Anda di halaman 1dari 29

CASE REPORT

PENANGANAN KEDARURATAN PADA PASIEN


DENGAN
HYPEROSMOLAR HYPERGLICEMIC STATE

Disusun oleh :
dr. Andrieas Kusuma Wardani
Pembimbing :
dr. Frederik Wilson. M.Biomed, Sp.PD

PROGRAM INTERNSHIP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KUDUNGGA SANGATTA
KUTAI TIMUR
2017
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. N
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Singa geweh, sangatta selatan
No. RM : 125196
Tanggal masuk RS : 28 Februari 2017

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran dan lemah seluruh tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan lemas seluruh tubuh sejak semalam. Lemah tubuh
sebelah kiri sejak 5 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan bicaranya pelo. Sebelumnya
pasien merasa pusing, mual, muntah dan demam sejak 2 hari yang lalu. Menurut anak
pasien, pasien sulit diajak bicara sejak semalam, bicara melantur, seperti tidak sadar.
Nafsu makan pasien juga menurun. Menurut anaknya, pasien pernah jatuh di kamar
mandi sekitar 5 hari yang lalu, sempat pingsan. Pasien jg mengeluh sakit pada kaki
kanannya setelah terjepit pintu, sehingga terdapat luka basah yang tak kunjung sembuh.

Anamnesis Sistem :

Cerebrospinal : demam (+), sakit kepala (+), malaise (+)


Kardiovaskular : berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
Respirasi : batuk (-), pilek (-), sesak (-)
Gastrointestinal : mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+),
BAB (-)
sejak 2 hari ini
Urogenital : BAK (+), nokturia (+)
Integumentum : Keringat dingin (-)
Ekstremitas : Oedema tungkai dan kaki (+/-), luka basah pada
kaki (+/-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat serupa (-)
Riwayat mondok (-)
Riwayat hipertensi (+) sejak 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol
Riwayat DM (+) sejak 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol
Riwayat penyakit ginjal (-)
Riwayat stroke (+) sejak 2 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat serupa (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat penyakit ginjal (-)

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan :


Makan sehari 3 kali
Kebiasaan makan dan minum yang manis-manis
Jarang olahraga
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran Umum : Apatis, GCS E3V3M5
Vital Sign :
Tekanan darah : 110/50 mmHg
Frek. Denyut Nadi : 118 x/m
Frek. Nafas : 24 x/m
Suhu Tubuh : 37,8 0C

Status Lokalis
Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pernafasan
cuping hidung (-)
Leher :
Inspeksi : pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)
Palpasi : limfonodi teraba (-), nyeri tekan (-)

Thorax :
Cor :
Inspeksi : simetris (+), ictus cordis terlihat (+)
Perkusi : batas jantung kanan SIC VI sternal kanan,
batas jantung kiri SIC VI 4 cm lateral linea
midclavicula sinistra, batas jantung atas SIC
II sternal kanan, batas pinggang jantung SIC
III parasternal kiri
Palpasi : ictus cordis teraba 2 cm lateral linea
midclavicula sinistra
Auskultasi : S1 S2 reguler, bising (-), suara tambahan
(-)
Pulmo :
Inspeksi : simetris, retraksi dada (-)
Perkusi : sonor (+)
Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-), massa
(-), ketertinggalan gerak (-), fremitus kanan
= fremitus kiri
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : simetris (+), sikatrik (-)
Auskultasi : peristaltik usus (+)
Perkusi : timpani (+)
Palpasi :
Nyeri tekan : epigastrium (+)
Pemeriksaan ren : ginjal teraba (-)
Pemeriksaan hepar : hepatomegali (-)
Pemeriksaan lien : splenomegali (-)
Ekstremitas :
Superior : Akral hangat (+│+), Edema (-│-)
Inferior : Akral hangat (+│+), Edema (-│-) tampak ulkus
dibagian kaki kanan, pus (+) bau (+)

Kekuatan : 555 111


555 111
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap (28 februari 2017)
Hb : 12,2 [12 - 16] g%
AL : 30.700 [5 - 10] ribu/ul
AE : 4.10 [4 - 5] ribu/ul
AT : 493 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 35,7 [36 - 46] %
Eosinofil : 10.2 [2 - 4] %
Segmen : 85,3 [51 - 67] %
Limfosit : 4.5 [20 - 35] %

2. Kimia Darah (28 februari 2017)


GDS : 717 [<200] mg/dl
Ureum : 193 [17 - 43] mg/dl
Kreatinin : 2,53 [0,6 – 1,1] mg/dl

3. Urine lengkap (28 februari 2017)


Warna : Kuning [kuning muda]
Kejernihan : Keruh [jernih]
Ph : 5,0 [4,8-7,8]
Berat jenis : 1.015 [1.003-1.030]
Protein :+1 [negatif]
Glukosa :+4 [negatif]
Darah : +1 [negatif]
Ketone :+ [negatif]
Sel epitel :+ [sedikit]
Lekosit : 4-5 [0-3/lpb]
Eritrosit : 9-18 [0,1/lpb]
Bakteri :+2 [negatif]
4. Pemeriksaan elektrolit
Natrium : 126 [135-146 MEQ/L]
Kalium : 3,9 [3,5-5 MEQ/L]
Clorida : 94 [98-107 MEQ/L]

E. DIAGNOSIS KERJA
 Observasi penurunan kesadaran e.c suspect HHS dd Sepsis
 DM tipe II
 Diabetic Foot grade III pedis dextra
 ACKD e.c suspect prerenal e.c on CKD suspect KDK
 Suspect SNH

F. PENATALAKSANAAN
 IVFD NaCl 0,9% loading 2L dalam 2 jam kemudian cek GDS.
Selanjutnya regulasi cepat Insulin, dilanjutkan NaCl 0,9% 80 tpm
makro selama 4 jam, selanjutnya 30 tpm makro selama 18 jam.
 02 2L permenit
 Injeksi meropenem 3x1g (iv)
 Injeksi metronidazole 3x500mg (iv)
 Injeksi omeprazole 2x40 mg (iv)
 Injeksi ondancentron 3x8mg (iv)
 Asam Folat 2x2 mg peroral
 Paracetamol infus 3x1
 Pasang kateter
 Puasa
 Tata cara regulasi cepat insulin dengan syringpump :
1. Apidra 40 U + NaCl 0,9% sampai 40cc dengan kecepatan :
4cc/jam  GDS < 250
2CC/jam  GDS < 200
1CC/jam  GDS 140-180
Stop NaCl 0,9% ganti D5% 20 tpm makro dan Stop Apidra
 Apabila syok (sistole 90 mmHg)
1. Norepinefrin 1 Amp + NaCl 0,9% sampai 50 cc dengan kecepatan
2cc/jam bila Tekana darah tidak naik maka kecepatan dinaikkan
sampai naik maksimal 20cc/jam.
BAB II
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metebolik menahun
atau kronis yang diakibatkan oleh penkreas yang tidak memproduksi cukup
insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara
efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah.
Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (Depkes,2013).
Terdapat dua ketegori utama diabetes mellitus yaitu diabetes tipe 1 dan
diabetes tipe 2. Diabetes tipe 1, dulu disebut Insulin dependent atau
juvenile/chilhood-onset diabetes, ditandai dengan kurangnya produksi insulin.
Diabetes tipe 2, dulu disebut non-insulin-dependent atau adult-onset diabetes,
disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh. Diabetes tipe 2
merupakan 90% kasus yang terjadi (Depkes,2013).
Faktor risiko diabetes mellitus dapat dikelompokkan menjadi faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor yang
dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan perilaku hidup yang kurang sehat,
seperti berat badan berlebih, kurangnya aktifitas fisik, hipertensi, dislipidemia,
diet tidak sehat, dan merokok. Sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi
adalah ras dan etnik, umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga dengan diabetes
mellitus (Depkes,2013).
WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang  dan dalam kurun waktu
25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300
juta orang (Suyono, 2009).
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi
Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care,
2004). Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh
bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun
di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan,
DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% (Depkes,2013).
Krisis Hiperglikemik yang meliputi Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan
Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik (KHH/HHS) merupakan komplikasi akut
yang serius pada penderita diabetes mellitus. Kedaruratan ini masih menjadi
penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas penderita diabetes mellitus,
walaupun telah dicapai kemajuan dalam pemahaman tentang patogenesis,
diagnosis dan penatalaksanaannya. Angka kejadian ketoasidosis diabetik
diperkirakan berkisar antara 4,6-8 episode per 1000 pasien diabetes per tahun.
Untuk angka kejadian keadaan hiperosmolar hiperglikemik masih sulit
diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun
diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di rumah
sakit. Angka kematian penderita KAD kurang dari 5% pada pusat-pusat perawatan
yang berpengalaman, sedangkan angka kematian penderita HHS masih tinggi
yaitu sekitar 15%. Prognosis keduanya semakin buruk dengan semakin
bertambahnya usia dan dengan adanya penurunan kesadaran dan hipotensi
(Purnamasari,2009).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metebolik menahun atau
kronis yang diakibatkan oleh penkreas yang tidak memproduksi cukup insulin
atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.
Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya
terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (Depkes,2013).

