Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN BPH (BENIGNA PROSTAD HIPERPLASIA)

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

DISUSUN OLEH:

Sepul Alam
NIM: 24191390

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
BPH (BENIGNA PROSTAD HIPERPLASIA)

A. PENGERTIAN

Seiring bertambahnya usia, sistem kerja tubuh mengalami


penurunan fungsi pula, atau yang biasa disebut degenerasi. Hal ini terjadi
baik secara fungsi anatomis maupun fisiologis. Salah satu sistem tubuh
yang terganggu akibat proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada
sistem genitourinari lansia pria, masalah yang sering terjadi akibat
penuaan, yakni pembesaran kelenjar prostat Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH) (DeLaune & Ladner, 2002).
Prostat adalah kelenjar bagian dari sistem reproduksi pria yang
berukuran sebesar kacang kenari. Prostat tersusun atas dua bagian
membentuk kerucut dan luarnya dilapisi suatu jaringan. Selain kelenjar,
prostat juga tersusun atas jaringan otot sebanyak 30-50%. Prostat terletak
di depan rektum dan tepat di bawah kandung kemih. Fungsi prostat yang
diketahui baru untuk memproduksi cairan sebagai zat makanan bagi
sperma dan mengubah keasaman liang vagina. Cairan ini baru dikeluarkan
saat sperma melewati uretra (saluran kencing), yang berjalan di bagian
tengah prostat, ketika seorang laki-laki berada dalam fase klimaks seksual
(Anindyajati, 2019).
BPH adalah tumor jinak pada prostat akibat sel prostat yang terus
mengalami pertumbuhan. Secara mikroskopik, perubahan prostat bisa
dilihat sejak seseorang berusia 35 tahun. Pada usia 60-69 tahun,
pembesaran prostat mulai menimbulkan keluhan klinis pada 50% pria.
Sementara pada usia 80 tahun, BPH terjadi pada hampir 100% pria. Pada
tahun 2000, WHO mencatat ada sekitar 800 juta orang yang mengalami
BPH di seluruh dunia. Ketika prostat membesar, jaringan yang
melapisinya di luar tidak ikut berekspansi, hal ini menyebabkan uretra
terjepit. Dinding kandung kemih pun menebal dan mudah terangsang,
ditandai dengan gampangnya kandung kemih berkontraksi meskipun
hanya berisi sedikit urin. Lama kelamaan kandung kemih akan kehilangan
kemampuannya berkontraksi sehingga tak mampu mengeluarkan urin.
Hal-hal inilah yang menyebabkan keluhan klinis pada pasien dengan
pembesaran prostat (Anindyajati, 2019).
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat
dan De jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :

1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur


ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml.
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total.

Kesimpulan BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah suatu


penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, yang biasa terjadi pada
pria. Dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas dan
kedalam kandung kemih sehingga menyumbat aliran urin dengan cara
menutupi orifisium uretra.

B. ETIOLOGI

Menurut Purnomo (2000) hingga sekarang belum diketahui secara


pasti penyebab prostat hiperplasi. Tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. IAUI (2003) menjelakan
bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat,
seperti usia, adanya peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor
tersebut selanjutnya mempengaruhi prostat untuk mensintesis protein
growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel prostat. Selain itu,
pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya proses
apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat
membesar bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga
karena berkurangnya kematian sel.
Sejak dulu diyakini BPH terjadi hanya pada lelaki berusia lanjut
dan tak mungkin terjadi pada lelaki yang testisnya dibuang sebelum
pubertas. Melalui penelitian, BPH dikaitkan dengan perubahan komposisi
hormon testosteron dan estrogen di masa tua (Anindyajati, 2019):

1. Berkurangnya jumlah tesosteron yang aktif.


2. Peningkatan hormon estrogen memengaruhi pertumbuhan sel kelenjar
prostat.
3. Produksi dihidrotestosteron pada lelaki usia lanjut yang memacu
pertumbuhan sel.

