Anda di halaman 1dari 23

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Implementasi Program Keselamatan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan di IGD

Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo

Keselamatan Pasien rumah sakit merupakan suatu sistem, dimana rumah sakit membuat

asuhan Pasien yang lebih aman, yang menyangkut assessment risiko, identifikasi dan

pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko Pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk

meminimalkan timbulnya risiko. Oleh karena itu, keselamatan Pasien menjadi prioritas utama

untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal tersebut terkait dengan issu mutu dan citra

perumahsakitan.

Dalam rangka meningkatkan keselamatan Pasien di rumah sakit, maka Perhimpunan

Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah

Sakit (KKPRS), yang telah aktif melaksanakan langkah-langkah persiapan pelaksanaan

keselamatan Pasien rumah sakit dengan mengembangkan laboratorium program keselamatan

Pasien rumah sakit.

Pelaksanaan program keselamatan Pasien rumah sakit sebagaimana dikemukakan di atas,

pada dasarnya merupakan perwujudan kegiatan yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 ayat

(1) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menyatakan bahwa,

Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Untuk mendukung pelaksanaan

ketentuan Pasal 43 ayat (1) ini, telah dirumuskan Standar Keselamatan Pasien rumah sakit yang

berlaku di seluruh rumah sakit di Indonesia, yang mencakup 7 Standar sebagai berikut :

1. Hak Pasien untuk mendapatkan Informasi tentang rencana dan hasil pelayanan

termasuk terjadinya kejadian tidak diharapkan (Standar Pertama);


2. Mendidik Pasien dan keluarga tentang kewajiban dan tanggung jawab Pasien dalam

asuhan keperawatan (Standar Kedua);

3. Keselamatan Pasien dan kesinambungan pelayanan kesehatan (Standar Ketiga);

4. Penggunaan metode peningkatan kinerja medis untuk melakukan eavluasi dan

program peningkatan keselamatan Pasien (Standar Keempat)

5. Peranan kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan Pasien (Standar Kelima);

6. Mendidik staf tentang keselamatan Pasien (Standar Keenam);

7. Komunikasi merupakan kunci untuk mencapai keselamatan pasien (Standar Ketujuh).

Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa implementasi

program keselamatan Pasien dalam pelayanan kesehatan, merupakan penyelenggaraan hukum,

dalam hal ini pihak rumah sakit sebagai lembaga yang berkewajiban untuk menerapkan standar

keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan, haruslah mengutamakan pelaksanaan

keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang berlaku.

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa, dalam hubungannya

dengan penyelenggaraan hukum ini, Robert B. Seidman mengemukakan teorinya tentang

bekerjanya hukum di dalam masyarakat, yang menyatakan bahwa, Bekerjanya hukum dalam

masyarakat selalu melibatkan 3 komponen dasar, yakni ; lembaga pembuat hukum, lembaga

penerap hukum dan pihak yang dikenai hukum. Dalam interaksinya ketiga komponen dasar

tersebut selalu dipengaruhi oleh faktor-faktro personal dan sosial lainnya.

Dari teori bekerjanya hukum tersebut, Robert B. Siedman menguraikan ke dalam dalil-

dalil sebagai berikut :

a. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peran itu

diharapkan bertindak;
b. Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons

terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan

kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana hukum serta

keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya;

c. Bagaimana lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan

hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka,

sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya

yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para

pemegang peran;

d. Bagaimana para pembuat hukum itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-

peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan

komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik, idiologi dan lain-lainnya yang mengenai

diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peran serta

birokrasi.

Apabila teori di atas diterapkan ke dalam pengkajian permasalahan Implentasi Program

Keselamatan Pasien dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, maka yang dimaksud dengan

Lembaga Pembuat peraturan hukum adalah Pemerintah bersama DPR RI, dan Lembaga

Pelaksana peraturan hukum tidak lain adalah Rumah Sakit sebagai penyelenggara pelayanan

kesehatan, sedangkan yang dimaksud dengan Pemegang Peran adalah seluruh Tenaga Kesehatan

yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan kepada Pasien di setiap Rumah Sakit yang

bersangkutan.
Bilamana Implementasi Program Keselamatan Pasien dilihat dari Standar Hak Pasien

untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan kesehatan, hasil penelitian

mengungkapkan gambaran sebagaimana dituangkan dalam Matriks di bawah ini ;

Dari matriks di atas dapat diungkapkan bahwa, secara umum hak pasien untuk

memperoleh informasi, baik dari dokter maupun perawat tentang hasil pemeriksaan dan rencana

tindak lanjut perawatan atas penyakit yang diderita pasien, kurang dapat diterima secara

maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa parameter antara lain :

1. Informasi yang diterima pasien dan keluarganya tentang hasil pemeriksaan dan

rencana tindakan medis lebih lanjut tidak boleh secara langsung dari dokter yang

menanganinya, melainkan dari perawat;

2. Informasi dapat diperoleh pasien, tetapi hanya terbatas pada kasus-kasus tertentu yang

diprediksikan kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) saja;

3. Informasi yang disampaikan kepada pasien, pada umumnya terbatas pada lingkup

pelayanan keperawatan dan kalangan pasien tertentu saja.

Dari fakta di atas, maka dapat diinterprestasikan bahwa hak pasien untuk mendapatkan

informasi tentang hasil pemeriksaan dan rencana tindakan medis berikutnya, kurang secara

maksimal dapat diwujudkan oleh dokter maupun perawat dalam pelayanan kesehatan di RSUD

Margono Soekarjo, Purwokerto. Hal ini mengandung arti bahwa, Program Keselamatan Pasien di

Rumah Sakit tersebut sepenuhnya dapat diimplementasi secara maksimal.

Jika kenyataan di atas ditafsirkan berdasarkan pada teori bekerjanya hukum model Robert

B. Seidman sebagaimana dikemukakan di muka, maka dapat disimpulkan bahwa RSUD

Margono Soekarjo, Purwokerto pada dasarnya telah menerapkan standar pertama, yakni

memenuhi hak-hak pasien atas informasi tentang hasil pemeriksaan dan rencana tindakan medis
dalam pelayanan kesehatan, namun secara praktis masih terdapat sebagian dokter dan perawat

yang belum sepenuhnya melaksanakannya untuk memenuhi hak-hak pasien atas informasi

pelayanan kesehatan yang diberikan.

Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

a. Masih adanya anggapan dari sebagian dokter bahwa pasien tidak terlalu memahami

seluruh informasi yang diberikan, terutama informasi yang menggunakan istilah-

istilah medis;

b. Masih berlakunya suatu kebiasaan yang telah tertanam secara dalam bahwa

penyampaian informasi yang berkaitan denga hasil pemeriksaan dan rencana tindakan

lanjut diserahkan kepada perawat sebagai tindakan pendelegasian secara informal;

c. Adanya sebagian perawat yang beranggapan bahwa penyampaian informasi yang

berkaitan dengan hasil pemeriksaan dan rencana tindakan medis berikutnya kepada

pasien, bukanlah kewenangan perawat, kecuali ada perintah dari tim medis untuk

menyampaikannya kepada pasien.

Selanjutnya bila implementasi program keselamatan pasien ini dilihat dari standar yang

kedua, berupa pendidikan terhadap pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung

jawab pasien dalam pelayanan kesehatan, dapat diperoleh gambaran sebagaimana data hasil

penelitian yang dituangkan dalam matriks sebagai berikut :

Dari matriks 2 di atas dapat diperoleh gambaran bahwa, secara umum RSUD Margono

Soekarjo, Purwokerto melalui Tenaga kesehatannya pada hakikatnya telah melakukan

pendidikan kepada pasien dan keluarganya tentang hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban dan

tanggung jawab pasien dalam pelayanan kesehatan. Kenyataan ini di dalam praktik berdampak

pada implementasi program keselamatan pasien. Artinya, jika pendidikan kepada pasien dan
keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik, maka

sudah barang tentu program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan dapat

diimplemetasikan secara maksimal. Keberhasilan pelaksanaan standar keselamatan pasien yang

kedua ini, ditandai dengan indikator-indikator sebagai berikut :

1. Terjadinya perubahan sikap dan perilaku pasien untuk melakukan perawatan mandiri

sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab pasien atas keselamatan

jiwanya;

2. Mendorong pasien untuk melakukan tindakan yang berorientasi pada penyembuhan

pasien dan mencegah terjadinya kejadian yang tidak diharapkan (KTD);

3. Menanamkan pengetahuan tentang pelayanan keperawatan dan menumbuh

kembangkan motivasi agar pasien dan keluarganya dapat melakukan perawatan

terhadap dirinya sendiri;

4. Membangkitkan keyakinan pada diri pasien bahwa, pemulihan kesehatan harus

dilakukan mulai dari diri sendiri dengan mematuhi segala anjuran medis yang

diberikan oleh dokter dan perawat;

5. Penanaman nilai-nilai keselamatan pasien melalui pemberian penjelasan-penjelasan

dan nasehat-nasehat dari dokter dan perawat selama waktu perawatan;

6. Membudayakan hidup sehat kepada pasien dan keluarganya melalui pemberian

pengetahuan-pengetahuan medis secara langsung kepada pasien selama waktu

perawatan.

Mendasarkan pada kenyataan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan kepada

pasien dan keluarganya untuk melakukan perawatan mandiri, baik secara langsung maupun tidak

langsung telah dapat dilaksanakan, meskipun belum sepenuhnya berhasil dilakukan. Kondisi
yang demikian tersebut, berimplikasi terhadap implementasi program keselamatan pasien yang

kurang efektif. Artinya, program keselamatan pasien melalui standar pemberian pendidikan

kepada pasien dan keluarganya terutama hal-hal yang berkaitan dengan perawatan mandiri dalam

pelayanan kesehatan belum sepenuhnya dapat dilakukan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini

dapat dibuktikan dengan adanya indikator-indikator sebagai berikut :

a. Dalam kasus-kasus tertentu, masih terjadi kejadian tidak diharapkan (KTD) yang

menimpa pasien;

b. Dalam perawatan pada penyakit-penyakit tertentu, pasien belum secara maksimal

melakukan sistem keperawatan diri;

c. Masih terdapatnya pasien dan keluarganya yang tidak melaksanakan keajiban dan

tanggung jawabnya, terutama yang menyangkut kejujuran keluhan-keluhan yang

dirasakan, dan pemebuhan kewajiban keuangan yang disepakati.

d. Tidak semua pelayanan keperawatan dapat diberikan kepada pasien di Instalasi Gawat

Darurat, karena masih terbatasnya sumberdaya tenaga kesehatan yang tersedia,

tingginya kuantitas pasien berobat dan terbatasnya waktu yang tersedia secara ideal

dalam pemberian pelayanan kesehatan.

Berdasarkan pada kenyataan tersebut di atas, maka dapat disimoulkan bahwa, secara

parsial program keselamatan pasien telah dapat dilaksanakan cukup efektif, tetapi secara

keseluruhan program keselamatan pasien ini belum dapat diimplementasikan secara maksimal.

Selanjutnya, bilamana implementasi program keselamatan pasien dalam pelayanan

kesehatan ini dilihat dari standar ketiga tentang kesinambungan pelayanan kesehatan, maka hasil

penelitian menggambarkan adanya kecenderungan bahwa, dari segi tenaga kesehatan rumah

sakit, implementasi program keselamatan pasien cenderung telah dilaksanakan cukup baik dan
cukup efektif, sedangkan dari segi pasien diperoleh gambaran bahwa implementasi program

keselamatan pasien tersebut ternyata kurang baik dan kurang efektif. Hal ini dapat dibuktikan

dengan melihat data hasil penelitian yang dituangkan dalam matriks sebagai berikut :

Dari matriks di atas dapat diperoleh gambaran bahwa, secara keseluruhan standar

kesinambungan pelayanan kesehatan yang beorientasi pada keselamatan pasien cenderung dapat

dilaksanakan secara baik dan efektif. Hal ini ditandai dengan adanya indikator antara lain :

1. Terbangunnya koordinasi yang komprehensip, baik antara tim tenaga kesehatan

maupun dalam bentuk pelayanan kesehatannya.

2. Meletakkan komunikasi vertikal maupun horizontal sebagai dasar dan media

koordinasi pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien, kemampuan

tenaga kesehatan dan standar operasional procedure (SOP) yang berlaku;

3. Adanya pendelegasian secara sah dan formal terhadap tanggung jawab pelayanan

keperawatan kepada pasien asisten perawat;

4. Mengutamakan cara mendiskusikan dan tukar menukar informasi tentang kondisi

dan kebutuhan pasien yang dirawat antar perawat dalam sistem pelayanan

keperawatan;

5. Berjalannya kerjasama antara dokter, perawat dan pasien dalam melaksanakan sistem

kesinambungan pelayanan keperawatan.

Berdasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa, standar

kesinambungan pelayanan keperawatan yang bertujuan untuk keselamatan pasien, pada

hakikatnya dapat dilaksanakan cukup baik. Hal ini berimplikasi terhadap implementasi program

keselamatan pasien secara keseluruhan yang cenderung dapat dilakukan secara baik pula.

Artinya, jika standar kesinambungan pelayanan keperawatan dapat dilaksanakan dengan secara
baik, maka semakin baik pula implementasi program keselamatan pasien dalam pelayanan

kesehatan tersebut. Dengan demikian, implementasi program keselamatan pasien dalam

pelayanan kesehatan, sangat tergantung pula pada pelaksanaan standar kesinambungan

pelayanan kesehatan.

Kenyataan di atas akan berbeda jika ditinjau dari sudut pandang pasien yang

menggambarkan bahwa, standar kesinambungan pelayanan kesehatan nampaknya dapat

dilaksanakan, tetapi timbul pemusatan tugas pada pihak perawat. Hal ini jelas berimplikasi

terhadap implementasi program keselamatan pasien yang kurang baik dan kurang fektif.

Kenyataan ini ditandai dengan munculnya indikator-indikator sebagai berikut :

a. Koordinasi dalam bentuk kerjasama antar perawat pada dasarnya dapat dilaksanakan,

tetapi menimbulkan pemusatan tugas pada perawat;

b. Kurangnya koordinasi antara dokter, perawat dan pasien dalam melaksanakan

kesinambungan pelayanan keperawatan, menjadikan bertumpuknya tugas di pundak

perawat, sehingga pelayanan keperawatan yang dijalankan kurang maksimal.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, standar kesinambungan pelayanan

kesehatan hanya dapat dilaksanakan secara baik, dilihat dari sudut pandang tenaga kesehatan,

namun dilihat dari sundut pandang pasien, ternyata standar kesinambungan pelayanan kesehatan

cenderung kurang dapat dijalankan secara maksimal. Kenyataan ini berimplikasi terhadap

implementasi program keselamatan pasien yang cenderung pula kurang dapat dilaksanakan

secara maksimal.

Bilaman implementasi program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan ini,

dilihat dari standar penggunaan metode peningkatan kinerja medis untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien, maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana tertuang

dalam matriks di bawah ini :

Dari matriks di atas dapat diungkapkan bahwa, sebenarnya direktur rumah sakit sangat

mendukung pelaksanaan program keselamatan pasien di rumah sakit, hanya saja sumber daya

yang ditunjuk dalam tim masih belum optimal kinerjanya, dikarenakan masing-masing anggota

tim dalam melaksanakan kinerjanya dilakukan disamping tugas pokoknya, jadi tidak secara

khusus melakukan program tersebut. Oleh karena itu penggunaan metode-metode peningkatan

kinerja medis untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien, baik dari

dokter maupun perawat belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan

dengan beberapa parameter antara lain :

. 1. Peningkatan kinerja medis dalam mendukung program keselamatan pasien yaitu

dengan dilaksanakannya Pembentukan Tim KPRS yang diterbitkan dengan SK Direktur Rumah

Sakit, tetapi untuk program kerja keselamatan pasien rumah sakit belum sepenuhnya

dilaksanakan;

2. Peningkatan kinerja medis dalam menjamin keselamatan pasien dilakukan dengan

pendokumentasian data indikator klinik secara rutin, hanya saja untuk evaluasi unsure-unsur

yang terkait dengan Kejadian Tidak Diharapkan dan risiko tinggi, masih belum rutin dilakukan

oleh Tim KPRS RUmah Sakit, dikarenakan belum adanya petugas khusus yang ditunjuk untuk

mendata dan mengevaluasi kasus insiden Kejadian TIdak Diharapkan yang terjadi di rumah

sakit;

3. Pola kerja dan rencana tindakan pelayanan medis tidak transparan, dan pengembangan

metode pengobatan untuk informasi kepada pasien tidak dilakukan oleh para medis, sehingga

kinerja para medis tidak seperti yang diharapkan pasien;


4. Perencanaan pemeriksaan medis tidak terjadwal dan metode pemeriksaan kurang

terpola secara pasti, ini dikarenakan kinerja para medis terkendala dengan keterbatasan kuantitas

tenaga medis.

Dari fakta diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa penggunaan metode-metode

peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien

belum dapat dilaksanakan secara maksimal oleh para medis khususnya oleh dokter dalam

pelayanan kesehatan di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto. Hal ini mengandung arti bahwa,

Program Keselamatan Pasien di RUmah Sakit tersebut belum sepenuhnya dapat

diimplementasikan secara maksimal.

Kenyataan diatas akan berbeda jika ditinjau dari sudut pandang perawat yang

menggambarkan bahwa, standar penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk

melakukan evaluasi dan program peningkatan untuk program keselamatan pasien

terimplementasikan cukup baik. Kenyataan ini ditandai dengan munculnya indikator-indikator :

1. Perawat dalam mencapai tujuan dari program keselamatan pasien, dilakukan dengan

cara menanamkan semangat kerja, sikap ikhlas dan nilai-nilai ibadah menjadi modal

utama untuk meningkatkan kinerja perawat dalam pelayanan kesehatan kepada pasie;

2. Pola pengawasan informal dan pemberian hiburan oleh perawat kepada pasien adalah

metode penyembuhan pasien, dengan melaksanakan pengawasan informal dan

menghibur pasien merupakan cara perawat untuk mendorong semangat pasien

terlepas dari penderitaan.

Berdasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa metode-metode

peningkatan kinerja pelayanan keperawatan yang bertujuan untuk peningkatan keselamatan

pasien, pada hakekatnya dapat dilaksanakan cukup baik.


Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, standar penggunaan metode-metode

peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien

hanya dapat dilaksanakan dengan baik, apabila dilihat dari sudut pandang perawat, namun dilihat

dari sudut pandang tenaga medis atau dokter, ternyata standar penggunaan metode-metode

peningkatan kinerja cenderung kurang dapat dijalankan secara maksimal.

Apabila dilihat dari standar Peran Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Keselamatan

Pasien, maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana tertuang dalam matriks di bawah ini :

Dari matriks standar 5 diatas dapat diungkapkan bahwa, secara umum peran

kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, baik dari dokter maupun perawat dalam

implementasinya belum bisa dilakukan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan

beberapa parameter antara lain :

1. Kurang maksimalnya koordinasi dan komunikasi pimpinan dan anggota Tim KPRS,

menjadikan program keselamatan pasien tidak dapat dilaksanakan sebagaimana

mestinya, Tim belum bisa bekerja secara maksimal dikarenakan anggaran yang

tersedia belum memadai, dan mekanisme kerja Tim juga belum jelas;

2. Rumah Sakit belum sepenuhnya mengalokasikan sumber daya yang adekuat, sehngga

pelaksanaan program keselamatan pasien belum bisa dilakukan secara maksimal;

3. Sistem komunikasi vertikal tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya, dan

mekanisme sistem pelaporan secara internal dan eksternal kurang dapat dilaksanakan

secara maksimal, serta integritas peran perawat dalam sistem kinerja kurang dapat

dilaksanakan secara optimal;


4. Peran paramedis dokter dan perawat yang tidak maksimal, komunikasi yang tidak

transparan dan rendahnya pengetahuan pasien terhadap penyakit, menjadikan insiden

yang terjadi pada pasien kurang terkontrol.

Dari fakta diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa peran kepemimpinan dalam

meningkatkan keselamatan pasien kurang dapat diwujudkan oleh pihak rumah sakit, hal ini

mengandung arti bahwa program keselamatan pasien di rumah sakit belum sepenuhnya dapat

diimplementasikan secara maksimal.

Apabila dilihat dari standar Mendidik Staf Tentang Keselamatan Pasien, maka dapat

diperoleh gambaran sebagaimana tertuang dalam matriks di bawah ini :

Dari matriks standar 6 diatas dapat diungkapkan bahwa, di RSUD Margono Soekarjo,

Purwokerto yang membidangi mengenai program pendidikan dan pelatihan yang

diselenggarakan baik intern maupun ekstern RUmah Sakit sebenarnya sudah mempunyai

program kerja mengenai peningkatan sumber daya manusia yang bertugas di masing-masing

unit. Yakni merencanakan dan memprogramkan staf untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan

sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, baik untuk pendidikan formal maupun

pendidikan informal, yang bertujuan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia Rumah Sakit.

Hanya saja Bidang Diklat dan Litbang masih belum memprogramkan secara khusus mengenai

pendidikan dan pelatihan tentang keselamatan pasien rumah sakit.

Secara umum standar mendidik staf tentang keselamatan pasien implementasinya belum

bisa dilakukan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa parameter antara lain:

1. Program Pendidikan dan Pelatihan di Rumah Sakit sebenarnya sudah berjalan secara

maksimal, hanya saja untuk Pendidikan dan Pelatihan yang khusus berorientasi pada

keselamatan pasien bagi staf rumah sakit belum secara maksimal dilaksanakan. Dari
Bidang Diklat Rumah Sakit sudah diprogramkan memberikan tugas kepada staf untuk

berperan serta dalam pelatihan-pelatihan dan pembelajaran lebih lanjut pada jenjang

yang lebih tinggi;

2. Program keselamatan pasien melalui pendidikan dan pelatihan dalam hal pembuatan

dokumentasi bagi staf kesulitan dalam mengintegrasikan dalam bentuk laporan

insiden, sehingga pelaporan insiden belum berjalan sepenuhnya, hal ini dikarenakan

belum ada pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden yang sewaktu-waktu bisa

terjadi;

3. Rumah Sakit belum sepenuhnya mengalokasikan pendanaan atau anggaran dana

khusus untuk pendidikan pelatihan mengenai keselamatan pasien rumah sakit,

sehingga pelaksanaan pelatihan tentang kerjasama dan kolaborasi tim kesehatan

belum berjalan secara maksimal, dan staf belum sepenuhnya paham dan mengerti

mengenai pelaksanaan program keselamatan pasien yang wajib dilaksanakan di setiap

rumah sakit baik negeri maupun swasta.

4. Pelatihan tentang keselamatan pasien bagi staf belum diselenggarakan secara terfokus

dan maksimal dan penyelenggaraan pelatihan bagi staf yang baru belum terfokus pada

program keselamatan pasien, dan masih bersifat umum semua pelayanan kesehatan

rumah sakit, sehingga implementasi program keselamatan pasien belum sepenuhnya

dilaksanakan;

5. Pelatihan dan pedoman sebagai petunjuk teknis belum dipersiapkan secara

komprehensif, sehingga pedoman pembuatan laporan insiden yang tidak jelas dan

kurangnya pelatihan yang bertujuan untuk pelaksanaan program, menjadi kendala

utama bagi pelaksanaan program keselamatan pasien;


Dari fakta di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa sebenarnya Pendidikan dan

Pelatihan di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto sudah berjalan sebagaimana mestinya sesuai

program Diklat RS tersebut, hanya saja untuk pendidikan dan pelatihan yang khusus

diorientasikan untuk pendidikan dan pelatihan program keselamatan pasien rumah sakit, masih

belum dianggarkan dananya oleh pihak rumah sakit sehingga hal ini mengandung arti bahwa

untuk implementasi standar mendidik staf tentang keselamatan pasien dalam Program

Keselamatan Pasien di Rumah Sakit belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara maksimal.

Selanjutnya Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit apabila dilihat dari standar 7

mengenai Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien, maka

diperoleh gambaran sebagaimana tertuang dalam matriks di bawah ini :

Dengan melihat matriks standar 7 diatas dapat diungkapkan bahwa, komunikasi

merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien di rumah sakit, implementasinya

belum bisa dilaksanakan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa parameter

antara lain :

1. Komunikasi antar tim tenaga kesehatan rumah sakit belum berjalan sebagaimana

mestinya dalam penanganan pasien, dikarenakan manajemen komunikasi belum

tergarap secara maksimal sesuai dengan Standar Operational Procedure nya, sehingga

terlihat antar tim tenaga kesehatan rumah sakit masih mengesampingkan program

keselamatan pasien;

2. Mekanisme arus komunikasi antar tim tenaga kesehatan, belum dibangun secara

penuh dalam penanganan pasien, sehingga komunikasi antara tim tenaga kesehatan

dalam penanganan pasien sering tidak berjalan secara mulus dan sepaham dalam
menyelamatkan pasien yang dirawatnya, masih terlihat seringkali masing-masing

mengedepankan ego pribadi, sehingga sulit menemukan kesepahaman tim;

3. Desain perencanaan manajemen informasi keselamatan pasien, belum dibangun

secara tepat, dikarenakan pengembangan komunikasi yang harmonis dalam tim kerja

belum dapat diciptakan sebagaimana yang diharapkan;

4. Komunikasi terhambat dan tidak berjalan sebagaimana mestinya, dikarenakan belum

adanya sistem manajemen informasi yang mampu mengakses semua data tentang

keselamatan pasien;

5. Mekanisme identifikasi masalah penyakit pasien yang seharusnya diinformasikan

kepada pasien atau keluarganya belum berjalan sebagaimana mestinya dan

komunikasi pasien dengan tenaga kesehatan menjadi terhambat, dikarenakan

manajemen informasi yang tersedia kurang memadai.

Dari fakta diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa standar 7 program keselamatan

pasien, yakni Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien di

RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto belum berjalan sebagaimana mestinya dikarenakan desain

perencanaan manajemen informasi keselamatan pasien, belum dibangun secara tepat sehingga

hal ini mengandung arti bahwa untuk implementasi standar komunikasi merupakan kunci staf

untuk mencapai keselamatan pasien di rumah sakit belum sepenuhnya dapat diimplementasikan

secara maksimal.
B. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Implementasi Program Keselamatan

Pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUD Margono Soekarjo Purwokerto.

Untuk melihat lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang cenderung berpengaruh terhadap

implementasi program keselamatan pasien rumah sakit, berikut ini akan dipaparkan data hasil

penelitian melalui interview mendalam antara peneliti dengan informan-informan kunci, baik

kepada dokter atau perawat sebagai tenaga kesehatan yang terlibat langsung terhadap pelayanan

pasien, maupun kepada pasien/keluarganya sebagai pihak penerima pelayanan kesehatan di IGD

rumah sakit.

Dalam penelitian ini pemilihan Informan secara purposive ditujukan terhadap petugas

kesehatan (dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya) dan pasien yang pernah dirawat di

Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada RSUD Margono Soekarjo Purwokerto, yang secara langsung

terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui proses implementasi program keselamatan pasien dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Digunakan metode ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan :

1. Seluruh petugas kesehatan dokter, perawat dan pasien diasumsikan sama-sama

mengetahui program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan di Instalasi Gawat

Darurat RSUD Margono Sorkarjo Purwokerto;

2. Seluruh tenaga kesehatan (Dokter, Perawat dan Tenaga Kesehatan lainnya) dan Pasien,

diasumsikan merupakan pelaku yang benar-benar menguasai dan terlibat dalam

implementasi program Keselamatan Pasien tersebut;

3. Seluruh Tenaga Kesehatan (Dokter, Perawat dan Tenaga Kesehatan lainnya) telah cukup

waktu dan intensif menyatu dengan tugas dan wewenangnya mengimplementasikan

program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan terhadap pasien, yang tidak
hanya sekedar mengetahui dan dapat memberikan informasi, melainkan juga telah

menghanyatinya secara serius terhadap profesinya;

Dengan melihat bagan matriks faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi

program keselamatan pasien di rumah sakit di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang berpengarug terhadap implementasi program keselamatan pasien di rumah sakit adalah

sebagai berikut :

1. Sikap

Sikap didefinisikan sebagai tanggapan/persetujuan untuk melakukan suatu tindakan atau

aktifitas baik yang diamati secara langsung maupun tidak langsung yang mempunyai maksud

mendukung penerapan program keselamatan pasien rumah sakit. Tindakan tersebut dapat

berbentuk mencegah pasien jatuh, mencegah kejadian infeksi nosokomial, mencegah salah obat,

salah pasien, salah dosis, salah waktu dan salah prosedur.

Dengan melihat bagan matriks diatas, maka sikap dari petugas kesehatan dalam hal ini

dokter masih kurang empati terhadap pasien, kurang ramah dan kurang komunikatif, sehingga

pasien merasa kurang puas dalam pelayanan dokter di IGD rumah sakit sedangkan pada perawat

pelaksana menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana mempunyai sikap mendukung

penerapan program keselamatan pasien rumah sakit, dapat dilihat dari sikap perawat yang

komunikatif dalam memberikan informasi kepada pasien, perawat cepat tanggap dengan keluhan

pasien dan perawat juga ramah terhadap pasien.

Sikap merupakan tanggapan atau reaksi seseorang terhadap obyek tertentu yang bersifat

positif atau negatif yang biasanya diwujudkan dalam bentuk rasa suka atau tidak suka, setuju

atau tidak setuju. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap diantaranya adalah
pengalaman pribadi, kebudayaan dimana individu berada, orang lain yang dianggap penting,

media massa, institusi pendidikan atau agama dan emosi dalam diri individu.

Apabila kenyataan diatas diinterpretasikan berdasarkan Doktrin Azwar. S, maka dapat

diperoleh gambaran bahwa sikap merupakan faktor yang cenderung berpengaruh terhadap

implementasi Program Keselamatan Pasien di rumah sakit, dengan sikap tersebut tidak lain

merupakan respon dari tenaga kesehatan terhadap kondisi Rumah Sakit dan Pasien.

Dengan sikap tenaga kesehatan yang positif maka akan diperoleh respon yang baik dari

pasien, pasien akan merasa nyaman, aman dan puas dengan pelayanan yang diperoleh dari

tenaga kesehatan rumah sakit. Sebaliknya apabila sikap tenaga kesehatan negatif maka pasien

akan merasa tidak puas dan akan menimbulkan citra yang kurang baik terhadap rumah sakit itu

sendiri.

2. Motivasi

Motivasi didefinisikan sebagai dorongan yang timbul pada diri petugas kesehatan untuk

mendukung atau tidak mendukung penerapan program keselamatan pasien. Dorongan yang

dimaksud adalah dorongan yang timbul karena adanya keinginan untuk memberikan pelayanan

kesehatan yang aman, yang jauh dari tuntutan karena kesalahan dalam memberikan pelayanan.

Dengan melihat bagan matriks diatas, maka motivasi petugas kesehatan dalam hal ini

dokter dan perawat masih rendah, terlihat perawat pelaksana belum termotivasi untuk

menerapkan program keselamatan pasien, mengelola dan mempertahankan motivasi kerja

perawat pelaksana merupakan hal penting dalam organisasi rumah sakit. Jika diabaikan maka

akan mempengaruhi sikap kerja perawat termasuk dalam mendukung penerapan program yang

relative baru program keselamatan pasien ini.


Perawat di rumah sakit tidak hanya memberikan pelayanan kepada pasien, tetapi mereka

juga tentunya mengharapkan mendapatkan reward dari pihak manajemen rumah sakit agar apa

yang menjadi haknya dapat diterima dengan baik. Perawat yang puas dengan apa yang

diperolehnya dari manajemen, akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan

terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaiknya perawat yang kepuasan kerjanya rendah,

cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan membosankan, sehingga ia

bekerja dengan terpaksa dan asal-asalan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja antara lain : atasan, kolega, saran

fisik, kebijakan, peraturan, imbalan jasa uang dan non uang, jenis pekerjaan dan tantangan.

Motivasi individu untuk bekerja dipengaruhi pula oleh kepentingan pribadi dan kebutuhan

masing-masing. Rendahnya insentif yang diterima perawat tidak sebanding dengan beban kerja

yang tinggi serta peraturan yang belum jelas bagi pasien menuntut sesuatu yang lebih dan bukan

menjadi kewenangan seorang perawat hal ini akan menimbulkan kebingungan, dan

menyebabkan rendahnya motivasi kerja perawat.

Apabila kenyataan diatas diinterpretasikan berdasarkan Doktrin Soeroso. S, maka dapat

diperoleh gambaran bahwa motivasi merupakan dorongan yang timbul pada diri petugas

kesehatan untuk mendukung atau tidak mendukung penerapan program keselamatan pasien.

Motivasi merupakan faktor yang cenderung berpengaruh terhadap implementasi Program

Keselamatan Pasien di rumah sakit. Dengan motivasi tenaga kesehatan yang positif, maka akan

diperoleh respon yang baik dari masyarakat Kabupaten Banyumas khususnya Kota Purwokerto

sebagai pasien di rumah sakit, dan tentunya akan meningkatkan kredibilitas atau nama baik

RSUD Margono Soekarjo Purwokerto.


3. Komunikasi

Dengan melihat bagan matriks diatas maka salah satu faktor yang cenderung berpengaruh

terhadap program keselamatan pasien adalah intensitas keharusan komunikasi memberikan

informasi medis oleh dokter kepada pasien yang dapat dilihat masih relatif rendah, dengan

demikian dapat diinterpretasikan bahwa tenaga kesehatan dalam hal ini dokter atau perawat

harus lebih ditingkatkan dalam hal komunikasi memberikan informasi mengenai tindakan yang

hendak dilakukan, termasuk didalamnya manfaat serta risiko yang mungkin terjadi, hal ini

mengandung arti bahwa, tidak setiap informasi yang berkaitan dengan medis disampaikan

kepada pasien.

Kenyataan tersebut diatas dapat dibuktikan dengan melihat hasil penelitian yang

menggambarkan belum sepenuhnya hal-hal yang perlu diinformasikan dokter dapat diterima

secara utuh oleh pasien yang meliputi antara lain :

1. Ketidakjelasan pasien terhadap prosedur risiko yang mungkin timbul dalam tindakan

medis yang akan dilakukan;

2. Ketidaktahuan pasien terhadap risiko yang mungkin timbul dalam tindakan medis

yang akan dilakukan;

3. Kurang mengertinya pasien tentang manfaat yang diharapkan dari tindakan medis

yang akan dilakukan;

4. Kurang pahamnya pasien terhadap alternatif-alternatif tindakan medis yang dapat

dilakukan;

5. Ketidaktahuan pasien terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul

bilamana tindakan medis tersebut tidak dilakukan;


6. Kurang mengertinya pasien terhadap deskriptif perjalanan penyakit yang dideritanya;

dan

7. Ketidakmampuan pasien terhadap biaya pengobatan yang harus dibayar.

Prinsip dokter wajib berkomunikasi memberikan informasi kepada pasien merupakan

asas dasar yang harus diindahkan penerapannya dalam Informed Consent dokter dan pasien dan

secara yuridis tidak boleh ditinggalkan. Artinya prinsip tersebut menjadi salah satu syarat yang

harus dipenuhi agar dokter dalam melakukan tindakan medic tidak dianggap sebagai melakukan

perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu prinsip dokter harus berkomunikasi memberikan

informasi medis kepada pasiennya merupakan suatu kewajiban hukum dokter yang harus

diimplementasikan secara maksimal dan tegas kepada pasiennya.

Implementasi prinsip dokter harus berkomunikasi memberikan informasi medis kepada

pasien, pada hakekatnya merupakan instruksi peraturan perundang-undangan yang diwujudkan

dalam bentuk kegiatan-kegiatan dokter dalam melakukan tindakan medis kepada pasien. Dengan

demikian, prinsip ini menjadi kewajiban hukum yang harus dilaksanakan, yakni memberikan

penjelasan kepada pasien yang ditanganinya, penjelasan mencakup :

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis terhadap tindakan medis yang dilakukan.

Dengan melihat bahwa kurang maksimalnya implementasi prinsip bahwa pasien harus

dapat memahami informasi medis yang diberikan dokter, maka dalam pemberian penjelasan

menurut hukum dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :


(1) Penjelasan informasi medis disampaikan dengan bahasa yang sempurna dan tertulis;

(2) Penjelasan informasi medis diberikan dengan menggunakan bahasa yang sempurna

secara lisan;

(3) Penjelasan informasi medis disampaikan dengan menggunakan bahasa yang tidak

sempurna asal diterima oleh pihak pasien;

(4) Penjelasan informasi medis dapat dilakukan dengan diam atau membisu tetapi asal

dapat dipahami atau diterima oleh pihak pasien.

Jika kenyataan diatas diinterpretaasikan berdasarkan pada ketentuan Pasal 52 huruf a

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyatakan bahwa :

Pasien dalam menerima pelayanan mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap

tentang tindakan medis sebagimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3), maka dapat disimpulkan

bahwa penjelasan informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan dokter, secara yuridis

formal merupakan hak pasien. Oleh karena itu, dokter hendaknya tidak akan melakukan tindakan

medis yang direncakan, apabila pasien belum memahami informasi tentang tindakan medis yang

dilakukan.

Hak pasien ini muncul tertumpu pada dua macam hak asasi sebagai hak dasar manusia,

yakni hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien secara subyektif

merupakan individu yang paling berkepentingan terhadap semua tindakan medis yang akan

terjadi dengan segala akibatnya. Oleh karena itu implementasi prinsip bahwa pasien harus

memahami terhadap informasi medis yang diberikan dokter merupakan hak pasien yang secara

yuridis harus dipenuhi sebelum menjalani suatu upaya medis yang dilakukan dokter untuk

membantu perawatan, pengobatan dan pemulihan kesehatan bagi dirinya.

Anda mungkin juga menyukai