Diabetes melitus adalah kelainan metabolik dimana ditemukan


ketidakmampuan untuk mengoksidasi karbohidrat, akibat gangguan pada
mekanisme insulin yang normal, menimbulkan hiperglikemia, glikosuria, poliuria,
rasa haus, rasa lapar, badan kurus, dan kelemahan (Dorland, 1998).

Adapun kedaruratan akut pada diabetes mellitus adalah seperti


Ketoasidosis Diabetik dan Hiperosmolar Hipelglicemis State. Ketoasidosis
Diabetik merupakan kedaruratan pada penderita diabetes mellitus yang ditandai
dengan adanya hiperglikemi, ketonemia dan asidemia. Hiperosmolar
Hiperglikemik State (HHS) merupakan sindrom yang merupakan kumpulan
gejala, seperti : hiperglikemia, hiperosmolar, tetapi tanpa ketonemia dan
ketonuria. Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk
mendiagnosis HHS setidaknya dibutuhkan empat pemeriksaan penunjang, yaitu
kadar gula darah, osmolaritas serum/kadar elektrolit darah, kadar keton dalam
darah, kadar keton dalam urin (Purnamasari,2009).
B. ETIOLOGI
Adapun kelainan yang terjadi pada KAD dan HHS sendiri adalah adanya
penurunan kerja insulin yang disertai dengan peningkatan sekresi counteR-
regulatory hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone.
Perubahan keseimbangan hormonal tersebut akan menyebabkan peningkatan
produksi glukosa hepar dan penurunan ambilan glukosa oleh jaringan perifer,
keadaan tersebut yang akan memperberat hiperglikemi serta perubahan-perubahan
osmolalitas cairan ekstraseluler. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan
counter-regulatory hormone pada KAD juga akan merangsang pelepasan asam
lemak bebas dari jaringan lemak kedalam sirkulasi darah serta peningkatan
oksidasi asam lemak hepar menjadi ketone bodies yaitu β hydroxybutyrate dan
asam asetoasetat yang akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik
(Syahputra,2003).
Sebaliknya pada HHS, kadar insulin tidak mencukupi untuk
memfasilitasi pemakaian glukosa oleh jaringan-jaringan di perifer namun masih
cukup untuk mencegah lipolisis dan terjadinya ketogenesis (pembentukan benda-
benda keton) sehingga jarang terjadi asidosis metabolik. Baik KAD maupun HHS
disertai dengan glikosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik yang
berakibat kehilangan cairan dan elektrolit (Soewondo,2011).

C. GEJALA KLINIS
Proses terjadinya HHS biasanya mulai terjadi dalam beberapa hari,
sementara timbulnya episode KAD terjadi secara mendadak. Walaupun gejala-
gejala DM yang tidak terkontrol dengan baik dapat terjadi dalam beberapa hari,
perubahan metabolik yang khas dari KAD biasanya terjadi dalam kurun waktu
yang lebih singkat (<24 jam). Baik pada KAD maupun HHS, dapat ditemukan
gambaran klinis berikut ini :
- Poliuri, polidipsi dan polifagi
- Penurunan BB dalam waktu singkat
- Mual dan muntah
- Nyeri perut
- Dehidrasi
- Badan lemas
- Penglihatan kabur
- Gangguan kesadaran mulai dari apatis sampai koma

Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan :

- Turgor kulit yang kurang, bibir dan kulit kering


- Pernafasan kussmaull (pada KAD)
- Takikardi
- Hipotensi
- Syok hipovolemik
- Gangguan kesadaran

Lebih dari 25% penderita KAD mengalami muntah berwarna hitam


kecoklatan yang pada endoskopi terlihat adanya gastritis erosive karena stress
ulcer. Perubahan status mental dapat terjadi bervariasi mulai dari sadar penuh
pada kasus ringan sampai letargi atau koma pada kasus yang berat. Walaupun
infeksi merupakan faktor pemicu utama terjadinya KAD dan HHS, pada
pengukuran suhu tubuh dapat menunjukkan keadaan yang normal, hal ini terjadi
karena adanya vasodilatasi perifer. Hipotensi pada kasus-kasus ini menunjukkan
prognosis yang jelek pada kedua komplikasi ini (Soewondo,2011).

Sumber : google
D. PATOFISIOLOGI

Hiperosmolar hiperglikemik state ditandai dengan adanya peningkatan


kadar gula darah yang parah, yang dapat dilihat dari peningkatan osmolalitas
serum dan bukti klinis dengan adanya dehidrasi tanpa adanya akumulasi α-
hidroksibutirat atau acetoacetis ketoacid. Hiperglikemi disebabkan karena
defisiensi absolut/relatif dari insulin karena penurunan respon insulin dari jaringan
(resistensi insulin). Hal ini menyebabkan peningkatan glukoneogenesis dan
glikogenolisis yang dapat meningkatkan proses pembentukkan glukosa dari
glikogen dan senyawa lain didalam tubuh, selain itu dapat terjadi penurunan
uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer sehingga menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah (Avidar, et all, 2017).

Kejadian yang menginisiasi pada HHS adalah terjadinya glucosuric


diuresis. Munculnya kadar glukosa dalam urin akan memperburuk kapasitas
pengenceran urin oleh ginjal, sehingga menyebabkan kehilangan air yang lebih
parah. Dalam kondisi yang normal, ginjal berperan sebagai katup untuk
mengeluarkan glukosa yang melewati ambang batas dan mencegah akumulasi
glukosa lebih lanjut. Penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal dapat
menurunkan Laju Filtrasi Glomerulus dan menyebabkan kadar glukosa
meningkat. Pengeluaran lebih banyak air daripada natrium akan menyebabkan
hiperosmolar. Insulin diproduksi, namun tidak cukup mampu untuk menurunkan
kadar glukosa, terutama pada kondisi resistensi insulin pada penderita Diabetes
Mellitus (Purnamasari,2009).
Defisiensi insulin relatif pada penderita DM dapat menyebabkan
penurunan penggunaan glukosa, peningkatan glukogenesis dan peningkatan
pemecahan glikogen menjadi glukosa melalui proses glikogenolisis.
Glikogenolisis juga dipengaruhi secara tidak langsung oleh stress fisiologis
melalui peningkatan hormon glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan
kortisol. Keadaan ini selanjutnya akan menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemi
yang menyebabkan munculnya glukosa dalam urin (glukosuria) dan peningkatan
osmolalitas intravaskular. Glukosuria selanjutnya menyebabkan kehilangan air
dan elektrolit dalam jumlah yang cukup sehingga menyebabkan munculnya gejala
dehidrasi yang selanjutnya akan mempengaruhi fungsi ginjal. Kondisi dehidrasi
dan peningkatan osmolalitas intravaskular akan menimbulkan kondisi
hiperosmolar. Hal ini yang menyebabkan munculnya sindrom hiperosmolar
hiperglikemi (Syaifoellah,2004).

E. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis HHS dibutuhkan anamnesa dan beberapa
pemeriksaan yang mengarahkan ke HHS. Dari anamnesa dapat ditemukan
gambaran klinis menurut (Isselbacher,1994) seperti berikut :
- Poliuri, polidipsi dan polifagi
- Penurunan BB dalam waktu singkat
- Mual dan muntah
- Nyeri perut
- Dehidrasi
- Badan lemas
- Penglihatan kabur
- Gangguan kesadaran mulai dari apatis sampai koma

Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan :

- Turgor kulit yang kurang, bibir dan kulit kering


- Pernafasan kussmaull (pada KAD)
- Takikardi
- Hipotensi
- Syok hipovolemik
- Gangguan kesadaran

Sedangkan untuk pemeriksaan yang menunjang lain yang mengarahkan


pada diagnosa HHS adalah sindrom yang merupakan kumpulan gejala, seperti :
hiperglikemia, hiperosmolar, tetapi tanpa ketonemia dan ketonuria.

Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk


mendiagnosis HHS setidaknya dibutuhkan empat pemeriksaan penunjang, yaitu
kadar gula darah, osmolalitas serum/kadar elektrolit darah, kadar keton dalam
darah, kadar keton dalam urin (Isselbacher,1994).

Adapun kriteria HHS, adalah :

1. Konsentrasi glukosa plasma > 33.3 mmol/L (> 600 mg/dl)


2. Ph vena 7,25, ph arteri >7,30
3. Serum bikarbonat > 15 mmol/L
4. Ketonuria sedikit, ketonemia +
5. Osmolalitas serum > 320 m Osm/Kg
6. Kejang, penurunan kesadaran
F. PENATALAKSANAAN

Sumber: Media informasi kesehatan dan kedokteran menurut American


Diabetes Association
Dari bagan penatalaksanaan diatas maka dapat dirumuskan sebagai
berikut :

1. Terapi cairan
2. Terapi insulin
3. Terapi elektrolit

Berikut adalah penjelasan masing-masing prinsip terapi pada HHS :


1. Terapi cairan
Terapi cairan initial dimaksudkan untuk memperbaiki volume
cairan intra dan ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak
ada kelainan/ gangguan fungsi jantung, diberikan cairan isotonis NaCl
0,9% dengan kecepatan 15-20 ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan
cairan dipercepat (1-1,5 L). Pada jam berikutnya, terapi cairan tergantung
derajat dehidrasi, kadar elektrolit serum dan diuresis (jumlah urin). Secara
umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat diberikan
bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar Na rendah,
diberikan 0,9% dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi ginjal
membaik, terlihat dengan adanya diuresis, segera diberikan infus Kalium
sebanyak 20-30 mEq/L sampai kondisi pasien stabil dan dapat menerima
suplemen Kalium oral (Anders,2006)

Untuk pasien yang deplesi volume berat tapi tidak syok, volume
resusitasi harus dimulai dengan cairan saline 0,9% untuk mengganti
sirkulasi periferal. Volume yang diperlukan adalah 10-20ml/kgBB selama
1-2 jam, dan kemungkinan butuh diulang kembali sampai jaringan perfusi
adekuat (Wolfsdorf JI, et all, 2014).
Pemilihan Cairan

Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid.


Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan
inorganik dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik,
hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan
antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian
dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya
terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular ( Salam,2014).

Kristaloid

Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal


saline dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip
cairan ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid,
dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang intersisial (Salam,2014).
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan
cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat
akibat metabolisme laktat (Salam,2014).
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah
yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun
penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang
diakibatkan antara lain hiperomolalitas-hiperglikemik, diuresis osmotik,
dan asidosis serebral (Salam,2014).

Pemakaian cairan Ringer Laktat disarankan untuk mengurangi


kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada
pemakaian cairan normal saline. Sampai saat ini tidak didapatkan alasan
yang meyakinkan tentang keuntungan pemakaian RL dibandingkan
dengan NaCl 0,9%. Jika kadar Na serum rendah tetaplah menggunakan
cairan NaCl 0,9% (Gotera,2010).

Terapi insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal
terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan membuat kadar gula darah
menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama 4 jam pertama,
lebih dari 80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi
(Gotera,2010).
Untuk itu pada pasien dengan HHS digunakan cairan Nacl dengan
beberapa kelebihannya.

2. Terapi insulin

Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan


merupakan terapi pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi.
Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma
sebesar 50-75 mg/dl per jam, sama seperti pada pemberian regimen insulin
dgn dosis yang lebih tinggi. Bila kadar glukosa plasma tidak turun sebesar
50 mg/dl dari kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien. Infus insulin
dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai kadar glukosa plasma
turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa plasma
mencapai 250 mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis insulin
diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (3-6 UI/jam) dan pemberian
Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi
Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma
normal sampai asidosis pada KAD atau gangguan mental dan keadaan
hiperosmolar pada KHH dapat diatasi. Ketonemia memerlukan perawatan
yang lebih lama daripada hiperglikemi (Guyton,1997).
Setelah HHS dapat diatasi, pemberian RI subkutan dan terapi
cairan sebaiknya diteruskan sesuai kebutuhan. Pada pasien dewasa, dosis
insulin dapat dinaikkan sebesar 5 UI untuk setiap kenaikan kadar glukosa
darah diatas 150 mg/dl sampai 20 UI bila kadar glukosa darah 300
mg/dl. Bila pasien sudah bisa makan, mulai diberlakukan jadwal dosis
multiple menggunakan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja sedang /
kerja panjang sesuai kebutuhan untuk mengontrol kadar glukosa plasma
(Gotera,2010).
Terapi insulin dimulai secara IV dengan Low dose dimulai dengan
infus insulin 1-2 jam setelah itu terapi pergantian cairan. Untuk koreksi
insulin dimulai dengan dosis 0,05-0,1U/kg/jam (metode I 50 U reguler
insulin dalam 50ml Normal saline, I Unit I ml) (Wolfsdorf JI, et all, 2014).

3. Terapi Kalium
Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan
dapat menurunkan kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi,
penambahan kalium hendaklah dimulai bila kadar kalium serum turun
dibawah 5,5 mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi diuresis. Umumnya
pemberian Kalium sebanyak 20-30 mEq (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam
setiap liter cairan infus sudah cukup untuk mempertahankan kadar Kalium
serum dalam batas normal (4 – 5 mEq/l). Bila terjadi hipokalemi berat
hendaklah dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan terapi insulin
ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l, untuk mencegah
terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan
(Guyton,1997).

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering dari KAD dan KHH adalah :
- Hipoglikemi karena dosis insulin yang berlebihan
- Hipokalemi akibat pemberian insulin dan pengobatan asidosis dengan
bikarbonat
- Hiperglikemi akibat penghentian terapi insulin intravena setelah
penyembuhan tanpa dilanjutkan dengan insulin subkutan.
Edema serebri merupakan komplikasi KAD yang bersifat fatal, yang
secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran disertai lethargi dan
sakit kepala. Defisit neurologik dapat terjadi secara cepat, disertai kejang,
inkontinensia urin, perubahan refleks pupil , bradikardia dan gagal nafas.
Progresivitas gejala defisit neurologik ini terjadi akibat adanya herniasi
batang otak (Wolfsdorf JI, et all, 2014).
Apabila sudah terjadi perubahan-perubahan perilaku, maka angka
kematiannya akan semakin tinggi (dapat mencapai 70%), dan hanya 7-
14% kasus yang dapat mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa
permanen. Mekanisme terjadinya edema serebri sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti, namun diduga disebabkan karena perubahan
tekanan osmotik akibat perpindahan cairan yang cepat kedalam sistem
syaraf pusat karena penurunan osmolalitas plasma yang terlalu cepat
selama pengobatan KAD atau KHH.
Prinsip pengobatan edema serebri adalah dengan menurunkan
tekanan intrakranial, yaitu dengan pemberian Manitol, diberikan
dalam 5-10 menit setelah ditemukan gejala awal defisit neurologik
dengan dosis 1 - 2 g/kg selama 15 menit. Pemberian dexametason dan
diuretik masih kontroversi (Wolfsdorf JI, et all, 2014).
Pencegahan edema serebri meliputi :
- Pemberian cairan dan sodium bertahap pada pasien hiperosmolar
- Hindari pemberian bikarbonat kecuali sangat diperlukan
- Tambahkan infus dextrose bila GD sudah mencapai 250 mg/dL

H. PROGNOSIS
Pada kasus ini memiliki prognosis Dubia, apabila segera ditangani
dan di berikan terapi yang tepat sebelum terjadinya perburukan.
Penanganan yang intensif akan membuat kondisi pasien menjadi lebih
baik.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien ini telah didiagnosa dengan diabetes mellitus, dan mengarah
kepada kedaruratan DM yaitu HHS. Penegakkan diagnosa berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, yang telah dijabarkan sebagai
berikut :
- Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran, lemah seluruh
tubuh sejak semalam
- Lemah anggota gerak kiri dan pelo sejak 2 hari yang lalu
- Pasien sulit diajak berkomunikasi, seperti bingung, bicara melantur
- Pasien juga mengeluh sakit pada kaki kanannya setelah terjepit pintu,
sehingga terdapat luka basah yang tak kunjung sembuh
- Riwayat penyakit dahulu adalah terdapat riwayat hipertensi sejak
kurang lebih 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol, terdapat riwayat
kencing manis sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu dan juga tidak
terkontrol serta terdapat riwayat stroke sejak 2 tahun yang lalu.
- Menurut anak-anaknya pasien selama 2 hari demam, mengeluh sakit
kepala, mual dan muntah
- Pasien sering BAK dan kalau malam sering terbangun untuk BAK
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan oedema tungkai dan kaki kanan,
terdapat luka basah yang berbau
- Kesadaran umum pasien didapatkan GCS E3V3M5 apatis
- Dari vital signnya didapatkan tekanan darah 110/50 mmHg, Frek.
Denyut Nadi 118 x/m, frek. Nafas 24 x/m, Suhu Tubuh 37,8 0C

Darah Lengkap (28 februari 2017)


Hb : 12,2 [12 - 16] g%
AL : 30.700 [5 - 10] ribu/ul
AE : 4.10 [4 - 5] ribu/ul
AT : 493 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 35,7 [36 - 46] %
Eosinofil : 10.2 [2 - 4] %
Segmen : 85,3 [51 - 67] %
Limfosit : 4.5 [20 - 35] %
Kimia Darah (28 februari 2017)
GDS : 717 [<200] mg/dl
Ureum : 193 [17 - 43] mg/dl
Kreatinin : 2,53 [0,6 – 1,1] mg/dl
Urine lengkap (28 februari 2017)
Warna : Kuning [kuning muda]
Kejernihan : Keruh [jernih]
Ph : 5,0 [4,8-7,8]
Berat jenis : 1.015 [1.003-1.030]
Protein :+1 [negatif]
Glukosa :+4 [negatif]
Darah : +1 [negatif]
Ketone :+ [negatif]
Sel epitel :+ [sedikit]
Lekosit : 4-5 [0-3/lpb]
Eritrosit : 9-18 [0,1/lpb]
Bakteri :+2 [negatif]

