Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

BPH (BENIGNA PROSTAD HIPERPLASIA)

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD WISNO
NPM: 202391112

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAITURAHIM JAMBI
TAHUN 2023
LAPORAN PENDAHULUAN
BPH (BENIGNA PROSTAD HIPERPLASIA)

A. PENGERTIAN
BPH adalah tumor jinak pada prostat akibat sel prostat yang terus
mengalami pertumbuhan. Secara mikroskopik, perubahan prostat bisa
dilihat sejak seseorang berusia 35 tahun. Pada usia 60-69 tahun,
pembesaran prostat mulai menimbulkan keluhan klinis pada 50% pria.
Sementara pada usia 80 tahun, BPH terjadi pada hampir 100% pria. Pada
tahun 2000, WHO mencatat ada sekitar 800 juta orang yang mengalami
BPH di seluruh dunia. Ketika prostat membesar, jaringan yang
melapisinya di luar tidak ikut berekspansi, hal ini menyebabkan uretra
terjepit. Dinding kandung kemih pun menebal dan mudah terangsang,
ditandai dengan gampangnya kandung kemih berkontraksi meskipun
hanya berisi sedikit urin. Lama kelamaan kandung kemih akan kehilangan
kemampuannya berkontraksi sehingga tak mampu mengeluarkan urin.
Hal-hal inilah yang menyebabkan keluhan klinis pada pasien dengan
pembesaran prostat (Anindyajati, 2019).
Benigna Prostatic hyperplasia adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat.
(Yuliana elin, 2011). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran
kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2009).
Kesimpulan BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, yang biasa terjadi pada
pria. Dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas dan
kedalam kandung kemih sehingga menyumbat aliran urin dengan cara
menutupi orifisium uretra.
Berdasarkan perkembangan penyakitnya secara klinis penyakit
BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml.
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total.

B. ETIOLOGI
Sejak dulu diyakini BPH terjadi hanya pada lelaki berusia lanjut
dan tak mungkin terjadi pada lelaki yang testisnya dibuang sebelum
pubertas. Melalui penelitian, BPH dikaitkan dengan perubahan komposisi
hormon testosteron dan estrogen di masa tua (Anindyajati, 2019):
1. Dihydrotestosteron
2. Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi
3. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
4. Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
5. Interaksi stroma – epitel
6. Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel
7. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat
8. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit
(Purnomo, 2011)
C. TANDA DAN GEJALA
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda
dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah,
gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi).
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan
ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat
miksi).
2. Keluhan pada saluran kemih atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas
berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan
dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada
saat miksi sehingga mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun
gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH adalah pada
pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri
tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada
epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan
volume residual yang besar.

D. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak
di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen
karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron
menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi
perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga
terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan
kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat.
Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan
kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos
keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor
ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan
berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin (Purnomo, 2011).
E. PATWAY

Growth Faktor Sel Prostat Prolokerasi


umur panjang Abnormal
Estrogen dan Sel Stroma Sel strem
Testoteron Pertumbuhan
tidak seimbang Berpacu Sel yang Produksi sel
Mati kurang stroma dan epitel
berlebih

Prostat membesar

Penyempitan lumen posterior TURP (Trans Uretral Reseksi


Prostat)

Obstruksi Iritasi mukosa Pemasangan DC Kurang informaasi


trhadap Tindakan
pembedahan
MK: Retensi MK: Resiko
urin infeksi

MK: Nyeri akut

MK: Ansietas

Gambar 2.6 Pathway (Yuli Reny, 2014)

F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain:
dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih,
karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal
ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu
endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat
hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan
pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH
sendiri dapat menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan
kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status
metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA
4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu
PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10
ng/ml.

2. Pemeriksaan darah lengkap


Perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang
sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume
BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos
dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal
atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari
fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-
belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan
besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan
batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal
apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP
untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis.
Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah
isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya
tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk
melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai
residual urin.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Sjamsuhidjat (2005) penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu:
1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum membutuhkan tindakan bedah.
Cukup diberikan pengobatan konservatif misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
3. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan


dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif
adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi
LH. Selain daripada itu, menurut Purnomo (2011), penatalaksanaan pada
BPH dapat dilakukan dengan:

1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan,
kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa
kencing dan colok dubur.
2. Medikamentosa
Ada beberapa jenis obat yang dapat diberikan, yaitu:
a. Penghambat adrenalreseptor α
b. Obat antiandrogen
c. Penghambat enzim α-2 reduktase
3. Terapi bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui
uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat
pada kandung kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki
kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.

4. Terapi invensif minimal


a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa,
status perkawinan, pendidikan, tanggal masuk ke rumah sakit,
nomor register dan diagnosa keperawatan.
b. Keluhan utama
Bapak datang dengan mengeluh tidak bisa buang air keci, nyeri
pada pinggang dan pada saat BAK harus mengejan.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti infeksi
saluran kemih, vesicholithiasis atau sindrom nefrotik.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat sebelum dibawa ke RS sejak dua bulan terakhir BAK
pasien tidak lancar, urinnya berwarna kemerahan, ketika BAK
harus mengedan dan sejak 5 jam sebelum datang ke RS air
kencingnya macet total, abdomen bagian bawah semakin
membesar dan menegang serta pasien merasa sangat nyeri.
3) Riwayat kesehatan Keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti penyakit
kelamin, DM, hipertensi dan lain-lain yang mungkin penyakit
tersebut diturunkan kepada klien.

d. Pemeriksaan Fisik
1) Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan
suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada
retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin
serta urosepsis sampai syok - septik.
2) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual
untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis.
Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
3) Pemeriksaan penis dan uretra untuk mendeteksi
kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra,
karsinoma maupun fimosis.
4) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya
epididimitis.
5) Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra
dan besarnya prostat.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Retensi urin berhubungan dengan peningkatan tekanan uretra,

