Pembimbing :
Diajukan Oleh :
J510170052
CASE REPORT II
SEORANG LAKI-LAKI USIA 61 TAHUN DENGAN NSTEMI, DM TIPE 2 DAN
HIPERTENSI
Oleh :
J510170052
Pembimbing :
A. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Wonolopo Tasikmadu Karanganyar
Agama : Islam
No RM : 001707xx
Tanggal Masuk RS : 18 Mei 2018
Tanggal Pemeriksaan : 19 Mei 2018
B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis.
a. Keluhan Utama
Nyeri dada
b. Riwayat Penyakit Sekarang
4 jam SMRS pasien mengeluhkan nyeri hebat pada bagian tengah dada. Nyeri
dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang makan sate. Rasa nyeri dirasakan seperti
tertindih beban berat, menjalar hingga punggung belakang dan lengan kiri,
keluhan berlangsung ± 1 jam, pasien mengaku keluhan memberat saat pasien
melakukan perubahan posisi dan keluhan berkurang dengan istirahat.
Pasien juga mengatakan keluhan disertai dengan leher terasa cengeng, keringat
dingin, dan sesak napas. Tidak ada mual, muntah, batuk, BAB dan BAK dalam
batas normal. pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.
D. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak lemas
Kesadaran : Compos Mentis, E4V5M6
Vital Sign
Tekanan Darah : 170/100 mmHg
Nadi : 138x/menit
Respirasi : 21 x/menit
Suhu : 36,5oC
Kepala : Normocephal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
sianosis (-).
Leher : Leher simetris, massa (-), peningkatan JVP (-), pembesaran
kelenjar limfe (-).
Thorax
Paru Hasil pemeriksaan
Inspeksi Bentuk dada kanan dan kiri simetris, ketertinggalan
gerak dada (-), barrel chest (-).
Palpasi Fremitus dada kanan dan kiri sama.
Perkusi Sonor di paru kanan dan paru kiri.
Auskultasi Terdengar suara dasar vesikular (+/+), Ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-).
Jantung Hasil pemeriksaan
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi Ictus cordis teraba tidak kuat angkat.
Perkusi Batas Jantung :
Batas Kiri Jantung
^ Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis
sinistra.
^ Bawah : SIC IV linea axilaris anterior sinistra.
Batas Kanan Jantung
^ Atas : SIC II linea parasternalis dextra
^ Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Auskultasi BJ I/II regular, bising sistolik (-), dan bising diastolik
(-).
Abdomen
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Dinding perut sejajar dengan dinding dada, distended (-),
sikatriks (-).
Auskultasi Suara peristaltik (+), Suara tambahan (-).
Palpasi Nyeri tekan (-).
Perkusi Suara timpani (+), Nyeri ketok costovertebrae (-/-).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 18 Mei 2018
Angka Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 13,4 gr/dl 12.0 – 15.5
Hematokrit 42,7 % 35 – 47
Lekosit 14,56 (H) 10^3/ul 4.4 – 11.3
Trombosit 279 10^3/ul 150 – 362
Eritrosit 5,00 10^6/ul 4.1 – 5.1
MCV 85,3 fL 82.0 – 92.0
MCH 26.9 Pg 28 – 33
MCHC 32.5 g/dL 32.0 – 37.0
Neutrofil% 62.5 % 50.0 – 70.0
Limfosit% 30.0 % 25.0 – 40.0
Monosit% 4.0 % 3.0 – 9.0
Eosinofil% 2.2 % 0.5 – 5.0
GDS 387 (H) mg/100ml 70 – 150
Creatinin 0.83 mg/100ml <1.0
Ureum 33 mg/dl 10 – 50
G. DIAGNOSA KERJA
NSTEMI
Diabetes Melitus tipe II
Hipertensi
H. DIAGNOSIS BANDING
UAP
STEMI
I. PENATALAKSANAAN
1. Medikametosa
Inf RL 20 tpm
Inj. Pantoprazole/24jm
Inj. Ketorolac/8jm
Inj. Arixtra/24jm
ISDN 3x5mg
Aspilet 3x80mg
CPG 1x75mg
Amlodipin 1x10mg
Humalog kwik pen 20-20-20
Lantus 0-0-0-12
2. Non Medikamentosa
Bedrest
J. FOLLOW UP
19/05/2018 S/ pasien mengeluh nyeri dada tembus P/
hingga punggung belakang. Sesak (+), Inf. RL 20tpm
badan pegel-pegel Inj. Pantoprazole 40mg/24
O/ Kesadaran: CM jm
KU: tampak lemas Inj. Santagesik/ 8jm
TD = 170/100 mmHg ISDN 3x5mg
S = 36.5 Aspilet 1x80mg
RR = 21 x/menit CPG 1x75mg
N = 138x/menit Amlodipin 1x10mg
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB Humalog kwik 8-8-8
(-/-), peningkatan JVP (-).
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/-
)
C/ BJ I/II reguler
Abd = supel (+) NT (-), Peristaltik (+)
timpani (+),.
Eks = akral hangat (+), edema (-/-)
GDS : 343
A/ NSTEMI
DM tipe 2
Hipertensi
21/05/2018 S/ Pasien mengatakan badan pegel- P/
pegel, nyeri punggung, leher cengeng, Inf. RL 20tpm
nyeri dada berkurang Inj. Pantoprazole 40mg/24
O/ Kesadaran: CM jm
KU: tampak lemas Inj. Ketorolac/ 8jm
TD = 160/90 mmHg Inj. Arixtra/ 24jm
S = 36.5 Inj. Petidin 1gr ekstra
RR = 21 x/menit ISDN 3x5mg
N = 116 x/menit Aspilet 1x80mg
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB CPG 1x75mg
(-/-), peningkatan JVP (-). Amlodipin 1x10mg
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/- Humalog kwik 20-20-20
) Inj lantus 0-0-0-12
C/ BJ I/II reguler
Abd = Supel (+) NT (-), Peristaltik (+)
timpani (+),
Eks = Akral hangat (+), edema (-/-)
GDP : 292
A/ NSTEMI
DM tipe II
Hipertensi
22/05/2018 S/ Pasien mengatakan nyeri dada P/
sebelah kiri dan menjalar hingga Inf. RL 20tpm
belikat belakang, seperti tertindih Inj. Ceftriaxon/ 12jm
beban berat, pusing (+), demam (+) Inj. Pantoprazole 40mg/24
O/ Kesadaran: CM jm
KU: tampak lemas Inj. Ketorolac/ 8jm
TD = 170/100 mmHg Inj. Arixtra/ 24jm (2)
S = 38.1 Paracetamol 3x500mg
RR = 20 x/menit ISDN 3x5mg
N = 135 x/menit Aspilet 1x80mg
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB CPG 1x75mg
(-/-), peningkatan JVP (-). Amlodipin 1x10mg
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/- Humalog kwik 24-24-24
) Inj lantus 0-0-0-16
C/ BJ I/II reguler
Abd = Supel (+) NT (-), Peristaltik (+) Pindah HCU
timpani (+), nyeri ketok kostovertebra
(-/-)
Eks = Akral hangat (+), edema (-/-)
GDS : 362
AL : 17.88
A/ NSTEMI
DM tipe II
Hipertensi
A/ NSTEMI
DM tipe II
Hipertensi
1. Non STEMI
A. DEFINISI
Angina pectoris ditandai dengan rasa tidak nyaman pada dada dan tangan yang tidak
dapat digambarkan sebagai nyeri tapi dihubungkan dengan aktivitas fisik atau stress dan
membaik dalam waktu 5-10 menit dengan istirahat dan/ atau nitrogliserin sublingual.
Unstable angina dapat dikatakan sebagai angina pectoris atau equivalent ischemic discomfort
jika terdapat satu dari ketiga kriteria :
1. Terjadi saat istirahat ( atau dengan aktivitas ringan), biasanya berakhir >10 menit
2. Severe atau serangan baru (terjadi 4-6 minggu) dan/ atau
3. Terjadi dengan crescendo angina
Diagnosis NSTEMI dapat ditentukan dengan gejala klinis dari Unstable Angina dengan
bukti adanya nekrosis otot jantung, yang ditandai dengan meningkatnya biomarker jantung.(3)
B. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan
tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis,
adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel).
Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP).
Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat
menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.(4)
C. MANIFESTASI KLINIS
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan
berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian
nitrogliserin.
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat.
Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa jantung.
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil
dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau
normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah
kembali normal.
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya
juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang
disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4),
penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan
pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara
friction rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI.
Faktor Risiko :
D. DIAGNOSIS
Diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu
Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa.
Perubahan elektrokardiografi (EKG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark
akut, EKG pasien dengan trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi
elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST
digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI.
Peningkatan petanda biokimia.
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran
limfatik .Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein
dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain
aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme
MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC)
dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). Peningkatan kadar serum protein-
protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.
EKG
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan
elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa
berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-
normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis
Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di
sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20
menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi
gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI.
E. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada pasien sindrom koroner akut adalah untuk mengontrol
simtom dan mencegah progresifitas dari NSTEMI, atau setidaknya mengurangi tingkat
kerusakan miokard. Terapi serta pencegahan untuk NSTEMI dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Terapi untuk mengurangi area infark pada miokard
Terapi ini bertujuan untuk mencegah meluasnya area infark pada miokard.
Terapi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan pemberian :
Aspirin
Aspirin berfungsi sebagai penghambat aktivitas cyclooxygenase (COX) pada
platelets. Akibatnya platelet tidak dapat menghasilkan thromboxane A2 sehingga
menghambat agregasi platelet. Selain itu aspirin juga berpengaruh pada proses
perjalanan penyakit unstable angina. Dosis yang diberikan kepada pasien sekitar
75 – 300 mg/hari. Aspirin memiliki efek samping berupa gangguan pada
gastrointestinal.
Clopidogrel
Clopidogrel merupakan thienooyridine yang menghambat adenosine
diphospate – mediated platelet activation. Obat anti platelet jenis ini bersinergi
dengan aspirin karena sama – sama bekerja pada jalur asam arakhidonat.
Clopidogrel kurang efektif dalam mencegah perdarahan, sehingga kurang tepat
diberikan pada pasien pasca operasi seperti CABG.
F. KOMPLIKASI
Keadaan NSTEMI dapat berkembang menjadi keadaan STEMI, sehingga menimbulkan
komplikasi seperti :
Aritmia
Gagal jantung
Komplikasi mekanik
Shock kardiogenik
2. Diabetes Melitus
A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan
singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik
dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin. (Sudoyo et.al 2006)
B. Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 2.
Hiperglikemia
Kelelahan sel beta
DM tipe 2
B. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena
membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria
normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
Tabel 3. Kriteria diagnosis DM
Keterangan:
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.
Klasifikasi IMT*
- BB Kurang < 18,5
- BB Normal 18,5-22,9
- BB Lebih ≥ 23,0
Keterangan:
- Dengan risiko 23,0-24,9
- Obes I 25,0-29,9
- ObesII > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan
kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60
dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-
1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%),
serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan
kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. (PERKENI,
2011)
c. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit, sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval,
Progressive training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut
nadi maksimal (220/umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit
penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30
menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit dan olahraga berat
misalnya joging (Suyono et al., 2006).
d. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
i. Pemicu Sekresi Insulin
- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.
- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
ii. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
- Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti
di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa diperifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
- Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan
glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontra indikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus
diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
iii. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
iv. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.
GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat
GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi
metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun
pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan
GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat
yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau
memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin
serta menghambat penglepasan glukagon.
v. SGLP-2 Inhibitor (Sodium Glukose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLP-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kerja transporter glukosa SGLT-2. Obat
yang termasuk golongan ini: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari
Badan POM RI.
2. Suntikan
i. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
a. HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
b. Penurunan berat badan yang cepat
c. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
f. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
g. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi lima jenis, yakni: Insulin
kerja cepat (rapid acting insulin), Insulin kerja pendek (short acting
insulin), Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), Insulin
kerja panjang (long acting insulin), Insulin kerja ultra panjang (Ultra long
acting insulin). Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia, efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap
insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
ii. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai
perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia
ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan
dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki
cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. (PERKENI,2011)
iii. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani,
bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi
OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun
fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam
obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila
sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO
dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga
OHO dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang
banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam
hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya
dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila
dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
(PERKENI,2011)
iv. Algoritma pengelolaan DM tipe 2
D. Komplikasi
1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut
dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada
diabetes adalah: Ketoasidosis Diabetik (DKA), Hiperglikemia Hiperosmolar Koma
Nonketotik (HHNK), Hipoglikemia (Price et al., 2005).
2. Komplikasi Kronik
a. Mikrovaskular
- Retinopati, katarak : penurunan penglihatan
- Nefropati : gagal ginjal
- Neuropati perifer : hilang rasa, malas bergerak
- Neuropati autonomik : hipertensi, gastroparesis
- Kelainan pada kaki :ulserasi, atropati
b. Makrovaskular
- Sirkulasi koroner : iskemi miokardial/infark miokard
- Sirkulasi serebral : transient ischaemic attack, stroke
- Sirkulasi : claudication, iskemik
3. Hipertensi
a. Definisi
Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam
walaupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan
hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan
atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang
menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi.
b. Klasifikasi
sedang
Risiko tinggi
Risiko tinggi Risiko tinggi Risiko
≥ 3 FR tinggi sedang – –
sangat tinggi
tinggi
Risiko Risiko Risiko Risiko
CVD
simtomatik,
CKD ≥ std 4
atau
d. Diagnosis
DM dengan
OD/ FR Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan
pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi
atau tatalaksana yang akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi
dariCanadian Hypertension Education Program. The Canadian
Recommendation for The Management of Hypertension2014
HBPM : Home Blood Pressure Monitoring
e. Tatalaksana
Non farmakologis
PEMBAHASAN
Dari hasil autoanamnesis didapatkan seorang laki-laki datang dengan keluhan berupa
nyeri hebat pada bagian tengah dada. Nyeri dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang makan
sate. Rasa nyeri dirasakan seperti tertindih beban berat, menjalar hingga punggung belakang
dan lengan kiri, keluhan berlangsung ± 1 jam, pasien mengaku keluhan memberat saat pasien
melakukan perubahan posisi dan keluhan berkurang dengan istirahat. Keluhan disertai
dengan leher terasa cengeng, keringat dingin, dan sesak napas. Riwayat DM dan hipertensi
sejak 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah. Kesadaran
compos mentis. Vital sign, TD : 170/100 mmHg, Nadi : 138x/menit, Respirasi : 21 x/menit,
Suhu : 36.5oC, Konjungtiva anemis (-/-). Bentuk dada normal dan simetris antara dada kanan
dan kiri, ictus cordis tidak tampak dan tidak kuat angkat, BJ I-II reguler. Pernapasan dalam
batas normal, dinding perut sejajar dengan dinding dada, peristaltik (+), nyeri tekan perut (-),
timpani (+), akral hangat (+), oedema tungkai (-).
Diagnosis : NSTEMI
DM tipe 2
Hipertensi
Tatalaksana :
Inf RL 20 tpm
Inj. Pantoprazole/24jm
Inj. Ketorolac/8jm
Inj. Arixtra/24jm
ISDN 3x5mg
Aspilet 3x80mg
CPG 1x75mg
Amlodipin 1x10mg
Humalog kwik pen 20-20-20
Lantus 0-0-0-12
DAFTAR PUSTAKA
Rosendorff C, Balck HR, Cannon CP, Cannon BJ, Gersh BJ, Gore J et al.
Treatment of Hypertension in the Prevention and Management of
Ischemic Heart Disease : A Scientific Statement from the American
Heart Association Council for High Blood Pressure Research and the
Council on Clinical Cardiology and Epidemiology and Prevention.
Circulation. 2007
The Task Force for the management of arterial hypertension of the European
Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of
Cardiology (ESC). 2013 ESH/ESC Guidelines for the management of
arterial hypertension. Jour of Hypertension 2013,
Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG, et al.
Clinical Practice Guidelines for the Maganement of Hypertension in the
Community. A Statement by the American Society of Hypertension and
the International Society of Hypertension. ASH paper. The Journal of
Clinical Hypertension, 2013.