Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Di Ruang Bedah Umum RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh :

YOLA WINDA WIDHIARTA

17613015

KELOMPOK D8

PRODI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Oleh : Yola Winda Widhiarta

Judul :Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Telah disetujui dalam rangka mengikuti Praktek Klinik Keperawatan III

(PKK III) Mahasiswa DIII Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Ponorogo pada tanggal 06 - 11 Juli 2020.

Mengetahui

Pembimbing Institusi

(.....................................................)
LAPORAN PENDAHULUAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau sering disebut pembesaran
prostat jinak adalah sebuah penyakit yang sering terjadi pada pria dewasa
dimana terjadi pembesaran prostat (Dipiro et al, 2015). BPH terjadi pada zona
transisi prostat, dimana sel stroma dan sel epitel berinteraksi. Sel sel ini
pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan respon sitokin. Pada
penderita BPH hormon dihidrotestosteron (DHT) sangat tinggi dalam jaringan
prostat. Sitokin dapat memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel.
Prostat membesar mengakibatkan penyempitan uretra sehingga terjadi gejala
obstruktif yaitu : hiperaktif kandung kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah
(Skinder et al, 2016).
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) dikaitkan dengan gejala saluran
kemih bawah, Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita
pembesaran prostat jinak yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin
tersendat-sendat, mengeluarkan urin disertai darah, dan merasa tidak tuntas
setelah berkemih (Dipiro et al, 2015).
2. Anatomi Fisiologi Prostat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti buah kemiri
dengan ukuran 4 x 32,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini
terdiri atas jaringan fibromuskuler dan glandular yang terbagi dalam beberapa
daerah atau zona yaitu : perifer, sentral, transisional, prepostatik sfingter dan
anterior. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu
komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus
sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan
bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan ±
25% dari volume ajakulat Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak,
mengakibatkan uretra posterior membuntu dan mengakibatkan terjadinya
obstruksi saluran kemih .Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona
transisional (Purnomo, 2010).
Mc Vary membagi kelenjar prostat menjadi 3 bagian, yaitu:
a. Zona sentral
b. Zona perifer 75% volume prostat normal. Kanker prostat berkembang dari
zona ini.
c. Zona transisional.5-10% volume prostat normal) ini merupakan bagian dari
prostat yang membesar pada hiperplasia prostat jinak.
Kelenjar prostat yang sehat seperti ukuran kenari, letaknya tepat di bawah
blader dan di atas rektum. dan mengelilingi uretra. Perannya untuk
menghasilkan cairan kental yang membuat sebagian besar air mani pria. Otot
prostat membantu sperma bergerak melalui saluran ejakulasi, dan juga
membantu membuka kandung kemih untuk memungkinkan urin melewati
uretra. dengan demikian, kelenjar prostat yang sehat diperlukan untuk kinerja
yang memuaskan dari kedua fungsi seksual dan saluran kencing (Mc Vary et
al, 2010).
Fisiologi Prostat
Sekret kelenjar prostat seperti cairan susu, sekret berasal dari vesikula
seminalis yang merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi
sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam yaitu 6,5. Selain itu dapat
ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam,
enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui
kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma
seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula
seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh
androgen bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol (Mulyono,
1995 dalam Mc Vary et al, 2010).
3. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan adanya perubahan keseimbangan antara hormon
testosteron dan estrogen pada usia lanjut, peranan faktor pertumbuhan (growth
factor) sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat, meningkatnya
lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel-sel yang mati dan terjadinya
proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan
sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Purnomo, 2010).
4. Patofisiologi
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel epitel
berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan
respon sitokin. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi dihidrotestosteron
(DHT), DHT merupakan androgen dianggap sebagai mediator utama
munculnya BPH ini. Pada penderita ini hormon DHT sangat tinggi dalam
jaringan prostat. Sitokin berpengaruh pada pembesaran prostat dengan memicu
respon inflamasi dengan menginduksi epitel. Prostat membesar karena
hyperplasia sehingga terjadi penyempitan uretra yang mengakibatkan aliran
urin melemah dan gejala obstruktif yaitu : hiperaktif kandung kemih, inflamasi,
pancaran miksi lemah (Skinder et al, 2016).
Penyebab BPH masih belum jelas, namun mekanisme patofisiologinya
diduga kuat terkait aktivitas hormon Dihidrotestosteron (DHT). DHT
merupakan suatu androgen yang berasal dari testosteron melaui kerja enzim
5α-reductase dan metabolitnya, 5α- androstanediol merupakan pemicu utama
terjadinyaa poliferase kelenjar pada pasien BPH. Pengubahan testosteron
menjadi DHT diperantai oleh enzim 5α-reductase. Ada dua tipe enzim 5α-
reductase, tipe pertama terdapat pada folikel rambut, kulit kepala bagian
depan, liver dan kulit. Tipe kedua terdapat pada prostat, jaringan genital, dan
kulit kepala. Pada jaringan-jaringan target DHT menyebaabkan pertumbuhan
dan pembesaran kelenjar prostat (Mc Vary et al, 2010).
Pathway

Hormon Peningkatan sel Interaksi sel epitel


testosteron dan sistem dan stroma
estrogen tidak
seimbang

Berkurangnya
kematian sel
prostat

Hiperplasia pada epitel dan stroma pada kelenjar prostat

Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)

Terapi konservatif Obstruksi saluran Tindakan operatif


kemih
Ansietas
Katerisasi
Retensi urine Prostatektomi

Resiko infeksi

Anestesi Nyeri Perdarahan Luka insisi Hambatan


akut mobilitas
fisik
Penurunan motorik
Resiko Resiko infeksi
kekurangan
Kelemahan volume cairan
anggota gerak

Resiko cedera
5. Manifestasi Klinis
Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran
kemih bagian bawah atau Lower Urinary Track Symptoms (LUTS). Gejala
pada saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms)
dan gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala Obstruktif ditimbulkan karena
adanya penyempitan uretra karena didesak oleh prostat yang membesar. Gejala
yang terjadi berupa harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy),
pancaran miksi yang lemah (weak stream), miksi terputus (Intermittency),
harus mengejan (straining). Gejala Iritatif disebabkan oleh pengosongan
kandung kemih yang tidak sempurna pada saat miksi atau berkemih, sehingga
kandung kemih sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala yang terjadi
adalah frekuensi miksi meningkat (Frequency), nookturia, dan miksi sulit
ditahan (Urgency) (Kapoor, 2012). Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh
penderita pembesaran prostat jinak yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran
urin tersendat-sendat, mengeluarkan urin disertai darah, dan merasa tidak
tuntas setelah berkemih (Dipiro et al, 2015).
6. Faktor Resiko BPH
a. Berusia diatas 60 tahun
b. Kurang berolahraga
c. Memiliki berat badan berlebih
d. Menderita penyakit jantung atau diabetes
e. Rutin mengkonsumsi obat hipertensi jenis penghambat beta
f. Memiliki keluarga yang mengalami gangguan prostat (Purnomo, 2010).
7. Pemeriksaan Penunjang
a. USG Prostat, untuk melihat ukuran prostat penderita
b. Tes urine, untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi atau kondisi lain
yang memiliki gejala mirip dengan pembesaran prostat jinak
c. Tes darah, untuk memeriksa kemungkinan gangguan pada ginjal
d. Tes pengukuran kadar antigen (PSA) dalam darah. PSA dihasilkan pleh
prostat dan kadarnya dalam darah akan meningkat bila kelenjar prostat
membesar atau mengalami gangguan (Purnomo, 2010).
8. Penatalaksanaan
a. Perawatan Mandiri
Bila gejala yang dirasakan tergolong ringan, pasien bisa melakukan
penanganan secara mandiri untuk meredakan gejala, yaitu dengan:
1. Menghindari minum apapun satu atau dua jam sebelum tidur
2. Membatasi asupan minuman yang mengandung kafein dan alkohol
3. Membatasi konsumsi obat flu yang mengandung dekongestan dan
antihistamin
4. Tidak menahan atau menunda BAK
5. Menjaga berat badan ideal, dengan menjalani pola makan yang sehat
6. Berolahraga secara teratur dan rutin melakukan senam kagel
7. Mengelola stres dengan baik
b. Obat-obatan
Bila pengobatan mandiri tidak bisa meredakan gejala, dokter dapat
meresepkan obat-obatan sebagai berikut:
1. Penghambat alfa, seperti tamsulosin, untuk memudahkan BAK
2. Penghambat 5-alpha reductase, seperti finasteride atau dutasteride,
untuk menyusutkan ukuran prostat
Penelitian menunjukkan bahwa obat untuk menangani disfuksi ereksi,
seperti tadalafil juga bisa digunakan untuk mengatasi pembesaran
prostat jinak.
c. Operasi
1. Transurethral resection of the prostate (TURP)
TURP merupakan metode operasi yang paling sering dilakukan
untuk mengangkat kelebihan jaringan prostat. Dalam prosedur ini,
jaringan prostat yang menyumbat diangkat sedikit demi sedikit
menggunakan alat khusus yang dimasukkan melalui lubang kencing.
2. Transurethral incision of the prostate (TUIP)
TUIP tidak mengangkat jaringan prostat, namun membuat irisan
kecil pada prostat agar aliran urine menjadi lancar. Prosedur ini
dilakukan pada pembesaran prostat yang ukurannya kecil hingga
sedang.
3. Metode pengobatan lainnya
Selain kedua prosedur diatas, jaringa prostat yang menyumbat bisa
dibakar dengan sinar laser atau diangkat melalui operasi terbuka.
Pengangkatan prostat melalui operasi terbuka (prostatektomi) dilakukan
apabila ukuran jaringan prostat sudah sangat besar atau sudah terdapat
kerusakan pada kandung kemih. Dalam prosedur ini, prostat diangkat
melaui sayatan yang dibuat diperut (Purnomo, 2010),
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi nama, umur (BPH biasanya terjadi pada usia lebih dari 50
tahun), no.registrasi, jenis kelamin (BPH hanya di alami oleh laki-
laki), pendidikan, pekerjaan, agama, diagnose medis.
b. Keluhan Utama
Klien dengan BPH biasanya akan mengeluhkan rasa nyeri saat miksi.
Klien juga sering miksi berulang-ulang (anyang-anyangan), terbangun
ingin miksi saat malah hari, perasaan ingin miksi yang mendadak saat
miksi harus menunggu lama dan kencing terputus-putus.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Penyakit BPH yang diderita saat ini
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien pernah menderita BPH sebelumnya dan apakah klien pernah
dirawat di rumah sakit sebelumnya.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya penyakit keturunan dari keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : melihat keadaan klien tampak baik
TTV meliputi memeriksa tekanan darah, suhu, respirasi
b. Kepala / Wajah
Inspeksi : melihat apakah kepala dan wajah klien tampak simetris atau
tidak
Palpasi : apakah ada nyeri tekan pada bagian kepala dan wajah tau
tidak, periksa apakah ada oedema
c. Mata
Inspeksi : mengatami mata klien apakah simetris atau tidak, pupil
isokor atau tidak, dan apakah pergerakan mata bisa terkoordinasikan
atau tidak
Palpasi : apakah pada area mata ada nyeri tekan, atau apakah ada
oedema disekitar mata klien
d. Hidung
Inspeksi : mengamati bentuk hidung klien simetris atau tidak, dan
apakah penciuman klien masih normal, perhatikan apakah ada
pernafasan cuping hidung.
Palpasi : apakah terdapat nyeri tekan pada hidung klien, adakah
oedema diarea hidung klien.
e. Telinga
Inspeksi : mengamati telinga klien simetris atau tidak, telinga tampak
bersih atau kotor.
Palpasi : ada atau tidaknya nyeri tekan pada area telinga
f. Mulut dan gigi
Inspeksi : mengamati gigi dan mulut klien apakah gigi tampakrapi dan
bersih, mukosa bibir kering atau lembab, adakah stomatitis atau tidak.
Palpasi : periksa apakah ada oedema atau nyeri tekan pada area mulut
g. Leher
Inspeksi : mengamati apakah trakea berada ditengah atau tidak.
Palpasi : ada nyeri tekan atau tidak, terdapat oedema atau tidak
h. Payudara dan ketiak
Inspeksi : menagmai apakah payudara tampak simeris atau tidak,
apakah ketiak tampak bersih atau tidak.
Palpasi : apakah ada nyeri tekan atau tidak, ada odema ataui tidak
pada area ketiak dan payudara
i. Thorak
Inspeksi : mengamati apakah benuk dada simetris atau tidak, ada atau
tidaknya retraksi otot, dinding dada.
Palpasi :ada nyeri tekan atau tidak pada area dada
j. Paru-paru
Inspeksi : memperhatikan pengembangan dada kanan dan kiri apakah
sama atau tidak
Palpasi : vocal fremitus teraba kanan atau kiri
Perkusi : sonor
k. Jantung
Inspeksi :ictus cordis tampak atau tidak
Palpasi : teraba pada ics keberapa
Perkusi : pekak
Auskultasi :terdengar bunyi jantung regular
l. Integument
Inspeksi : mengamati apakah kulit tamapak kering atau lembab, kuli
berwarna apa.
Palpasi : ada atau tidaknya nyeri tekan, apakah ada oedema atau tidak
pada integument.
m. Abdomen
Inspeksi : mengamai apakah abdomen tampak bersih atau tidak.
Auskultasi : dilakukan untuk mendengar bising usus pada klien
Palpasi : melakukan pemeriksaan pada kanan bawah terdapat nyeri
tekan atau tidak saat klien melakukan aktivitas.
Perkusi : terdapat bunyi timpani atau tidak , terdengar bunyi lain
n. Genetalia
Inspeksi : mengamati ada atau tidaknya lesi, terpasang kateter
Palpasi : periksa apakah ada nyeri tekan atau tidak
o. Ekstermitas
Pemeriksaan pada ekstermitas meliputi kekuatan otot, ada atau
tidaknya oedema dan fraktur pada klien.
3. Diagnosa Yang Muncul
a. Nyeri akut berhubungan dengan proses insisi pembedahan
prostatektomi.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
metabolik sekunder akibat operasi prostatektomi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, trauma jaringan.
4. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d proses insisi pembedahan prostatektomi
Definisi : pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan
yang actual dan potensional.
Batasan karakteristik : fakta dari observasi, respon autoimun (seperti
diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi), tingkah
laku ekspresif (gelisah, merintih, manangis, waspada).
 NOC
Pain level, pain control, comfort level.
Kriteria Hasil :
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan).
2. Melaporkan bahwa nyeri yang dirasakan sudah berkurang
dengan menggunakan manajemen nyeri.
3. Mampu mengenali nyeri yang dirasakan (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda nyeri).
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal.
 NIC
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi.
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan.
3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan.
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
5. Gunakan teknik komunikasi terapeutik ungtuk mengetahui
pengalaman nyeri pada pasien.
6. Kaji kultur yang mempengaruhi rasa nyeri pada pasien
7. Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi: nafas dalam,
relaksasi, distraksi, kompres hangat/dingin.
8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
b. Hambatan mobilitas fisik b/d peningkatan kebutuhan metabolik
sekunder akibat operasi prostatektomi.
Definisi : keterbatasan dalam kebebasan untuk pergerakan fisik
tertentu pada bagian tubuh atau ekstremitas.
Batasan karakteristik : keterbatasan ROM, penurunan kekuatan otot,
kontrol dan atau masa, keengganan untuk melakukan gerak, intoleransi
aktivitas atau penurunan kekuatan dan stamina.
 NOC
Joint Movement : Active, Mobility level, Self care : ADLs
Kriteria Hasil :
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik.
2. Mengerti tujuan dan peningkatan mobilitas.
3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan
dan kemampuan berpindah.
4. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi
(walker).
 NIC
1. Monitor vital sign sebelum dan sesudah latihan dan lihat
respon pasien saat latihan.
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
ambulansi sesuai dengan kebutuhan.
3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan
cegah terhadap cedera.
4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik
ambulansi.
5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.
6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara
mandiri sesuai kemampuan.
7. Berikan alat bantu jika pasien memerlukan.
8. Ajarkan psien bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.
c. Resiko infeksi b/d tidak adekuatnya pertahanan primer, trauma
jaringan
Definisi : peningkatan resiko masuknya organisme patogen.
Batasan karakteristik : prosedur infasif, trauma, kerusakan jaringan dan
peningkatan paparan lingkungan, tidak adekuat pertahanan sekunder
(penurunan Hb, penekanan respon inflamasi).
 NOC
Immune Status, Knowledge: Infection Control, Risk Control
Kriteria Hasil :
1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
2. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang
mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya.
3. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya
infeksi
4. Jumlah leukosit dalam batas normal
5. Menunjukkan perilaku hidup sehat
 NIC
1. Pertahankan teknik aseptik.
2. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan.
3. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
4. Tingkatkan intake nutrisi.
5. Berikan terapi antibiotik.
6. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase.
7. Monitor adanya luka.
8. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Cecily, V., et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition. USA:
McGraw-Hills Education eBook.

Mc Vary, K, T,. Roehrborn, C, G,. Avins, A, L. 2010. American Urological


Association Guideline: Management Of Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH). American Urological Association Education And Research, Inc.

Nurarif, Amin Huda & Kusuma Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Jakarta: EGC.

Purnomo, Hari. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Yogyakarta: Penerbit


Andi.

Skinder, D., Zacharia, I., Studin, J., and Covino, J. 2016. Benign Prostatic
Hyperplasia: A Clinical Review Vol. 29 No. 8.

Anda mungkin juga menyukai