Anda di halaman 1dari 28

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

A. Pendahuluan
Istilah benign prostatic hyperplasia atau BPH juga dikenal sebagai
hipertrofi prostat benigna yang merupakan diagnosis histopatologis yang
digolongkan melalui proliferasi unsur-unsur seluler dari prostat. Akumulasi
seluler dan pembesaran kelenjar mungkin akibat dari sel-sel epitel dan
proliferasi stroma, apoptosis, atau keduanya.1,2
Hipertrofi prostat merupakan kelainan yang sering ditemukan. Istilah
hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya ialah
hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke
perifer dan menjadi simpai bedah.3
Hiperplasia prostatik adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat; pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuteral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa.4
Pembesaran prostat benigna atau lebih sering ditemukan pada pria yang
menapak usia lanjut. Tanda klinis BPH biasanya muncul pada lebih dari 50%
laki-laki yang berusia 50 tahun ke atas.4

B. Epidemiologi
BPH merupakan masalah yang umumnya mempengaruhi kualitas hidup
kira-kira sepertiga pria dewasa yang berusia lebih dari 50 tahun. Secara
histologi BPH 90% meningkat dengan jelas pada pria yang berusia 85 tahun.
Sebanyak 14 juta pria di AS mempunyai gejala BPH. Di seluruh dunia, kira-
kira 30 juta pria mempunyai gejala yang berhubungan dengan
BPH.1Prevalensi BPH pada pria ras putih dan Afrika-Amerika sama. Akan
tetapi, BPH cenderung menjadi lebih berat dan progresif pada pria Afrika-
Amerika, mungkin disebabkan karena kadartestosteron yang tinggi, aktivitas
5-alpha-reductase, ekspresi reseptor androgen, dan aktivitas faktor

28
pertumbuhan pada populasi tersebut. Peningkatan aktivitas memimpin laju
peningkatan hyperplasia prostat dan pembesaran berikutnya dan merupakan
kelanjutannya.1
Bukti histologis adanya BPH dapat ditemukan pada sebagian besar pria,
bila mereka dapat hidup cukup lama. Namun demikian, tidak semua pasien
BPH berkembang menjadi BPH yang bergejala (symptomatic BPH).
Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40 – 49 tahun mencapai
hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada
usia 50 – 59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60
tahun mencapai angka sekitar 43%.2

C. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrostestosteron (DHT) dan proses penuaan (aging process).5
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan
testosterone - estrogen karena produksi testosterone menurun dan terjadi
konversi testosterone menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik.3
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek
perubahan juga terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat,
dan destrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung
kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi
(buli-buli balok).3
Mukosa dapat menerobos keluar di antara serat detrusor. Tonjolan
mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar disebut
diverticulum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot

28
dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urine.3

D. Patofisiologi
Secara mikroskopik, BPH digolongkan sebagai proses hiperplastik.
Hiperplasia akibat pembesaran prostat membatasi aliran urine dari kandung
kemih, yang mengakibatkan manifestasi klinis dari BPH.1
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan
hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia,
miksi sulit ditahan, dan disuria.3
Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi
atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih
sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda
ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinis.3
Apabila vesika menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine
sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine di dalam kandung
kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut
pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu
lagi miksi. Karena produksi urine terus terjadi pada suatu saat vesika tidak
mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intravesika terus meningkat.
Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks.3
Karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan

28
hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks dapat terjadi pielonefritis.3

E. GambaranKlinis
Ketika prostat membesar hal ini akan menarik aliran urine. Persarafan
dalam prostat dan kandung kemih juga berperan dalam menyebabkan gejala
penyerta:1,6
- Frekuensi urine: Sering buang air kecil (BAK) selama seharian atau
malam hari (nokturia), biasanya setiap BAK hanya sedikit urine yang
keluar.
- Urgensi urine: Perasaan ingin miksi, yang tidak bisa ditahan. Kadang –
kadang miksi tidak dapat ditahan sama sekali (urgen inkontinensia).
- Hesistansi: Ingin miksi tapi tidak jadi. Kesulitan memulai mengeluarkan air
kencing; terputus, aliran lemah.
- Pengosongan kandung kemih tidak sempurna: Adanya perasaan kandung
kemih belum kosong semua pada waktu miksi, perasaan urine masih tersisa,
tanpa memperhatikan frekuensi BAK.
- Penurunan kekuatan aliran: secara subyektif kehilangan kekuatan aliran
kemih menjadi lemah, tidak lancar, volume sedikit.
- Dribbling: Masih ada tetesan air kemih setelah miksi.

F. Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan
awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal
harus dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan
pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi
untuk melakukan pemeriksaan itu.2
1) Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan
anamnesis atau wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang
riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis itu meliputi:2

28
- Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah
mengganggu.
- Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, atau pembedahan).
- Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual.
- Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan
keluhan miksi.
- Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan.
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan
menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah
International Prostate Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah
mengembangkan dan mengsahkan prostate symptom score yang telah
distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan
pasien BPH.2
Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing
memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS
dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap
pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor
yang diperoleh adalah sebagai berikut:2
- Skor 0 – 7: bergejala ringan
- Skor 8 – 19: bergejala sedang
- Skor 20 – 35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS
terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life
atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.

28
Tabel 1. Skor Internasional gejala – gejala prostat WHO
(Internasional Prostate Symptom Score, IPSS)

Jumlah nilai :
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = buruk
5 = buruk sekali

2) Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik
pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-

28
buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya
pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang
merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume
prostat dengan DRE cenderung underestimate daripada pengukuran
dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa
ukuran sebenarnya memang besar.2
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus
sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam
rectum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur, harus diperhatikan
konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal),
adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat
diraba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan
yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetri
dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula diketahui
batu prostat bila teraba krepitasi.2

3) Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria
dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran
kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi
di antaranya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra pada
pemeriksaan urinealisis menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada
kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan
kultururine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli
perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine.2
Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah
memakai kateter, pemeriksaan urinealisis tidak banyak manfaatnya karena
seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan
kateter.2

28
4) Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada
traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal
akibat BPH terjadi sebanyak 0,3 – 30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal
ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih
sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan
mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa
ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar
kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar
kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna
sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada
saluran kemih bagian atas.2

5) Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA)


PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific
tetapi bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan
perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
a. Pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
b. Keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
c. Lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan
berdasarkan kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa
makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju
pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2 –
1,3 mg/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4 – 3,2
mg/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3 – 9,9 mg/dl adalah 3,3
mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP),
pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang
makin tua.2

28
Sesuai yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa
serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi urineakut dan kadarnya
perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi.
Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:2
- 40 – 49 tahun: 0 – 2,5 mg/ml
- 50 – 59 tahun:0 – 3,5 mg/ml
- 60 – 69 tahun:0 – 4,5 mg/ml
- 70 – 79 tahun: 0 – 6,5 mg/ml
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma
prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma
prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior
daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya
karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi
sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.2
Sebagian besar guidelinesyang disusun di berbagai negara
merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal
pada BPH, meskipun dengan syarat yang berhubungan dengan usia pasien
atau usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi 70 – 75
tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang
terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.2

6) Catatan harian miksi (voiding diaries)


Voidingdiariessaat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi
traktus urinearius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang
cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat berguna pada pasien yang
mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat
kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan
berapa jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien
menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi
intravesika, atau karena polyuria akibat asupan air yang berlebih.2

28
Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk
mendapatkan hasil yang baik, namun Brown et al (2002) mendapatkan
bahwa pencatatan selama 3 – 4 hari sudah cukup untuk menilai
overaktivitas detrusor.2

7) Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama
proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk
mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak
invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume
miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.2
Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai
untuk mengevaluasi gejala obstruksi intravesika baik sebelum maupun
setelah mendapatkan terapi. Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan
penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang
lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor.2
Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada
BOO. Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat
korelasi antara nilai Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut:
- Qmax< 10 ml/detik 90% BOO
- Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO
- Qmax>15 ml/detik 30% BOO
Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan.
Pasien tua yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan
disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah
pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax<10 mL/detik biasanya
disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik.2
Penilaian ada tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Q max
saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain. Menurut Steele et
al (2000) kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan

28
Qmaxcukup akurat dalam menentukan adanya BOO. Nilai Qmax dipengaruhi
oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat variasi induvidual
yang cukup besar.2
Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume
urine>150 mL dan diperiksa berulangkali pada kesempatan yang berbeda.
Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk menentukan BOO harus
diukur beberapa kali. Reynard et al (1996) dan Jepsen et al (1998)
menyebutkan bahwa untuk menilai ada tidak-nya BOO sebaiknya
dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali.2