Menurut Kirby (1994) ada beberapa faktor kemungkinan penyebab


lain antaranya:
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan
hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

C. TANDA DAN GEJALA

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih


maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda
dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah,
gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung
kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai
miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),
dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi).
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan
ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat
miksi).
2. Keluhan pada saluran kemih atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas
berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan
dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada
saat miksi sehingga mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun
gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH adalah pada
pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri
tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada
epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan
volume residual yang besar.
D. PATOFISIOLOGI

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak
di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Sjamsuhidajat (2005) menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan
terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen
pada jaringan adipose di perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi
perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga
terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan
kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat.
Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan
kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos
keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor
ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan
berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin (Purnomo, 2000).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria
tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih
tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia
paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks
vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi
yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
E. PATWAY

Penuaan (bertambah usia)

Ketidakseimbangan hormon esterogen dan testoteron

Kadar testoteron Peningkatan esterogen


menurun

Dihidrotestoteron Peningkatan epidermal grow


5 alfa reduksi meningkat faktor

Mempengaruhi RNA Penurunan transforming


dalam inti sel grow faktor

Epitel dan stoma Hiperplasi sel stoma


kelenjar prostat meninngkat

Poliverasi sel prostat Peningkatan sel trem


BPH
Poliferasi sel transit

TUR-P
Penyempitan lumen
Posterior iritasi mukosa pemasangan Kurang
Kandung kemih DC informasi thd
pembedahan
R. perdarahan
Ransangan syaraf Luka
diameter kecil Cemas
Obstruksi Nyeri akut Tempat masuk
Gate terbuka mikroba
Retensi urin
Syaraf eferen
R. Infeksi
Cortex ceribi

Nyeri akut

G. Pola tidur
F. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain:


dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih,
karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal
ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu
endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat
hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan
pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH
sendiri dapat menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan
kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status
metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA
4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu
PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10
ng/ml.
2. Pemeriksaan darah lengkap
Perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang
sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume
BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos
dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal
atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari
fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-
belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan
besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan
batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal
apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP
untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis.
Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah
isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya
tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk
melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai
residual urin.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS

Menurut Sjamsuhidjat (2005) penatalaksanaan pasien dengan BPH


tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu:

1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum membutuhkan tindakan bedah.
Cukup diberikan pengobatan konservatif misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
3. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan


dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif
adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi
LH. Selain daripada itu, menurut Purnomo (2000), penatalaksanaan pada
BPH dapat dilakukan dengan:

1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan,
kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa
kencing dan colok dubur.
2. Medikamentosa
Ada beberapa jenis obat yang dapat diberikan, yaitu:
a. Penghambat adrenalreseptor α
b. Obat antiandrogen
c. Penghambat enzim α-2 reduktase
3. Terapi bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui
uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat
pada kandung kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki
kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
4. Terapi invensif minimal
a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa,
status perkawinan, pendidikan, tanggal masuk ke rumah sakit,
nomor register dan diagnosa keperawatan.
b. Keluhan utama
Bapak datang dengan mengeluh tidak bisa buang air keci, nyeri
pada pinggang dan pada saat BAK harus mengejan.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti infeksi
saluran kemih, vesicholithiasis atau sindrom nefrotik.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat sebelum dibawa ke RS sejak dua bulan terakhir BAK
pasien tidak lancar, urinnya berwarna kemerahan, ketika BAK
harus mengedan dan sejak 5 jam sebelum datang ke RS air
kencingnya macet total, abdomen bagian bawah semakin
membesar dan menegang serta pasien merasa sangat nyeri.
3) Riwayat kesehatan Keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti penyakit
kelamin, DM, hipertensi dan lain-lain yang mungkin penyakit
tersebut diturunkan kepada klien.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan
suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada
retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin
serta urosepsis sampai syok - septik.
2) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual
untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis.
Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
3) Pemeriksaan penis dan uretra untuk mendeteksi
kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra,
karsinoma maupun fimosis.
4) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya
epididimitis.
5) Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra
dan besarnya prostat.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Pre Op
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung
kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli,
distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca
obstruksi diuresis.
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah.
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
2. Post Op
a. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunder pada TUR-P.
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat
selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
c. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan.
d. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan
akan impoten akibat dari TUR-P.
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek
pembedahan.
K. INTERVENSI

