Keselamatan Pasien rumah sakit merupakan suatu sistem, dimana rumah sakit membuat
asuhan Pasien yang lebih aman, yang menyangkut assessment risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko Pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko. Oleh karena itu, keselamatan Pasien menjadi prioritas utama
untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal tersebut terkait dengan issu mutu dan citra
perumahsakitan.
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah
pada dasarnya merupakan perwujudan kegiatan yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menyatakan bahwa,
Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Untuk mendukung pelaksanaan
ketentuan Pasal 43 ayat (1) ini, telah dirumuskan Standar Keselamatan Pasien rumah sakit yang
berlaku di seluruh rumah sakit di Indonesia, yang mencakup 7 Standar sebagai berikut :
1. Hak Pasien untuk mendapatkan Informasi tentang rencana dan hasil pelayanan
dalam hal ini pihak rumah sakit sebagai lembaga yang berkewajiban untuk menerapkan standar
keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang berlaku.
bekerjanya hukum di dalam masyarakat, yang menyatakan bahwa, Bekerjanya hukum dalam
masyarakat selalu melibatkan 3 komponen dasar, yakni ; lembaga pembuat hukum, lembaga
penerap hukum dan pihak yang dikenai hukum. Dalam interaksinya ketiga komponen dasar
Dari teori bekerjanya hukum tersebut, Robert B. Siedman menguraikan ke dalam dalil-
a. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peran itu
diharapkan bertindak;
b. Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons
c. Bagaimana lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan
yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para
pemegang peran;
d. Bagaimana para pembuat hukum itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-
diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peran serta
birokrasi.
Keselamatan Pasien dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, maka yang dimaksud dengan
Lembaga Pembuat peraturan hukum adalah Pemerintah bersama DPR RI, dan Lembaga
Pelaksana peraturan hukum tidak lain adalah Rumah Sakit sebagai penyelenggara pelayanan
kesehatan, sedangkan yang dimaksud dengan Pemegang Peran adalah seluruh Tenaga Kesehatan
yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan kepada Pasien di setiap Rumah Sakit yang
bersangkutan.
Bilamana Implementasi Program Keselamatan Pasien dilihat dari Standar Hak Pasien
untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan kesehatan, hasil penelitian
Dari matriks di atas dapat diungkapkan bahwa, secara umum hak pasien untuk
memperoleh informasi, baik dari dokter maupun perawat tentang hasil pemeriksaan dan rencana
tindak lanjut perawatan atas penyakit yang diderita pasien, kurang dapat diterima secara
maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa parameter antara lain :
1. Informasi yang diterima pasien dan keluarganya tentang hasil pemeriksaan dan
rencana tindakan medis lebih lanjut tidak boleh secara langsung dari dokter yang
2. Informasi dapat diperoleh pasien, tetapi hanya terbatas pada kasus-kasus tertentu yang
3. Informasi yang disampaikan kepada pasien, pada umumnya terbatas pada lingkup
Dari fakta di atas, maka dapat diinterprestasikan bahwa hak pasien untuk mendapatkan
informasi tentang hasil pemeriksaan dan rencana tindakan medis berikutnya, kurang secara
maksimal dapat diwujudkan oleh dokter maupun perawat dalam pelayanan kesehatan di RSUD
Margono Soekarjo, Purwokerto. Hal ini mengandung arti bahwa, Program Keselamatan Pasien di
Jika kenyataan di atas ditafsirkan berdasarkan pada teori bekerjanya hukum model Robert
Margono Soekarjo, Purwokerto pada dasarnya telah menerapkan standar pertama, yakni
memenuhi hak-hak pasien atas informasi tentang hasil pemeriksaan dan rencana tindakan medis
dalam pelayanan kesehatan, namun secara praktis masih terdapat sebagian dokter dan perawat
yang belum sepenuhnya melaksanakannya untuk memenuhi hak-hak pasien atas informasi
a. Masih adanya anggapan dari sebagian dokter bahwa pasien tidak terlalu memahami
istilah medis;
b. Masih berlakunya suatu kebiasaan yang telah tertanam secara dalam bahwa
penyampaian informasi yang berkaitan denga hasil pemeriksaan dan rencana tindakan
berkaitan dengan hasil pemeriksaan dan rencana tindakan medis berikutnya kepada
pasien, bukanlah kewenangan perawat, kecuali ada perintah dari tim medis untuk
Selanjutnya bila implementasi program keselamatan pasien ini dilihat dari standar yang
kedua, berupa pendidikan terhadap pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung
jawab pasien dalam pelayanan kesehatan, dapat diperoleh gambaran sebagaimana data hasil
Dari matriks 2 di atas dapat diperoleh gambaran bahwa, secara umum RSUD Margono
pendidikan kepada pasien dan keluarganya tentang hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban dan
tanggung jawab pasien dalam pelayanan kesehatan. Kenyataan ini di dalam praktik berdampak
pada implementasi program keselamatan pasien. Artinya, jika pendidikan kepada pasien dan
keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik, maka
sudah barang tentu program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan dapat
1. Terjadinya perubahan sikap dan perilaku pasien untuk melakukan perawatan mandiri
sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab pasien atas keselamatan
jiwanya;
dilakukan mulai dari diri sendiri dengan mematuhi segala anjuran medis yang
perawatan.
pasien dan keluarganya untuk melakukan perawatan mandiri, baik secara langsung maupun tidak
langsung telah dapat dilaksanakan, meskipun belum sepenuhnya berhasil dilakukan. Kondisi
yang demikian tersebut, berimplikasi terhadap implementasi program keselamatan pasien yang
kurang efektif. Artinya, program keselamatan pasien melalui standar pemberian pendidikan
kepada pasien dan keluarganya terutama hal-hal yang berkaitan dengan perawatan mandiri dalam
pelayanan kesehatan belum sepenuhnya dapat dilakukan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini
a. Dalam kasus-kasus tertentu, masih terjadi kejadian tidak diharapkan (KTD) yang
menimpa pasien;
c. Masih terdapatnya pasien dan keluarganya yang tidak melaksanakan keajiban dan
d. Tidak semua pelayanan keperawatan dapat diberikan kepada pasien di Instalasi Gawat
tingginya kuantitas pasien berobat dan terbatasnya waktu yang tersedia secara ideal
Berdasarkan pada kenyataan tersebut di atas, maka dapat disimoulkan bahwa, secara
parsial program keselamatan pasien telah dapat dilaksanakan cukup efektif, tetapi secara
keseluruhan program keselamatan pasien ini belum dapat diimplementasikan secara maksimal.
kesehatan ini dilihat dari standar ketiga tentang kesinambungan pelayanan kesehatan, maka hasil
penelitian menggambarkan adanya kecenderungan bahwa, dari segi tenaga kesehatan rumah
sakit, implementasi program keselamatan pasien cenderung telah dilaksanakan cukup baik dan
cukup efektif, sedangkan dari segi pasien diperoleh gambaran bahwa implementasi program
keselamatan pasien tersebut ternyata kurang baik dan kurang efektif. Hal ini dapat dibuktikan
dengan melihat data hasil penelitian yang dituangkan dalam matriks sebagai berikut :
Dari matriks di atas dapat diperoleh gambaran bahwa, secara keseluruhan standar
kesinambungan pelayanan kesehatan yang beorientasi pada keselamatan pasien cenderung dapat
dilaksanakan secara baik dan efektif. Hal ini ditandai dengan adanya indikator antara lain :
3. Adanya pendelegasian secara sah dan formal terhadap tanggung jawab pelayanan
dan kebutuhan pasien yang dirawat antar perawat dalam sistem pelayanan
keperawatan;
5. Berjalannya kerjasama antara dokter, perawat dan pasien dalam melaksanakan sistem
hakikatnya dapat dilaksanakan cukup baik. Hal ini berimplikasi terhadap implementasi program
keselamatan pasien secara keseluruhan yang cenderung dapat dilakukan secara baik pula.
Artinya, jika standar kesinambungan pelayanan keperawatan dapat dilaksanakan dengan secara
baik, maka semakin baik pula implementasi program keselamatan pasien dalam pelayanan
pelayanan kesehatan.
Kenyataan di atas akan berbeda jika ditinjau dari sudut pandang pasien yang
dilaksanakan, tetapi timbul pemusatan tugas pada pihak perawat. Hal ini jelas berimplikasi
terhadap implementasi program keselamatan pasien yang kurang baik dan kurang fektif.
a. Koordinasi dalam bentuk kerjasama antar perawat pada dasarnya dapat dilaksanakan,
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, standar kesinambungan pelayanan
kesehatan hanya dapat dilaksanakan secara baik, dilihat dari sudut pandang tenaga kesehatan,
namun dilihat dari sundut pandang pasien, ternyata standar kesinambungan pelayanan kesehatan
cenderung kurang dapat dijalankan secara maksimal. Kenyataan ini berimplikasi terhadap
implementasi program keselamatan pasien yang cenderung pula kurang dapat dilaksanakan
secara maksimal.
dilihat dari standar penggunaan metode peningkatan kinerja medis untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien, maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana tertuang
Dari matriks di atas dapat diungkapkan bahwa, sebenarnya direktur rumah sakit sangat
mendukung pelaksanaan program keselamatan pasien di rumah sakit, hanya saja sumber daya
yang ditunjuk dalam tim masih belum optimal kinerjanya, dikarenakan masing-masing anggota
tim dalam melaksanakan kinerjanya dilakukan disamping tugas pokoknya, jadi tidak secara
khusus melakukan program tersebut. Oleh karena itu penggunaan metode-metode peningkatan
kinerja medis untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien, baik dari
dokter maupun perawat belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dilaksanakannya Pembentukan Tim KPRS yang diterbitkan dengan SK Direktur Rumah
Sakit, tetapi untuk program kerja keselamatan pasien rumah sakit belum sepenuhnya
dilaksanakan;
pendokumentasian data indikator klinik secara rutin, hanya saja untuk evaluasi unsure-unsur
yang terkait dengan Kejadian Tidak Diharapkan dan risiko tinggi, masih belum rutin dilakukan
oleh Tim KPRS RUmah Sakit, dikarenakan belum adanya petugas khusus yang ditunjuk untuk
mendata dan mengevaluasi kasus insiden Kejadian TIdak Diharapkan yang terjadi di rumah
sakit;
3. Pola kerja dan rencana tindakan pelayanan medis tidak transparan, dan pengembangan
metode pengobatan untuk informasi kepada pasien tidak dilakukan oleh para medis, sehingga
terpola secara pasti, ini dikarenakan kinerja para medis terkendala dengan keterbatasan kuantitas
tenaga medis.
peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
belum dapat dilaksanakan secara maksimal oleh para medis khususnya oleh dokter dalam
pelayanan kesehatan di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto. Hal ini mengandung arti bahwa,
Kenyataan diatas akan berbeda jika ditinjau dari sudut pandang perawat yang
1. Perawat dalam mencapai tujuan dari program keselamatan pasien, dilakukan dengan
cara menanamkan semangat kerja, sikap ikhlas dan nilai-nilai ibadah menjadi modal
utama untuk meningkatkan kinerja perawat dalam pelayanan kesehatan kepada pasie;
2. Pola pengawasan informal dan pemberian hiburan oleh perawat kepada pasien adalah
peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
hanya dapat dilaksanakan dengan baik, apabila dilihat dari sudut pandang perawat, namun dilihat
dari sudut pandang tenaga medis atau dokter, ternyata standar penggunaan metode-metode
Pasien, maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana tertuang dalam matriks di bawah ini :
Dari matriks standar 5 diatas dapat diungkapkan bahwa, secara umum peran
kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, baik dari dokter maupun perawat dalam
implementasinya belum bisa dilakukan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan
1. Kurang maksimalnya koordinasi dan komunikasi pimpinan dan anggota Tim KPRS,
mestinya, Tim belum bisa bekerja secara maksimal dikarenakan anggaran yang
tersedia belum memadai, dan mekanisme kerja Tim juga belum jelas;
2. Rumah Sakit belum sepenuhnya mengalokasikan sumber daya yang adekuat, sehngga
mekanisme sistem pelaporan secara internal dan eksternal kurang dapat dilaksanakan
secara maksimal, serta integritas peran perawat dalam sistem kinerja kurang dapat
Dari fakta diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa peran kepemimpinan dalam
meningkatkan keselamatan pasien kurang dapat diwujudkan oleh pihak rumah sakit, hal ini
mengandung arti bahwa program keselamatan pasien di rumah sakit belum sepenuhnya dapat
Apabila dilihat dari standar Mendidik Staf Tentang Keselamatan Pasien, maka dapat
Dari matriks standar 6 diatas dapat diungkapkan bahwa, di RSUD Margono Soekarjo,
diselenggarakan baik intern maupun ekstern RUmah Sakit sebenarnya sudah mempunyai
program kerja mengenai peningkatan sumber daya manusia yang bertugas di masing-masing
unit. Yakni merencanakan dan memprogramkan staf untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan
sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, baik untuk pendidikan formal maupun
pendidikan informal, yang bertujuan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia Rumah Sakit.
Hanya saja Bidang Diklat dan Litbang masih belum memprogramkan secara khusus mengenai
Secara umum standar mendidik staf tentang keselamatan pasien implementasinya belum
bisa dilakukan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa parameter antara lain:
1. Program Pendidikan dan Pelatihan di Rumah Sakit sebenarnya sudah berjalan secara
maksimal, hanya saja untuk Pendidikan dan Pelatihan yang khusus berorientasi pada
keselamatan pasien bagi staf rumah sakit belum secara maksimal dilaksanakan. Dari
Bidang Diklat Rumah Sakit sudah diprogramkan memberikan tugas kepada staf untuk
berperan serta dalam pelatihan-pelatihan dan pembelajaran lebih lanjut pada jenjang
2. Program keselamatan pasien melalui pendidikan dan pelatihan dalam hal pembuatan
insiden, sehingga pelaporan insiden belum berjalan sepenuhnya, hal ini dikarenakan
belum ada pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden yang sewaktu-waktu bisa
terjadi;
belum berjalan secara maksimal, dan staf belum sepenuhnya paham dan mengerti
4. Pelatihan tentang keselamatan pasien bagi staf belum diselenggarakan secara terfokus
dan maksimal dan penyelenggaraan pelatihan bagi staf yang baru belum terfokus pada
program keselamatan pasien, dan masih bersifat umum semua pelayanan kesehatan
dilaksanakan;
komprehensif, sehingga pedoman pembuatan laporan insiden yang tidak jelas dan
Pelatihan di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto sudah berjalan sebagaimana mestinya sesuai
program Diklat RS tersebut, hanya saja untuk pendidikan dan pelatihan yang khusus
diorientasikan untuk pendidikan dan pelatihan program keselamatan pasien rumah sakit, masih
belum dianggarkan dananya oleh pihak rumah sakit sehingga hal ini mengandung arti bahwa
untuk implementasi standar mendidik staf tentang keselamatan pasien dalam Program
Keselamatan Pasien di Rumah Sakit belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara maksimal.
Selanjutnya Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit apabila dilihat dari standar 7
mengenai Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien, maka
merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien di rumah sakit, implementasinya
belum bisa dilaksanakan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa parameter
antara lain :
1. Komunikasi antar tim tenaga kesehatan rumah sakit belum berjalan sebagaimana
tergarap secara maksimal sesuai dengan Standar Operational Procedure nya, sehingga
terlihat antar tim tenaga kesehatan rumah sakit masih mengesampingkan program
keselamatan pasien;
2. Mekanisme arus komunikasi antar tim tenaga kesehatan, belum dibangun secara
penuh dalam penanganan pasien, sehingga komunikasi antara tim tenaga kesehatan
dalam penanganan pasien sering tidak berjalan secara mulus dan sepaham dalam
menyelamatkan pasien yang dirawatnya, masih terlihat seringkali masing-masing
secara tepat, dikarenakan pengembangan komunikasi yang harmonis dalam tim kerja
adanya sistem manajemen informasi yang mampu mengakses semua data tentang
keselamatan pasien;
Dari fakta diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa standar 7 program keselamatan
pasien, yakni Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien di
RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto belum berjalan sebagaimana mestinya dikarenakan desain
perencanaan manajemen informasi keselamatan pasien, belum dibangun secara tepat sehingga
hal ini mengandung arti bahwa untuk implementasi standar komunikasi merupakan kunci staf
untuk mencapai keselamatan pasien di rumah sakit belum sepenuhnya dapat diimplementasikan
secara maksimal.
B. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Implementasi Program Keselamatan
Untuk melihat lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang cenderung berpengaruh terhadap
implementasi program keselamatan pasien rumah sakit, berikut ini akan dipaparkan data hasil
penelitian melalui interview mendalam antara peneliti dengan informan-informan kunci, baik
kepada dokter atau perawat sebagai tenaga kesehatan yang terlibat langsung terhadap pelayanan
pasien, maupun kepada pasien/keluarganya sebagai pihak penerima pelayanan kesehatan di IGD
rumah sakit.
Dalam penelitian ini pemilihan Informan secara purposive ditujukan terhadap petugas
kesehatan (dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya) dan pasien yang pernah dirawat di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada RSUD Margono Soekarjo Purwokerto, yang secara langsung
terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui proses implementasi program keselamatan pasien dan
2. Seluruh tenaga kesehatan (Dokter, Perawat dan Tenaga Kesehatan lainnya) dan Pasien,
3. Seluruh Tenaga Kesehatan (Dokter, Perawat dan Tenaga Kesehatan lainnya) telah cukup
program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan terhadap pasien, yang tidak
hanya sekedar mengetahui dan dapat memberikan informasi, melainkan juga telah
program keselamatan pasien di rumah sakit di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang berpengarug terhadap implementasi program keselamatan pasien di rumah sakit adalah
sebagai berikut :
1. Sikap
aktifitas baik yang diamati secara langsung maupun tidak langsung yang mempunyai maksud
mendukung penerapan program keselamatan pasien rumah sakit. Tindakan tersebut dapat
berbentuk mencegah pasien jatuh, mencegah kejadian infeksi nosokomial, mencegah salah obat,
Dengan melihat bagan matriks diatas, maka sikap dari petugas kesehatan dalam hal ini
dokter masih kurang empati terhadap pasien, kurang ramah dan kurang komunikatif, sehingga
pasien merasa kurang puas dalam pelayanan dokter di IGD rumah sakit sedangkan pada perawat
pelaksana menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana mempunyai sikap mendukung
penerapan program keselamatan pasien rumah sakit, dapat dilihat dari sikap perawat yang
komunikatif dalam memberikan informasi kepada pasien, perawat cepat tanggap dengan keluhan
Sikap merupakan tanggapan atau reaksi seseorang terhadap obyek tertentu yang bersifat
positif atau negatif yang biasanya diwujudkan dalam bentuk rasa suka atau tidak suka, setuju
atau tidak setuju. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap diantaranya adalah
pengalaman pribadi, kebudayaan dimana individu berada, orang lain yang dianggap penting,
media massa, institusi pendidikan atau agama dan emosi dalam diri individu.
diperoleh gambaran bahwa sikap merupakan faktor yang cenderung berpengaruh terhadap
implementasi Program Keselamatan Pasien di rumah sakit, dengan sikap tersebut tidak lain
merupakan respon dari tenaga kesehatan terhadap kondisi Rumah Sakit dan Pasien.
Dengan sikap tenaga kesehatan yang positif maka akan diperoleh respon yang baik dari
pasien, pasien akan merasa nyaman, aman dan puas dengan pelayanan yang diperoleh dari
tenaga kesehatan rumah sakit. Sebaliknya apabila sikap tenaga kesehatan negatif maka pasien
akan merasa tidak puas dan akan menimbulkan citra yang kurang baik terhadap rumah sakit itu
sendiri.
2. Motivasi
Motivasi didefinisikan sebagai dorongan yang timbul pada diri petugas kesehatan untuk
mendukung atau tidak mendukung penerapan program keselamatan pasien. Dorongan yang
dimaksud adalah dorongan yang timbul karena adanya keinginan untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang aman, yang jauh dari tuntutan karena kesalahan dalam memberikan pelayanan.
Dengan melihat bagan matriks diatas, maka motivasi petugas kesehatan dalam hal ini
dokter dan perawat masih rendah, terlihat perawat pelaksana belum termotivasi untuk
perawat pelaksana merupakan hal penting dalam organisasi rumah sakit. Jika diabaikan maka
akan mempengaruhi sikap kerja perawat termasuk dalam mendukung penerapan program yang
juga tentunya mengharapkan mendapatkan reward dari pihak manajemen rumah sakit agar apa
yang menjadi haknya dapat diterima dengan baik. Perawat yang puas dengan apa yang
diperolehnya dari manajemen, akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan
terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaiknya perawat yang kepuasan kerjanya rendah,
cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan membosankan, sehingga ia
Beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja antara lain : atasan, kolega, saran
fisik, kebijakan, peraturan, imbalan jasa uang dan non uang, jenis pekerjaan dan tantangan.
Motivasi individu untuk bekerja dipengaruhi pula oleh kepentingan pribadi dan kebutuhan
masing-masing. Rendahnya insentif yang diterima perawat tidak sebanding dengan beban kerja
yang tinggi serta peraturan yang belum jelas bagi pasien menuntut sesuatu yang lebih dan bukan
menjadi kewenangan seorang perawat hal ini akan menimbulkan kebingungan, dan
diperoleh gambaran bahwa motivasi merupakan dorongan yang timbul pada diri petugas
kesehatan untuk mendukung atau tidak mendukung penerapan program keselamatan pasien.
Keselamatan Pasien di rumah sakit. Dengan motivasi tenaga kesehatan yang positif, maka akan
diperoleh respon yang baik dari masyarakat Kabupaten Banyumas khususnya Kota Purwokerto
sebagai pasien di rumah sakit, dan tentunya akan meningkatkan kredibilitas atau nama baik
Dengan melihat bagan matriks diatas maka salah satu faktor yang cenderung berpengaruh
informasi medis oleh dokter kepada pasien yang dapat dilihat masih relatif rendah, dengan
demikian dapat diinterpretasikan bahwa tenaga kesehatan dalam hal ini dokter atau perawat
harus lebih ditingkatkan dalam hal komunikasi memberikan informasi mengenai tindakan yang
hendak dilakukan, termasuk didalamnya manfaat serta risiko yang mungkin terjadi, hal ini
mengandung arti bahwa, tidak setiap informasi yang berkaitan dengan medis disampaikan
kepada pasien.
Kenyataan tersebut diatas dapat dibuktikan dengan melihat hasil penelitian yang
menggambarkan belum sepenuhnya hal-hal yang perlu diinformasikan dokter dapat diterima
1. Ketidakjelasan pasien terhadap prosedur risiko yang mungkin timbul dalam tindakan
2. Ketidaktahuan pasien terhadap risiko yang mungkin timbul dalam tindakan medis
3. Kurang mengertinya pasien tentang manfaat yang diharapkan dari tindakan medis
dilakukan;
dan
asas dasar yang harus diindahkan penerapannya dalam Informed Consent dokter dan pasien dan
secara yuridis tidak boleh ditinggalkan. Artinya prinsip tersebut menjadi salah satu syarat yang
harus dipenuhi agar dokter dalam melakukan tindakan medic tidak dianggap sebagai melakukan
perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu prinsip dokter harus berkomunikasi memberikan
informasi medis kepada pasiennya merupakan suatu kewajiban hukum dokter yang harus
dalam bentuk kegiatan-kegiatan dokter dalam melakukan tindakan medis kepada pasien. Dengan
demikian, prinsip ini menjadi kewajiban hukum yang harus dilaksanakan, yakni memberikan
Dengan melihat bahwa kurang maksimalnya implementasi prinsip bahwa pasien harus
dapat memahami informasi medis yang diberikan dokter, maka dalam pemberian penjelasan
(2) Penjelasan informasi medis diberikan dengan menggunakan bahasa yang sempurna
secara lisan;
(3) Penjelasan informasi medis disampaikan dengan menggunakan bahasa yang tidak
(4) Penjelasan informasi medis dapat dilakukan dengan diam atau membisu tetapi asal
Pasien dalam menerima pelayanan mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap
tentang tindakan medis sebagimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3), maka dapat disimpulkan
bahwa penjelasan informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan dokter, secara yuridis
formal merupakan hak pasien. Oleh karena itu, dokter hendaknya tidak akan melakukan tindakan
medis yang direncakan, apabila pasien belum memahami informasi tentang tindakan medis yang
dilakukan.
Hak pasien ini muncul tertumpu pada dua macam hak asasi sebagai hak dasar manusia,
yakni hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien secara subyektif
merupakan individu yang paling berkepentingan terhadap semua tindakan medis yang akan
terjadi dengan segala akibatnya. Oleh karena itu implementasi prinsip bahwa pasien harus
memahami terhadap informasi medis yang diberikan dokter merupakan hak pasien yang secara
yuridis harus dipenuhi sebelum menjalani suatu upaya medis yang dilakukan dokter untuk