8) Pemeriksaan residual urine


Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa
urine yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual
urine ini pada orang normal adalah 0,09 – 2,24 mL dengan rata-rata 0,53
mL. 78% pria normal mempunyai residual urine< 5 mL dan semua pria
normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.2
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu
dengan melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi
uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan
mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui
kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak
mengenakkan bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra,
menimbulkan infeksi saluran kemih, hinggaterjadi bakteriemia.2
Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine
mempunyai variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien
yang diukur residual urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang
sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume
residual urineyang cukup bermakna. Variasi perbedaan volume residual
urine ini tampak nyata pada residual urine yang cukup banyak (>150 ml),
sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml) hasil
pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama.2

28
Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume residual urine
yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan
pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak
selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urineatau beratnya
obstruksi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi
(2003), bahwa volume residual urine tidak dapat menerangkan adanya
obstruksi saluran kemih.2
Namun, bagaimanapun adanya residu urine menunjukkan telah
terjadi gangguan miksi. Watchful waiting biasanya akan gagal jika
terdapat residual urine yang cukup banyak (Wasson et al 1995), demikian
pula pada volume residual urine lebih dari 350 ml seringkali telah terjadi
disfungsi pada buli-buli sehinggaterapi medikamentosa biasanya tidak
akanmemberikan hasil yang memuaskan.2
Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan
pemeriksaan PVR sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan
untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual
yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan
sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal.2

9) Pencitraan traktus urinarius


Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan
terhadap traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan
prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian
besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya:2
a. kelainan pada saluran kemih bagian atas,
b. divertikel atau selule pada buli-buli,
c. batu pada buli-buli,
d. perkiraan volume residual urine, dan
e. perkiraanbesarnya prostat.
Pemeriksaan pencitraanterhadap pasien BPH dengan memakai IVP
atau USG, ternyata bahwa 70 – 75% tidak menunjukkan adanya kelainan

28
pada saluran kemih bagian atas; sedangkan yang menunjukkan kelainan,
hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda
dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan padaBPH, kecuali jika pada
pemeriksaan awaldiketemukan adanya: (a) hematuria, (b) infeksisaluran
kemih, (c) insufisiensi renal (denganmelakukan pemeriksaan USG), (d)
riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada
saluran urogenitalia.2
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna
memperkirakan besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat
ini tidak direkomendasikan. Namun pemeriksaan itu masih berguna jika
dicurigai adanya striktura uretra.2
Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar
prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan
ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin,
kecuali hendak menjalani terapi: (a) inhibitor 5-αreduktase, (b)
termoterapi, (c) pemasangan stent, (d) TUIP atau (e) prostatektomi
terbuka.2
Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan
melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS) ataupun transrektal (TRUS).
Jika terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG melalui
transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya
karsinoma prostat.2

10) Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra
prostatika dan buli-buli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi
uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli,trabekulasi buli-buli, selule, dan
divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur
volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini
tidakmengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkankomplikasi perdarahan,

28
infeksi, cedera uretra, danretensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai
pemeriksaan rutin pada BPH.2
Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akandilakukan tindakan
pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau
prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan
hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat
membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.2

11) Pemeriksaan urodinamika


Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien
mempunyai pancaran urineyang lemah tanpa dapat menerangkan
penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure flow study) dapat
membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi
leher buli-buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot detrusor.2
Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani
pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan
disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi
otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan
bermanfaat.2
Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada
evaluasi pasien BPH bergejala. Meskipun merupakan pemeriksaan invasif,
urodinamika saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam
menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkan
keberhasilan suatu tindakan pembedahan.2
Menurut Javle et al (1998), pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas
87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi
pemeriksaan urodinamika pada BPH adalah: berusia < 50 tahun atau >
80tahun dengan volume residual urine>300 mL,Qmax>10 ml/detik, setelah
menjalani pembedahanradikal pada daerah pelvis, setelah gagal
denganterapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.2

28
12) Pemeriksaan yang tidak direkomendasikan pada pasien BPH
Berbagai pemeriksaan saat ini tidak direkomendasikan sebagai
piranti untuk diagnosis pada pasien BPH, kecuali untuk tujuan penelitian,
di antaranya adalah:2
a) IVU, kecuali jika pada pemeriksaan awal didapatkan adanya:
hematuria, infeksi saluran kemih berulang, riwayat pernah
menderita urolitiasis, dan pernah menjalani operasi saluran kemih.
b) Uretrografi retrograd, kecuali pada pemeriksaan awal sudah
dicurigai adanya striktura uretra.
c) Urethral pressure profilometry (UPP)
d) Voiding cystourethrography (VCU)
e) External urethral sphincter electromyography
f) Filling cystometrography.

