Anda di halaman 1dari 48

CASE REPORT 1I

SEORANG LAKI-LAKI USIA 61 TAHUN DENGAN NSTEMI, DM TIPE 2 DAN


HIPERTENSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

dr. Y.M. Agung Prihatiyanto, Sp. PD

Diajukan Oleh :

Nita Dewi Novitasari, S.Ked

J510170052

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS / RSUD KARANGANYAR
2018

CASE REPORT II
SEORANG LAKI-LAKI USIA 61 TAHUN DENGAN NSTEMI, DM TIPE 2 DAN
HIPERTENSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh :

Nita Dewi Novitasari, S.Ked

J510170052

Telah diajukan dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada
hari ............. tanggal ....................... 2018

Pembimbing :

dr. Y.M. Agung Prihatiyanto, Sp. PD (………………………..)


CASE REPORT

A. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Wonolopo Tasikmadu Karanganyar
Agama : Islam
No RM : 001707xx
Tanggal Masuk RS : 18 Mei 2018
Tanggal Pemeriksaan : 19 Mei 2018

B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis.
a. Keluhan Utama
Nyeri dada
b. Riwayat Penyakit Sekarang
4 jam SMRS pasien mengeluhkan nyeri hebat pada bagian tengah dada. Nyeri
dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang makan sate. Rasa nyeri dirasakan seperti
tertindih beban berat, menjalar hingga punggung belakang dan lengan kiri,
keluhan berlangsung ± 1 jam, pasien mengaku keluhan memberat saat pasien
melakukan perubahan posisi dan keluhan berkurang dengan istirahat.
Pasien juga mengatakan keluhan disertai dengan leher terasa cengeng, keringat
dingin, dan sesak napas. Tidak ada mual, muntah, batuk, BAB dan BAK dalam
batas normal. pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Sakit Serupa : disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus : diakui (sejak tahun 2013, tidak
terkontrol)
 Riwayat Hipertensi : diakui (sejak tahun 2013, tidak
terkontrol)
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Maag : disangkal
 Riwayat Alergi Makanan & Obat : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat Sakit Serupa : disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Alergi Makanan & Obat : disangkal
e. Riwayat Kebiasaan
 Riwayat Merokok : diakui
 Riwayat Konsumsi Alkohol : disangkal

C. ANAMNESIS SISTEM LAIN


Sistem Cerebrospinal Gelisah (-), Lemah (-), Demam (-)
Sistem Cardiovascular Akral hangat (+), Sianosis (-), Anemis (-), Deg-
degan (-), nyeri dada (+)
Sistem Respiratorius Batuk (-), Sesak Napas (+)
Sistem Genitourinarius BAK sulit (-), sedikit (-), nyeri saat BAK (-)
Sistem Gastrointestinal Nyeri perut (-), mual (-), muntah (-), BAB Cair (-)
sulit BAB (-)
Sistem Musculosceletal Badan lemas (+), atrofi otot (-), jimpe (-)
Sistem Integumentum Perubahan warna kulit (-), pucat (-), sikatriks (-),
keringat dingin (+)

D. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak lemas
 Kesadaran : Compos Mentis, E4V5M6
Vital Sign
 Tekanan Darah : 170/100 mmHg
 Nadi : 138x/menit
 Respirasi : 21 x/menit
 Suhu : 36,5oC
 Kepala : Normocephal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
sianosis (-).
 Leher : Leher simetris, massa (-), peningkatan JVP (-), pembesaran
kelenjar limfe (-).
 Thorax
Paru Hasil pemeriksaan
Inspeksi Bentuk dada kanan dan kiri simetris, ketertinggalan
gerak dada (-), barrel chest (-).
Palpasi Fremitus dada kanan dan kiri sama.
Perkusi Sonor di paru kanan dan paru kiri.
Auskultasi Terdengar suara dasar vesikular (+/+), Ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-).
Jantung Hasil pemeriksaan
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi Ictus cordis teraba tidak kuat angkat.
Perkusi Batas Jantung :
Batas Kiri Jantung
^ Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis
sinistra.
^ Bawah : SIC IV linea axilaris anterior sinistra.
Batas Kanan Jantung
^ Atas : SIC II linea parasternalis dextra
^ Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Auskultasi BJ I/II regular, bising sistolik (-), dan bising diastolik
(-).

 Abdomen
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Dinding perut sejajar dengan dinding dada, distended (-),
sikatriks (-).
Auskultasi Suara peristaltik (+), Suara tambahan (-).
Palpasi Nyeri tekan (-).
Perkusi Suara timpani (+), Nyeri ketok costovertebrae (-/-).

