Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA

A. Konsep Medis
1. Definisi
BPH (Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana
kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang keatas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium
uretra (Smeltzer dan Bare, 2013).
BPH merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya hyperplasia sel
stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH tumbuh pada
pria yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih
menghasilkan testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain
(estrogen, prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan
aktivitas fisik diduga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat
secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu memengaruhi sel
prostat untuk menyintesis growth factor, yang selanjutnya berperan dalam
memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat.
2. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan
proses penuaan.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hyperplasia prostat :
a. Dihydrotestosterone (DHT) Pertumbuhan kelenjar prostat sangat
tergantung pada hormone testosteron. Dimana pada kelenjar prostat,
hormone ini akan diubah menjadi metabolit aktif dihydrotestosterone
(DHT) dengan bantuan enzim 5α – reduktase. DHT inilah yang
secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat
untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan
kelenjar prostat.
b. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron, Ketidak seimbangan ini
terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria
terjadi peningkatan hormone estrogen dan penurunan hormone
testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada
prostat.
c. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat peningkatan kadar
epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma
dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
d. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis ), Estrogen yang
meningkatakan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori stem sel, Sel stem yang meningkatakan mengakibatkan
proliferasi sel transit dan memicu terjadi BPH.
3. Manifestasi klinis
Beberapagambaranklinis pada klienBPH (Prabowo &Pranata 2014) :
a. Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine)
Kondisi ini dikarenakan oleh kemampuan vesikaurinaria yang gagal
mengeluarkan urine secara spontan dan reguler, sehingga volume
urine sebagian besar tertinggal dalamvesika.
b. Retensi urine
Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, terjadi
hesistansi, intermitensi, urine menetes, dorongan mengejan yang
kuat saat miksi, dan retensi urine. Retensi urine sering dialami kliend
engan BPH kronis.
c. Pembesaranprostat
Hal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) anterior.
Biasanya didapatkan gambaran pembesaran prostat dengan
konsistensi jinak.
d. Inkontinensia
Inkotinensia menunjukan bahwa detrusor gagal dalam melakukan
kontraksi dekompensasi yang berlangsung lama akan
mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga control miksi
hilang
4. Patofisiologi
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan
selepitel berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh
hormone seks dan respon sitokin. Di dalam prostat, testosterone diubah
menjadi dihidrotestosteron (DHT), DHT merupakan androgen dianggap
sebagai mediator utama munculnya BPH ini. Pada penderita ini hormon
DHT sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin berpengaruh pada
pembesaran prostat dengan memicu respon inflamasi dengan menginduksi
epitel. Prostat membesar karena hyperplasia sehingga terjadi penyempitan
uretra yang mengakibatkan aliran urin melemah dan gejala obstruktif
yaitu :hiperaktif kandung kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah
(Skinder et al, 2016).
5. Pemeriksaan penunjang
a. PemeriksaanFisik

Pemeriksaan fisik dimulai dengan penilaian pasien secara umum,


yang diasumsikan mengalami abnormalitas. Salah satu yang diperiksa
adalah abnormalitas pada abdomen. Pemeriksaan abdomen dilakukan
untuk menilai kandung kemih apabila dicurigai adanya obstruksi.
Biasanya kandung kemih berisi 150 ml cairan untuk dapat diperkusi.
Retensi urin yang melebihi 500 ml biasanya dapat terlihat.
Penekanandaerahsuprapubikyang menyebabkan rasa ingin berkemih
dapat mengkonfirmasi bahwa massa yang teraba merupakan akibat
retensi urin.
Pemeriksaan fisik selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan
prostat. Pemeriksaan prostat dapat dilakukan dengan DRE untuk
memperoleh informasi mengenai ukuran prostat, konsistensi atau
adanya nodul pada prostat. Adanya kekakuan prostat dapat disebabkan
oleh infeksi dan adanya nodul dapat disebabkan oleh kanker prostat.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah
a) Pemeriksaan PSA
Kadar PSA dijadikan penanda untuk BPH di mana adanya
gangguan pada struktur kelenjar prostat dapat menyebabka
nkebocoran PSA kesirkulasi. Kadar PSA meningkat pada
kanker prostat, infeksi prostat dan BPH. Kadar PSA juga
dapat meningkat setelah biopsy prostat dan ejakulasi. Karena
itu kadar PSA tidak dianggap sebagai penanda spesifik untuk
keganasan tetapis pesifik untuk organ.
b) PemeriksaanKreatinin
Pemeriksaan kreatinin dilakukan karena ostruksi kandung
kemih dapatmenyebabkan hidronefrosis dan gagal ginjal.
Ditemukan bahwa azotemia terjadi sekitar 15%–30% pada
pasien BPH.
c) Urinalisis dan kultururin
Pemeriksaan urin ini dimaksudkan untuk menyingkirkan
penyebab lain dari gejala saluran kemih. Kultur urin
diperlukan untuk mengetahui adanya infeksi saluran kemih.
d) PemeriksaanRadiologi
Pemeriksaan radiologi untuk prostat adalah untuk menilai
ukuran, bentuk, adanya karsinoma dan karakter jaringan
prostat. Modalitas pilihan pemeriksaan radiologi untuk prostat
yaitu ultrasonografi (USG) abdomen, transrectal
ultrasonographyi(TRUS), computed tomografi (CT) dan
magneticresonance imaging(MRI).
Pemeriksaan USG pada ginjal dan kandung kemih berguna
untuk mengetahui adanya batu saluran kemih dan masaa
tumor. Ditemukannya abnormalitas pada pemeriksaan ini
biasanya memerlukan pemeriksaan lanjut dengan CT scan.
6. Penatalaksanaan

Indikasipembedahan pada BPH :

a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut
b. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung
kemih setelah klien buang air kecil
c. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan system
perkemihan seperti retensi urine atau oliguria.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien BPH antara lain
pembentukan batu kandung kemih. Prevalensi batu kandung kemih pada
pasien BPH adalah delapan kali lebih besar dibandingkan dengan kontrol,
tetapi tidak ditemukan peningkatan insiden batu ginjal atau batu uretra.
Inkontinensia urin dapat disebabkan intervensi bedah BPH walaupun
dapat pula disebabkan peregangan kandung kemih berlebihan akibat
BPH. Inkontinensia urin juga dihubungkan dengan usia pasien lebih dari
50 tahun. Gangguan saluran kemih bagian atas merupakan komplikasi
BPH yang disebabkan hidronefrosis. Azotemia terjadi pada sekitar 15%-
30% pasien BPH. Pada pasien BPH dapat juga terjadi hematuria dan
pembentukan bekuan darah, penelitian menunjukkan densitas pembuluh
darah mikro pada pasien BPH lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Komplikasi lain yaitu Infeksi saluran kemih dan dekompensasi kandung
kemih.
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Dongoes (2007), Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien
dengan gangguan sistem perkemihan yang berhubungan dengan BPH
dalam riwayat keperawatan harus ditemukan :
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan umum meliputi berbagai gangguan/penyakit yang
lalu, berhubungan dengan atau yang dapat mempengaruhi penyakit
sekarang
1) Riwayat kesehatan keluarga.
2) Riwayat kesehatan sekarang
c. Riwayat kesehatan sekarang meliputi keluhan/gangguan yang
berhubungan dengan gangguan/penyakit yang dirasakan saat ini :
1) Bagaimana pola/frekuensi berkemih : poliuri, oliguri, BAK keluar
sedikit-sedikit tetapi sering, nokturia, urine keluar secara menetes,
incontinentia urin.
2) Adakah kelainan waktu bak seperti : disuria, ada rasa panas,
hematuria, dan lithuri.
3) Apakah rasa sakit terdapat pada daerah setempat atau secara umum,
seperti :
a) Apakah penyakit timbul setelah adanya penyakit yang lain.
b) Apakah terdapat mual dan muntah.
c) Apakah tedapat edema.
d) Bagaimana keadaan urinenya (volume, warna, bau, berat jenis,
jumlah urine dalam 24 jam).
e) Adakah sekret atau darah yang keluar.
f) Adakah hambatan seksual.
g) Apakah ada rasa nyeri (lokasi, identitas, saat timbulnya nyeri)
d. Data fisik
1) Inspeksi : Secara umum dan secara khusus pada daerah genetalia.
(warna, edema)
2) Palpasi : Pada daerah abdomen, buli-buli (kandung kemih), lipat
paha
3) Auskultasi : Daerah abdomen.
4) Perkusi : Daerah abdomen, ginjal.
e. Data psikologis
1) Keluhan dan reaksi pasien terhadap penyakit.
2) Tingkat adaptasi pasien terhadap penyakit.
3) Persepsi pasien terhadap penyakit.
f. Data social, budaya dan spiritual
Hubungan dengan orang lain, kepercayaan yang dianut dan
keaktifannya, kegiatan dan kebutuhan sehari-hari :
1) Nutrisi (kebiasaan makan, jenis makanan, makanan pantang,
kebiasaan minum, jenis minuman).
2) Eliminasi bak dan bak (konsistensi, frekuensi, warna, bau, dan
jumlah)
3) Olahraga (jenis, teratur atau tidak).
4) Istirahat/tidur (waktu, lamanya)
5) Personal Hygiene.
6) Ketergantungan.
g. Data khusus, meliputi :
1) Hasil-hasil pemeriksaan diagnostik.
2) Program medis (pengobatan, tindakan medis)
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan spasme otot
spincter, adanya tindakan pembedahan.
2) Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi
sekunder, perubahan sistem irigasi pasca pembedahan.
3) Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée
mikroorganisme melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka.
4) Resiko perdarahan berhubungan dengan prosedur pembedahan
(TURP).
5) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah
interpretasi informasi, perubahan status kesehatan.
3. Intervensi
Menurut Nursalam (2008), rencana keperawatan secara sederhana
dapat diartikan sebagai suatu dokumentasi tulisan tangan dalam
menyelesaikan masalah, tujuan, dan intervensi keperawatan. Adapun
diagnosa keperawatan pada kasus BPH berupa:
Tabel 2.1 Diagnosa dan Rencana Keperawatan Berdasarkan Nursing
Outcome Classification (NOC) dan Nursing Intervention
Classification (NIC)

No Diagnosa NOC NIC


.
1. Nyeri Setelah dilakukan Manajemen nyeri:
berhubungan tindakan perawatan 1. Observasi dan catat
dengan spasme selama 3x24 jam maka lokasi, beratnya dan
otot spincter, kontrol nyeri dapat karakteristik nyeri
adanya teratasi, dengan (menetap, hilang
tindakan kriteria hasil: timbul)
pembedahan 1. Melaporkan 2. Tingkatkan tirah
penurunan baring, biarkan
nyeri. klien melakukan
2. Skala nyeri posisi yang
menunjukkan 2 nyaman.
(0-10). 3. 3. Dorong
Klien tampak menggunakan
tenang teknik relaksasi
dengan latihan
nafas dalam.
4. Kaji ulang faktor-
faktor yang
menignkatkan atau
menghilangkan
nyeri.
5. Kolaborasi
pemberian
analgetik sesuai
indikasi
2. Perubahan pola Setelah dilakukan Manajemen eliminasi:
eliminasi urine tindakan keperawatan, 1. Lakukan irigasi
berhubungan menunjukkan pola kateter secara
dengan eliminasi utrine berkala atau terus-
obstruksi adekuat, dengan menerus dengan
sekunder, kriteria hasil: teknik steril.
perubahan 1. Pasien dapat 2. Atur posisi selang
sistem irigasi buang air kecil kateter dan urin bag
pasca teratur bebas sesuai gravitasi
pembedahan dari distensi dalam keadaan
kandung tertutup.
kemih. 3. Observasi adanya
2. Menunjukan tanda-tanda
residu pasca shock/hemoragi.
berkemih 4. Mempertahankan
kurang dari 50 kesterilan sistem
ml. drainage cuci
tangan sebelum dan
sesudah
menggunakan alat
dan observasi aliran
urin serta adanya
bekuan darah atau
jaringan.
5. Monitor urine
setiap jam (hari
pertama operasi)
dan setiap 2 jam
(mulai hari kedua
post operasi).
3. Resiko Setelah dilakukan Manajemen pencegahan
terjadinya tindakan keperawatan infeksi:
infeksi tidak terjadi infeksi, 1. Pertahankan sistem
berhubungan dengan kriteria hasil: kateter steril.
dengan port de 1. Tidak ada 2. Ambulasi dengan
entrée tandatanda kantung drainase
mikroorganism infeksi seperti dependen.
e melalui radang, dan 3. Awasi tanda vital,
kateterisasi, kemerahan perhatikan demam
dan jaringan 2. TTV dalam ringan, menggi gil,
terbuka. batas normal. nadi dan
pernapasan cepat,
gelisah,
disorientasi.
4. Observasi drainase
dari luka, sekitar
kateter supra pubik.
5. Observasi
terjadinya tanda-
tanda infeksi (kalor,
dolor, rubor, tumor
dan fungsio laesa).
6. Lakukan rawat luka
dengan teknik
aseptik.
7. Kolaborasi dengan
tim dokter dalam
pemberian
antibiotik.
4. Resiko Setelah dilakukan Hydration management:
perdarahan tindakan keperawatan 1. Monitor keadaan
berhubungan tidak terjadi umum pasien.
dengan perdarahan, dengan 2. Observasi vital sign
prosedur kriteria hasil: sesuai indikasi.
pembedahan 1. Vital sign 3. Pantau output
(TURP). dalam batas cairan selama
normal. tindakan continuous
2. Tidak ada bladder irrgation.
tandatanda
perdarahan.
3. Tidak ada
dehidrasi.
5. Ansietas Setelah dilakukan Pengajaran
berhubungan tindakan perawatan prosedur/perawatan:
dengan proses pasien dan keluarga 1. Kaji tingkat
penyakit memahami tentang kecemasan klien.
prognosis, kondisi, 2. Beri kesempatan
dan pengobatan, kepada klien untuk
dengan kriteria hasil: mengungkapkan
1. Mengetahui perasaannya.
tentang 3. Beri penjelasan
penyakit yang kepada klien dan
diderita. keluarga tentang
2. Mengetahui penyakit yang
tentang dialami klien.
tindakan 4. Ciptakan
pencegahan lingkungan yang
terhadap tenang.
komplikasi.

4. Implementasi
Selama tahap implementasi, perawat melaksanakan rencana asuhan
keperawatan. Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu
klien memenuhi kebutuhan yang telah direncanakan.
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk
mencapai kemampuan klien dan tujuan dengan melihat perkembangan
klien. Evaluasi klien BPH dilakukan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya pada tujuan, yaitu :
1) Nyeri dapat teratasi atau hilang.
2) Mempertahankan hidrasi adekuat.
3) Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti radang, dan kemerahan.
4) Tidak ada tanda-tanda perdarahan

DAFTAR PUSTAKA

Aribowo & Andrifiliana. 2011. Infeksi Luka Operasi (Surgical Site Infection).
Yogyakarta: SMF Bedah RSUP Dr. Sarjito

Depkes RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan


Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: EGC

Nurarif. A. H & Kusuma. H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogjakarta: MediAction

Nurarif. A. H & Kusuma. H. 2016. Asuhan keperawatan Praktis berdasarkan


Penerapan NANDA, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Yogyakarta: Mediaction

RSUD Kota Baubau. 2019. Register Data Penyakit BPH. Baubau: Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Baubau

Rahayuningsih dan Dermawan. 2010.Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk Pemula,


diterjemahkan oleh Lyndon Saputra. Jakarta: Binarupa

Aksara Sjamsuhidajat & De Jong. 2011. Penatalaksanaan Bedah Umum di Rumah


Sakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C & Brenda G. Bare. 2014.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddarth’s Edisi 10. Jakarta: EGC

Wasinggih. 2010. Bahan Ajar Apendisitis Akut. Nusantara Medical Science.


[internet] from: https://med.unhas.ac.id

Anda mungkin juga menyukai