G. Diagnosis Banding
Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas
leher kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi uretra. Setiap
kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut.3
Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung
kemih neurologik), misalnya pada lesi medulla spinalis, neuropatia diabetes,
bedah radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan
obat penenang, obat penghambat reseptor ganglion, dan parasimpatolitik.3
Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan
resistensi uretra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor
di leher kandung kemih, batu di uretra, atau striktur uretra. Kelainan tersebut
dapat dilihat dengan sistoskopi.3

28
H. Penatalaksanaan
Penderita datang ke dokter bila hipertrofi prostat telah memberikan
keluhan klinis. Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi 4 gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin.3

Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin


I Penonjolan prostat, batas < 50 ml
atas mudah diraba

II Penonjolan prostat jelas, 50 – 100 ml


batas atas dapat dicapai
III Batas atas prostat tidak 100 ml
dapat diraba
IV Retensi urin total

WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi


yang disebut WHO prostate symptom score (WHO PSS). Skor ini dihitung
berdasarkan jawaban penderita atas 8 pertanyaan mengenai miksi. Terapi non
bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap di bawah 15. Terapi bedah dianjurkan
bila WHO PSS 25 keatas atau bila timbul obstruksi.3
a. Derajat I
Belum memerlukan tindak bedah, diberikan tindakan konservatif,
misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin,
prazosin dan terazosin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa
ialah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasia prostat sedikit pun. Kekurangannya ialah obat ini tidak
dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Derajat II
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan
reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection = TUR ).
Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua
dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
c. Derajat III

28
Reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup
berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan
pembedahan.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau
perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut bagian
bawah menurut pfannenstiel ; kemudian prostat dienukleasi dari dalam
simpainya. Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk
mengangkat batu buli – buli atau divertikelektomi apabila ada
divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan retropubik menurut
milin dikerjakan melalui sayatan kulit pfannenstiel dengan membuka
kandung kemih, kemudian prostat dienukleasi. Cara ini mempunyai
keunggulan yaitu tanpa membuka kandung kemih sehingga pemasangan
kateter tidak lama seperti bila membuka vesika. Kerugiannya, cara ini
tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan
dari dalam kandung kemih. Kedua cara pembedahan terbuka tersebut
masih kalah dibandingkan dengan cara TUR, yaitu morbiditasnya yang
lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang
khusus, dengan alat bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal
tidak dikerjakan lagi.
d. Derajat IV
Tindakan yang pertama harus dikerjakan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitif dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan
pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini
adalah gejala hipotensi, seperti pusing, lemas, palpitasi dan rasa lemah.

28
Pengobatan konservatif ialah dengan pemberian obat antiandrogen yang
menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif adalah
menetukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat.
Pengobatan lain yang invasif minimal adalah pemanasan prostat dengan
gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang
dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transurethral micro
wave thermotherapy ( TUMT ) ini, diperoleh hasil perbaikan kira –kira 75
% untuk gejala objektif.
Pada penanggulangan invasif minimal lain, yang disebut transurethral
ultrasound guided laser induced prostatectomy ( TULIP ) digunakan
cahaya laser. Dengan cara ini, diperoleh juga hasil yang cukup
memuaskan.
Uretra di daerah prostat dapat juga didilatasi dengan balon yang
dikembangkan didalamnya ( trans urethral ballon dilatation = TUBD ).
TUBD ini biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara.

Terapi Konservatif
Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif. Terapi
konservatif terbagi dalam berbagai kelompok, yaitu :3,9,10,11,12
a. Observasi (Watchful waiting)
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah
(LUTS) ringan dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa
mendapatkan terapi apapun. Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang
membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah.
b. Medikamentosa
1) Penghambat adrenergik alfa
Persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul
prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama

28
mengandung reseptor alpha, jadi dengan pemberian obat golongan
alpha adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker maka
tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan
berkurang, sehingga menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan
memperbaiki gejala miksi. Bila serangan prostatismus memuncak
menjurus kepada retensio urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot
polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian obat ini
adalah sangat rasional. Episode serangan biasanya cepat teratasi.
Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2×10
mg/hari. Sekarang telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1
adrenergik bloker yaitu Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat
lain selain itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan
Doxazosin. Tetapi kelompok obat ini tidak dapat digunakan
berkepanjangan karena efek samping obat ini berupa hipotensi
ortostatik, palpitasi, astenia vertigo.