Pemeriksaan elektrolit
Natrium : 126 [135-146 MEQ/L]
Kalium : 3,9 [3,5-5 MEQ/L]
Clorida : 94 [98-107 MEQ/L]
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang diatas,
pasien didiagnosa dengan Hiperosmolar Hiperglikemik State, untuk itu pasien
diterapi dengan :
 IVFD NaCl 0,9% loading 2L dalam 2 jam kemudian cek GDS.
Selanjutnya regulasi cepat Insulin, dilanjutkan NaCl 0,9% 80 tpm
makro selama 4 jam selanjutnya 30 tpm makro selama 18 jam.
- Terapi cairan digunakan untuk rehidrasi, karena pada pasien dengan
Hiperosmolar hiperglikemik state ditandai dengan adanya
peningkatan kadar gula darah yang parah, yang dapat dilihat dari
peningkatan osmolalitas serum dan bukti klinis dengan adanya
dehidrasi. Sehingga dengan rehidrasi cairan saja kadar gula darah
dapat turun.
 02 2L permenit
- Diberikan karena untuk memperbaiki dan mencegah keadaan
hipoksemia, sehingga hipoksia jaringan dapat dihindari
 Injeksi meropenem 3x1g (iv)
- Antibiotik golongan beta laktam diberikan untuk mengobati infeksi
yang terjadi pada pasien ini, karena didapatkan angka leukositnya
mencapai 30.700, menunjukkan infeksi berat.
 Injeksi metronidazole 3x500mg (iv)
- Pemberian antibiotik ganda antara meropenem dan metronidazole
dilakukan untuk membunuh bakteri aerob dan anaerob
 Injeksi omeprazole 2x40 mg (iv)
- Diberikan untuk mengurangi rasa tidak enak pada perut
 Injeksi ondancentron 3x8mg (iv)
- Diberikan untuk mengurangi rasa mual dan muntah
 Asam Folat 2x2 mg peroral
- Diberikan untuk mengatasi keadaan hiperhomosistein pada CKD.
Selain itu juga untuk mengatasi anemia yang terjadi pada pasien
dengan CKD. Pada pasien ini Ureum : 193, Kreatinin : 2,53
 Paracetamol infus 3x1
- Untuk mengatasi demam yang terjadi pada pasien.
 Pasang kateter
- Dipasang untuk mengukur output urine pasien guna menghitung
balance cairan.
 Puasa
- Dilakukan untuk mengontrol berapa jumlah cairan yang masuk/input
cairan pada pasien.
 Tata cara regulasi cepat insulin dengan syringpump :
- Apidra 40 U + NaCl 0,9% sampai 40cc dengan kecepatan :
4cc/jam  GDS < 250
2CC/jam  GDS < 200
1CC/jam  GDS 140-180
Stop NaCl 0,9% ganti D5% 20 tpm makro dan Stop Apidra
- Apidra merupakan insulin kerja cepat untuk membantu menurunkan
kadar gula darah yang tinggi
 Apabila syok (sistole 90 mmHg)
- Norepinefrin 1 Amp + NaCl 0,9% sampai 50 cc dengan kecepatan
2cc/jam bila Tekana darah tidak naik maka kecepatan dinaikkan
sampai naik maksimal 20cc/jam.
- Diberikan untuk membantu meningkatkan tekanan darah pada pasien
jika terjadi syok.
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien wanita 65 tahun dengan keluhan penurunan


kesadaran dan badan lemah. Anggota gerak sebelah kiri sulit digerakkan dan
bicara pelo sejak 2 hari yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Pada pemeriksaan fisik didapatkan,
kesadaran umum pasien didapatkan GCS E3V3M5 apatis, dari vital signnya
didapatkan tekanan darah 110/50 mmHg, Frek. Denyut Nadi 118 x/m, frek. Nafas
24 x/m, Suhu Tubuh 37,8 0C, oedema tungkai dan kaki kanan, terdapat luka basah
yang berbau, serta terdapat kelemahan di anggota gerak kiri.
Terapi pada pasien ini bersifat kedaruratan yang dilakukan untuk segera
menurunkan kadar gula darah dan menstabilkan kondisi pasien sebelum dilakukan
terapi lanjutan di ruangan intensif.
DAFTAR PUSTAKA

Anders, et all. 2006.Fluid Therapy in the perioperative setting- clinical review.


Voldby and Brandstrup Journal of Intensive Care.

Avidar, et all. 2017. Management of Adult Diabetic Ketoacidosis. Diabetes,


Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and Therapy downloaded from
https://www.dovepress.com/ by

Dep.Kes.RI. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia. Diakses


tanggal 8 Mei 2013.http://m.depkes.go.id/index.php.

Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler.


Dalam: Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 1997.

Isselbacher, Baraundwald, Wilson, Harrison’s Principles of internal medicine,


International edition, Mcgraw Hill Book Co.,Singapore,1994.

Kamus Saku Kedokteran Dorland, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,1998.


Noer, Prof.dr.H.M. Sjaifoellah. 2004. Ilmu Penyakit Endokrin dan Metabolik,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Purnamasari, D. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. . Dalam Aru


W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellus S.K., Siti S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing.

Salam,S. 2014. Dasar-dasar Terapi Cairan dan Elektrolit.

Soewondo, P. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus


Tipe 2 di Indonesia.Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.

Syahputra. 2003. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia FK USU.

Wira gotera, Dewa Gde Agung Budiyasa. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis


Diabetik, bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah
Denpasar

Wolfsdorf, et all. 2014. Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar


State. ISPAD Clinical Practice Consensus Guideline 2014 Compendium.

Anda mungkin juga menyukai