Anda di halaman 1dari 22

BPH

(Benign
Prostat
Hyperplasia)
DEFINISI
BPH (Hipertrofi prostatic hypertrophy) merupakan kondisi yang belum diketahui
penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar
periuretra) dari kelenjar prostat (Grace. Pierce A, dkk, 2007).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (pria
> 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan
aliran urinarius (Doenges, E. Marilynn, 2002).
Menurut (coyne,2008) BPH (Benign prostatic hyperplasia) merupakan istilah
histopatologi yang digunakan untuk menggambarkan adanya pembesaran
prostat. Terminologi BPH secara histologi ialah terdapat pembesaran sel-sel
stroma dan sel-sel epitel pada kelenjar prostat. BPH akan menjadi suatu kondisi
klinis jika telah terdapat berbagai gejala pada penderita. Gejala yan dirasakan
ini dikenal sebagai gejala saluran kemih bawah (lower urinary trat symptons) .
BPH adalah tumor jinak pada prostat akibat sel prostat yang terus mengalami
pertumbuhan. Secara mikroskopik, perubahan prostat bisa dilihat sejak seseorang
berusia 35 tahun. Pada usia 60-69 tahun, pembesaran prostat mulai menimbulkan
keluhan klinis pada 50% pria. Sementara pada usia 80 tahun, BPH terjadi pada
hampir 100% pria. Pada tahun 2000, WHO mencatat ada sekitar 800 juta orang
yang mengalami BPH di seluruh dunia.
BPH adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan gejala
urtikaria. Hyperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar
ETIOLOGI

Penyebab yang pasti terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui


secara pasti, tapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitanya dengan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses penuaan.
Ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat:
1. Dihydrotestosteron
2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron
3. Interaksi stoma-epitel
4. Berkurangnya sel yang mati
5. Teori sel stem meningkat akibat poliferasi sel transit

Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas,beberapa penelitian


mengarah pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Kira-kira 50% laki
laki berusia dibawah 60 tahun yang menjalani operasi BPH memiliki faktor
keturunan yang kemungkinan besar bersifat autosomal dominan,dimana
penderita yang memiliki orangtua menderita BPH memiliki resiko 4x lipat
lebih besar dibandingkan dengan yang normal (Cooperberg,2013)
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi BPH yang didiagnosis secara histologis meningkat dari 8%
pada pria berusia 31-40, menjadi 40-50% pada pria berusia 51-60
tahun, hingga lebih dari 80% pada pria yang lebih tua dari usia 80.
Ras memiliki beberapa pengaruh pada risiko untuk BPH yang cukup
parah sehingga membutuhkan pembedahan. Sementara risiko
relatif yang disesuaikan usia dari BPH mengharuskan operasi serupa
pada pria kulit hitam dan kulit putih, pria kulit hitam yang berusia
kurang dari 65 tahun mungkin memerlukan perawatan lebih sering
daripada pria kulit putih.