Terapi Invasif
a. Operatif
1) Prostatektomi terbuka
- Retropubic infravesika (Terence millin)
Keuntungan :
 Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar
pada subservikal
 Mortaliti rate rendah
 Langsung melihat fossa prostat
 Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
 Perdarahan lebih mudah dirawat
 Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak
perlu selama bila membuka vesika
Kerugian :
 Dapat memotong pleksus santorini

28
 Mudah berdarah
 Dapat terjadi osteitis pubis
 Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
 Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus
dikerjakan dari dalam vesika

- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)


Keuntungan :
 Baik untuk kelenjar besar
 Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
 Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan
penyulit : Batu buli, Batu ureter distal, Divertikel, Uretrokel,
Adanya sistsostomi, Retropubik sulit karena kelainan os pubis
 Kerusakan spingter eksterna minimal
Kerugian :
 Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada
dinding vesica sembuh
 Sulit pada orang gemuk
 Sulit untuk kontrol perdarahan
 Merusak mukosa kulit
 Mortality rate 1 -5 %

- Transperineal
Keuntungan :

 Dapat langssung pada fossa prostat


 Pembuluh darah tampak lebih jelas
 Mudah untuk pinggul sempit
 Langsung biopsi untuk karsinoma

28
Kerugian :

 Impotensi
 Inkontinensia
 Bisa terkena rektum
 Perdarahan hebat
 Merusak diagframa urogenital

2) Prostatektomi Endourologi
- Trans urethral resection (TUR)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra.Jaringan yang direseksi
hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan
perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. TUR merupakan tindakan
operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar
prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan
irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap
terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan
adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak
terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering
dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui
pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air
dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala
intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini
ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera
diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh
dalam keadaan koma dan meninggal.3,9,10,11,12

28
Keuntungan :

 Luka incisi tidak ada


 Lama perawatan lebih pendek
 Morbiditas dan mortalitas rendah
 Prostat fibrous mudah diangkat
 Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :

 Tehnik sulit
 Resiko merusak uretra
 Intoksikasi cairan
 Trauma spingter eksterna dan trigonum
 Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
 Alat mahal
 Ketrampilan khusus

- Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)


Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif,
tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia
prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya
masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher
buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi
ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat
memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai
alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai
dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus
cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode
ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian
ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR. 3,4

28
- Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)
Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh
Sander (1984). Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang
dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat menembak prostat
yang disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok
(deflektor) sinar laser dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser
dapat diarahkan ke arah kelenjar prostat yang membesar.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4
menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan,
kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn
effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada
permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera
akan menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek
ablasi ikutan yang kan menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam
setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga
didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.
3,9,10,11,12

Keuntungan :

 Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi


retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
 Teknik lebih sederhana
 Waktu operasi lebih cepat
 Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
 Tidak memerlukan terapi antikoagulan
 Resiko impotensi tidak ada
 Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian : Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi
(regional)

28
b. Minimal invasif
1) Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5C – 47C ini mulai diperkenalkan
dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar
periuretral yang membesar ini dengan gelombang mikro (microwave)
yaitu dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio kapasitif
akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga
akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan
uretra menurun sehingga obstruksi berkurang. Prinsip cara ini ialah
memasang kateter semacam Foley dimana proximal dari balon
dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan gelombang
mikro melalui kabel kecil yang berada didalam kateter. Pemanasan
dilakukan antara 1-3 jam. Cara kerja TUMT ialah antene yang berada
pada kateter dapat memancarkan microwave kedalam jaringan prostat.
Oleh karena temperatur pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi
dengan surface costing agar tidak merusak mucosa ureter. Dengan
proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi
juga berkurang.
Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan
gelombang “radio frequency” yang panjang gelombangnya lebih besar
daripada tebalnya prostat juga arah dari gelombang radio frequency
dapat diarahkan oleh elektrode yang ditempel diluar (pada pangkal
paha) sehingga efek panasnya dapat menetrasi sampai lapisan yang
dalam. Keuntungan lain oleh karena kateter yang ada alat pemanasnya
mempunyai lumen sehingga pemanasan bisa lebih lama, dan selama
pemanasan urine tetap dapat mengalir keluar. 3,9,10,11,12

2) Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)


Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan
dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00
dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal). Konsep dilatasi

28
dengan balon ini ialah mengusahakan agar uretra pars prostatika
menjadi lebar melalui mekanisme:
- Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar
- Kapsul prostat diregangkan
- Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut
- Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars
prostatika dirusak
Prosedur ini meskipun bisa dilakukan dengan anestesi topikal,
sebaiknya dilakukan dengan narkose. Balon mempunyai diameter 30
mm kemudian dengan alat dikembangkan sampai 4 atm yang sama
dengan 58,8 psi atau 3040 mmHg dan kaliber uretra menjadi 30 mm
atau 90 F. Kemudian setelah balon dikempeskan kembali kateter
dilepaskan dengan menggunakan guide wire dan kateter dilepas
memutar kebalikan dari arah jarum jam sementara dapat dipasang
cystostomi dengan trocard. TUBD ini biasanya memberikan perbaikan
yang bersifat sementara. 3,9,10,11,12

3) Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)


Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk
menghasilkan ablasi termal pada prostat.Cara ini mempunyai prospek
yang baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan
perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat
dipertahankan.

4) Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya
saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent
ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang
diujung kateter (Prostacath).Stents ini digunakan sebagai protesis
indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan endoskopi
atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars

28
prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang
panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter
pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka
spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent
ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang
invasif, yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita
belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif.
Akhir-akhir ini dikembangkan juga stent yang dapat dipertahankan
lebih lama, misalnya Porges Urospiral (Parker dkk.) atau Wallstent
(Nording, A.L. Paulsen). Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam
yang juga dipasang di uretra pars prostatika dengan kateter pendorong
dan kemudian didilatasi dengan balon sampai mesh logam tersebut
melekat pada dinding uretra.

5) Robotic prostatectomy
Pada jaman moderen ini diperkenalkan terapi operatif dengan
menggunakan robot yang dikenal dengan davinci.sistem ini secara
garis besar terbagi dua, satu adalah lengan robot, dan pengendali
lengan robot yang digerkan oleh dokter spesialis bedah. kelabihan dari
metode ini adalah, luka operasi yang lebih kecil, perdarahan yang lebih
sedikit dan masa recovery yang cenderung lebih singkat.

I. Komplikasi8
1. Perdarahan, dapat berlanjut sehingga diperlukan transfusi darah jika
tekanan darah menurun.
2. Infeksi, pemakaian sulfonamida dan antibitotik rutin dapat mengatasi
keadaan ini.
3. Epididimo-orkitis, vasektomi pendahuluan dapat menghilangkan keadaan
ini, tetapi dapat terjadi peradangan funikulus spermatikus terlokalisir atau
abses kecil di tempat tersebut.
4. Pielonefritis akut, infeksi ginjal bilateral merupakan sumber hidronefrosis,
dan biasanya keadaannya berat.

28
5. Gagal ginjal, oliguria dan anuri yang tidak memberikan respons terhadap
terapi merupakan komplikasi fatal.
6. Perforasi ekstra peritoneal dari kandung kemih, merupakan peristiwa yang
kadang-kadang terjadi pada prostatektomi transuretra.
7. Inkontinensia urin, terjadi pada prostatektomi retropubik sewaktu
membran uretra ditarik ke atas dan dibelah.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Deters LA. Benign Prostatic Hypertrophy.[homepage on the Internet]. 2014


March 28 [cited 2014 June 16].
Available from:http://emedicine.medscape.com/article/437359
2. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. [homepage on the Internet].
[cited 2014 June 16]. Available from:http://www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf
3. Hipertrofi prostat. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor. Nuku ajar ilmu
bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. Hal. 782 – 86.
4. Hyperplasia protat. Dalam: Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi konsep
klinis proses-proses penyakit. Edisi 6 Vol 2. Jakarta: EGC; 2005. Hal. 1320.
5. Hiperplasia Prostat Benigna. [homepage on the Internet] 2009 Feb 03. [cited
2014 June 16].
Available from:http://drhasan.wordpress.com/2009/02/03/hiperplasia-prostat-
benigna-bph/
6. Benign Prostate Hypertrophy. [homepage on the Internet]. [cited 2014 June
16]. Available from: http://forbetterhealth.files.wordpress.com/2009/01/bph-
2.pdf
7. Raharjo D. Prostat hipertrofi. Dalam: Reksopordjo S, Pusponegoro AD,
Kartono D, Hutagalun EU, et all, editors. Kumpulan kuliah ilmu bedah.
Jakarta: Binarupa Aksara. Hal 166-67.
8. Prostat. Dalam: Sachdeva RK, editor. Catatan ilmu bedah. Jakarta:
Hipokrates; 1996. Hal. 249.
9. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung
Seto.
10. Partin, Alan; Rodriguez, Ronald , campbell's urology, Elsevier ; 2002
11. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan.
EGC. 1994.
12. Sapardan Subroto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

28

Anda mungkin juga menyukai