 Ekstremitas : Clubbing finger (-), pitting oedem (-)


Ekstremitas Superior Dextra Akral Hangat (+), Edema (-)
Ekstremitas Superior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)
Ekstremitas Inferior Dextra Akral Hangat (+), Edema (-)
Ekstremitas Inferior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 18 Mei 2018
Angka Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 13,4 gr/dl 12.0 – 15.5
Hematokrit 42,7 % 35 – 47
Lekosit 14,56 (H) 10^3/ul 4.4 – 11.3
Trombosit 279 10^3/ul 150 – 362
Eritrosit 5,00 10^6/ul 4.1 – 5.1
MCV 85,3 fL 82.0 – 92.0
MCH 26.9 Pg 28 – 33
MCHC 32.5 g/dL 32.0 – 37.0
Neutrofil% 62.5 % 50.0 – 70.0
Limfosit% 30.0 % 25.0 – 40.0
Monosit% 4.0 % 3.0 – 9.0
Eosinofil% 2.2 % 0.5 – 5.0
GDS 387 (H) mg/100ml 70 – 150
Creatinin 0.83 mg/100ml <1.0
Ureum 33 mg/dl 10 – 50

EKG tanggal 18 Mei 2018


F. RESUME
 Dari hasil autoanamnesis didapatkan bahwa keluhan berupa nyeri hebat pada
bagian tengah dada. Nyeri dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang makan sate. Rasa
nyeri dirasakan seperti tertindih beban berat, menjalar hingga punggung belakang
dan lengan kiri, keluhan berlangsung ± 1 jam, pasien mengaku keluhan memberat
saat pasien melakukan perubahan posisi dan keluhan berkurang dengan istirahat.
Keluhan disertai dengan leher terasa cengeng, keringat dingin, dan sesak napas.
Riwayat DM dan hipertensi sejak 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol.
 Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemas. Kesadaran
compos mentis. Vital sign, TD : 170/100 mmHg, Nadi : 138x/menit, Respirasi :
21 x/menit, Suhu : 36.5oC, Konjungtiva anemis (-/-). Bentuk dada normal dan
simetris antara dada kanan dan kiri, ictus cordis tidak tampak dan tidak kuat
angkat, BJ I-II reguler. Pernapasan tampak sesak, peristaltik (+), nyeri tekan perut
(-),timpani (+), akral hangat (+), oedema tungkai (-).

G. DIAGNOSA KERJA
NSTEMI
Diabetes Melitus tipe II
Hipertensi
H. DIAGNOSIS BANDING
UAP
STEMI
I. PENATALAKSANAAN
1. Medikametosa
Inf RL 20 tpm
Inj. Pantoprazole/24jm
Inj. Ketorolac/8jm
Inj. Arixtra/24jm
ISDN 3x5mg
Aspilet 3x80mg
CPG 1x75mg
Amlodipin 1x10mg
Humalog kwik pen 20-20-20
Lantus 0-0-0-12
2. Non Medikamentosa
Bedrest

J. FOLLOW UP
19/05/2018 S/ pasien mengeluh nyeri dada tembus P/
hingga punggung belakang. Sesak (+), Inf. RL 20tpm
badan pegel-pegel Inj. Pantoprazole 40mg/24
O/ Kesadaran: CM jm
KU: tampak lemas Inj. Santagesik/ 8jm
TD = 170/100 mmHg ISDN 3x5mg
S = 36.5 Aspilet 1x80mg
RR = 21 x/menit CPG 1x75mg
N = 138x/menit Amlodipin 1x10mg
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB Humalog kwik 8-8-8
(-/-), peningkatan JVP (-).
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/-
)
C/ BJ I/II reguler
Abd = supel (+) NT (-), Peristaltik (+)
timpani (+),.
Eks = akral hangat (+), edema (-/-)
GDS : 343
A/ NSTEMI
DM tipe 2
Hipertensi
21/05/2018 S/ Pasien mengatakan badan pegel- P/
pegel, nyeri punggung, leher cengeng, Inf. RL 20tpm
nyeri dada berkurang Inj. Pantoprazole 40mg/24
O/ Kesadaran: CM jm
KU: tampak lemas Inj. Ketorolac/ 8jm
TD = 160/90 mmHg Inj. Arixtra/ 24jm
S = 36.5 Inj. Petidin 1gr ekstra
RR = 21 x/menit ISDN 3x5mg
N = 116 x/menit Aspilet 1x80mg
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB CPG 1x75mg
(-/-), peningkatan JVP (-). Amlodipin 1x10mg
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/- Humalog kwik 20-20-20
) Inj lantus 0-0-0-12
C/ BJ I/II reguler
Abd = Supel (+) NT (-), Peristaltik (+)
timpani (+),
Eks = Akral hangat (+), edema (-/-)
GDP : 292

A/ NSTEMI
DM tipe II
Hipertensi
22/05/2018 S/ Pasien mengatakan nyeri dada P/
sebelah kiri dan menjalar hingga Inf. RL 20tpm
belikat belakang, seperti tertindih Inj. Ceftriaxon/ 12jm
beban berat, pusing (+), demam (+) Inj. Pantoprazole 40mg/24
O/ Kesadaran: CM jm
KU: tampak lemas Inj. Ketorolac/ 8jm
TD = 170/100 mmHg Inj. Arixtra/ 24jm (2)
S = 38.1 Paracetamol 3x500mg
RR = 20 x/menit ISDN 3x5mg
N = 135 x/menit Aspilet 1x80mg
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB CPG 1x75mg
(-/-), peningkatan JVP (-). Amlodipin 1x10mg
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/- Humalog kwik 24-24-24
) Inj lantus 0-0-0-16
C/ BJ I/II reguler
Abd = Supel (+) NT (-), Peristaltik (+) Pindah HCU
timpani (+), nyeri ketok kostovertebra
(-/-)
Eks = Akral hangat (+), edema (-/-)
GDS : 362
AL : 17.88
A/ NSTEMI
DM tipe II
Hipertensi

23/5/2018 S/ Pasien mengatakan nyeri dada Inf. RL 20tpm


tembus hingga punggung belakang. Inj. Ceftriaxon/ 12jm
Dan nyeri leher menjalar hingga bahu Inj. Pantoprazole 40mg/24
kiri, demam (+), menggigil (+) jm
O/ Kesadaran: CM Inj. Ketorolac/ 8jm
KU: tampak lemas Inj. Arixtra/ 24jm (3)
TD = 135/95 mmHg Paracetamol 3x500mg
S = 37.1 ISDN 3x5mg
RR = 20 x/menit Aspilet 1x80mg
N = 126 x/menit CPG 1x75mg
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB Amlodipin 1x10mg
(-/-), peningkatan JVP (-). Humalog kwik 28-28-28
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/- Inj lantus 0-0-0-20
)
C/ BJ I/II reguler
Abd = Supel (+) NT (-), Peristaltik (+)
timpani (+), nyeri ketok kostovertebra
(-/-)
Eks = Akral hangat (+), edema (-/-)
GDS : 339
GDP : 281

A/ NSTEMI
DM tipe II
Hipertensi

24/5/2018 S/ Pasien mengatakan nyeri dada Inf. RL 20tpm


tembus hingga punggung belakang. Inj. Meropenem/ 8jm
Dan nyeri leher menjalar hingga bahu Inj. Pantoprazole 40mg/24
kiri. jm
O/ Kesadaran: CM Inj. Ketorolac/ 8jm
KU: tampak lemas Inj. Arixtra/ 24jm (4)
TD = 135/87 mmHg Inf. Paracetamol/ 8jm
S = 36,8 ISDN 3x5mg
RR = 21 x/menit Aspilet 1x80mg
N = 115 x/menit CPG 1x75mg
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB Amlodipin 1x10mg
(-/-), peningkatan JVP (-). Humalog kwik 28-28-28
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/- Inj lantus 0-0-0-28
)
C/ BJ I/II reguler
Abd = Supel (+) NT (-), Peristaltik (+)
timpani (+), nyeri ketok kostovertebra
(-/-)
Eks = Akral hangat (+), edema (-/-)
GDS : 325
AL : 12.21
A/ NSTEMI
DM tipe II
Hipertensi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Non STEMI
A. DEFINISI
Angina pectoris ditandai dengan rasa tidak nyaman pada dada dan tangan yang tidak
dapat digambarkan sebagai nyeri tapi dihubungkan dengan aktivitas fisik atau stress dan
membaik dalam waktu 5-10 menit dengan istirahat dan/ atau nitrogliserin sublingual.
Unstable angina dapat dikatakan sebagai angina pectoris atau equivalent ischemic discomfort
jika terdapat satu dari ketiga kriteria :
1. Terjadi saat istirahat ( atau dengan aktivitas ringan), biasanya berakhir >10 menit
2. Severe atau serangan baru (terjadi 4-6 minggu) dan/ atau
3. Terjadi dengan crescendo angina
Diagnosis NSTEMI dapat ditentukan dengan gejala klinis dari Unstable Angina dengan
bukti adanya nekrosis otot jantung, yang ditandai dengan meningkatnya biomarker jantung.(3)

B. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan
tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis,
adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel).
Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP).
Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat
menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.(4)

C. MANIFESTASI KLINIS
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan
berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian
nitrogliserin.
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat.
Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa jantung.
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil
dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau
normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah
kembali normal.
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya
juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang
disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4),
penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan
pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara
friction rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI.

Faktor Risiko :

1. Tidak dapat diubah


 Umur seiring dengan bertambahnya umur, maka resiko penyakit jantung akan
meningkat, sama seperti penyakit-penyakit lainnya. Hal ini terkait dengan
kemungkinan terjadinya atherosclerosis yangmakin besar, terkait dengan deposit
lemak serta elastisistas pembuluh darah yang makin menurun seiring dengan
bertambahnya umur.
 Jenis kelamin  lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita.
Diduga karena pengaruh estrogen. Namun, setelah wanita menopause, insidensi
terjadinya hampir sama
 Genetik  terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas arteria
brakhialis, pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan tunika media.
2. Dapat diubah
 Merokok  zat-zat yang terkandung di dalam rokok serta asap rokok itu sendiri
merupakan zat radikal bebas yang bersifat oksidatif dan dapat merusak pembuluh
darah. Hal ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya penurunan elastisitas
maupun kesehatan dari jantung, yang bisa juga menjadi premature tidak lagi
mengacu pada umur.
 Hipertensi  dengan kondisi hipertensi, diketahui bahwa beban usaha serta
kontraksi jantung telah meningkat untuk mengompensasi kondisi di perifer yang
kemungkinan telah mengalami atherosclerosis. Dan tidaklah tidak mungkin bahwa
plak yang ada di perifer tersebut akan mengalami ruptur dan menyumbat
pembuluh darah koroner.
 Diabetes mellitus  individu dengan penyakit ini rentan menderita
atherosclerosis karena akan mengalami berbagai proses yang tidak lazim did alam
tubuhnya, terutama di tingkat seluler, yang nantinya akan mempengaruhi
pembuluh darah dan reaksi-reaksi yang terjadi di dalamnya
 Dislipidemia  terkait dengan kadar lemak dan kolesterol yang tidak terkontrol,
yang kemungkinan akan menempel di pembuluh darah
 Dan lain-lain.

D. DIAGNOSIS

Diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu
 Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa.
 Perubahan elektrokardiografi (EKG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark
akut, EKG pasien dengan trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi
elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST
digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI.
 Peningkatan petanda biokimia.
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran
limfatik .Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein
dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain
aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme
MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC)
dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). Peningkatan kadar serum protein-
protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.

EKG
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan
elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa
berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-
normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis
Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di
sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20
menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi
gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI.

E. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada pasien sindrom koroner akut adalah untuk mengontrol
simtom dan mencegah progresifitas dari NSTEMI, atau setidaknya mengurangi tingkat
kerusakan miokard. Terapi serta pencegahan untuk NSTEMI dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Terapi untuk mengurangi area infark pada miokard
Terapi ini bertujuan untuk mencegah meluasnya area infark pada miokard.
Terapi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan pemberian :
 Aspirin
Aspirin berfungsi sebagai penghambat aktivitas cyclooxygenase (COX) pada
platelets. Akibatnya platelet tidak dapat menghasilkan thromboxane A2 sehingga
menghambat agregasi platelet. Selain itu aspirin juga berpengaruh pada proses
perjalanan penyakit unstable angina. Dosis yang diberikan kepada pasien sekitar
75 – 300 mg/hari. Aspirin memiliki efek samping berupa gangguan pada
gastrointestinal.
 Clopidogrel
Clopidogrel merupakan thienooyridine yang menghambat adenosine
diphospate – mediated platelet activation. Obat anti platelet jenis ini bersinergi
dengan aspirin karena sama – sama bekerja pada jalur asam arakhidonat.
Clopidogrel kurang efektif dalam mencegah perdarahan, sehingga kurang tepat
diberikan pada pasien pasca operasi seperti CABG.

 Glikoprotein Iib/Iiia (Gp Iib/Iiia)


GP IIB/IIIA merupakan reseptor yang bekerja mengaktivasi membrane
platelet. GP IIB/IIIA juga menghambat agregasi platelet terutama setelah
dilakukan PCI.
 Heparin
Prinsip penghambatan oleh heparin terjadi pada tahap koagulasi. Dimana pada
saat itu terjadi penghambatan thrombin yang mengaktivasi factor V dan VIII.
 Terapi Lainnya
Terapi lain yang dapat diberikan adalah menggunakan ani trombolitik. Selain
itu direkomendasikan juga pemberian antikoagulan warfarin untuk terapi jangka
panjang.

2. Terapi untuk tanda dan gejala iskemik yang muncul


Gejala iskemik yang muncul pada kasus NSTEMI sering berupa unstable
angina. Untuk mengurangi angina dapat diberikan beberapa obat berikut :
 Nitrogliserin
 Beta blocker
 Calsium Channel Blocker
Selain kedua terapi diatas dapat juga diberikan terapi berupa Coronary Artery
Bypass Grafting (CABG) atau Percutaneus Coronary Intervention (PCI).

F. KOMPLIKASI
Keadaan NSTEMI dapat berkembang menjadi keadaan STEMI, sehingga menimbulkan
komplikasi seperti :

 Aritmia
 Gagal jantung
 Komplikasi mekanik
 Shock kardiogenik
2. Diabetes Melitus
A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan
singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik
dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin. (Sudoyo et.al 2006)
B. Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 2.

American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in


Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan
dalam :
1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya
destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.
2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi
insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.
3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain
seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada aktivitas
insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau
bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi
organ).
4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama
masa kehamilan.
A. Patofisiologi
1. Diabetes melitus tipe 1
Pada DM tipe I terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien
membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi pada sel beta
pankreas karena mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi
virus. DM tipe I terjadi lebih sering pada pembawa antigen HLA tertentu (HLA-DR3
dan HLA-DR4), hal ini terdapat disposisi genetik. Diabetes mellitus tipe 1, diabetes
anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-
dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya
rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat defek sel beta penghasil insulin pada pulau-
pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang
dewasa, namun lebih sering didapat pada anak – anak.
2. Diabetes Melitus tipe 2
DM tipe II merupakan diabetes yang paling sering terjadi. Pada tipe ini,
disposisi genetik juga berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin relatif;
pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat
normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang
berkurang terhadap insulin. Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat badan
berlebih. Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan
konsentrasi asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan
penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi insulin
yang memaksa untuk meningkatan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun pada
reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Sering kali, pelepasan insulin selalu
tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang menigkatkan
terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor, kelaian genetik pada
protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi penggunaan substrat.
Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat terjadi pada usia muda.
Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek insulin pada metabolisme
glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapat
dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan
hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.
Gangguan Sekresi insulin
Pada awal perjalanan penyakit diabetes tipe 2, sekresi insulin tampak normal
dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun polasekresi insulin berdenyut dan
osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin 9 yang cepat yang dipicu oleh glukosa
menurun. Secara kolektif, hal ini adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan
pada awal diabetes tipe 2 dan bukan defisiensi insulin. Namun, pada perjalanan
penyakit selanjutnya, terjadi defisiensi insulin absolute yang ringan sampai sedang,
yang lebih ringan dibandingkan dengan diabetes tipe 1. Penelitian terakhir
menunjukkan adanya suatu protein mitokondria yang memisahkan respirasi biokimia
dari fosforilasi oksidatif. Protein ini yang disebut uncoupling protein 2 (UPC2),
diekspresikan pada sel beta. Kadar UPC2 intrasel yang tinggi menumpulkan respon
insulin, sedangkan kadar yang rendah memperkuatnya.
Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM tipe 2 dilaporkan berkaitan
dengan pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien DM tipe 2 ditemukan endapan
amiloid pada autopsy. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara
normal dihasilkan oleh sel beta pancreas dan disekresikan bersama dengan insulin
sebagai respon terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh
resistensi insulin pada fase awal DM tipe2 menyebabkan peningkatan produksi
amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi
sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal
glukosa. Amiloid bersifat toksik bagi sel beta yang ditemukan pada DM tipe 2 tahap
lanjut.
Pengertian Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan respons
metabolic terhadap kerja insulin, akibatnya untuk kadar glukosa plasma tertentu
dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak daripada normal untuk mempertahankan
keadaan normoglikemi (euglikemi). Resistensi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan pre reseptor, rseptor, dan post reseptor.Gangguan pre reseptor dapat
disebabkan oleh antibody insulin dan gangguan pada insulin. Gangguan reseptor
dapat disebabkan oleh jumlah reseptor yang berkurang atau kepekaan reseptor
menurun. Sedangkan gangguan pada post reseptor disebakan oleh gangguan pada
froses fosforilasi dan pada signal transduksi di dalam sel otot.
Sensitivitas insulin adalah kemampuan insulin menurunkan konsentrasi
glukosa darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan
lemak, dan menekan produksi glukosa oleh hati. Resistensi insulin dalah keadaan
sensitivitas insulin berkurang. Resistensi insulin merupakan sindrom heterogen,
dengan factor genetic dan lingkungan berperan pada perkembangannya.Resistensi
insulin berkaitan dengan kegemukan, sindrom ini juga dapat terjadi pada orang yang
tidak gemuk. Factor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung
lemak, dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan
resisitensi insulin. Pembesaran depot lemak visceral yang aktif secara lipolitik akan
meningkatkan keluaran asam lemak bebas portal dan menurunkan pengikatan dan
ekstraksi insulin di hati, sehingga menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia sistemik.
Peningkatan asam lemak bebas portal akan meningkatkan produksi glukosa di hati
melalui peningkatan glukoneogenesis, menyebabkan terjadinya hiperglikemia.
Skema Patogenesis DM tipe 2

Predisposisi Genetik Lingkungan

Defek genetic multiple kegemukan

Defek sel beta primer Resistensi insulin jar. Perifer

Gangguan sekresi insulin Kurangnya pemanfaatan


glukosa

Hiperglikemia
Kelelahan sel beta

DM tipe 2

3. Diabetes tipe lain


Defisiensi insulin relative juga dapat disebabkan oleh kelainan yang sangat
jarang pada biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel. Bahkan tanpa
ada disposisi genetic, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit lain, seperti
pankreatitis dengan kerusakan sel beta atau karena kerusakan toksik di sel beta.
Diabetes mellitus ditingkatkan oleh peningkatan pelepasan hormone antagonis,
diantaranya, somatotropin (pada akromegali), glukokortikoid (pada penyakit Cushing
atau stress), epinefrin (pada stress), progestogen dan kariomamotropin (pada
kehamilan), ACTH, hormone tiroid dan glukagon. Infeksi yang berat meningkatkan
pelepasan beberapa hormone yang telah disebutkan di atas sehingga meningkatkan
pelepasan beberapa hormone yang telah disebutkan diatas sehingga meningkatkan
manifestasi diabetes mellitus. Somatostatinoma dapat menyebabkan diabetes karena
somatostatin yang diekskresikan akan menghambat pelepasan insulin.

B. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole
blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena
membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria
normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
Tabel 3. Kriteria diagnosis DM

Keterangan:
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan


penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan
gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes
melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil
pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo et.al
2006).
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes
melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu
(GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT
juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes
melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes
melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI,2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan testoleransi
glukosa oral (TTGO) standar (Sudoyo et al., 2006).
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan
diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.
Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk
menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah
puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes
melitus, TGT, dan GDPT.
C. Penatalaksanaan
1. Tujuan penatalaksanaan
a. Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
b. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik
dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku. (PERKENI, 2011).
2. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
Evaluasi medis meliputi:
Riwayat Penyakit
a. Gejala yang timbul,
b. Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan
hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM
c. Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
d. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
e. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi
gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara
mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
f. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan
makan dan program latihan jasmani
g. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan
hipoglikemia)
h. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis
serta kaki.
i. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata,
saluran pencernaan, dll.)
j. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
k. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas,
dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)
l. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
m. Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
n. Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.
Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle
brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah
arteri tepi
c. Pemeriksaan funduskopi
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
e. Pemeriksaan jantung
f. Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
g. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
h. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
Evaluasi Laboratoris / penunjang lain
a. Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
b. A1C
c. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
d. Kreatinin serum
e. Albuminuria
f. Keton, sedimen, dan protein dalam urin
g. Elektrokardiogram
h. Foto sinar-x dada
3. Evaluasi medis secara berkala
a. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan,
atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan
b. Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
c. Secara berkala dilakukan pemeriksaan: Jasmani lengkap, mikroalbuminuria,
kreatinin, albumin / globulin dan ALT, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol
HDL, dan trigliserida, EKG, foto sinar-X dada, funduskopi
4. Pilar penatalaksanaan DM
Adapun pilar penatalaksanaan DM antara lain : Edukasi, Terapi gizi medis,
Latihan jasmani, Intervensi farmakologis.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara
tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. (PERKENI, 2011)
a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.
b. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta
pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM
sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
i. Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
ii. Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
iii. Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.
iv. Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
v. Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
vi. Pemanis alternatif
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Diantaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:
i. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
ii. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
iii. Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
iv. BB Normal : BB ideal ± 10 %
v. Kurus : < BBI - 10 %
vi. Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/
TB(m2)

Klasifikasi IMT*
- BB Kurang < 18,5
- BB Normal 18,5-22,9
- BB Lebih ≥ 23,0
Keterangan:
- Dengan risiko 23,0-24,9
- Obes I 25,0-29,9
- ObesII > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan
kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60
dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-
1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%),
serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan
kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. (PERKENI,
2011)

c. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit, sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval,
Progressive training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut
nadi maksimal (220/umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit
penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30
menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit dan olahraga berat
misalnya joging (Suyono et al., 2006).
d. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
i. Pemicu Sekresi Insulin
- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.
- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
ii. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
- Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti
di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa diperifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
- Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan
glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontra indikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus
diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
iii. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
iv. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.
GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat
GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi
metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun
pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan
GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat
yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau
memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin
serta menghambat penglepasan glukagon.
v. SGLP-2 Inhibitor (Sodium Glukose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLP-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kerja transporter glukosa SGLT-2. Obat
yang termasuk golongan ini: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari
Badan POM RI.
2. Suntikan
i. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
a. HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
b. Penurunan berat badan yang cepat
c. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
f. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
g. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi lima jenis, yakni: Insulin
kerja cepat (rapid acting insulin), Insulin kerja pendek (short acting
insulin), Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), Insulin
kerja panjang (long acting insulin), Insulin kerja ultra panjang (Ultra long
acting insulin). Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia, efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap
insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
ii. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai
perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia
ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan
dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki
cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. (PERKENI,2011)
iii. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani,
bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi
OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun
fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam
obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila
sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO
dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga
OHO dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang
banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam
hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya
dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila
dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
(PERKENI,2011)
iv. Algoritma pengelolaan DM tipe 2

D. Komplikasi
1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut
dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada
diabetes adalah: Ketoasidosis Diabetik (DKA), Hiperglikemia Hiperosmolar Koma
Nonketotik (HHNK), Hipoglikemia (Price et al., 2005).
2. Komplikasi Kronik
a. Mikrovaskular
- Retinopati, katarak : penurunan penglihatan
- Nefropati : gagal ginjal
- Neuropati perifer : hilang rasa, malas bergerak
- Neuropati autonomik : hipertensi, gastroparesis
- Kelainan pada kaki :ulserasi, atropati
b. Makrovaskular
- Sirkulasi koroner : iskemi miokardial/infark miokard
- Sirkulasi serebral : transient ischaemic attack, stroke
- Sirkulasi : claudication, iskemik
3. Hipertensi
a. Definisi
Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam
walaupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan
hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan
atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang
menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi.
b. Klasifikasi

Klasifikasi Sistolik Diastolik


Optimal < 120 dan < 80
Normal 120 – 129 dan/ atau 80 – 84
Normal tinggi 130 – 139 dan/ atau 84 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 dan/ atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 160 – 179 dan/ atau 100 - 109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 dan/ atau ≥ 110
Hipertensi ≥ 140 dan < 90
sistolik terisolasi
A Statement by the American Society of Hypertension and the International
Society of Hypertension2013

c. Penentuan Risiko Kardiovascular


 Menggunakan perhitungan estimasi risiko kardiovaskular yang
formal (ESC 2013), untuk mengetahui prognosis .
 Selalu mencari faktor risiko metabolic ( diabetes, ganguan tiroid dan
lainnya) pada pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa
penyakit jantung dan pembuluh darah

Faktor risiko, Tekanan darah (mmHg)


kerusakan Normal Hipertensi Hipertensi Hipertensi
target oran tinggi derajat I derajat II derajat III
yang (TDS 130 (TDS 130 – (TDS 130 – (TDS 130
asimomatik –
atau penyakit
– 139 139 139 139
Risiko Risiko Risiko tinggi
atau TDD atau TDD 85 atau TDD 85 atau TDD
Tanpa FR lain rendah sedang
85
Risiko Risiko Risiko Risiko
tinggi rendah
85 – 89) – 89) sedang – 89) sedang –– 89)
1 – 2 FR tinggi
Risiko Risiko Risiko tinggi Risiko
ringgi rendah – sedang –

sedang
Risiko tinggi
Risiko tinggi Risiko tinggi Risiko
≥ 3 FR tinggi sedang – –
sangat tinggi
tinggi
Risiko Risiko Risiko Risiko

sangat sangat tinggi sangat tinggi sangat


OD, CKD std 3 tinggi tinggi
atau DM

CVD
simtomatik,
CKD ≥ std 4
atau
d. Diagnosis
DM dengan
OD/ FR Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan
pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi
atau tatalaksana yang akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi
dariCanadian Hypertension Education Program. The Canadian
Recommendation for The Management of Hypertension2014
HBPM : Home Blood Pressure Monitoring

ABPM : Ambulatory Blood Pressure Monitoring

e. Tatalaksana
Non farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan


tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan
dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien
yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular
lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap
awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah
jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah
yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang
lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah
:
Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan
manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari
diabetes dan dislipidemia.
Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan
lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah.
Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada
makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya.
Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk
mengurangi dosis obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat
≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari
Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 –
60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong
penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu
untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan
untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam
aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.

Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum


menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol
semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan
pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih
dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat
meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau
menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan
tekanan darah.
Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti
berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi
merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti
merokok.
Terapi farmakologi

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada


pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan
darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien
dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi
yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi
efek samping, yaitu :

Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal


Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat
mengurangi biaya
Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun )
seperti pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor
komorbid
Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai


guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah
algoritme tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A
Statement by the American Society of Hypertension and the International
Society of Hypertension2013
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil autoanamnesis didapatkan seorang laki-laki datang dengan keluhan berupa
nyeri hebat pada bagian tengah dada. Nyeri dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang makan
sate. Rasa nyeri dirasakan seperti tertindih beban berat, menjalar hingga punggung belakang
dan lengan kiri, keluhan berlangsung ± 1 jam, pasien mengaku keluhan memberat saat pasien
melakukan perubahan posisi dan keluhan berkurang dengan istirahat. Keluhan disertai
dengan leher terasa cengeng, keringat dingin, dan sesak napas. Riwayat DM dan hipertensi
sejak 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah. Kesadaran
compos mentis. Vital sign, TD : 170/100 mmHg, Nadi : 138x/menit, Respirasi : 21 x/menit,
Suhu : 36.5oC, Konjungtiva anemis (-/-). Bentuk dada normal dan simetris antara dada kanan
dan kiri, ictus cordis tidak tampak dan tidak kuat angkat, BJ I-II reguler. Pernapasan dalam
batas normal, dinding perut sejajar dengan dinding dada, peristaltik (+), nyeri tekan perut (-),
timpani (+), akral hangat (+), oedema tungkai (-).

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan gula darah dan leukositosis.


Pada hasil EKG menunjukkan depresi ST anterolateral sinus takikardi normoaksis.

Diagnosis : NSTEMI

DM tipe 2

Hipertensi

Tatalaksana :

Inf RL 20 tpm
Inj. Pantoprazole/24jm
Inj. Ketorolac/8jm
Inj. Arixtra/24jm
ISDN 3x5mg
Aspilet 3x80mg
CPG 1x75mg
Amlodipin 1x10mg
Humalog kwik pen 20-20-20
Lantus 0-0-0-12
DAFTAR PUSTAKA

Rosendorff C, Balck HR, Cannon CP, Cannon BJ, Gersh BJ, Gore J et al.
Treatment of Hypertension in the Prevention and Management of
Ischemic Heart Disease : A Scientific Statement from the American
Heart Association Council for High Blood Pressure Research and the
Council on Clinical Cardiology and Epidemiology and Prevention.
Circulation. 2007

The Task Force for the management of arterial hypertension of the European
Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of
Cardiology (ESC). 2013 ESH/ESC Guidelines for the management of
arterial hypertension. Jour of Hypertension 2013,

Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG, et al.
Clinical Practice Guidelines for the Maganement of Hypertension in the
Community. A Statement by the American Society of Hypertension and
the International Society of Hypertension. ASH paper. The Journal of
Clinical Hypertension, 2013.

Canadian Hypertension Education Program. The Canadian


Recommendation for The Management of Hypertension 2014

. International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edit~on,


InternationalDiabetes Federation {!OF}. 2013.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan


Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta. 2011.

Executive summary: Standards of medical care in diabetes--2013, Diabetes Care.


2013, 36 Suppl 1, S4-10.

Soewondo, P. Current Practice in the Management of Type 2 Diabetes in Indonesia:


Results from the International Diabetes Management Practices Study (IDMPS),J
Indonesia Med Assoc. 2011, 61.

American Diabetes Association, Standards of medical care in diabetes 2014, Diabetes


Care. 2014, 37 (Suppl 1), S14-80.

ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in


patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal 2012

ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients


presenting without persistent ST-segment elevation. Eur Heart Journal 2011

Anda mungkin juga menyukai