Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)

I. KONSEP DASAR MEDIS


A. Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang
sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian kelenjar
prostat (Arif Muttaqin & Sari Kumala, 2011).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) lebih dikenal sebagai
pembesaran nonmaligna kelenjar prostat. Merupakan salah satu penyakit
laki laki yang di kaitkan dengan ketuaan sebagai bagian degenerasi atau
proses ketuaan (agin faktor). Penyakit ini memang cukup relefan di
kalangan laki-laki umur tua (umur di atas 50 tahun) keadaan ini mungkin
analog dengan keberadaan kanker serviks pada wanita (Rudi Haryono,
2013).
B. Etiologi
Penyebab belum di ketahui secara pasti dari hiperplasia prostat,
namun faktor umur dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH.
Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat sangat erat
kaitannya dengan:
1. Peningkatan DHT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasia.
2. Ketidakseimbangan estrogen-testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degenaratif. Pada
proses penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan hormon testosterone. Hal ini yang memicu terjadinya
hiperplasia stroma pada prostat.
3. Interaksi antar sel stoma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth faktor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth faktor beta menyebabkan
hiperplasia stoma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akann menyebabkan peningkatan lama
hidup stoma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori Stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit
dan memicu terjadinya Benigna Prostat Hiperplasia (Purnomo, 2011).
C. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan
mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas
bladder. Prostat sebagai kelenjar ejakulasi memiliki hubungan fisiologis
yang erat dengan dehidrotestosteron (DHT). Hormon ini merupakan
hormon yang memicu partumbuhan prostat sebagai kelenjar ejakulat yang
nantinya akan mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini di sintesis dalam
kelenjar prostat dari hormon testosterone dalam darah. Proses sintesis ini
dibantu oleh enzim 5α-reduktase tipe 2. Selain DHT yang sebagai
precursor, estrogen juga memiliki pengaruh terhadap pembesaran kelenjar
prostat. Seiring dengan penambahan umur maka prostat akan lebih
sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu
memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang sudah
melebihi normal, maka akan terjadi desakan pada fraktus urinarius. Pada
tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan,
karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari muskulus
destrutor mampu mengeluarkan urin secara spontan. Namun obstruksi
yang sudah kronis membuat dekompensasi dari muskulus destrutor untuk
berkontraksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih.
Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan
mengejan saat miksi yang kuat, pancaran urine lemah/menetes, disuria
(saat kencing terasa terbakar), palpasi rectal toucher menggambarkan
hipertropi prostat, distensi vesika. Hipertrofi fibromuskuler yang terjadi
pada klien BPH menimbulkan penekanan pada prostat dan jaringan
sekitar, sehingga menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas
inilah nantinya akan menyebabkan keluhan frekuensi, urgensi,
inkontinensia urgensi, dan nokturia. Obstruksi yang berkelanjutan akan
menimbulkan komplikasi yang lebih besar, misalnya hidronefrosis, gagal
ginjal dan lain sebagainya. Oleh karena itu, katerisasi untuk tahap awal
sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria.
Pembesaran pada prostat terjadi secara bertahap mulai dari zona
periuretral dan transisional. Hiperplasia ini terjadi secara nodular dan
sering diiringi oleh proliferasi fibromoskuler untuk lepas dari jaringan
epitel. Oleh karena itu, hiperplasia zona transisional ditandai oleh
banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan cabang dari
pada duktus. Sebenarnya proliferasi zona transisional dan zona sentral
pada prostat berasal dari turunan duktus wolffii dan proliferasi zona perifer
berasal dari sinus urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang
embriologis inilah bias diketahui mengapa BPH terjadi pada zona
transisional dan sentral, sedangkan Ca prostat terjadi pada zona perifer
(Eko Prabowo, 2014).
D. Klasifikasi Derajat BPH
Derajat Benigna Prostat hiperplasia (BPH) terbagi dalam 4 derajat sesuai
dengan gangguan klinisnya:
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat1-2 cm,
sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, nokturia, berat ± 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, dysuria, nokturia
bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah
pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urin 50-
100 cc dan beratnya ±20-40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak
teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3-4 cm, dan beratnya
40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada
penyulit ke ginjal seperti gagal ginjal, hydronefrosis

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menetukan jmlah sisa urin
setelah penderita miksi spontan. Sisa urin dapat ditentukan dengan
pengukuran langsung yaitu dengan mengukur sisa kencing sehabis miksi
dengan melakukan kateterisasi ke dalam vesika urin dan mengukur berapa
sisa urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi tadi, sisa urin dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi vesika setelah
pendeita kencing atau dengan membuat foto post voiding pada waktu
membuat IVP.

Pada orang normal biasanya sisa sisa urin kosong, sedang pada retensi
urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas total vesika urinaria. Sisa urin
lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk
melakukan intervesi pada penderita BPH. Derajat berat obstuksi dapat pla
diukur dengan menguku pancaran urin pada waktu miksi, cara ini disebut
dengan cara uroflowmetri. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow
dengan baik diperlukan jumlah urin minimal didalam vesika 125ml sampai
150ml. Angka normal untuk flow rata – rata (average flow rate) 10 – 12
ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20ml/detik. Pada obstruksi
ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6 – 8ml/detik,
sedang maksimal menjadi 15mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran
flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan
obstruksi intravesikal.(Sugeng Jatiwiyono & Weni. K, 2010).

E. Manifestasi Klinis
Pasien BPH menunjukkan berbagai macam tanda dan gejala.
Gejala BPH berganti-ganti dari waktu kewaktu dan mungkin dapat
semakin parah, menjadi stabil, atau semakin buruk secara spontan.
Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam kategori obstruktif
(terjadi ketika faktor dinamika dan/atau faktor statistik mengurangi
pengosongan kandung kemih) dan iritatif/hasil dari obstruksi yang sudah
berjalan lama pada leher kandung kemih (Arif Muttaqin & Sari Kumala,
2011).
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan benigna
prostat hipertofi:
1. Retensi urin
2. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing
3. Miksi yang tidak puas
4. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)
5. Pada malam hari miksi harus mengejan
6. Terasa panas atau nyeri sekitar waktu miksi (disuria)
7. Massa pada abdomen bagian bawah (hematuria)
8. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk
mengeluarkan urin)
9. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi
10. Kolik renal
11. Berat badan turun
12. Anemia kadang-kadang tampa sebab yang diketahui pasien sama
sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter.
Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih maka mudah sekali
terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan colok dubur (recta toucher)
Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah
diberi pelicin kedalam lubang dubur. Pada pemeriksaan colok dubur
dinilai:
a. Tonus sfingter ani dan Reflex Bulbo-Kavernosus (BCR)
b. Mencari kemungkinan adanya masa didalam lumen rektum
c. Menilai keadaan prostat
2. Laboratorium
a. Urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria
b. Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsi ginjal
3. Pengukuran derajat berat obstruksi
a. Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan
(normal sisa urin kosong dan batas intervensi sisa urine lebih dari
100 cc)
b. Pancaran urin (uroflowmetri)
Syarat: jumlah urin dalam vesika s/d 150 ml. angka normal rata-
rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi ringan 6-8 ml/detik.

4. Pemeriksaan lain
a. BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder.
b. USG dengan transurethral ultrasonografi prostat (TRUSP) untuk
menentukan volume prostat.
c. Trans-abdominal USG: untuk mendeteksi bagian prostat yang
menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan
derajat berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika.
d. Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder
(Andra & Yessie M, 2013).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertopi prostat adalah:
1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, gagal ginjal
2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu
miksi
3. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya
batu.
4. Hematuria.
5. Cystitis dan pielonefritis (Andra & Yessie. M, 2013).
H. Penatalaksanaan Medis
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat
yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nokturia, mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol supaya tidak selalu sering miksi. Setiap
3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing dan pemeriksaan
colok dubur.
2. Terapi Medikamentosa
Tujuan terrapin medikamentosa adalah berusaha untuk:
a. Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara
menurunkan kadar hormon testosterone atau dihidrotestosteron
(DHT) melalui penghambat 5α-reduktase.
b. Penghambat enzim
Obat yang dipakai adalah Finasteride dengan dosis 1x5 mg/hari,
obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga
prostat dapat membesar akan mengecil. Tetapi obat ini bekerja
lebih lambat daripada golongan bloker dan manfaatnya hanya jelas
pada prostat yang sangat besar. Salah satu efek samping obat ini
adalah melemahkan libido, ginekomastio, dan dapat menurunkan
nilai PSA.
c. Filoterapi
Pengobatan filoterapi yang ada di Indonesia yaitu Eviprostat.
Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan
3. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap klien bervariasi tergantung beratnya
dan gejala komplikasi, indikasi untuk terapi bedah yaitu retensi urin
berulang, hematuria, tanda penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran
kemih berulang, ada batu saluran kemih. Karena pembedahan tidak
mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul
kembali 8-10 tahun kemudian.
4. Terapi Invasive Minimal
a. Trans Uretral Microlowafe Termoterapi (TUMT)
Jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan dibeberapa rumah sakit
besar. Dilakukan pemanasan prostat dengan gelombang mikro
yang disalurkan ke kelenjar prostate melalui suatu transduser yang
diletakkan di uretra pars prostatika.
b. High Intensity Focused Ultrasound (HIFU)
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada
prostat berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser
piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi
yang dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan
difokuskan kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anastesi
umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-
60 % dan Qmax rata-rata meningkat 40-50 %. Efek lebih lanjut
dari tindakan belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa
kegagalan terapi sebanyak 10 % setiap tahun. Meskipun sudah
banyak modalitas yang telah ditemukan untuk mengobati
pembesaran prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil
paling memuaskan adalah TUR prostat.
c. Transurethral Needle Ablation Of The Prostate (TUNA)
Ablasi jarum transuretra memakai energi dari frekuensi radio yang
menimbulkan panas sampai 100 °C sehingga menyebabkan
nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter tuna yang
dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi
pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter di masukkan kedalam uretra
melalui sistoskopi dengan pemberian anastesi topical xylocaine
sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada
kelenjar prostat.
d. Stent prostat
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intralumninal
diantara leher buli-buli dan disebelah proksimal verumontanum
sehingga urin dapat leluasa melewati lumen uretra prostastika.
Stent dapat dipasang secara temporal atau permanen. Pemasangan
alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani
operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi (Rudi
Haryono, 2013).
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Biodata
Nama, tgl MRS, jenis kelamin, pekerjaan dan lain-lain ?
2. Keluhan Umum
Perubahan frekuensi berkemih, bila miksi terasa panas.
3. Riwayat MRS
Mula-mula pasien berbulan atau beberapa tahun susah berkemih dan
mulai mengedan.
4. Riwayat penyakit yang lalu
Pasien susah untuk berkemih (BAK).
5. Riwayat kesehatan sekarang
Apakah keluarga ada yang menderita seperti pasien apa tidak.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Sirkulasi : Peninggian tekanan darah (efek pembesaran ginjal).
2. Eliminasi : Penurunan kekuatan dorongan aliran urine, tes keraguan.
a. Keragu-raguan pada berkemih awal.
b. Nokturia, disuria, hematuri.
c. isis berulang, riwayat batu (stasis urinaria).
d. Konstipasi.
e. Massa padat dibawah abdomen bawah.
f. Nyeri tekan kandung kemih
g. Hernia Inguinalis, Hemoroid
h. Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih : dorongan
dan frekuensi.
3. Makanan/cairan : Anoreksia, mual, muntah, penurunan BB
4. Nyeri/kenyamanan : Nyeri supraa pubis, panggul atau punggung,
tajam, kuat, nyeri bawah.
5. Keamanan : demam
6. Seksualitas :
a. Masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual.
b. Inkontinensia.
c. Penuninan kekualan ejakulasi.
d. Pembesaran, nyeri tekan prostat.
7. Pengetahuan :
a. Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
b. Penggunaan antihipertensi, antideprresi, antibiotik urinaria.
8. Diagnostik
a. Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap/terang,
penampilan keruh, pH : 7 atau lebih besar, bakteria.
b. Adanya staphylokokus aureus Proteus, klebsielia, pseudomonas,e.
coli.
c. BUN/kreatin : meningkat
d. IVP menunjukkan pelambatan pengosongan kandung kemih dan
adanya pembesaran prostat, penebalan abnormla otot kandung
kemih.
e. Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam kandung
kemih.
f. Sistometri : mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
C. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan disusun menurut prioritas masalah pada pasien pre
operasi sebagai berikut :
1. Retensi urine (akut/kronik) b/d obstruksi mekanik pembesaran
prostate.
2. Nyeri (akut) b/d iritasi mukosa, Distensi kandung kemih.
3. Gangguan rasa nyaman neyeri b/d spasme otot spincter.
4. ketakutan/kecemasan dihubungkan dengan perubahan status kesehatan
kemungkinan prosedur bedah/malignasi.
5. resiko tinggi disfungsi seksual b/d sumbatan saluran ejakulasi
hilangnya fungsi tubuh.

Post Operasi sebagai berikut :

1. Perubahan eliminasi urine berhubungan obstruksi mekanikal : bekuan


darah, oedoma, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi
catheter/balon.
2. Jika terjadi kekurangan volume cairan berhuhungan dengaa area bedah
vaskuIer kesulitan mengontrol perdarahan
3. Resiko infeksi berhubungan dengan presedur invasive : alat selama
pembedahan,catheter, iritasi kandung kemih serta trauma insisi bedah.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa
kandung kemih :reflek spasme otot sehubungan dengan prosedur
bedah dan/tekanan dan balon kandung kemih.
5. Reiko terjadi disfungsi seksaal berhubungan dengan situasi karisis
(inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter,
keterlibatan area genital).
6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah
interprestasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.

D. Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
1. Retensi urine (akut/kronik) b/d obstruksi mekanik pembesaran prostat
Tanda : frekuensi, keragu-raguan ketidakmampuan mengosongkan
kandung kemih, inkontinensia, distensi kandung kemih, residu, urine
 Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam dapat
berkemih dengan jumlah cukup.
 Kriteria hasil :
Berkemih dengan jumlah yang cukup, tak teraba distensi kandung
kemih, menunjukkan residu paaska berkemih kurang dan 50 ml,
dengan tidak adanya,tetesan/kelebihan aliran.
 Intervensi :
a. Dorong klien untuk berkemih setiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan.
b. Tanyakan pada Klien tentang inkontinensia stress.
c. Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
d. Awasi dan catat waktu dan jumlah setiap berkemih.
e. Perkusi area supra pubik.
f. Dorong masukan cairan sampai 3000 ml/hari.
2. Nyeri (akut b/d iritasi mukosa, distensi kandung kemih) ditandai :
Keluhan nyeri pada kandung kemih, penyempitan tokus, perubahan
fokus otot, meringis, perilaku distraksi, gelisah, respon otonomik.
 Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri
berkurang.
 Kriteria hasil :
a. Melaporkan nyeri hilang/timbul.
b. Tampak rileks.
c. Mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat.
 Intervensi :
a. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas.
b. Perhatikan tirah baring bila diindikasikan.
c. Berikan tindakan kenyamanan misal pijatan punggun
d. Lakukan massage prostat
e. Berikan obat sesuai indikasi
3. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot
spincter.
 Tujuan :
Setelah diakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu
mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.

 Kriteria hasil :
Secara verbal pasien mengunkapkan nyeri berkurang atau hilang.
Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
 Intervensi :
a. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor
pencetus serta penghilang nyeri.
b. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening
mengkerut peningkatan tekanan darah dan denyut nadi.
c. Beri kompres hangat pada abdomin terutama perut bagian
bawah.
d. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh,
merokok, abdomen tegang).
e. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknk relaksasi.
4. Resiko tinggi disfungsi berhubungan dengan sumbatan saluran
ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh.
 Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1-3 hari pasien
mampu mempertahankan fungsi seksualnya.
 Kriteria hasil :
Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual
dan aktivitas secara optimal
 Intervensi :
a. Motivasi pasien untuk mengungapkan perasaannya yang
berhuhungan dengan perubahannya
b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat.
c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan
perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual.
d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pemecahan masalah
e. Anjurkan pasien untuk menghindari huhungan seksual selama
1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi.

Post Operasi

1. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal


bekuan darah, coedema trauma, prosedur bedah, tekanan dan irigasi
catheter/balon, ditandai, dengan : Nyeri pada daerah tindakan operasi.
Perubahan frelmensi berkemih.
 Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
eliminasi urine lancar.
 Kriteria hasil :
a. Catheter tetap paten pada tempatnya.
b. tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.\
c. Berkemih tanpa aliran berlebihan.
d. Tidak terjadi retensi pada saat irigasi
 Intervensi :
a. Kaji keluaran urine dan sistem catheter/drainase. khususnya
selama irigasi kandung kemih.
b. Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah
catheter dilepas.
c. Dorong klien untuk berkemiih bila terasa dorongan tetapi tidak
lebih dan 2-4 jam
d. Ukur volume residu bila ada catheter supra pubic.
e. Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.
f. Kolaborasi medis untuk irigasi kandung kemih sesuai indikasi
pada periode pasca operasi dini.
2. Resiko infeksi berhuhungan dengan prosedur pembedahan, catheter,
irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah, ditandai
dengan:
a. Nyeri daerah tindakan operasi.
b. Dysuria.
c. Luka tindakan operasi tepat di daerah prostat.
d. Pemasangan catheter tetap.
 Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3-24 jam.
Menunjukkan tidak tampak tanda-tanda infeksi,dengan kriteria :
Tidak tampak tanda-tanda infeksi, Inkontinensia tidak terjadi, Luka
tindakan bedah cepat kering.
 Intervensi :
a. Berikan perawatan catheter tetap secara steril.
b. Ambulasi kantung drainase dependen.
c. Awasi tanda-tanda vital.
d. Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit
sepanjang waktu.
e. Kolaborasi medis untuk pemberian golongan obat antibiotika.
DAFTAR PUSTAKA

Andra Wijaya & Yessie P. 2013. KMB 1 : Keperawatan Medical Bedah (Teori
Dan Contoh Askep). Yogyakarta : Nuha Medika.
Arif Muttaqin & Sari Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta. Salemba Medika.
Eko Prabowo & Pranata, Eka. S. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta. Nuha Medika.
Purnomo, 2011. Pembesaran Kelenjar BPH dan Tanda Gejalah Terjadinya BPH,
(http://www.sinarharapan.co.id, diakses 26 februari 2019
Rudi Haryono. 2013 Keperawatan Medikal Bedah Sistem Perkemihan. Andi
Offset : Yogyakarta

Sugeng Jitowiyono & Weni Kristiyana Sari. 2010. Asuhan Keperawatan Post
Opera Pendekatan Nanda, Nic, Noc. Yogyakarta. Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai