Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PATOFISIOLOGI
BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

DISUSUN OLEH :

NAMA : MUHAMMAD IZZAN HANAFI

NIM : AK2520992

AKPER AL KAUTSAR
TEMANGGUNG
2021
BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

 Definisi Benigna Prostat Hiperplasia

BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan Bare, 2013). Hyperplasia merupakan
pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel. BPH merupakan suatu
kondisi patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-rata 50 tahun
( Prabowo dkk, 2014 ).

Gambar 2.1 BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)

 Etiologi

Etiologi BPH Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:
1. Peningkatan DHT (dehidrotestosteron) Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto
androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hyperplasia.
2. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses
degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan
penurunan hormon testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada
prostat.
3. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat peningkatan kadar epidermal growth
factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH. 9
4. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis ) Estrogen yang meningkat akan menyebabkan
peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan
memicu terjadi BPH.Patofisiologi

 Patofisiologi 
benign prostatic hyperplasia disebabkan karena beberapa faktor, yaitu faktor usia dan
hormonal. Seiring bertambahnya usia, kelenjar prostat akan mengalami pembesaran.
Pembesaran prostat ini dipengaruhi oleh hormon androgen, terutama dihidrotestosteron dan
testosteron. Kadar testosteron dalam kelenjar prostat mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya usia, hal ini disebabkan karena adanya isoenzim alfa-5-reduktase mengubah
testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT). Penurunan kadar testosteron ini kemudian
akan mengakibatkan ketidakseimbangan hormon androgen, sehingga terjadi peningkatan
rasio esterogen/androgen dalam serum serta jaringan prostat, terutama pada stroma. DHT
juga akan berikatan dengan reseptor androgen pada nukleus sel, sehingga dapat menyebabkan
hiperplasia.

Pembesaran Zona Transisional

Prostat dibagi ke dalam 3 zona, yaitu:


1. zona sentral,
2. zona perifer, dan
3. zona transisional.

Zona perifer terletak pada sisi posterior sampai lateral dari uretra dan merupakan zona
terbesar, yaitu sekitar 75% dari seluruh kelenjar prostat. Zona sentral berukuran lebih kecil
dan terletak disekitar duktus ejakulatorius. Bagian terkecil dari prostat merupakan zona
transisional, yaitu sekitar 5% yang terletak pada kedua sisi uretra pars prostatika.
Pada benign prostatic hyperplasia, zona transisional membesar hingga 95% dan menekan
zona lain. Pembesaran zona transisional ini dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih dan
juga pada beberapa pasien gejalanya minimal. Hal ini terjadi karena turunnya elastisitas
uretra pars prostatika karena penurunan kolagen dan peningkatan proteoglikan, sehingga
uretra pars prostatika lebih resisten terhadap tekanan dan pembesaran terjadi lebih banyak ke
arah luar. Jika pembesaran terjadi ke arah dalam, akan terjadi penekanan pada lumen urethra
pars prostatika, sehingga menyebabkan obstruksi saluran kemih/bladder outlet
obstruction (BOO).

Obstruksi Saluran Kemih

Obstruksi pada saluran kemih akan membuat tekanan intravesika meningkat, sehingga
buli-buli harus berkontraksi lebih untuk melawan kenaikan tekanan tersebut setiap kali miksi.
Kontraksi berlebih ini lama-lama dapat menyebabkan hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya divertikula, sakula, ataupun selula pada buli-buli. Fase di mana hipertrofi otot
detrusor ini terjadi disebut dengan fase kompensasi dinding otot. Bila keadaan ini
berlangsung secara kronis, otot detrusor akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk berkontraksi, sehingga menyebabkan retensi urin dalam vesika urinaria yang dapat
menjadi infeksi ataupun batu. Tekanan tinggi yang terus menerus ini juga menyebabkan
terjadinya aliran balik urin dari buli-buli ke ureter, sehingga menyebabkan hidroureter
ataupun hidronefrosis. Perubahan-perubahan struktur ini akan menyebabkan terbentuknya
gejala LUTS, baik obstruktif ataupun iritatif.

 Manifestasi Klinis

Gejala Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Tingkat keparahan gejala pembesaran prostat jinak bisa berbeda pada tiap penderita,
tetapi umumnya akan memburuk seiring waktu. Gejala utama penderita benign prostatic
hyperplasia (BPH) adalah gangguan saat buang air kecil, yang bisa berupa:

 Urine sulit keluar di awal buang air kecil.


 Perlu mengejan saat buang air kecil.
 Aliran urine lemah atau tersendat-sendat.
 Urine menetes di akhir buang air kecil.
 Buang air kecil terasa tidak tuntas.
 Buang air kecil di malam hari menjadi lebih sering.
 Beser atau inkontinensia urine.

Pada kasus tertentu, BPH bahkan bisa menyebabkan retensi urine atau ketidakmampuan


mengeluarkan urine sama sekali. Tapi perlu diingat, tidak semua pembesaran kelenjar prostat
menimbulkan keluhan buang air kecil, baik buang air kecil terus atau tidak bisa buang air
kecil sama sekali.
Penyebab Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Belum diketahui apa yang menyebabkan pembesaran prostat jinak. Akan tetapi,
kondisi ini diduga terkait dengan perubahan pada keseimbangan kadar hormon seksual
seiring pertambahan usia pria.
Pada sebagian besar pria, prostat akan terus tumbuh seumur hidup. Ketika ukurannya
cukup besar, prostat akan menghimpit uretra, yaitu saluran yang mengalirkan urine dari
kandung kemih ke lubang kencing. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya gejala-
gejala di atas.
Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang terkena pembesaran prostat
jinak, yaitu:

 Berusia di atas 60 tahun


 Kurang berolahraga
 Memiliki berat badan berlebih
 Menderita penyakit jantung atau diabetes
 Rutin mengonsumsi obat hipertensi jenis penghambat beta
 Memiliki keluarga yang mengalami gangguan prostat

 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Untuk menentukan apakah pasien menderita pembesaran prostat jinak, dokter akan
menanyakan gejala yang dialami pasien. Kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan
colok dubur guna mengetahui ukuran prostat.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan selanjutnya adalah:

 USG prostat, untuk melihat ukuran prostat penderita.


 Tes urine, untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi atau kondisi lain yang memiliki
gejala mirip dengan pembesaran prostat jinak.
 Tes darah, untuk memeriksa kemungkinan gangguan pada ginjal.
 Tes pengukuran kadar antigen (PSA) dalam darah. PSA dihasilkan oleh prostat dan
kadarnya dalam darah akan meningkat bila kelenjar prostat membesar atau mengalami
gangguan.

Guna memastikan pasien menderita pembesaran prostat jinak dan menyingkirkan


kemungkinan adanya kondisi lain, dokter akan melakukan pemeriksaan berikut:

 Mengukur kekuatan pancaran urine dan jumlah urine yang keluar.


 Memeriksa kemampuan pasien untuk mengosongkan kandung kemih. Memeriksa
kemungkinan adanya kanker prostat, melalui biopsi atau pengambilan sampel jaringan
prostat untuk diteliti di laboratorium.
 Melihat kondisi uretra dan kandung kemih, dengan memasukkan selang fleksibel
berkamera (sistoskopi) melalui lubang kencing.

 Penataklasanaan Medis

Penatalaksanaan benign prostatic hyperplasia sangat bergantung dari derajat


keparahannya berdasarkan skoring IPSS (International Prostate Symptom Score).
Sebagai penatalaksanaan awal yang darurat, bila pasien mengalami retensi urine
akibat benign prostati c hyperplasia maka pasien dapat diberikan kateterisasi uretra atau bila
gagal, kateterisasi suprapubik untuk mengatasi retensi urine.

1. Pemantauan Ketat / Watchful Waiting

Watchful waiting dilakukan pada pasien dengan gejala ringan, yaitu pasien dengan
hasil skor IPSS/AUA (American Urological Association Symptom Score Index) 0 hingga 7.
Metode terapi ini sering kali mengalami kegagalan, yaitu sekitar 40% dalam 3 bulan pertama
hingga 60% dalam 12 bulan. Terapi farmakoterapi awal pada pasien dengan gejala lower
urinary tract symptoms (LUTS) yang mengganggu dapat membantu memperlambat
progresifitas gejala.

2. Medikamentosa
Pasien dengan gejala sedang (Skor IPSS/AUA 8-18) hingga berat (Skor IPSS/AUA 19-
35) dapat diberikan terapi farmakologis. Jika terapi farmakologis tidak berhasil mengatasi
gejala yang ada, maka dapat dilakukan tindakan pembedahan. Pilihan terapi farmakologis
yang dapat diberikan antara lain adalah:

 Antagonis Reseptor Alfa-1-Adrenergik


Obat antagonis α1 adrenergik (penghambat reseptor alfa / alpha blocker), seperti prazosin
atau tamsulosin, bekerja dengan mengurangi retensi otot polos prostat. Obat merupakan salah
satu obat yang paling sering diberikan pada pasien benign prostatic hyperplasia karena dapat
memperbaiki aliran urin dan skor IPSS sebanyak 30-40% dalam waktu 1 minggu. Akan
tetapi, obat ini tidak menghambat progesifitas benign prostatic hyperplasia.

 Penghambat 5-Alfa-Reduktase
Penghambat 5-alfa-reduktase, seperti dutasterid dan finasterid, bekerja untuk mengurangi
volume prostat dengan menurunkan kadar hormon testosterone/dihidrotestosteron. Obat ini
juga merupakan salah satu obat yang sering diberikan, umumnya diberikan pada pasien
dengan ukuran prostat >30 gram. Butuh waktu paling tidak 6 bulan untuk mencapai efek
terapetik maksimal. Obat ini dapat mengurangi progesifitas benign prostatic hyperplasia,
tetapi memiliki risiko cukup tinggi untuk menjadi kanker prostat.

 Antimuskarinik
Obat ini merupakan salah satu terapi benign prostatic hyperplasia terkini. Cara kerja obat ini
adalah menginhibisi respon asetilkolin sehingga menurunkan kontraktilitas otot detrusor dan
mengurangi gejala iritatif LUTS. Obat ini juga dapat diberikan bersamaan dengan antagonis
alfa-1-adrenergik. Obat ini tidak dapat digunakan apabila pasien mengalami obstruksi saluran
kemih.

 Inhibitor Fosfodiesterase-5
Obat ini merupakan salah satu obat benign prostatic hyperplasia terkini tetapi cara kerjanya
belum diketahui secara pasti. Studi yang ada menyatakan bahwa penghambat fosfodiesterasi-
5, seperti tadalafil, dapat memicu relaksasi otot halus sehingga melancarkan aliran urin. Obat
ini merupakan pilihan apabila pasien memiliki gejala LUTS yang disertai disfungsi ereksi.

 Agonis Beta-3-Adenoreseptor
Agonis beta-3-adenoreseptor, seperti mirabegron, merupakan obat benign prostatic
hyperplasia yang lebih baru dan dapat digunakan terutama pada pasien benign prostatic
hyperplasia dengan glaukoma. Cara kerja obat ini masih belum diketahui secara pasti.

3. Pembedahan
Tindakan pembedahan pada benign prostatic hyperplasia dapat dilakukan pada pasien
dengan skor IPSS 8 hingga 35. Indikasi tindakan pembedahan pada benign prostatic
hyperplasia adalah kegagalan terapi farmakologi, retensi urin yang sulit diatasi (evakuasi
dengan kateter tidak berhasil), infeksi saluran kemih berulang, hematuria, batu saluran kemih,
dan insufisiensi renalis karena obstruksi. Pilihan tindakan pembedahan yang ada antara lain
adalah:
 Prostatektomi Terbuka / Open Prostatectomy
Prostatektomi terbuka merupakan pilihan tindakan bedah utama bagi pasien benign prostatic
hyperplasia dengan ukuran prostat yang terlalu besar (100 gram atau lebih)
dibandingkan transurethral resection of the prostate (TURP). Ukuran prostat yang terlalu
besar dapat mengakibatkan tidak tuntasnya reseksi pada TURP.

 Pembedahan Endourologi
Pembedahan endourologi adalah metode yang paling umum dilakukan untuk terapi benign
prostatic hyperplasia. Prosedur yang dapat dilakukan antara lain adalah transurethral
resection of the prostate  (TURP), transurethral incision of the prostate (TUIP),
prostatektomi laser, dan elektrovaporasi.  TURP adalah teknik pembedahan yang paling baik
untuk pasien benign prostatic hyperplasia dengan gejala sedang hingga berat. Sebanyak 95%
pembedahan benign prostatic hyperplasia dilakukan dengan TURP. Tindakan ini paling ideal
dilakukan pada pasien dengan ukuran prostat sedang (60-80 gram) dengan batas toleransi
hingga 100 gram. Akan tetapi, hal ini sangat bergantung pada pengalaman operator.
Prostatektomi dengan laser juga memberikan hasil yang sama dengan TURP tetapi lebih
jarang dilakukan karena harus dilakukan oleh dokter spesialis urologi yang secara khusus
memiliki keterampilan untuk prostatektomi laser. TUIP merupakan teknik pembedahan
untuk benign prostatic hyperplasia yang cukup baik. Prosedur ini tidak dapat dilakukan pada
pasien dengan karsinoma prostat.

 Pembedahan Invasif Minimal


Teknik pembedahan invasif minimal pada benign prostatic hyperplasia antara lain
adalah transurethral needle ablation (TUNA), transurethral microwave therapy (TUMT),
dan pemasangan sten.  Tindakan bedah invasif minimal umumnya dilakukan pada
pasien benign prostatic hyperplasia dengan ukuran prostat kecil (30-50 gram). TUMT
merupakan pilihan tindakan yang cukup sering dilakukan, namun memberikan hasil yang
kurang baik dibandingkan dengan TURP. TUNA dapat dilakukan terutama pada
pasien benign prostatic hyperplasia yang masih cukup muda karena resiko untuk
ejakulasi retrograde lebih kecil. Akan tetapi, baik TUMT ataupun TUNA kecenderungan
untuk melakukan operasi ulang dalam 5 tahun lebih tinggi. Pemasangan stent dapat
dilakukan pada pasien dengan gejala berat yang kondisinya tidak memungkinkan untuk
dilakukan pembedahan.
 Referensi

https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/2129
https://www.auajournals.org/doi/abs/10.1016/S0022-5347%2801%2967064-2
https://www.auajournals.org/doi/abs/10.1016/S0022-5347%2801%2963162-8
https://media.neliti.com/media/publications/316530-pengaruh-pmr-progressive-
muscle-relaxati-981e55ee.pdf

Anda mungkin juga menyukai