Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI DENGAN TEKNIK INTUBASI ENDOTRACHEAL


TUBE PADA KASUS TIREDEKTOMI PASIEN SNNT (Struma Nodusa Non
Toxic)

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An

Diajukan Oleh:
Aldyan Muharram Atmadja
J510181044

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
GENERAL ANESTESI DENGAN TEKNIK INTUBASI ENDOTRACHEAL
TUBE PADA KASUS TIREDEKTOMI PASIEN SNNT (Struma Nodusa Non
Toxic)

Diajukan Oleh :

Aldyan Muharram Atmadja


J510181044

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pada tanggal 2018.

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. W
No.RM : 00434XXX
Jenis Kelamin : Laki - laki
Masuk Tgl : 22 Mei 2018
Umur : 38 tahun
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Kebakkalang
Diagnosis : SNNT (Stuma Nodusa Non Toxic)
Dokter Anestesi : dr. Damai Suri, Sp.An
Dokter Bedah : dr. Bakri Sp.B

II. Anamnesa :
a. A (Alergy)
Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan dan asma.
b. M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan
c. P (Past Medical History)
Riwayat sakit yang sama dan riwayat operasi (-)
d. L (Last Meal)
Pasien puasa ≥ 6 jam
e. E (Elicit History)
Seorang pasien laki – laki usia 38 tahun, datang dengan keluhan
terdapat benjolan pada leher kanan, benjolan tidak terasa nyeri. Sering
tersedak jika makan, nyeri (+) saat makan.

3
III. Keluhan Utama :
Benjolan pada leher
IV. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang pasien laki – laki usia 38 tahun, datang dengan keluhan terdapat
benjolan pada leher kanan, benjolan tidak terasa nyeri. Sering tersedak jika
makan, nyeri (+) saat makan. Mual (-), muntah (-), pusing (-), BAB dan BAK
lancar
V. Anamnesis Sistemik
Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Abdomen : Diare (-), kembung (-), konstipasi (-)
Urologi : BAK (+) dan BAB(-), panas (-)
Muskolo : Nyeri (-)
VI. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Mondok : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat trauma : disangkal
VII. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Diabetes : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

4
VIII. Riwayat Operasi dan Anastesi
Disangkal
IX. PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Fisik
1) Status Generalis
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Vital Sign :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi Nafas : 18 x/ menit
- Frekuensi Nadi : 89 x/ menit
- Suhu : 36,8 o C
d. Kepala : Normocephal (+), sklera ikterik (-),
konjungtiva anemis (-/-), dispneu (-), napas cuping hidung (-),
e. Leher : Retraksi supra sternal (-), peningkatan JVP
(-), pembesaran kelenjar limfe (+)
f. Thorak
a. Paru
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, masa (-),
jejas (-), retraksi otot dada (-)
- Palpasi : fremitus dinding dada simetris kanan = kiri
- Perkusi : sonor
- Auskultasi: Suara dasar vesikuler, Wheezing (-/-),
Rhonki (-/-)
b. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
- Perkusi : redup
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler,
Murmur (-), Gallop (-)
g. Ekstremitas : hangat, oedem (-), nyeri (-)

5
2) Status lokalis THT :
- Telinga Luar : normotin (+/+),NT mastoid (-/-), discharge (-/-)
- Telinga Dalam : MT intak (+/+), discharge (-/-), serumen (-/-),
granulasi(-/-)
- Hidung Luar : Bengkak(-), nyeri tekan (-)
- Hidung Dalam : Konka Hipertrofi (-/-), mukosa hiperemis (-/-),
sekret (-/-), SDC(-/-)
- Tenggorokan : Tonsil (T1-T1), kripta (-)
- Leher : Pembesaran KGB(+)
X. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium

Darah Rutin Nilai Nilai normal Satuan


Hb 15,5 14.0 – 17.5 g/dL
Ht 47,9 32 – 44 Vol%
Leukosit 14,23 5,0 – 10,0 10^3/uL
Trombosit 325 150 – 300 mm3
Eritrosit 5,36 4,50 – 5,50 10^6/uL
MCV 89,4 82 – 92 fL
MCH 28,9 27 – 31 Pg
MCHC 32,3 32-37 g/dL
Neutrofil 71,7 50-70,0 %
Limfosit 19,9 25,0– 40,0 %
Monosit 2,7 3,0 – 9,0 %
Eosinofil 5,5 0 ,5–5,0 %
Basofil 0.2 0,0-1,0 %
SGOT - 0-46 mg/dL
SGPT - 0-42 mg/dL
GDS 111 70 – 150 mg/dL
Creatinin 1,25 <1,0 mg/dL

6
Ureum 40 10-50 mg/dL
HbsAg NR NR
CT 05.00 2-8 menit
BT 02.00 1-3 menit

2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Thorax

Kesimpulan :
Cor dalam batas normal
Paru-paru tidak tampak kelainan

XI. DIAGNOSIS
SNNT (Stuma Nodusa Non Toxic)

XII. TERAPI
Pro tiredektomi dengan general anestesi
XIII. KONSUL ANASTESI
Seorang laki - laki usia 38 tahun dengan diagnosis SNNT (Struma Nodusa
Non Toxic) yang akan dilakukan tiredektomi. Hasil laboratorium, foto rontgen
dan Vital sign terlampir.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA : II
Rencana tindakan anastesi : General anastesi ETT Naso

7
XIV. LAPORAN ANASTESI
Nama : Tn. W
Jenis kelamin : Laki - laki
Umur : 38 tahun
No RM : 00434XXX
Diagnosa pra bedah : SNNT (Struma Nodusa Non Toxic)
A. Rencana Anastesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa ≥ 6 jam
2. Jenis Anestesi : General Anestesi
3. Teknik Anestesi : General Anastesi dengan ETT Naso
4. Premedikasi : Granisetron, fentanyl, midazolam, vecuronium
bromide

5. Induksi : Propofol
6. Maintenance : O2, N2 O, Sevofluran
7. Intubasi : Laringoskop
Endotracheal Tube
8. Respirasi : pernapasan spontan
9. Posisi : Supine
10. Cairan : RL  Tutofusin 500 ml
11. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman Anestesi, cairan, perdarahan
12. Operasi Selesai : 12.15 WIB
13. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar/ruang pindah
XV. TATA LAKSANA ANESTESI

1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital

8
c. Lama puasa 8 jam
d. Cek obat dan alat anestesi
e. Posisi terlentang
f. Infus RL 30 tpm
2. Di ruang operasi
a. Jam 11.15 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor
dipasang, TD 130/90 mmHg, HR : 84x/m, Saturasi Oksigen : 98% .
O2, N2O, dan agent (sevofluran) sudah disiapkan. Menyiapkan ,
endotracheal tube nomer 26, stetoskop, dan suction. Obat
premedikasi dimasukan melalui IV line.
- Fentanyl Inj. 50 µg/ml (2ml)
- Granisetron inj. 1 mg/ml (4ml)
- Midazolam 5mg/ml (5ml)
- Vecuronium bromide
b. Jam 11.25 dilakukan induksi dengan Propofol 100 mg, segera
kepala diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan
O2 6 l/menit. Kemudian dilakukan tindakan pemasangan
endotracheal tube No. 26 dengan bantuan laringoskop kemudian
fiksasi dengan mengisi udara pada cuff sesuai kebutuhan. Selang
sirkuit kita hubungkan dengan ETT kemudian kita pompa below.
Setelah terpasang baik dihubungkan dengan mesin anestesi
untuk mengalirkan N2O dan O2. N2O mulai diberikan 3L dengan
O2 3L/menit untuk memperdalamkan anestesi, bersamaan
dengan ini sevoflurane dibuka sampai 2% dan sedikit demi
sedikit ( sesudah setiap 5-10 kali tarik nafas) diturunkan dengan
1,5% sampai 1 % tergantung reaksi dan besar tubuh
penderita. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata
(reflek bulu mata), nadi tidak cepat dan posisi tubuh terhadap
rangsang operasi tidak banyak berubah.
c. Jam 11.30 operasi dimulai dan tanda vital serta saturasi oksigen
dimonitor tiap 5 menit.

9
d. Jam 11.45 infus RL diganti Tuthofusion 30tpm
e. Jam 12.00 operasi selesai penderita dipindah ke ruang recovery.
f. Setelah operasi selesai agent, N2O, dan O2 kita tutup (matikan).
Pemberian oksigen recovery. Apabila sudah selesai NTT kita
lepas dengan cara menyedot kunci yang berisi udara dan plester
kita lepas. Sebelumnya saliva kita suction sampai bersih
kemudian ETT kita angkat.
g. Setelah itu airway masuk dengan memasang sungkup untuk
memberikan O2, kita tunggu sampai pasien dipindahkan dari
meja operasi ke tempat tidur pasien dan ke ruang pemulihan
(recovery room).
Monitoring Selama Anestesi.
Jam Tensi Nadi SaO2 Keterangan

11.15 130/90 84 98% Masuk ruang operasi, infuse RL 300cc, obat


premedikasi dimasukan melalui IV line

11.25 130/90 84 98% Induksi Propofol 100 mg dan pemasangan


NTT

11.30 130/90 88 99% Operasi dimulai

11.35 120/85 90 99% Kondisi pasien stabil

11.40 120/85 90 99% Kondisi pasien stabil

11.45 130/85 92 99% infus RL diganti Tuthofusion 30tpm

11.50 130/80 95 99% Kondisi Pasien stabil

11.55 140/90 100 99% Kondisi Pasien stabil

12.00 140/90 130 99% Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang


recovery

10
Intake Cairan :

a) RL
b) Tothufusin
3. Recovery Room
Pasien sampai Ruang RR pukul 12.05 dalam posisi supine
(terlentang) dengan kepala ekstensi, pasien dalam keadaan sadar,
monitoring tanda vital diberikasn O2 3 liter/ menit lewat mulut. TD 140/80
mmHg, Nadi : 130x/m, RR : 18 x/m. Jam 12.15 pasien sadar penuh dan
dipindah ke bangsal.
4. Intruksi pasca anestesi
 Posisi supine dengan oksigen 3 liter/ menit
 Kontrol vital sign jika TD < 100 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin
 Bila muntah diberikan granisetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik
 Lain – lain
- Post operasi, cek Hb. Bila Hb< 10mg/dl transfusi sampai Hb ≥
10
- Kontrol balance cairan
- Monitor vital sign

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SNNT (Struma Nodusa Non Toxic)
1. Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher
oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar
tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di
bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus.
Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus
dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut
akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan
dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher
yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan
disfagia.
2. Anatomi
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini
memiliki dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-
masing berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-
1,5 cm dan berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting untuk
mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap
sel tubuh. Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin
(T3) dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4
atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul
T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid
TSH (thyroid stimulating hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior
kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan dasar pembentukan hormon T3 dan
T4 yang diperoleh dari makanan dan minuman yang mengandung yodium.4
Gambar anatomi tiroid dapat dilihat di bawah ini.

12
Gambar 2.1. Kelenjar Tiroid Patofisiologi
3. Fisiologi Kelenjar Tiroid
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan
dan metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi
pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan
metabolisme tubuh dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam
ribonukleat (RNA), menambah produksi panas, absorpsi intestinal terhadap
glukosa,merangsang pertumbuhan somatis dan berperan dalam
perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak adanya hormon-hormon ini,
membuat retardasi mental dan kematangan neurologik timbul pada saat lahir
dan bayi.
4. Patogenesis Struma
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut
memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang
berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan
tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar
tumbuh makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium
maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel
menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-
500 gram.

13
5. Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut :
1) Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar
luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara
nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu
atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
2) Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi
menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik.
Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik.
Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter
koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang
sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa
hormon oleh zat kimia.
6. Terapi
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma
antara lain sebagai berikut :
a. Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang
sering dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk
para pasien hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan
yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti
tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien
hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita
hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik
atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini
disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu
dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan

14
fungsi tiroid. Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar
kelenjar tiroid, sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan
sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan
obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup
memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan
laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah
tindakan pembedahan.
b. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi
pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien
yang tidak mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat
mengurangi gondok sekitar 50%. Yodium radioaktif tersebut
berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran
terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko
kanker, leukimia, atau kelainan genetik35 Yodium radioaktif diberikan
dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit,
obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum
pemberian obat tiroksin.
c. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini
diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon
TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin
diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi
hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah
propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.5
B. Anestesi Umum
1. Definisi
Anestesi berasal dari Bahasa Yunani an yang berarti "tidak, tanpa"
dan aesthētos yang berarti "persepsi, kemampuan untuk merasa".

15
Secarea umum, anestesi merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh 2.
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut juga Narkose Umum
(NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum
yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaksasi otot
tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Dengan
anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu:
 Hipnotik (tidur)
 Analgesia (bebas dari nyeri)
 Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
2. Metode anestesi umum
I. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena
maupun intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang
singkat atau untuk induksi anestesia.

II. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi
anestesia maupun tindakan singkat.

III. Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap
(volatile agent) dan diberikan dengan O2..

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum


a) Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika
dalam alveolus adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi
konsentrasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial

16
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat
kenaikan tekanan parsial
b) Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial
lebih besar daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya
adalah:
 Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam
alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat
anestetika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
 Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat
anestetika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah
keduanya dalam keadaan seimbang.
 Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
c) Faktor Jaringan
 Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri
dan jaringan
 Koefisien partisi jaringan/darah
 Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan
(jaringan kaya pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate,
lemak, dan jaringan sedikit pembuluh darah/JSPD)
d) Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan
oleh MAC (Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi
terendah zat anestetika dalam udara alveolus yang mampu
mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa
sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika
tersebut
e) Faktor Lain
 Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman
anestesi

17
 Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat
induksi dan pendalaman anestesia
 Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat (Mangku et al, 2010).
4. Keuntungan anestesi umum :
- Mengurangi kesadaran pasien intraoperative
- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu
yang lama
- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi
- Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi
lokal
- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak
terduga
- Dapat diberikan dengan cepat
- Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang
5. Kekurangan anestesi umum :
- Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien
-Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau
muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan
masa untuk fungsi mental yang normal
- Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak
semua) agen anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan
berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan
hiperkalemia.
6. Indikasi anestesi umum :
- Infant dan anak usia muda
- Dewasa yang memilih anestesi umum
- Pembedahan luas
- Penderita sakit mental
- Pembedahan lama

18
7. Komplikasi Anestesi Umum

a. Komplikasi Kardiovaskular
 Hipotensi : tekanan sistol kurang dari 70 mmHg atau turun 25% dari
sebelumnya.
 Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode
induksi dan pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat
membahayakan khususnya pada penyakit jantung, karena jantung
akan bekerja keras dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat.
 Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi
dapat merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia.
Bradikardia yang terjadi dapat diobati dengan atropin
 Gagal Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV
berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
 Obstruksi jalan nafas
 Apnoe
 Atelektasis
 Pneumotoraks
c. Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat

d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)

e. Perubahan Cairan Tubuh


Hipovolemia, Hipervolemia

f. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi,
kenaikan suhu tubuh.

19
8. PROSEDUR ANESTESI UMUM
1. Persiapan pra anestesi umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif
maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan
anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra
anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan
1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia
lebih singkat 9.
2. Persiapan pasien
a. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau
melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat
mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien.

Yang harus diperhatikan pada anamnesis:

 Identifikasi pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.


 Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita.
 Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan.
 Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang
lalu.
 Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol 3.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui
apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu


tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien

20
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat
untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas
50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik
anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi
tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada
penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik
analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan
komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat,
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah
dapat dihindari.

d. Klasifikasi status fisik


 Skor ASA
ASA (American Society of Anaesthesiologist) adalah klasifikasi
yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi.
Klasifikasi ini berasal dari The American Society of Anesthesiologist
yang terdiri dari 2:

Kelas Status fisik Contoh


I Pasien normal yang sehat Pasien bugar dengan hernia inguinal
II Pasien dengan penyakit sistemik ringan Hipertensi esensial, diabetes ringan
III Pasien dengan penyakit sistemik berat Angina, insufisiensi pulmoner
yang tidak melemahkan sedang sampai berat
(incapacitating)

21
IV Pasien dengan penyakit sistemik yang Penyakit paru stadium lanjut, gagal
melemahkan dan merupakan ancaman jantung
konstan terhadap kehidupan
V Pasien sekarat yang diperkirakan tidak Ruptur aneurisma aorta, emboli paru
bertahan selama 24 jam dengan atau tanpa massif
operasi
E Kasus-ksus emergensi diberi tambahan
hurup “E” ke angka.
Tabel 1. Klasifikasi ASA dari status fisik

 Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif
lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan
tingkat kesulitan intubasi.

Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya

Kelas 2 palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan tonsil dan uvula hanya
terlihat bagian atas

Kelas 3 Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior
faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidah

Kelas 4 Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior faring, uvula, dan
palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah

Tabel 2. Klasifikasi skor mallampati

22
e. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya :

 Meredakan kecemasan dan ketakutan


 Memperlancar induksi anesthesia
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestetik
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis


asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis
reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin
(zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.

Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan


premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg
atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

3. Persiapan peralatan anestesi


Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih

23
berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita memberi anestesi yang lancar dan
aman .

Mesin anestesi

Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran
gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap
oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin
anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai
yang diatur oleh komputer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin yang
memenuhi persyaratan berikut:

1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat


2. Ruang rugi (dead space) minimal
3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien
4. Bertekanan rendah
5. Kelembaban terjaga dengan baik
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:

1. Sumber O2, N2O, dan udara tekan.


Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin anestetik atau
dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2, N2O,
dan udara tekan secara sentral untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar
bedah rawat jalan, ruang obstetrik, dll.
2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2 berkurang,
maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)
3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai
karakteristik mesin anestesi.
4. Meter aliran gas (flowmeter), untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.

24
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers), dapat tersedia satu,
dua, tiga, sampai empat.
6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-37
liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk
menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang
telah disepakati ialah:
Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Putih Biru Putih- Abu- Merah Jingga Ungu Biru kuning
hitam abu
kuning
Tabel 3. Kode warna inhalasi

Sirkuit anestesi

Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat
yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin
ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan
mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya dengan
kapur soda.

Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:

1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea


2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve,
pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
4. Bahan karet hitam (karbon) atau plastik transparent anti statik, anti
tertekuk
5. Kantong cadang (reservoir bag)
6. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).

25
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang
mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O.
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle
system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.
Sungkup muka

Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas


anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup
trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang diekshalasi dan
mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam dapat digunakan untuk
mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.

Gambar 2. Face mask atau sungkup wajah (kiri) dan Jackson-Rees Sirkuit

Endotracheal tube (ETT)

ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke


trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan
kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara
tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung
dan kurvatura.

26
Gambar 3. ETT berbagai ukuran dan Laringoskop

Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)

LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat


pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada
pasien dengan jalan nafas sulit dan membantu ventilasi saat bronkoskopi.

Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan


insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi
faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau komplians
paru rensah seperti penyakit jalan nafas restriktif.

Gambar 4. LMA dan cara pemasangannya

f. Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.

27
Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan
obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat
diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi,
sebaiknya diingat kata STATICS ².

S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop


pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T : Tubes  Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer  Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction  Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
Tabel 4. Persiapan induksi anastesi

b. Obat Anestesi umum


Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan
10
intravena
1. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah
satu anestetik gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk
kombinasi dengan anestetik lainnya.

28
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat
tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai obat penenang pada penderita
gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk waktu yang lama, Yang
termasuk :

 Barbiturat (tiopental, metoheksital)


 Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
 Opioid analgesik dan neuroleptik
 Obat-obat lain (profopol, etomidat)
 Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif
anestetik.
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi,
intramuskular, atau rectal.
1.1 Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan
terkendali.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan
nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat
dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara
intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi
dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya
dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin

29
tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >
160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata
terbuka.

2.1 Induksi intramuscular


Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

3.1 Induksi inhalasi


Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
 tidak berbau menyengat / merangsang
 baunya enak
 cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.

Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau


sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan
O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran
N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai
konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan
diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk,
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%.
.
4.1 Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata.
Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

30
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis SNNT (Stuma Nodusa Non Toxic) didapatkan dari anamnesis,


catatan rekam medic pasien dan hasil pemeriksaan penunjang untuk mengetahui
keadaan umum pasien dan memastikan apakah operasi dapat dilakukan.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II (pasien dengan
kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologus, angka mortalitas 16%). Teknik general anestesi dilakukan atas
pertimbangan lama waktu operasi.
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Teknik anestesi umum meliputi sungkup muka, nafas
spontan, intubasi endotrakea dengan nafas spontan, dan intubasi dengan nafas
kendali.

Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan


tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi. Anestesi
intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anesetesi.
Tambahan anestesi regional atau untuk membentu prosedur diagnostik misalnya
thiopental, ketamin, dan propofol. Untuk anestesi intravena total biasanya
menggunakan propofol. Pada kasus ini, digunakan Recofol/propofol sebagai
induksi anestesi.
Pada kasus ini sebelum diberikan obat induksi anestesi, pasien terlebih
dahulu di berikan obat premedikasi yang bertujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan, dan pulih dari anestesi. Obat premedikasi pada pasien ini menggunakan
antara lain :
 Fentanyl 1 – 3 µg/kgBB
 Golongan opioid kuat yang digunakan untuk mengurangi / menghilangkan
nyeri.
 memiliki efek depresi terutama pada sistem susunan saraf pusat, respirasi
dan gastrointestinal.

31
 Metabolisme di hati dan diekskresi melalui empedu dan urin.
 Efek analgetik 100x morfin
 Midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB
 midazolam memiliki onset kerja yang lebih cepat, efek amnesia yang lebih
besar, efek sedasi yang lebih kecil, serta masa pemulihannya lebih cepat
dibandingkan diazepam
 Nyeri injeksi dan thrombosis vena jauh lebih jarang ditemukan
dibandingkan diazepam
 Fungsi mental kembali normal dalam 4 jam.
 Vecuronium Bromide 0,1-0,2 mg/kgBB
 Vecuronium merupaakan homolog pankuronium bromide yang memiliki
lama kerja singkat. Zat anestetik ini tidak mempunyai efek pada pemerian
berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
 Granisetron 10-40 mcg/kg
 Serotonin 5-HT3 merangsang saraf vagus, menyampaikan rangsangan ke
CTZ dan pusat muntah sehingga terjadi mual dan muntah.
 mengatasi mual dan muntah yang hebat dan relatif aman
 Dapat menyebabkan hipotensi, bradikardia, bronkospasme dan sesak
napas, konstipasi.
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tak sadar, sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan.
Induksi anestesi pada pasien dilakukan dengan pemberian Propofol

Propofol adalah obathipnotik intravena diisopropilfenol yang menimbulkan


induksi anenstesi yang cukup dengan aktivitas eksitasi yang maksimal. Dan
menginduksi secara cepat. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Pada
pemberian propofol akan timbul apneu sehingga perlu di atasi dengan
pemasangan sungkup muka untuk membentu pernafasan pasien.
Manajemen jalan napas adalah perlindungan jalan napas pada pasien tanpa

32
refleks perlindungan melalui intubasi endotrakeal, alat bantu jalan napas
supraglotis, dan trakeotomi/koniotomi. Dalam kasus ini yang dijadikan pilihan
adalah intubasi endotrakeal, indikasi penggunaan intubasi trakea adalah menjaga
patensi jalan napas oleh sebab apapun, mempermudah ventilasi positif ddan
oksigenasi dan mencegah aspirasi serta regurgitasi.
Untuk fase rumatan di gunakan O2 3L/min + N2O 3L/min + sevofluran
2%. O2 diberikan untuk mencukupi oksigenase jaringan. N2O bersifat anaestesi
lemah tetapi efek analges iknya kuat, harus diberikan bersamaan dengan O2
minimal 2,5%. Pada anestesi inhalasi biasanya dikombinasikan dengan anestesi
inhalasi lain seperti halotan atau sevofluran.
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu interior
dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma ekspander) secara intravena. pembedahan dengan anastesia memerlukan
puasa sebelum dan sesudah pembedahan

33
BAB IV
KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien didiagnosa SNNT (Stuma Nodusa Non Toxic).
Dilakukan operasi tiredektomi menggunakan anestesi umum (General Anestesi)
dengan intubasi nasotracheal tube ukuran 28 dengan obat-obatan premedikasi dan
anestesi intravena maupun inhalasi yang sesuai. Dalam operasi tonsilectomy ini
menggunakan General Anestesi dikarenakan General Anestesi menghilangkan
rasa sakit seluruh tubuh secara sentral dan juga memblock nervus vagus (saraf
simpatis). Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah midazolam,fentanyl,
granisetron,vecuronium bromide. General Anestesi diinduksi dengan Propofol
yang merupakan obat hipnotik intravena diisopropilfenol yang menimbulkan
induksi anestesi cukup dengan aktivitas eksitasi yang maksimal. Kemudian diberi
rumatan anestesi dengan N2O, O2, dan sevoflurane. Dengan maintenance cairan
menggunakan tothufusin.

34
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. American Thyroid Association. (2013). http://thyroid.org/

2. Bliss, RD., Gauger, PG., Delbridge, LW. (2000). Surgeons approach to


the thyroid gland : surgical anatomy and the importance of technique.
World Journal of Surgery. 24, 8, 891 – 897.

3. Lang, BH. (2010). Minimally invasive thyroid and parathyroid operations


: surgical techniques and pearls. Journal of Advances in Surgery. 44,1.
185 – 198.
4. Latief, SA, Suryadi, KA, Dachlan, R.2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi
edisi ketiga. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

5. Mangku et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi. Indeks :
Jakarta.
6. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.

7. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew
R, et al. Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the
American Society of Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia
Evaluation 2003.

8. Soenarjo, dkk. Penuntun praktis anestesiologi. Bagian anestesiologi dan


terapi intensif fakultas kedokteran UNDIP. 2010

9. Syarif,Amir,et al. 2009.Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Departemen


Farmakologi dan Terapeutik FKUI: Jakarta.

10. Thyroidectomy : post-operative care and common complication.


Nursing Standard. 25,34, 43-52

35

Anda mungkin juga menyukai