Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KASUS

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH NERS


DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) DI RUANG IBS

Disusun Oleh:

Nama : Nita Ayu Sasmita


NIM : 24211495
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran atau hipertrofi prostat,
kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan
menyumbat aliran keluar urine dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter.
(Brunner & Suddarth, 2000).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran prostat yang mengenai
uretra, menyebabkan gejala urenaria dan menyebabkan terhambatnya aliran keluar dari
bulu-buli. (Nursalam, 2006).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutup Orifisium Uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang
paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker
dan penyakit yang disebabkan oleh penuaan (Corwin, 2000)
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dan kelenjar
prostat (secara umum pada pria >50 tahun yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretra dan pembiasan aliran urinarius (Doenges, 1999).

Gambar: Kelenjar Prostat dan BPH

B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang
pasti kelenjar prostat sangat terhantung pada hormone Androgen.
Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan.
Ada beberapa faktor kemungkinan penyebab antara lain:
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami Hiperplasi.
2. Perubahan keseimbangan hormone Estrogen-Testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormone estrogen dan penurunan
testosterone yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi Stroma-Epitel peningkatan
Epidermal growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya Sel yang Mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.
5. Teori Sel Stem
Sel Stem yang meningkat mengakibatkan Proliferasi Sel Transit.

C. Klasifikasi
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi irine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. ada rasa tidak enak BAK atau dysuria
dan menjadi Nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh tampak kesakitan, urine menetes secara periodic
(Over Flow Inkontinen).

D. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak dibelah
inferior buli-buli, membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat
tergantung pada hormone testosterone, yang didalam sel-sel kelenjar prostat hormone ini
akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron secara langsung memicu m-RNA didalam sel-sel kelenjar prostat
untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi
perubahan keseimbangan testosterone estrogen karena produksi testosterone menurun dan
terjadi konveksi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan.
Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya
disebabkan oleh kombinasi resitensi uretra daerah prostat, tonus trigonus dan leher vesika
dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonus, leher vesikal dan prostat oleh istem simpatis. Pada tahap
awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada
leher versikal dan daerah prostat. Kemudia detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini
dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serta
detrusor kedalam kantung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut Trahekulasi (buli-buli balok).
Ketika seseorang berusia diatas 50 tahun, maka semakin besar kemungkinan
untukterjadinya gangguan atau kerusakan pada organ-organ tubuh. Pada pria ketika
menginjak usia 50 tahun keatas maka terjadi penurunan fungsi testis. Akibatnya adalah
ketidakseimbangan hormone testosterone dan dehidrotestosteron sehingga memacu
pertumbuhan atau pembesaran prostat (dalam hal ini prostat dapat mencapai 60-100 gram
atau bahkan lebih). Pembesaran kelenjar prostat dapat meluas kearah atas (Bladder)
sehingga mempersempit saluran uretra yang pada akhirnya akan menyumbat urine dan
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan didalam Bladder. Sebagai kompensasi
terdapat tekanan uretra prostatika maka otot-otot destrusor dan buli-buli berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan ini. Kontraksi secara terus menerus menyebabkan
perubahan anatomic dari buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan
pada kedua muara ureter ini akan menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter
atau terjadi refluks resiko ureter. Jika keadaaan ini berlangsung terus menerus dapat
menyebabkan gagal ginjal.
Pada klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah urine yang dikeluarkan
tidak tuntas sehingga tersisalah urine didalam buli-buli saat proses miksi, sehingga
seseorang cenderung mengejan untuk mengeluarkan urine tersebut dan menyebabkan
meningkatnta tekanan intra abdomen sehingga dapat menimbulkan Hernia dan Hemoroid.
Pembesaran prostat ini akan menimbulkan keluhan atau tanda dan gejala seperti
sulit memulai miksi, nokturia (bangun tengah malam untuk berkemih), sering berkemih
anyang-anyangan, abdomen tegang, pancaran urine menurun dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tidak lancer, Dribling (urine menetes terus setelah berkemih), rasa
seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, sakit atau nyeri ketika berkemih,
retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kantong kemih setelah
berkemih), anoreksia, mual dan muntah.
Apabila tidak segera ditangani, dapat menimbulkan komplikasi antara lain gagal
ginjal, hemoroid dan hernia bahkan kematian.
E. Pathway

Pasien dengan BPH

Pembedahan TURP

Pre Operatif Intra Operatif Terputusnya Post Operatif


jaringan

Tidak terpapar Instrunen masuk Kerusakan


tentang informasi Kesaluran Kemih Penurunan Jaringan
kesehatan dan Pertahanan Periuretral
pengobatan Tubuh
Insisi pada Prostat
Kerusakan
Kurang informasi Resiko Infeksi Integritas
Resiko Jaringan
tentang kesehatan
Pendarahan
dan pengobatan

Pemasangan
Kurang Kateter
pengetahuan

Terputus
Jaringan

Nyeri
Akut
F. Manifestasi Klinik
1. Gejala Iritatif meliputi :
a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Noktusia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak /tidak dapat ditunda (urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (dysuria)
2. Gejala Obstruktif meliputi :
a. Pancaran urine melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urine menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urine tidak lancer/terputus-putus
f. Urine terus menerus setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia
karena penumpukan berlebihan.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gejala ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu yang
besar.
3. Gejalah Generalisata seperti keletihan, aboreksia, mual dan munta dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
a. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,
frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari.
b. Derajat II : adanya retensi urine maka timbulah infeksi, penderita akan mengeluh
waktu miksi terasa panas (dysuria) dan kencing malam bertambah hebat.
c. Derajat III : timbul retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul
aliran refluk ke atas, timbul infeksi Ascenden menjalar ke ginjal dan dapat
menyebabkan Pielonfritis dan Hidronefrosis.

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah:
1. Laboratorium
a. Sedimen Urine
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2. Pencitraan
a. Foto Polos Abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine yang merupakan
tanda dari retensi urin
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli
c. Ultrasonografi (Trans Abdominal dan Trans Rektal)
Untuk mengetahui pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel dan tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika
dan melihat penonjolan prostat ke dalam rectum.

H. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
a. Menghindari minum banyak dan waktu singkat, menghindari alcohol dan diuretic
mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot detrusor menurun.
b. Menghindari obat-obatan penyebab retensi urine seperti : anticholinergic, anti
histamine, decongestan
c. Observasi Watchfull Waiting
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberika
adalah mengurangi minum setalah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat-obatan dekongestal (parasimpatolitik), mengurangi minum
kopi, dan tidak diperbolehkan minuman alcohol agar tidak sering miksi. Setiap 3
bulan lakukan kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan color
dubur.
2. Farmakologi
a. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti Androgen:
 Inhibitor 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron sehingga
prostat yang membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat
daripada golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang
sangat besar. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido dan
ginekomaskia.
b. Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretre-prostatika:
 Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos didalam
prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan alfa
adrenergic. Seperti diketahui didalam otot polos prostat dan leher vesica
banyak terdapat reseptor alpha adrenergic. Obat-obatan yang sering digunakan
prazosin, terazosin, doxsazosin, dan alfuzosin. Obat penghambat alpha
adrenergic yang lebih selektif terhadap otot polos prostat yaitu α₁ₐ
(tamzulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai obat
ini dapat dikurangi. Dosis mulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2 –
0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi
obstruksi pada vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat-obat golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine,
menurunkan sisa urine dan mengurangi keluhan. Obat-obatan ini juga
memberi penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang
bisa terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat.
3. Pembedahan
Indikasinya adalah bila etensi urine berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal,
infeksi saluran berkemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis.
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopy
atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra.
Prosedur pembedahan yang dilakukan melalui endoscopy Turp
dilaksanankan bila pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung
melingkar uretra. Sedapat mungkin hanya sedikit jaringan yang mengalami
reseksi sehingga pendarahan yang besar dapat dicegah dan kebutuhan waktu
untuk bedah tidak terlalu lama.
Restoskop sejenis instrument hampir serupa dengan cystoscope tapi
dilengkapi dengan alat pemotong dan couter yang disambung dengan arus listrik
dimasukan lewat uretra. Kandung kemih dibilas terus-menerus selama prosedur
berjalan. Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng
logam yang halus dibuang dengan irisan dan tempat pendarahan dihentikan
dengan couterisasi. Setelah TUR dipasang folley kateter tiga saluran (three way
cateter) ukuran 24 Fr yang dilengkapi balon 30-40 ml. setelah balon kateter
dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon berada pada fosa prostat
yang bekerja sebagai hemostat.
Kemudia ditraksi pada kateter folley untuk meningkatkan tekanan pada
daerah operasi sehingga dapat mengendalikan pendarahan. Ukuran kateter yang
besar dipasang untuk mem[erlancar membuang gumpalan darah dari kandung
kemih.

b. Prostatectomy Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung
kemih.
c. Prostatectomy Retropubis
yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatectomy Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rectum.
e. Prostatectomy Retropubis Radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah,
uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
Kontraindikasi adalah : infak miokard akut (IMA), dan cerebro vascular acid
(CVA), dekompensasi cordis, dalam keadaan koma, diabetes mellitus, malnutrisi
berat,, tekanan darah sistol 200-260 mmHg.

I. Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, Hiperplasia Prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1. Inkontinensia Paradoks
2. Batu Kandung Kemih
3. Hematuria
4. Sistitis
5. Pielonefritis
6. Retensi Urine Akut atau Kronis
7. Refluk Vesiko-Ureter
8. Hidroureter dan Hidronefrosis
9. Gagal Ginjal
KONSEF DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian pada pesien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut
Doenges (1999) focus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi : pada kasus preoperasi
dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek
pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah: peningkatan nadi sering dijumpai pada,
kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH sering kali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaiman akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-
tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan prilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien
dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin berkurang,
pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, dysuria dan
hematuria.
Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasive serta
prosedur pembedahan sehingga perlu adanya observasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya pendarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna
urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, pendarahan dengan tidak ada
bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi
gangguan eliminasi urin, juga ada kemungkinan terjadinya konstipasi. Pada
preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat kedalam rectum,
sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan Cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu kerena efek penekanan /
nyeri pada abdomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi
BPH, sehingga terjadi gejala : anokresia, mual, muntah, penurunan berat badan,
tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan
maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan Kenyaman
Menurut hierarrki Maslow, kebutuhan rasa nayaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada
pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan
kuat, nyeri punggung bawah.
6. Keselamatan/keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput
dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis
tuntutan akibat kelalaian paramedic, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji
adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada
preoperasi), sedangkan pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga
adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran
perkemihannya.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi
dapat meningkatkan pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai
syok pada retensi urin serta urosepsi syok-septik
2. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan teknik bimanual untuk mengetahui adanya
hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi
akan menonjol.
Saat palpasi terasa adanya ballotemen dank lien akan terasa ingin miksi. Perkusi
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Pada pemeriksaan abdomen
ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan terba masa kistus di daerah supra
simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.
3. Penis dan uretra untuk mendeksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu
uretra, karsinoma maupun fimosis.
4. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididymitis
5. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistim persyarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a. Derajat I : beratnya ± 20 gram
b. Derajat II : berat antara 20-40 gram
c. Derajat III : beratnya >40 gram.
Pemeriksaan fisik diagnostic yang paling penting untuk BPH adalah colok dubur
(digital rectal examination). Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pembesaran prostat
teraba simetris dengan konsestensi kenyal. Pemeriksaan colok dubur dapat
memberikan gambaran tentang keadaan tonus sfingter ani, reflek bulbo cavernosus,
mukosa rectum, adanya kelainan lain seperti benjolan didalam rectum dan tentu saja
teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
a. Konsistensi prostat (pada hyperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Adakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostat
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostat
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hyperplasia prostat menunjukan prostat teraba membesar,
konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan
dan kiri simetris, tidak didapatkan nobul, dan menonjol kedalam rectum. Semakin
berat derajat hyperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan
pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nobul dan diantara
lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesical urinaria dapat teraba apabila
sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui
adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula di periksa untuk melihat adanya
kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu
di fossa navikullaris atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis condiloma di
daerah meatus.
C. Diagnose Keperawatan
1. Pre Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran
prostat dan obstruksi uretra
b. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya informasi
2. Intra Operasi
a. Resiko pendarahan berhubungan dengan terputusnya jaringan
3. Post Operasi
a. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive : alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih

D. Rencana Keperawatan
Pre Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, distensi kandung
kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari pembesaran prostat
dan obstruksi uretra
Tujuan : Nyeri hilang, terkontrol
Kreteria Hasil : pasien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol, pasien tampak rileks,
mampu untuk tidur dan istirahat dengan tepat
Intervensi :
a. Kaji tipe nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-5) lamanya
Rasional : memberika informasi untuk membantu dalam menentukan
pilihan/keefektifan intervensi
b. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut.
Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan
menghilangkan nyeri kolik
c. Berikan tindakan kenyamanan, distraksi selama nyeri akut seperti, pijatan
punggung : membantu pasien melakukan posis yang nyaman : mendorong
penggunaan relaksasi/ latihan nafas dalam : aktivitas terapeutik
Rasional : meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
d. Dorong menggunakan rendam duduk, gunakan sabun hangat untuk perineum
Rasional : meningkatkan relaksasi otot.
e. Kalaborasi pemberian obat pereda nyeri (analgetik)
Rasional : menurunkan adanya nyeri, dan kaji 30 menit kemudian untuk
mengetahui keefektivitasnya.
2. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi
Tujuan : menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya
Kreteria Hasil : melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program
pengobatan.
Intervensi :
a. Dorong pasien menyatan rasa takut perasaan dan perhatian
Rasional : membantu pasien dalam mengalami perasaan
b. Kaji ulang peroses penyakit, pengalaman pasien
Rasional : memberi dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
terapi
c. Berikan penjelasan tentang tindakan/pengobatan yang akan dilakukan
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien terhadap tindakan untuk
menyembukan penyakitnya.
Intra Operasi
1. Resiko pendarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh vena/arteri
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pendarahan berlebihan tidak terjadi
a. Identifikasi penyebab pendarahan
b. Monitor jumlah dan sifat dari kehilangan darah
c. Monitor tekanan darah
d. Monitor penentu pengiriman O2
e. Pertahankan potensi IV line
f. Terpkan tekanan langsung pada daerah pendarahan
Post Operasi
1. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasive : Alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan : pasien tidak menunjukan tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil : a) pasien tidak mengalami infeksi. b) dapat mencapai waktu
penyembuhan. c) tanda-tanda vital dalam batas normal tidak ada tanda-tanda syok.
Intervensi :
a. Pertahankan sistem katetar steril, berikan perawatan kateter dengan steril
Rasional : mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
b. Anjurkan intake cairan yang cukup (2500-3000) sehingga dapat menurunkan
potensi infeksi
Rasional : meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal.
c. Pertahankan posisi urunebag dibawah
Rasional : menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke
kandung kemih.
d. Observasi irine : warna, jumlah, bauh
Rasional : mengidentifikasi adanya infeksi
e. Kalaborasi dengan dokter untuk memberikan obat antibiotic
Rasional : untuk mencegah infeksi dan membantu proses
DAFTAR PUSTAKA
 Anonim.2012.Diakses 23 Juli 2016 http://www.scribd.com/doc/54979478/ASKEP-
BPH
 Brunner & Suddarth, 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. Terjemahan
Suzanne C. Smeltzer. Edisi 8. Vol 8. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
 Corwin, Elizabeth J, 2001. Buku Saku Patofisiologi, Alih Bahasa, Brahm U. Pendit,
penerbit Buku Kedokteran, EGC: Jakarta.
 Nursalam. (2006). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan Ed 1. Jakarta : Salemba Medika
 Mansjoer, A, et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Media Aesculapis.
Jakarta
 McCloskey, J dan Bulechek, G. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC).
Mosby: Philadelphia.
 Smeltzer,S.C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth.
Vol 2, EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai