DISUSUN OLEH:
Sepul Alam
NIM: 24191390
A. PENGERTIAN
B. ETIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak
di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Sjamsuhidajat (2005) menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan
terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen
pada jaringan adipose di perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi
perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga
terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan
kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat.
Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan
kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos
keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor
ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan
berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin (Purnomo, 2000).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria
tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih
tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia
paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks
vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi
yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
E. PATWAY
TUR-P
Penyempitan lumen
Posterior iritasi mukosa pemasangan Kurang
Kandung kemih DC informasi thd
pembedahan
R. perdarahan
Ransangan syaraf Luka
diameter kecil Cemas
Obstruksi Nyeri akut Tempat masuk
Gate terbuka mikroba
Retensi urin
Syaraf eferen
R. Infeksi
Cortex ceribi
Nyeri akut
G. Pola tidur
F. KOMPLIKASI
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat
hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan
pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH
sendiri dapat menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan
kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status
metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA
4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu
PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10
ng/ml.
2. Pemeriksaan darah lengkap
Perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang
sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume
BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos
dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal
atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari
fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-
belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan
besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan
batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal
apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP
untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis.
Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah
isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya
tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk
melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai
residual urin.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum membutuhkan tindakan bedah.
Cukup diberikan pengobatan konservatif misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
3. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan,
kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa
kencing dan colok dubur.
2. Medikamentosa
Ada beberapa jenis obat yang dapat diberikan, yaitu:
a. Penghambat adrenalreseptor α
b. Obat antiandrogen
c. Penghambat enzim α-2 reduktase
3. Terapi bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui
uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat
pada kandung kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki
kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
4. Terapi invensif minimal
a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa,
status perkawinan, pendidikan, tanggal masuk ke rumah sakit,
nomor register dan diagnosa keperawatan.
b. Keluhan utama
Bapak datang dengan mengeluh tidak bisa buang air keci, nyeri
pada pinggang dan pada saat BAK harus mengejan.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti infeksi
saluran kemih, vesicholithiasis atau sindrom nefrotik.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat sebelum dibawa ke RS sejak dua bulan terakhir BAK
pasien tidak lancar, urinnya berwarna kemerahan, ketika BAK
harus mengedan dan sejak 5 jam sebelum datang ke RS air
kencingnya macet total, abdomen bagian bawah semakin
membesar dan menegang serta pasien merasa sangat nyeri.
3) Riwayat kesehatan Keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti penyakit
kelamin, DM, hipertensi dan lain-lain yang mungkin penyakit
tersebut diturunkan kepada klien.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan
suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada
retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin
serta urosepsis sampai syok - septik.
2) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual
untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis.
Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
3) Pemeriksaan penis dan uretra untuk mendeteksi
kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra,
karsinoma maupun fimosis.
4) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya
epididimitis.
5) Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra
dan besarnya prostat.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pre Op
a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung
kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli,
distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca
obstruksi diuresis.
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah.
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
2. Post Op
a. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunder pada TUR-P.
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat
selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
c. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan.
d. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan
akan impoten akibat dari TUR-P.
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek
pembedahan.
K. INTERVENSI
1. Pre Op
2. Post Op
N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
O
1. Nyeri b.d spasmus Setelah dilakukan intervensi 3x24 ONEC
kandung kemih dan insisi jam diharapkan nyeri berkurang 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Untuk menentukan
sekunder pada TUR-P. bahkan hilang dengan kriteria secara komprehensif termasuk intervensi yang akan
hasil: lokasi, karakteristik, durasi, diberikan selanjutnya.
1. Mampu mengontrol nyeri. frekuensi, kualitas, dan faktor 2. Menentukan
2. Melaporkan adanya penurunan presipitasi. terdapatnya spasmus
nyeri dengan menggunakan 2. Pemantauan klien pada interval sehingga obat – obatan
managemen nyeri. yang teratur selama 24 jam, dan bisa diberikan.
3. Mampu mengenali nyeri dilanjutkan 24 jam pada hari 3. Sumbatan pada selang
(skala, intensitas, frekuensi berikutnya, untuk mengenal kateter oleh bekuan
dan tanda nyeri). gejala – gejala dini dari spasmus darah dapat
4. Adanya penurunan skala nyeri. kandung kemih. menyebabkan distensi
3. Menjaga selang drainase urine kandung kemih dengan
tetap aman dipaha untuk peningkatan spasme.
mencegah peningkatan tekanan 4. Untuk mengkontrol
pada kandung kemih. Irigasi nyeri yang dirasakan
kateter jika terlihat bekuan pada pasien.
selang. 5. Mengurangi tekanan
4. Berikan teknik managemen pada luka insisi.
nyeri non farmakologis. 6. Menurunkan tegangan
5. Anjurkan pada klien untuk tidak otot, memfokuskan
duduk dalam waktu yang lama kembali perhatian dan
sesudah tindakan TUR-P. dapat meningkatkan
6. Ajarkan penggunaan teknik kemampuan koping.
relaksasi, termasuk latihan nafas 7. Kien dapat mendeteksi
dalam dan imajinasi. gajala dini spasmus
7. Jelaskan pada klien tentang kandung kemih.
gejala dini spasmus kandung 8. Memberitahu klien
kemih. bahwa
8. Jelaskan pada klien bahwa ketidaknyamanan
intensitas nyeri dan hanya temporer.
frekuensinya akan berkurang 9. Mengurang
dalam 24 sampai 48 jam. kemungkinan spasmus.
9. Beri penyuluhan pada klien agar 10.Menghilangkan nyeri
tidak berkemih ke seputar dan mencegah
kateter. spasmus kandung
10.Kolaborasi dengan dokter untuk kemih.
memberi obat – obatan
(analgesik atau anti spasmodik )
2. Resiko tinggi infeksi b.d Setelah dilakukan intervensi 3x24 1. Pertahankan sistem kateter 1. Mencegah masuknya
prosedur invasif: alat jam diharapkan resiko menurun steril, berikan perawatan kateter bakteri dan virus yang
selama pembedahan, atau bahkan hilang. Dengan dengan steril. menyebabkan infeksi.
kateter, irigasi kandung kriteria hasil: 2. Pertahankan posisi urin bag 2. Menghindari refleks
kemih sering. 1. Klien tidak menunjukkan dibawah. balik urine yang dapat
tanda-tanda infeksi. 3. Observasi tanda – tanda vital, memasukkan bakteri
2. TTV normal dan tidak laporkan tanda – tanda shock ke kandung kemih.
menunjukkan tanda-tanda dan demam. 3. Mencegah sebelum
syok. 4. Observasi urine: warna, jumlah, terjadi shock.
3. Waktu penyembuhan sesuai bau. 4. Mengidentifikasi
dengan yang di rencanakan. 5. Anjurkan intake cairan yang adanya infeksi.
cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga 5. Meningkatkan output
dapat menurunkan potensial urine sehingga resiko
infeksi. terjadi ISK dikurangi
6. Kolaborasi dengan dokter untuk dan mempertahankan
memberi obat antibiotik. fungsi ginjal.
6. Untuk mencegah
infeksi dan membantu
proses penyembuhan.
3. Resiko tinggi cidera: Setelah dilakukan intervensi 1. Pantau traksi kateter: catat 1. Traksi kateter
perdarahan b.d tindakan selama 3x24 jam diharapkan waktu traksi di pasang dan menyebabkan
pembedahan resiko berkurang atau bahkan kapan traksi dilepas. pengembangan balon
hilang dengan kriteria hasil: 2. Observasi tanda – tanda vital ke sisi fosa prostatik,
1. Klien tidak menunjukkan tiap 4 jam, pemasukan dan menurunkan
tanda-tanda pendarahan pengeluaran dan warna urin. perdarahan. Umumnya
2. TTV dalam batas normal 3. Irigasi aliran kateter jika dilepas 3 – 6 jam
3. Urin lanjar melalui kateter terdeteksi gumpalan dalm setelah pembedahan.
saluran kateter. 2. Deteksi awal terhadap
4. Jelaskan pada klien tentang komplikasi, dengan
sebab terjadi perdarahan setelah intervensi yang tepat
pembedahan dan tanda – tanda mencegah kerusakan
perdarahan. jaringan yang
5. Kolaborasi dengan ahli gizi diet permanen.
makanan tinggi serat dan 3. Gumpalan dapat
memberi obat untuk menyumbat kateter,
memudahkan defekasi. menyebabkan
peregangan dan
perdarahan kandung
kemih.
4. Menurunkan
kecemasan klien dan
mengetahui tanda –
tanda perdarahan.
5. Dengan peningkatan
tekanan pada fosa
prostatik yang akan
mengendapkan
perdarahan .
4. Resiko tinggi disfungsi Setelah dilakukan intervensi 1. Beri kesempatan pada klien 1. Untuk mengetahui
seksual b.d ketakutan selama 3x24 jam fungsi seksual untuk memperbincangkan masalah klien.
akan impoten akibat dari dapat dipertahankan dan tentang pengaruh TUR-P 2. Bisa terjadi perdarahan
TUR-P. ketakutan berkurang dengan terhadap seksual. dan ketidaknyamanan.
kriteria hasil: 2. Mencegah hubungan seksual 3- 3. Kurang pengetahuan
1. Klien tampak rileks dan 4 minggu setelah operasi. dapat membangkitkan
melaporkan kecemasan 3. Jelaskan tentang : kemungkinan cemas dan berdampak
menurun. kembali ketingkat tinggi seperti disfungsi seksual.
2. Klien menyatakan pemahaman semula dan kejadian ejakulasi 4. Untuk mengklarifikasi
situasi individual. retrograd (air kemih seperti kekhatiran dan
3. Klien menunjukkan susu). memberikan akses
keterampilan pemecahan 4. Dorong klien untuk kepada penjelasan
masalah. menanyakan kedokter salama di yang spesifik.
4. Klien mengerti tentang rawat di rumah sakit dan
pengaruh TUR -P pada kunjungan lanjutan.
seksual.
5. Gangguan pola tidur b.d Setelah dilakukan intervensi 1. Beri kesempatan klien untuk 1. Menentukan rencana
nyeri / efek pembedahan keperawatan selama 3x24 jam mengungkapkan penyebab mengatasi gangguan.
diharapkan pola tidur membaik gangguan tidur. 2. Suasana tenang akan
dengan kriteria hasil: 2. Ciptakan suasana yang mendukung istirahat.
1. Klien mampu beristirahat/tidur mendukung, suasana tenang 3. Meningkatkan
dalam waktu yang cukup. dengan mengurangi kebisingan. pengetahuan klien
2. Klien mengungkapan sudah 3. Jelaskan pada klien dan sehingga mau
bisa tidur . keluarga penyebab gangguan kooperatif dalam
3. Klien mampu menjelaskan tidur dan kemungkinan cara tindakan perawatan.
faktor penghambat tidur . untuk menghindari. 4. Mengurangi nyeri
4. Kolaborasi dengan dokter untuk sehingga klien bisa
pemberian obat yang dapat istirahat dengan cukup.
mengurangi nyeri ( analgesik ).
DAFTAR PUSTAKA
Delaune & Ladner. 2002. Fundamental Nursing Standart and practice. Second
Edition. USA: Delmar.
Kirby, R. Et al. 1994. Benign Prostat Hyperplasia. 2nd Edition. Mosby
International.
Purnomo, BB. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto.
Roehrborn, CG. Et al. 2011. McConell JD, Benign Prostatic Hyperplasia,
Pathopysiologi, Epidemiologi, History In Cambell-Walsh Urology 10th
Edition Philadelpia. Jakarta: Elsavier.
Sjamsudrajat. 2005. Buku Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidrajat, R. Jong, WD. 2005. Buku Ilmu Ajar Bedah. Jakarta: EGC.