1. Pre Op

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1. Retensi urin b.d obstruksi Setelah dilakukan intervensi 3x24 ONEC
mekanik, pembesaran jam diharapkan retensi urin 1. Dorong klien untuk berkemih 1. Untuk meminimalkan
prostat, dekompensasi berkurang, dengan kriteria hasil: setiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba distensi berlebih pada
otot destrusor dan 1. Berkemih dengan jumlah yang dirasakan vesika urinasri.
ketidakmapuan kandung normal. 2. Observasi jumlah urin. 2. Untuk mengevaluasi
kemih untuk berkontraksi 2. Tidak teraba distensi vesika Perhatikan jumlah urin dan obtruksi dan pilihan
secara adekuat. urinaria. kekuatyan pancaran. intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta 3. Retensi urin
jumlah setiap kali berkemih. meningkatkan tekanan
4. Berikan cairan hingga 3000 ml dalam saluran
sehari dalam toleransi jantung. perkemihan yang dapat
5. Edukasi keluarga terkait kondisi mempengaruhi fungsi
yang dialami klien. ginjal.
6. Libatkan keluarga dalam terapi 4. Untuk meningkatkan
cairan. aliran cairan,
7. Kolaborasi dengan dokter meningkatkan perfusi
pemberianb obat antispamodik ginjal serta
sesuai indikasi dan alur membersihkan ginjal,
pemberian. vesika urinari dari
pertumbuhan bakteri.
5. Untuk meminimalisir
kecemasan keluarga
terkait kondisi
kesehatan amggota
keluarganya.
6. Untuk memudahkan
perawat dalam
melakukan intervensi
dan pengawasan.
7. Untuk mengurangi
spasme vesika urinari
dan mempercepat
penyembuhan.
2. Nyeri ( akut ) b.d iritasi Setelah dilakukan intervensi 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Untuk menentukan
mukosa buli – buli, keperawatan selama 3x24 jam komprehensif termasuk lokasi, intervensi yang
distensi kandung kemih, diharapkan nyeri berkurang karakteristik, durasi, frekuensi, dibutuhkan
kolik ginjal, infeksi dengan kriteria hasil: kualitas, dan faktor presipitasi. selanjutnya.
urinaria 1. Mampu mengontrol nyeri. 2. Observasi reaksi non verbal dari 2. Untuk mengkaji lebih
2. Melaporkan adanya penurunan ketidaknyamanan. jauh masalah yang
nyeri dengan menggunakan 3. Berikan tindakan kenyamanan ditimbulkan guna
managemen nyeri. (sentuhan terapeutik, menemukan solusi
3. Mampu mengenali nyeri pengubahan posisi, pijatan terbaik.
(skala, intensitas, frekuensi punggung ) dan aktivitas 3. Untuk memberikan
dan tanda nyeri). terapeutik. kenyaman dan
4. Adanya penurunan skala nyeri. 4. Evaluasi bersama tim kesehatan perasaan “dirawat”
lain tentang ketidakefektifan oleh perawat.
kontrol nyeri yang telah 4. Untuk mengkaji
diberikan. keefektifan
5. Ajarkan tentang teknik non managemen nyeri yang
farmakologis. diberikan.
6. Kolaborasi dengan dokter 5. Untuk mengkontrol
pertimbangan pemberian terapi nyeri yang dirasakan
farmakologi jika dibutuhkan. pasien.
6. Untuk menurunkan
nyeri yang dirasakan
pasien.
3. Resiko tinggi kekurangan Setelah dilakukan intervensi 1. Pantau keluaran urin tiap jam 1. Diuresisi yang cepat
cairan tubuh yang keperawatan selama 3x24 jam bila diindikasikan. Perhatikan dapat mengurangkan
berhubungan dengan diharapkan resiko menurun dan keluaran 100-200 ml/. volume total karena
pasca obstruksi diuresis keseimbangan cairan tubuh dapat 2. Pantau masukan dan kaluaran ketidakcukupan
dikontrol dengan kriteria hasil: cairan. jumlah natrium
1. TTV stabil 3. Awasi tanda-tanda vital, diabsorbsi tubulus
2. Membran mukosa lembab. perhatikan peningkatan nadi ginjal
3. Keluaran cairan lebih cepat. dan pernapasan, penurunan 2. Indikator keseimangan
tekanan darah, diaforesis dan cairan dan kebutuhan
pucat. penggantian.
4. Tingkatkan tirah baring dengan 3. Deteksi dini terhadap
kepala lebih tinggi. hipovolemik sistemik.
5. Edukasi keluarga dan klien 4. Menurunkan kerja
tentang intervensi yang jantung memudahkan
diberikan. hemeostatis sirkulasi.
6. Kolaborasi dalam memantau 5. Untuk menambah
pemeriksaan laboratorium pengetahuan klien dan
sesuai indikasi. Contoh: Hb / keluarga, serta tidak
Ht, jumlah sel darah merah. menimbulkan
Pemeriksaan koagulasi, jumlah kekhawatiran terkait
trombosit. intervensi yang
diperikan tenaga
medis.
6. Berguna dalam
evaluasi kehilangan
darah / kebutuhan
penggantian. Serta
dapat
mengindikasikan
terjadinya komplikasi
misalnya penurunan
faktor pembekuan
darah.
4. Ansietas b.d perubahan Setelah dilakukan intervensi 1. Kaji tingkat kecemasan klien. 1. Untuk mengetahui
status kesehatan atau keperawatan selama 2x24 jam 2. Dampingi klien dan keluarga tingkat keparahan
menghadapi prosedur diharapkan cemas berkurang dan bina hubungan saling kecemasan klien.
bedah. dengan kriteria hasil: percaya. 2. Untuk menenangkan
1. Klien dan keluarga tidak 3. Dorong klien atau orang terdekat klien dan keluarga
cemas lagi. untuk menyatakan masalah atau bahwa segala tindakan
2. Klien lebih siap menghadapi perasaan. yang akan dilakukan
operasi yang akan dilakukan. 4. Memberikan informasi tentang oleh tenaga profesional
3. Klien dan keluarga memahami prosedur tindakan yang akan sehingga tidak perlu
tujuan dari pembedahan. dilakukan. terlalu cemas.
5. Kolabiorasi dengan tenaga 3. Memberikan
kesehatan lain terkait intervensi kesempatan pada klien
yang diberikan. dan konsep solusi
pemecahan masalah.
4. Membantu klien dalam
memahami tujuan dari
suatu tindakan.
5. Untuk dapat
mengobservasi
bersama keberhasilan
intervensi yang
diberikan.
5. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan intervensi 1x24 1. Dorong klien menyatakan rasa 1. Membantu klien dalam
tentang kondisi jam diharapkan pengetahuan klien takut persaan dan perhatian. mengalami perasaan.
,prognosis, dan dan keluarga meningkat terkait 2. Kaji ulang proses penyakit, dan 2. Memberikan dasar
kebutuhan pengobatan penyakit dan prognosisnya. pengalaman klien. pengetahuan dimana
berhubungan dengan Dengan kriteria hasil: 3. Edukasi klien dan keluarga ttg klien dapat membuat
kurangnya informasi. 1. Perilaku dan pola hidup keparahan penyakit. pilihan informasi
berubah menjadi lebih baik. 4. Kolaborasi dengan keluarga dan terapi.
2. Mau untuk ikut berperan aktiv tim medis terkait pengobatan 3. Meningkatkan
dalam pengobatan. lebih lanjut. pengetahuan klien dan
keluarga terkait
penyakit.
4. Untuk mementukan
pengobatan terbaik
yang dapat diberikan.

2. Post Op
N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
O
1. Nyeri b.d spasmus Setelah dilakukan intervensi 3x24 ONEC
kandung kemih dan insisi jam diharapkan nyeri berkurang 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Untuk menentukan
sekunder pada TUR-P. bahkan hilang dengan kriteria secara komprehensif termasuk intervensi yang akan
hasil: lokasi, karakteristik, durasi, diberikan selanjutnya.
1. Mampu mengontrol nyeri. frekuensi, kualitas, dan faktor 2. Menentukan
2. Melaporkan adanya penurunan presipitasi. terdapatnya spasmus
nyeri dengan menggunakan 2. Pemantauan klien pada interval sehingga obat – obatan
managemen nyeri. yang teratur selama 24 jam, dan bisa diberikan.
3. Mampu mengenali nyeri dilanjutkan 24 jam pada hari 3. Sumbatan pada selang
(skala, intensitas, frekuensi berikutnya, untuk mengenal kateter oleh bekuan
dan tanda nyeri). gejala – gejala dini dari spasmus darah dapat
4. Adanya penurunan skala nyeri. kandung kemih. menyebabkan distensi
3. Menjaga selang drainase urine kandung kemih dengan
tetap aman dipaha untuk peningkatan spasme.
mencegah peningkatan tekanan 4. Untuk mengkontrol
pada kandung kemih. Irigasi nyeri yang dirasakan
kateter jika terlihat bekuan pada pasien.
selang. 5. Mengurangi tekanan
4. Berikan teknik managemen pada luka insisi.
nyeri non farmakologis. 6. Menurunkan tegangan
5. Anjurkan pada klien untuk tidak otot, memfokuskan
duduk dalam waktu yang lama kembali perhatian dan
sesudah tindakan TUR-P. dapat meningkatkan
6. Ajarkan penggunaan teknik kemampuan koping.
relaksasi, termasuk latihan nafas 7. Kien dapat mendeteksi
dalam dan imajinasi. gajala dini spasmus
7. Jelaskan pada klien tentang kandung kemih.
gejala dini spasmus kandung 8. Memberitahu klien
kemih. bahwa
8. Jelaskan pada klien bahwa ketidaknyamanan
intensitas nyeri dan hanya temporer.
frekuensinya akan berkurang 9. Mengurang
dalam 24 sampai 48 jam. kemungkinan spasmus.
9. Beri penyuluhan pada klien agar 10.Menghilangkan nyeri
tidak berkemih ke seputar dan mencegah
kateter. spasmus kandung
10.Kolaborasi dengan dokter untuk kemih.
memberi obat – obatan
(analgesik atau anti spasmodik )
2. Resiko tinggi infeksi b.d Setelah dilakukan intervensi 3x24 1. Pertahankan sistem kateter 1. Mencegah masuknya
prosedur invasif: alat jam diharapkan resiko menurun steril, berikan perawatan kateter bakteri dan virus yang
selama pembedahan, atau bahkan hilang. Dengan dengan steril. menyebabkan infeksi.
kateter, irigasi kandung kriteria hasil: 2. Pertahankan posisi urin bag 2. Menghindari refleks
kemih sering. 1. Klien tidak menunjukkan dibawah. balik urine yang dapat
tanda-tanda infeksi. 3. Observasi tanda – tanda vital, memasukkan bakteri
2. TTV normal dan tidak laporkan tanda – tanda shock ke kandung kemih.
menunjukkan tanda-tanda dan demam. 3. Mencegah sebelum
syok. 4. Observasi urine: warna, jumlah, terjadi shock.
3. Waktu penyembuhan sesuai bau. 4. Mengidentifikasi
dengan yang di rencanakan. 5. Anjurkan intake cairan yang adanya infeksi.
cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga 5. Meningkatkan output
dapat menurunkan potensial urine sehingga resiko
infeksi. terjadi ISK dikurangi
6. Kolaborasi dengan dokter untuk dan mempertahankan
memberi obat antibiotik. fungsi ginjal.
6. Untuk mencegah
infeksi dan membantu
proses penyembuhan.
3. Resiko tinggi cidera: Setelah dilakukan intervensi 1. Pantau traksi kateter: catat 1. Traksi kateter
perdarahan b.d tindakan selama 3x24 jam diharapkan waktu traksi di pasang dan menyebabkan
pembedahan resiko berkurang atau bahkan kapan traksi dilepas. pengembangan balon
hilang dengan kriteria hasil: 2. Observasi tanda – tanda vital ke sisi fosa prostatik,
1. Klien tidak menunjukkan tiap 4 jam, pemasukan dan menurunkan
tanda-tanda pendarahan pengeluaran dan warna urin. perdarahan. Umumnya
2. TTV dalam batas normal 3. Irigasi aliran kateter jika dilepas 3 – 6 jam
3. Urin lanjar melalui kateter terdeteksi gumpalan dalm setelah pembedahan.
saluran kateter. 2. Deteksi awal terhadap
4. Jelaskan pada klien tentang komplikasi, dengan
sebab terjadi perdarahan setelah intervensi yang tepat
pembedahan dan tanda – tanda mencegah kerusakan
perdarahan. jaringan yang
5. Kolaborasi dengan ahli gizi diet permanen.
makanan tinggi serat dan 3. Gumpalan dapat
memberi obat untuk menyumbat kateter,
memudahkan defekasi. menyebabkan
peregangan dan
perdarahan kandung
kemih.
4. Menurunkan
kecemasan klien dan
mengetahui tanda –
tanda perdarahan.
5. Dengan peningkatan
tekanan pada fosa
prostatik yang akan
mengendapkan
perdarahan .
4. Resiko tinggi disfungsi Setelah dilakukan intervensi 1. Beri kesempatan pada klien 1. Untuk mengetahui
seksual b.d ketakutan selama 3x24 jam fungsi seksual untuk memperbincangkan masalah klien.
akan impoten akibat dari dapat dipertahankan dan tentang pengaruh TUR-P 2. Bisa terjadi perdarahan
TUR-P. ketakutan berkurang dengan terhadap seksual. dan ketidaknyamanan.
kriteria hasil: 2. Mencegah hubungan seksual 3- 3. Kurang pengetahuan
1. Klien tampak rileks dan 4 minggu setelah operasi. dapat membangkitkan
melaporkan kecemasan 3. Jelaskan tentang : kemungkinan cemas dan berdampak
menurun. kembali ketingkat tinggi seperti disfungsi seksual.
2. Klien menyatakan pemahaman semula dan kejadian ejakulasi 4. Untuk mengklarifikasi
situasi individual. retrograd (air kemih seperti kekhatiran dan
3. Klien menunjukkan susu). memberikan akses
keterampilan pemecahan 4. Dorong klien untuk kepada penjelasan
masalah. menanyakan kedokter salama di yang spesifik.
4. Klien mengerti tentang rawat di rumah sakit dan
pengaruh TUR -P pada kunjungan lanjutan.
seksual.
5. Gangguan pola tidur b.d Setelah dilakukan intervensi 1. Beri kesempatan klien untuk 1. Menentukan rencana
nyeri / efek pembedahan keperawatan selama 3x24 jam mengungkapkan penyebab mengatasi gangguan.
diharapkan pola tidur membaik gangguan tidur. 2. Suasana tenang akan
dengan kriteria hasil: 2. Ciptakan suasana yang mendukung istirahat.
1. Klien mampu beristirahat/tidur mendukung, suasana tenang 3. Meningkatkan
dalam waktu yang cukup. dengan mengurangi kebisingan. pengetahuan klien
2. Klien mengungkapan sudah 3. Jelaskan pada klien dan sehingga mau
bisa tidur . keluarga penyebab gangguan kooperatif dalam
3. Klien mampu menjelaskan tidur dan kemungkinan cara tindakan perawatan.
faktor penghambat tidur . untuk menghindari. 4. Mengurangi nyeri
4. Kolaborasi dengan dokter untuk sehingga klien bisa
pemberian obat yang dapat istirahat dengan cukup.
mengurangi nyeri ( analgesik ).
DAFTAR PUSTAKA

Delaune & Ladner. 2002. Fundamental Nursing Standart and practice. Second
Edition. USA: Delmar.
Kirby, R. Et al. 1994. Benign Prostat Hyperplasia. 2nd Edition. Mosby
International.
Purnomo, BB. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto.
Roehrborn, CG. Et al. 2011. McConell JD, Benign Prostatic Hyperplasia,
Pathopysiologi, Epidemiologi, History In Cambell-Walsh Urology 10th
Edition Philadelpia. Jakarta: Elsavier.
Sjamsudrajat. 2005. Buku Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidrajat, R. Jong, WD. 2005. Buku Ilmu Ajar Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai