terinternalisasi gaya interaksi yang
rigid. Sebaliknya, terlalu banyak kemampuan adaptasi dapat membuat
gaya ‘chaotic’. Keseimbangan penting untuk fungsi
ini, hal yang sama juga dengan kohesi.
3. Keluarga menyediakan sebuah jaringan komunikasi.
Melalui pengalaman dimana individu belajar seni dari pembicaraan,
interaksi, mendengarkan dan negosiasi.

6
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Kasus
Kepala Dukuh X menunjukkan bahwa sejak dahulu telah ada
masyarakat yang mengalami gangguan jiwa di pedukuhan X. Penyebabnya
sebagian besar karena tekanan ekonomi dan masalah keluarga. Gejala yang
umum ditunjukkan oleh penderita gangguan jiwa tersebut adalah berjalan tanpa
tujuan, tidak menggunakan pakaian, dan berbicara sendiri. Meskipun tampak
menerima, keluarga dengan anggota yang mengalami gangguan jiwa juga
menjadi bahan perbincangan bagi penduduk warga lainnya. Hampir semua
keluarga yang memiliki pasien jiwa bersikap tertutup dan tidak banyak berbaur
dalam kegiatan masyarakat.
Salah satu keluarga pasien psikotik menyampaikan bahwa penyebab
kedua anaknya mengalami gangguan kejiwaan karena pengangguran dan tidak
memiliki pekerjaan. Anak laki-lakinya yang berusia 35 tahun sempat kuliah
hingga semester 6 namun tidak diselesaikan. Putus kuliah dan pulang kampung
dengan kondisi menganggur dianggap sebagai salah satu sebab dia mengalami
gangguan kejiwaan. Sehari-harinya, kedua pasien psikotik itu lebih banyak
diam di teras rumah atau berkelilingpedukuhan tanpa tujuan yang jelas. Selama
ini belum ada petugas Puskesmas yang datang dan menanyakan kondisi
kejiwaan anaknya. Keluarga pasien sebenarnya membutuhkan informasi
mengenai penanganan pasien jiwa dan bagaimana cara untuk mendapatkan
jaminan kesehatan, karena biaya obat yang cukup tinggi.

B. Pembahasan
Kesehatan mental adalah dasar bagi individu untuk berfungsi optimal
sebagai seorang manusia danmenjalankan perannya di keluarga, lingkungan
kerja, dan komunitas. Makna kesehatan mental telah diperluas dari sekadar
tidak memiliki penyakit fisik kepada keberfungsian psikologis manusia dalam
banyak spektrum kehidupannya. Kesehatan mental dimaknai kembali sebagai

7
keseimbangan antara kesehatan fisik, sosial, budaya, psikologis, dan faktor
personal lainnya seperti pemahaman terhadapdiri sendiri.
Kasus di Pedukuhan X menunjukkan bahwa masalah gangguan
kejiwaan mayoritas dialami oleh individu yang berasal dari kalangan ekonomi
menengan ke bawah. Fakta tersebut dikonfirmasi oleh Desjarlais, dkk. (1995
dalam Herrman & Llopis, 2005) bahwa masalah gangguan mental lazim terjadi
pada masyarakat dari strata sosial menengah ke bawah. Masalah turunan yang
disebabkan oleh kesehatan mental berakibat pada penderitaan,
ketidakmampuan bekerja, hingga kematian. Topik mengenai kesehatan mental
ini diabaikan oleh banyak pemangku kepentingan di berbagai negara, karena
dianggap tidak secara langsung berdampak terhadap kesejahteraan warga.
Padahal, justru kesehatan mental yang baik dan terjamin menjadi faktor penting
yang mampu membuat masyarakat sejahtera.
Masalah kesehatan mental memang harus diintervensi dalam ranah
komunitas/masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Waddell, McEwan,
Shepherd, Offord dan Hua (2005) di Kanada menunjukkan bahwa gangguan
perilaku dan stres pada anak usia 7-14 tahun disebabkan oleh masalah di
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika tidak segera diintervensi, masalah
perilaku pada anak akan berlanjut menjadi gangguan psikologis yang lebih
berat di masa dewasa. Oleh karena itu, keluarga dan masyarakat perlu
mendapatkan edukasi dan memahami deteksi dini gangguan mental,
khususnyapada anak-anak.
Para tokoh di Pedukuhan X sebenarnya cukup paham bahwa masalah
kesehatan mental tidak bisa diselesaikan sepihak. Perlu ada integrasi antara
unsur keluarga pasien dan masyarakat. Selain itu, kesehatan mental perlu
dipandang tidak hanya dari sudut penyakit atau gangguan mental. Ada istilah
kesehatan mental positif yang artinya kondisi psikologis seseorang yang sehat
mental dan memiliki penyesuaian dan kelenturan dalam menghadapi
permasalahan hidup (Prawitasari, 2011). Orang yang sehat mental bukan
berarti tidak pernah mengalami masalah, melainkan dia mampu kembali pada
kondisi psikologis sebelum mengalami tekanan berat dalam hidupnya. Oleh

8
karena itu muncul teori mengenai diatesis stres yang menyebutkan bahwa stres
dan beban hidup yang ditanggung oleh manusia dalam hidupnya akan
memengaruhi status kesehatan fisik dan mental individu. Konsep kesehatan
mental positif ini juga disampaikan dalam materi psikoedukasi di Pedukuhan
X.
Pada sesi psikoedukasi, subjek di Pedukuhan X diberikan pehaman
bahwa gangguan jiwa berat ditandai oleh hilangnya kontak pasien dengan
realita, muncul waham dan halusinasi, serta muncul perilaku yang tidak lazim.
Gangguan jiwa berat yang banyak terjadi di masyarakat adalah adalah
Skizofrenia. Skizofrenia juga didefinisikan sebagai kelompok gangguan
psikotik yang ditandai dengan adanya gangguan pikiran, emosi dan tingkah
laku, pikiran yang tidak terhubungkan, persepsi dan perhatian yang keliru,
hambatan dalam aktivitas motorik, emosi yang datar dan tidak sesuai, dan
kurangnya toleransi terhadap stres dalam hubungan interpersonal (Halgin,
2011). Saat pemaparan materi, banyak anggota keluarga pasien merasa terbantu
dengan informasi yang diberikan oleh peneliti.
Gangguan Skizofrenia memiliki prevalensi sekitar 1 persen dari jumlah
keseluruhan penduduk di muka bumi. Fakta ini menjadikan Skizofrenia sebagai
gangguan psikotik dengan prevalensi tertinggi. Gejala skizorenia lazimnya
muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset di atas usia 40 tahun
sangat jarang terjadi. Sementara prognosis pada laki-laki cenderung lebih buruk
daripada perempuan (Davey, 2008). Di Pedukuhan X, prevalensi kasus
Skizofrenia sekitar 5 permil (5 kasus dari seribu penduduk).
Gejala-gejala Skizofrenia muncul dalam tiga fase yang dapat diprediksi
(Furlow, 2000; Bonder, 2010). Fase pertama adalah prodromal, yaitu fase di
mana beberapa fungsi sosial mulai mengalami penurunan. Individu mulai
menarik diri dari linngkungan sosial. Selain itu kemampuan rawat diri juga
mulai menurun. Tahap kedua disebut dengan fase aktif, yaitu fase di mana
gejala positif psikotik seperti delusi dan halusinasi muncul. Fase ketiga adalah
residual, dengan gejala yang menyerupai fase prodromal, namun dengan
kualitas perilaku yang lebih buruk.

9
Skizofrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang
fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang
tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat dikembangkan kemudian. Skizofrenia
merupakan label yang diberikan pada suatu kelompok psikosis, yang
mengalami penurunan fungsi-fungsi yang ditandai dengan kekacauan fikiran,
persepsi, suasana hati, tingkah laku yang aneh dan penghindaran sosial (Martin,
dkk., 2007).
Individu dengan diagnosis Skizofrenia, umumnya diberikan pengobatan
seperti obat-obatan, aktivitas program mengurangi gejala, mempromosikan
atau melibatkan individu kedalam aktivitas dan interaksi sosial, sehingga
mereka dapat membangun peran sosial atau keterampilan khusus di masyarakat
(Mortensen, Pedersen & Pedersen, 2010). Obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati Skizofrenia disebut dengan neuroleptics, yang artinya
mengendalikan syaraf. Jika bekerja degan efektif, neuroleptics membantu
penderita Skizofrenia untuk berpikir lebih jernih dan mengurangi gejala positif
Skizofrenia. Obat-obatan tersebut bekerja dengan cara memengaruhi gejala
positif (delusi, halusinasi, agitasi). Sementara dalam dosis yang lebih rendah,
memengaruhi gejala-gejala negatif dan disorganisasi, seperti defisit sosial.
Secara umum, setiap obat dapat efektif untuk sebagian orang dan tidak efektif
bagi orang lainnya. Tim medis dan pasien seringkali harus menjalani proses
trial danerror hingga menemukan komposisi obat yang paling efektif (Durand
& Barlow, 2007).
Salah satu efek buruk Skizofrenia adalah dampak negatifnya terhadap
hubungan penderita dengan orang lain. Problem ini termasuk juga ke dalam
materi yang disampaikan kepada masyarakat Pedukuhan X. Masalah ini dapat
menjadi hambatan paling mencolok yang diperlihatkan oleh penderita
Skizofrenia dan membuat mereka tidak mampu mempertahankan relasi sosial.
Intervensi psikososial dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan

10
konsumsi obat dengan cara membantu pasien agar mampu mengkomunikasikan
masalahnya kepada profesional (Durand & Barlow, 2007).
Selain gangguan jiwa berat, masyarakat Pedukuhan X juga diberikan
edukasi mengenai gangguan mental emosional. Gangguan mental emosional
ditandai dengan menurunnya fungsi individu pada ranah keluarga,
pekerjaan/pendidikan, dan komunitas/masyarakat. Gangguan ini berasal dari
konflik alam bawah sadar yang menyebabkan kecemasan. Individu dengan
gangguan mental emosional masihterkait dengan realita dan lingkungan
sekitarnya, namun membutuhkan pertolongan/intervensi dari profesional
bidang kesehatan jiwa. Beberapa jenis gangguan mental emosional yang lazim
terjadi adalah depresi dan gangguan kecemasan.
Episode depresif adalah gangguan suasana perasaan (mood disorder)
yang gejalanya meliputi ranah emosional, motivasi, perilaku, fisik, dan
kognitif. Pengalaman emosional individu yang mengalami depresi biasanya
terbatas pada emosi negatif yang sering dideskripsikan sebagai kesedihan,
hilangnya harapan, kesengsaraan, dan hilangnya kegembiraan (Davey, 2008).
Sebagian besar individu dengan gangguan depresi memiliki episode kesedihan
dan perilaku menangis yang terjadi secara berkala. Hanya sebagian kecil saja
individu dengan gangguan depresi yang dilaporkan pernah merasakan emosi
positif. Individu dengan gangguan depresi menunjukkan wajah minim ekspresi
positif dan kehilangan minat terhadap kesenangan/humor (Sloane, Strauss &
Wisner, 2001; Davey, 2008).
Individu dalam keadaan mood depresi memperlihatkan kehilangan
energi dan minat, perasaan bersalah yang besar, sulit konsentrasi, perubahan
perilaku makan yang signifikan, dan berpikiran untuk bunuh diri. Gejala lain
adalah perubahan aktivitas, kognitif, verbal, ritme tidur, dan ritme biologis
yang lain. Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya dalam hubungan
interpersonal, sosial, dan fungsi pekerjaan (Ismail & Siste, 2013). Beberapa
anggota masyarakat menyadari bahwa selama ini mereka melihat gejala-gejala
tersebut muncul pada beberapa individu di Pedukuhan X, namun mereka tidak
pernah mengambil tindakan lebih lanjut.

11
Menurut Dobson dan Dozois (2008), timbulnya gangguan depresi dapat
dipicu oleh faktor biologis, psikososial/faktor lingkungan, seperti peristiwa
yang menimbulkan pengaruh emosi negatif mendalam. Pada individu yang
mengalami episode depresi untuk pertama kali (memiliki gejala depresi dan
terjadi selama minimal 2 minggu), ada tendensi untuk mengalami gangguan
depresif berulang di masa yang akan datang. Ada korelasi yang kuat antara
penyakit medis kronis dan peningkatan prevalensi gangguan depresi. Orang-
orang dengan riwayat penyalahgunaan alkohol dan atau obat-obatan juga
rentan mengalami gangguan depresi.
Warga Pedukuhan X mengalami perubahan kognitif dan perilaku
setelah mendapatkan psikoedukasi tentang masalah kejiwaan. Sebagai sebuah
komunitas, warga di Pedukuhan X mampu menciptakan rasa kebersamaan
untuk menangani problem sosial di lingkungan mereka. Dalton, Elias dan
Wandersman (2001) menyatakan komunitas sebagai wadah di mana ide
muncul bersama di dalam beberapa kegiatan atau usaha bersama maupun hanya
karena adanya kedekatan secara geografis. Hal ini sejalan dengan pernyataan
dari Sarason (1974 dalam Dalton, dkk., 2001) bahwa komunitas adalah
penyedia dengan mudah jaringan hubungan saling mendukung satu sama lain
dan masing–masing individu memiliki ketergantungan di dalamnya. Dalton,
dkk. (2001) menyatakan bahwa definisi dari sebuah komunitas merupakan
defenisi yang diberikan oleh komunitas itu sendiri, sehingga setiap komunitas
akan berbeda-beda dalam mendefenisikan komunitasnya.
Kloos, dkk. (2012) menyampaikan bahwa konsep psikologi komunitas
berbeda dengan konsep psikologi lainnya, terutama psikologi individual, dalam
dua aspek. Pertama, psikologi komunitas menawarkan kerangka berpikir yang
berbeda mengenai konsep perilaku manusia, dengan melihat perilaku sebagai
bagian dari dinamika sebuah komunitas. Aspek kedua adalah perluasan topik
yanglayak dipelajari dalam bidang psikologi.
Penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi komunitas fokus
untuk melihat cara yang efektif dalam mencegah gangguan mental alih alih
mengobati setelah gangguan tersebut muncul. Konsekuensinya, fokus

12
penelitian psikologi komunitas bukan pada dinamika psikologis individu,
melainkan hubungan dalam keluarga dan masyarakat sebagai faktor yang
mendukung atau menghambat perbaikan kesehatan mental. Hasil penelitian ini
menegaskan bahwa intervensi kesehatan mental berbasis masyarakat efektif
membantu petugas puskesmas untuk deteksi dini masalah kejiwaan, sekaligus
menjadi wadah kegiatan promotif-preventif bagi warga.

13
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan mental atau kejiwaan merupakan hal vital bagi manusia
sama halnya seperti kesehatan fisik atau tubuh pada umumnya. Dengan
sehatnya mental atau kejiwaan seseorang maka aspek kehidupan yang lain
dalam dirinya akan bekerja secara lebih maksimal.
Indonesia sebagai negara yang terus berkembang dalam berbagai aspek
menjadikan masyarakatnya semakin modern, yang identik dengan
meningkatkatnya tuntutan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi sehingga
berdampak pada tekanan yang berlebihan di pikiran masyarakat, sehingga
menjadi rentan terkena stress yang secara tidak langsung (sedikit-banyak)
dapat menimbulkan gangguan kesehatan mental atau kejiwaan. Penderita
gangguan kesehatan mental masih dianggap sebagai hal yang memalukan atau
sebuah aib bagi keluarga atau kerabat yang salah satu anggota keluarga
mengalami gangguan kesehatan mental atau kejiwaan. Masyarakat Indonesia
beranggapan bahwa gangguan kesehatan mental atau kejiwaan tidak dapat
disembuhkan sehingga bagi penderitanya layak dikucilkan.
Kuatnya stigma negatif masyarakat pada penderita gangguan kesehatan
mental menjadikan penderita tidak mendapatkan perawatan yang sesuai.
Dianggap sebagai sebuah aib, keluarga penderita gangguan kesehatan mental
lebih memilih mengurung anggota keluarga yang terkena gangguan mental di
rumah, bahkan masih sering ditemui yang memilih memasung karena
berpikiran bahwa penderita gangguan kesehatan mental dapat membahayakan
keselamatan orang lain.
Dengan stigma negatif tersebut maka akan sulit institusi kesehatan yang
menangani pesoalan ini untuk membantu mereka yang membutuhkan
perawatan. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan mental,maupun
gangguan kesehatanmental menjadikan masyarakat memilih untuk diam, dan
melakukan hal yang sangat sederhana sebagai bentuk pengobatan. Kurangnya

14
keterbukaan masyarakat terhadapa gangguan kesehatan mental menjadikan
masyarakat terjebak di perspektif masing-masing.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pemabaca
sangat penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya.

15
DFATAR PUSTAKA

16

Anda mungkin juga menyukai