Kerusakan arklus refleks, Blok springter, Disfungsi neurologis (mis.

trauma, penyakit saraf), Efek agen farmakologis (mis. atropine,

belladonna, psikotropik, antihistamin, opiate)

2. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli,

distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria

3. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional

4. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama

pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering


K. INTERVENSI

NO STANDAR DIAGNOSA STANDAR LUARAN STANDAR INTERVENSI Paraf


KEPERAWATAN INDONESIA KEPERAWATAN INDONESIA KEPERAWATAN INDONESIA
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Retensio Urin (D.0050) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Kateterisasi Urine (I.04148)
selama 3x24 jam diharapakan Eliminasi Observasi
urin membaik (L.04034) 1. Periksa kondisi pasien (mis:
Kriteria hasil: kesadaran, tanda-tanda vital, daerah
1. Sensasi berkemih meningkat perineal, distensi kandung kemih,
2. Desakan berkemih (urgensi) inkontinensia urin, refleks berkemih
menurun
3. Distensi kandung kemih menurun Terapeutik
4. Berkemih tidak tuntas (hesistancy) 2. Siapkan peralatan, bahan-bahan, dan
menurun ruangan Tindakan
5. Volume residu urin menurun 3. Siapkan pasien: bebaskan pakaian
6. Urin menetes (dribbling) menurun bawah dan posisikan dorsal rekumben
7. Nokturia menurun (untuk Wanita) dan supine (untuk
8. Mengompol menurun laki-laki)
9. Enuresis menurun 4. Pasang sarung tangan
5. Bersihkan daerah perineal atau
preposium dengan cairan NaCl atau
aquades
6. Lakukan insersi kateter urin dengan
menerapkan prinsip aseptic
7. Sambungkan kateter urin dengan urin
bag
8. Isi balon dengan NaCl 0,9% sesuai
anjuran pabrik
9. Fiksasi selang kateter diatas simpisis
atau di paha
10. Pastikan urin bag ditempatkan lebih
rendah dari kandung kemih
11. Berikan label waktu pemasangan

Edukasi
12. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemasangan kateter urin
13. Anjurkan menarik napas saat insersi
selang kateter

2 Nyeri Akut (D.007) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (I.08238)
selama 3x24 jam diharapakan Tingkat
nyeri menurun (L.08066) Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
Kriteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
1. Keluhan nyeri menurun nyeri
2. Meringis menurun 2. Identifikasi skala nyeri
3. Sikap protektif menurun 3. Idenfitikasi respon nyeri non verbal
4. Gelisah menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat
5. Kesulitan tidur menurun dan memperingan nyeri
6. Frekuensi nadi membaik 5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan
analgetic

Terapeutik
10. Berikan Teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi nyeri (mis: TENS,
hypnosis, akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
Teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
11. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis: suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
12. Fasilitasi istirahat dan tidur
13. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
14. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
15. Jelaskan strategi meredakan nyeri
16. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
17. Anjurkan menggunakan analgesik
secara tepat
18. Ajarkan Teknik farmakologis untuk
mengurangi nyeri

Kolaborasi
19. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
3 Ansietas (D.0080) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Terapi relaksasi (I.09326)
selama 3x24 jam diharapakan ansietas Observasi
menurun dengan kriteria hasil (L.09093) 1. Identifikasi penurunan tingkat energi,
1. Verbalisasi khawatir akibat kondisi ketidakmampuan berkonsentrasi atau
yang dihadapi menurun gejala lain yang menggangu
2. Prilaku tegang menurun kemampuan kognitif
3. Pucat menurun 2. Periksa ketegangan otot, frekuensi
4. Pola tidur membaik nadi, tekanan darah dan suhu
5. Frekuensi nadi membaik 3. Monitor respon terhadap terapi
relaksasi

Terapeutik:

4. Cptakan linngkungan tenang tanpa


gangguan
5. Gunakan nada suara lembut dengan
irama lambat dan berirama
6. Gunakam relaksasi sebagai strategi
peunjang dengan analgetic atau
Tindakan medis lain
Edukasi:

7. Jelaskan tujuan, manfaat, Batasan


dan jenis relaksasi yang tersedia
(nafas dalam, music, relaksasi otot
progresif)
8. Anjurkan rileks dan merasakan
sensasi relaksasi
9. Anjurkan sering mengulangi atau
melatih Teknik yang dipilih
10. Demonstrasikan dan latih Teknik
relaksasi (nafas dalam, peregangan
atau imajinasi terbimbing)
4 Resiko Infeksi (D.0142) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Infeksi (I.14539)
selama 3x24 jam diharapakan tingkat
Observasi
infeksi menurun (L.14137) 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal
dan sistemik
Kriteria hasil:
1. Demam menurun Terapeutik
2. Batasi jumlah pengunjung
2. Kemerahan menurun 3. Berikan perawatan kulit pada area
edema
3. Nyeri menurun
4. Cuci tangan sebelum dan sesudah
4. Bengkak menurun kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
5. Kadar sel darah putih membaik
5. Pertahankan teknik aseptic pada
pasien berisiko tinggi

Edukasi
6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
7. Ajarkan cara mencuci tangan dengan
benar
8. Ajarkan etika batuk
9. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
10. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
11. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan

Kolaborasi
12. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3, EGC, Jakarta

Purnomo. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto

Sjamsuhidrajat, R. Jong, WD. 2005. Buku Ilmu Ajar Bedah. Jakarta: EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Yuli Reny, 2007. Buku ajar asuhan keperawatan Gerontik. Jakarta: CV. Trans Info
Media

Anda mungkin juga menyukai