Di dunia diperkirakan jumlah penderita BPH sebesar 30 juta. Jika dilihat


seara epidemiologi nya, di dunia menurut usia,maka dapat dilihat
kadar insiden BPH, pada usia 40 an kemungkinan seseorang
menderita penyakit ini sebesar 40% , dan seiring meningkatnya usia ,
dalam rentang usia 60-70 tahun , persentase meningkat menjadi
50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkan bisa sehingga
90%. Akan tetapi jika dilihat secara histoloi penyakit BPH, seara
umum sejumlah 20% pria pada usia 40 tahun an dan meningkat
pada pria berusia 60 an dan 90% pada usia 70 (Pearson, 2010)
PATOFISIOLOGI
BPH (Benigna Prostatic hyperplasia) merupakan Pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat
menyumbat aliran urin yang sering terjadi umumnya pada pria. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi
pada pria usia 30-40 tahun. Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen
glandular pada prostat. Setelah umur 70 tahun, sekitar 8 dari 10 laki – laki mengalami pembesaran prostat
(McConnell, 2005). Pembesaran prostat melibatkan faktor hormonal yang terjadi dalam tipe jaringan berbeda yaitu
otot dan glandular. Faktor hormonal tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda pada masing – masing laki – laki
dewasa (Roehrborn, et al.2002)
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada
hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus
urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya
disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan
kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika
dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi
yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini
dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung
kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor
ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu
permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersentivitas otot detrusor
(frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Disebabkan produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung
urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia
paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan
ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi
kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid
Manifestasi klinis
 Obstruksi dini pada saluran keluar:
Pancaran lemah, hesistansi, intermitensi, menetes/ dribling,
mengedan saat berkemih, retensi urine akut.
 Ketidakstabilan detrusor menyebabkan:
frekuensi, urgensi, nokturia, disuria, inkontinensia.
 Akhirnya terjadi kegagalan otot detrusor dan retensi kronis:
kandung kemih yang teraba, inkontinensia, pembesaran prostat
yang licin pada pemeriksaan RT.
 Prostat besar, seperti karet dan tidak lunak (notender). Protatisme
(gejala obstruktif dan iritatif ) terlihat
 Keraguan dalam berkemih, peningkatan frekuensi berkemih,
nokturia,
 Penurunan volume dan kekuatan aliran urine dan gangguan aliran
urin
 Retensi urin akut (>60 ml)
 Keletihan, anoreksia, mual dan muntah serta ketidak nyamanan
pada panggul
Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan colok dubur. Dokter memasukkan jari ke dalam rektum untuk
memeriksa prostat Anda untuk pembesaran.
 Tes urine. Menganalisis sampel urin dapat membantu mengesampingkan infeksi
atau kondisi lain yang dapat menyebabkan gejala serupa.
 Tes darah. Hasilnya bisa menunjukkan masalah ginjal.
 Tes darah antigen khusus prostat (PSA). PSA adalah zat yang diproduksi di
prostat Anda. Kadar PSA meningkat ketika memiliki pembesaran prostat.
Namun, peningkatan kadar PSA juga bisa disebabkan oleh prosedur, infeksi,
operasi atau kanker prostat baru-baru ini.
 Tes aliran urin. buang air kecil ke wadah yang melekat pada mesin yang
mengukur kekuatan dan jumlah aliran urin. Hasil tes membantu menentukan
dari waktu ke waktu jika kondisi Anda semakin baik atau lebih buruk.
 Tes volume residu pascakubuhan. Tes ini mengukur apakah klien dapat
mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Tes ini dapat dilakukan dengan
menggunakan ultrasound atau dengan memasukkan kateter ke dalam
kandung kemih klien setelah Anda buang air kecil untuk mengukur berapa
banyak urin yang tersisa di kandung kemih.
 Digital rectal examination
 Urinalisis untuk mendeteksi hematuria dan UTI
 Kadara antigen spesifik prostat (prostate-spesific antigen, PSA)
 Catatan kecepatan aliran urin dan pengukuran residu urin paska berkemih
(Post-void residual, PVR)
 Studi urodinamik, uretrokistokopi dan ultrasound
Penatalaksanaan BPH
Penatalaksanaan Ca prostat bergantung pada jenis, stadium dan luas kanker, serta
kesehatan dan keinginan umum pasien. BPH yang bergantung pada stadium klinis yaitu:
1. Stadium I.
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasiprostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak
dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II.
Stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi
endoskopi melalui uretra (transuretra).
3. Stadium III.
Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah
cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesika, retropubik
dan perineal.
4. Stadium IV.
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan Trans urethral Resection (TUR)
atau pembedahan terbuka.
Terdapat 2 macam
penatalaksanaan pada BPH ,
1. Penatalaksanaan Medis

yaitu secara medis dan non medis


Penghambat alfa (alpha blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan prostat memperlihatkan
respon mengecil terhadap agonis.
2. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)
Finasterid merupakan suatu inhibitor 5α-Reduktase yang menghambat konversi testosteron menjadi
metabolit aktifnya dihidrotestosteron, sehingga mengurangi hipertrofit prostat.
3. Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5α-Reduktase memperlihatkan bahwa
penurunan symptom score dan peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang
mendapatkan hanya Terazosin.
4.Fitofarmaka
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk tujuan
memperbaiki gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
5. Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi
Jenis pembedahan :
 Trans uretral resection of the prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH dengan volume prostat 30-80 ml.
 Laser prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser,
Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode.
 Lain-lain
Transurethral incision of the prostate (TUIP) atau insisi leher kandung kemih (bladder neck insicion) direkomendasikan
pada prostat yang ukuran kecil (kurang dari 30ml) dan tidak terdapat pembesaran lobus medius prostat.
Penatalaksanaan Non Medis
 Terapi Konservatif
 Terapi pada BPH dapat berupa watchfull waiting yaitu pasien
tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan
penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Indikasi pasien BPH
dengan keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari .
PENGKAJIAN TEORITIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan BPH sering mengeluhkan bahwa kencing berdarah, terganggunya aliran urin , sulit
buang air kecil, keiginan untuk buang air kecil namun pancaran urin lemah.

Riwayat Penyakit dahulu


Tanyakan kepada pasien apakah ada riwayat penyakit yang sama dan penyakit lain pada saluran
urogenetalia (seperti cidera,infeksi,hematuria,kencing batu,atau pembedahan saluran kemih)

Riwayat penyakit keluarga


Tanyakan apakah ada keluarga yang pernah mengalami BPH atau ada keluhan atau bahkan sakit
yang sama.
Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Kaji definisi sehat menurut pasien, dari mulai pola diet, nutrisi apa saja yang dipenuhi, gaya hidup
seperti apa yang dilakukan selama sehat. Data pendukung: pemeriksaan fisik umum
Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji kebiasaan makan dan minum sebelum MRS, diet RS, intake makanan, adanya mual, muntah,
kesulitan menelan, keadaan yang mengganggu nutrisi, status gizi yang berhubungan dengan
keadaan tubuh: postur tubuh, BB, TB, IMT, pengetahuan tentang nutrisi terkait penyakitnya, intake
cairan, tanda-tanda kelebihan cairan, perubahan intake makanan terkait penyakit, budaya, stress,
adanya kelainan psikologis terkait makan. Data pendukung lain: hasil pemeriksaan system
Gastrointestinal, kulit, rambut, kuku
Pola eliminasi
Kaji lebih mendalam keadaan BAK dan BAB pada klien mulai dari obat yang dikonsumsi , keluhan
saat BAK dan BAB, serta karakteristik dari BAK dan BAB. Data pendukung: Hasil pemeriksaan system
genitourinary
Pola aktivitas dan latihan
Kaji aktivitas atau pola hidup yang dilakukan oleh klien yaitu seperti oksigenasi, olahraga, dan ROM. Data
pendukung: hasil pemeriksaan kardiovaskuler, respirasi, muskuloskeletal, neurologi
Pola tidur dan istirahat
Kaji kebiasaan pola tidur klien pada saat sebelum masuk rumah sakit, apakah pernah mengkonsumsi obat-
obatan untuk tidur dan kebutuhan jam tidur klien. Data pendukung: pemeriksaan fisik umum
Pola persepsi dan kognitif
Kaji tingkat kesadaran dan fungsi dari panca indera dalam tubuh klien, serta kemampuan klien untuk berfikir
menyelesaikan masalah. Data pendukung: Hasil pemeriksaan neurologi
Pola persepsi diri dan konsep diri
Kaji klien dari pekerjaan yang dikerjakan, situasi dan kondisi di keluarganya. Data pendukung: pemeriksaan fisik
umum
 Pola peran dan hubungan
 Peran pasien dalam keluarga, pekerjaan yang dilakukan klien serta hubungan dengan masyarakat di
lingkungan klien tinggal atau bahkan di tempat kerja atau tempat baru. Data pendukung: pemeriksaan
kesehatan umum
Pola seksualitas dan reproduksi
Kaji apakah klien ada masalah dalam memenuhi kebutuhan seksualitas, penggunaan alat
kontrasepesi atau bahkan ada masalah dalam sistem reproduksi klien. Data pendukung: Hasil
pemeriksaan system reproduksi, rektal
Pola toleransi coping- stress
Klien apakah mengeluhkan mengenai keadaan psikologisnya mulai dari adakah stressor
yang membuat klien merasa maladaptif pada keadaanya. Data pendukung: pemeriksaan
umum
Pola tata nilai dan kepercayaan
Kaji latar belakang mulai dari suku dan budaya apa yang biasa dilakukan serta keyakinan
agama yang dianut oleh klien. Data pendukung: pemeriksaan umum
Pemeriksaan fisik pada BPH

 Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada semua
penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah ukuran dan konsistensi prostat. Pada
pasien BPH, umumnya prostat teraba licin dan kenyal. Apabila didapatkan indurasi pada
perabaan, waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang
lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan transrectal
ultrasound serta biopsy (Cooperberg dkk, 2013). Selama ini volume prostat telah
digunakan sebagai dasar dan kriteria untuk diagnose BPH. Menurut Terris (2002),
pengukuran volume prostat sangat berguna untuk rencana terapi pada pasien BPH
(Terris dkk,2002). Roehrborn (2002) menyatakan bahwa perkiraan volume prostat
menggunakan colok dubur adalah tidak akurat, sedangkan MRI dan CT dapat lebih
tepat untuk mengukur volume prostat tetapi sayangnya pemeriksaan ini sangat mahal
(Roehrborn dkk, 2002). Digital rectal examination (DRE) atau colok dubur secara rutin
digunakan untuk mengukur volume prostat, tetapi hasilnya underestimat dibandingkan
dengan transrectal ultrasound (TRUS).
DIAGNOSIS

 Nyeri akut b.d agen injury fisik,pembedahan


 Hambatan moblitas fisik b.d keterbatasan lingkungan,peralatan terapi
 Resiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan aktif
 Resiko infeksi b.d prosedur invasive trauma,pembedahan.
 Resistensi urine(akut/kronik) b.d obstruksi mekanik,pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor,ketidakmampuan kandung kemih
untuk berkontraksi dengan adekuat
 Ketakutan/ansietas b.d perubahan statuskesehatan : kemungkinan
prosedur bedah/malignasi. Malu/hilang martabat sehubungan dgn
pemajanan genital sebelum,selama dan sesudah tindakan;masalah
tentang kemampuan seksual
 Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis,dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat,salah
interpretasiinformasi. Tidak mengenal sumber informasi. Masalah
tentang area sensitif.
 Resiko cidera b.d kelemahan fisik
DAFTAR PUSTAKA
Nuari, N. A., dan Widayati D. 2017. Gangguan Pada Sistem
Perkemihan & Penatalaksanaan Keperawatan. Deepublish:
Yogyakarta.
Glenn R Cunningham, MDDov Kadmon, MD. 2018. Epidemiology
and pathogenesis of benign prostatic hyperplasia.
https://www.uptodate.com/contents/epidemiology-and-
pathogenesis-of-benign-prostatic-hyperplasia
Coyne KS, Sexton CC, Irwin DE, Kopp ZS,Kelleher CJ, Milsom I.2008.
The impact of overactive bladder, incontinence and other lower
urinary tract symptoms on quality of life, work productivity,
sexuality and emotional well-being in men and women. BJU
International; 101:1388-95.
Parsons KJ. 2010. Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower
Urinary Tract Symptoms: Epidemiology and Risk Factor. PMC;5 Hal
212-218.
Werner, David.,et.all. 2010. Apa Yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada
Dokter. Yogyakarta : CV Andi [diakses melalui
https://books.google.co.id/books?id=pkK1ypVLWIgC&pg=PA167
&dq=penyakit+gondok&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwin_NTSpK3aA
hUIQ48KHYMsAHUQ6AEILjAB#v=onepage&q=penyakit%20gondo
k&f=true tanggal 9 April 2018 pukul 23.00]
Nuari, Nian., A. Widayati, Dhina.2017. Gangguan
pada Sistem Perkemihan dan Penatalaksanaan
Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish
Pierce,A., Grace., Borley, Neil, R.2006.At a Glance
Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : ERLANGGA
Mochtar, Chaidir A., Umbas, raini.Rasyid, Nur.
Dkk.2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis
Pembesaran Prostat Jinak.edisi ke-2. Ikatan Ahli
Urologi Indonesia
Brunner & Suddarth. 2013. KEPERAWATAN
MEDIKAL-BEDAH edisi 12. Jakarta: Penerbit
Buku kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai