Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

REGIONAL ANASTESI PADA TINDAKAN APPENDICTOMY PASIEN


WANITA USIA 38 TAHUN DENGAN APPENDISITIS AKUT DI RSUD
KARANGANYAR

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An

Diajukan Oleh:
Pramudita Widiastuti
J510 1650 56

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017

LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
REGIONAL ANASTESI PADA TINDAKAN APPENDICTOMY PASIEN
WANITA USIA 38 TAHUN DENGAN APPENDISITIS AKUT DI RSUD
KARANGANYAR

Diajukan Oleh :
Pramudita Widiastuti
J510 1650 56

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :


dr. Dona Dewi N (.................................)

BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
No.RM : 37.XX.XX
Jenis Kelamin : Wanita
Masuk Tgl : 14 Maret 2017
Umur : 38 tahun
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Alamat : Tasikmadu
Dokter Anestesi : dr. Damai Suri, Sp.An
Dokter Bedah : dr. Bakri, Sp. B
II. Anamnesa :
a. A (Alergy)
Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan dan asma.
b. M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan
c. P (Past Medical History)
Riwayat DM (-), hipertensi (-), sakit yang sama dan riwayat operasi (-)
d. L (Last Meal)
Pasien puasa 6 jam
e. E (Elicit History)
Seorang pasien wanita usia 38 tahun datang ke RSUD Karanganyar
dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien sudah membawanya ke dokter dekat rumahnya
tetapi tidak berkurang. Pasien tidak disertai dengan adanya demam
sebelumnya.
III. Keluhan Utama : nyeri perut kanan bawah

IV. Riwayat Penyakit Sekarang :


Seorang pasien wanita usia 38 tahun datang ke RSUD Karanganyar
dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Keluhan dirasakan sejak 5 hari
sebelum masuk rumah sakit. pasien sudah berobat ke dokter dekat dengan
rumahnya tetapi tidak kunjung sembuh. Pasien tidak mengeluhkan demam
sebelumnya. BAB dan BAK dalam batas normal.
V. Anamnesis Sistemik
Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Abdomen : Diare (-), kembung (-), konstipasi (-), nyeri perut kanan
bawah (+)
Urologi : BAK (+) dan BAB(-), panas (-)
Muskolo : Nyeri (-)

VI. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat Alergi : disangkal
c. Riwayat Asma : disangkal
d. Riwayat Mondok : disangkal
e. Riwayat Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Diabetes : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal

VII. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
h. Riwayat Hipertensi : disangkal
i. Riwayat Diabetes : disangkal
j. Riwayat penyakit jantung : disangkal

VIII. Riwayat Operasi dan Anastesi


Disangkal

IX. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Fisik
1) Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : - Tekanan darah : 130/70 mmHg
- Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
- Frekuensi Nadi : 86x/ menit
- Suhu : 36,5 o C
Kepala : Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-),
dipsneu ( -), pernapasan cuping hidung (-)
Leher : Retraksi supra sterna (-), peningkatan JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorak
Paru : Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris
Palpasi :fremitus dinding dada simetris,
krepitasi
Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+),
Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : redup
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler,
Murmur (-), Gallop (-)
Ekstremitas : hangat, kering ,merah odem (+), nyeri (+)

Status lokalis :
Regio iliaka dextra
a. Inspeksi : perut distensi (-),darm contour (-),darm steiffung
(-) massa(-), bekas luka operasi (-)

b. Auskultasi : bising usus (+), metalic sound (-).

c. Perkusi : timpani
d. Palpasi : defans muskuler (-), nyeri tekan perut kanan bawah.

X. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium

Darah Rutin Nilai Nilai normal Satuan


Hb 11.1 12.00 16.00 g/dL
Ht 33,5 37 47 Vol%
Leukosit 10,75 5,0 10,0 10^3/uL
Trombosit 365 150 300 mm3
Eritrosit 3,36 4,50 5,50 10^6/uL
MCV 92,2 82 92 fL
MCH 30,6 27 31 Pg
MCHC 33,2 32-37 g/dL
Gran 86,8 50-70,0 %
Limfosit 10,4 25,0 40,0 %
Monosit 1.8 3,0 9,0 %
Eosinofil 0,8 0 ,55,0 %
Basofil 0.2 0,0-1,0 %
GDS 109 70 150 mg/dL
Creatinin 0.92 0,5-0,9 mg/dL
Ureum 26 10-50 mg/dL
HbsAg NR NR

2. Foto Rontgen

1. Expertise foto thorax:


Cor dan pulmo dalam batas normal
Arcus aorta normal
Dinding arcus aorta normal
Struktur dan bentuk tulang normal
Kesan : thorax dalam batas normal

2. Expertise foto manus dextra AP-lateral :


Gambaran garis fraktur digiti v manus dextra garis radiolucent
epifisis os radius sinistra
Kesan:
Fraktur digiti v manus dextra

XI. DIAGNOSIS
Appendisistis akut
XII. TERAPI
Pro apendictomy

XIII. KONSUL ANASTESI


Seorang wanita usia 38 tahun dengan diagnosis apendisitis akut yang akan
dilakukan tindakan operasi apendictomy pada tanggal 15/3/2017 . Hasil
laboratorium, foto rontgen dan Vital sign terlampir.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA : II
Rencana tindakan anastesi : Regional anastesi

XIV. LAPORAN ANASTESI


Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Wanita
Umur : 38 tahun
No RM : 37.xx.xx
Diagnosa pra bedah : apendisitis akut
A. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa 6 jam
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi (Subarachnoid Block)
3. Premedikasi : - ondansetron 3mg iv
-ranitidin 50 mg iv
4. Cairan : KristaloidFimahes 500 ml
5. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman Anestesi, cairan, perdarahan, dan
produksi urin.
6. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar/ruang pindah
7. Transfusi sebelumnya : tidak pernah transfusi darah
B. Tindakan Anestesi
1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital
d. Lama puasa 6 jam
e. Cek obat dan alat anestesi
f. Posisi terlentang
C. Teknik Anestesi
1. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi duduk miring
ke kanan dan membungkuk.
2. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu
L4 atau L4-L5.
3. Mensterilkan tempat tusukan dengan povidon iodine dan alkohol .
4. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal
kearah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
lapisan durameter, dan lapisan subarachnoid. Stilet kemudian
dicabut, sehingga cairan serebrospinal akan keluar. Obat anastetik
(Bupivacaine 20mg/4ml) yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam
ruang subarachnoid.
5. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine (terlentang) dan
pasien ditanya apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit
untuk digerakkan dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah,
nyeri kepala, dan sesak.
6. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas
normal.
B. POST-OPERASI
Setelah operasi selesai di pindahkan ke ruang pemulihan atau
recovery room . Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien
diperbolehkan pindah ruang (keluar dari ruangan operasi) bila Aldrete
score > 8 .

Instruksi Pasca Anestesi


Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine. Setelah
pemulihan pasca anestesi pasien di rawat di bangsal sesuai dengan bagian
operator. Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan Kantil.
Kontrol vital sign jika TD < 100 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin
Bila muntah diberikan ondansetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik. Bila nyeri bertambah, konsultasi ke bagian anestesi.
Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh diberi
makan dan minum secara bertahap.
Infus RL 20 tpm
Lain lain
- Antibiotik
- Analgesik
- Puasa sampai dengan flatus
- Monitor vital sign
C. Aldrete Score
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete
>8(delapan).
Obyek Kriteria Nilai
Aktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
1
3. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
0
Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk 2
2. Sesak atau pernafasan terbatas
1
3. Henti nafas
0
Tekanan darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
2. Berubah 20-50% dari pra bedah
1
3. Berubah > 50% dari pra bedah
0
Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik 2
2. Sadar setelah dipanggil
1
3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang
0
Warna kulit 1. Kemerahan 2
2. Pucat agak suram
1
3. Sianosis
0
Nilai Total

Sedangkan pada pasien , didapatkan skornya 9. Skor 9 didapatkan


dari
1. Dapat menggerakkan kedua ekstremitas (1)
2. Bernapas dalam dan kuat (2)
3. Tekanan darah sama dengan awal +20% (2)
4. Kesadaran sadar penuh (2)
5. warna kulit merah (2)
Dengan skor 9 ini, pasien telah dapat dipindahkan dari ruang
recovery ke ruangan ruang Kanthil yaitu bangsal di RSUD Karanganyar
sebelum dapat pulang ke rumah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada
Appendix vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling
sering pada anak-anak maupun dewasa.
2. Insidensi
Insidensi Appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan
berserat dalam menu sehari-hari. Appendisitis dapat ditemukan pada semua
umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi
tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi
pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30
tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.
3. Etiologi

Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix


sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang
paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan
appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi:
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit.
4. Patofisiologi
Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas
dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari.
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral
dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini
bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi
yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam
setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat
dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri
untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya
peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke
dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat
kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat
eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal
pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burneys. Nyeri jarang timbul
hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.
Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda
karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat
terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal
dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak
dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica
urinaria pada appendisitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri
seperti terjadi retensi urine
5. Manifestasi Klinis
Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat
jarang pada neonatus dan bayi, appendisitis akut kadang-kadang dapat terjadi
dan diagnosis appendisitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri
merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai
nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan
waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri
yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang
terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis,
nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada
periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis
juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal
arau pelvis.
Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala
dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat
menahan kencing dan distensi kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah
onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat
infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala
gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya
mengindikasikan diagnosis selain appendisitis. Meskipun demikian, keluhan
GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada
anak dengan appendisitis.
6. Pemeriksaan Fisik
Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling,sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
1. Rovsings sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ
abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan
iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.
2. Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri
sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan
iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan
retroperitoneal dari phlegmon atau abscess.
3. Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian
gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara
ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu
diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi
Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi.
Skor Alvarado
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak
dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis
berkisar antara 12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah
neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang
diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang
ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85%
dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria
diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter
anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya
cairan atau massa periappendix.
8. Penatalaksanaan
Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis :

1. Puasakan
2. Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk
mengurangi gejala
3. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
4. Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomy
Antibiotika preoperative
1. Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan
terjadinya infeksi post opersi.
2. Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative
dan anaerob
3. Antibiotika preoperative diberikan.
4. Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai.
Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan
Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini
dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia
coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus
viridans, Klebsiella, dan Bacteroides
J. Komplikasi
1. Appendicular infiltrat
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi
dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum,
usus halus atau usus besar.
2. Appendicular abscess
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus, atau usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar.
7. Ileus

Regional Anestesia
A. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
B. Persiapan Regional Anestesi
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk
mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dg
anestesi umum.
C. Anestesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.

Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan

Kontra indikasi absolut:


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif:


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat
isobarik, dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat
jenis 1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat
isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis
1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml).

Teknik analgesia spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan
pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan
dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista


iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di
atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain
1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam
kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya
bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa 6cm.

Komplikasi pasca tindakan


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
Obat Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengontrol nyeri post operasi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestesi
Mengurangi mual muntah pasca operasi
Menciptakan amnesia
Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
a. Ranitidin
Merupakan obat golongan AH2 blocker yang bekerja dengan
menghambat histamine untuk dapat terikat pada reseptor H2
sehingga terjadi penurunan produksi asam lambung dan
peningkatan pH di gaster. Ranitinin terikat pada protein plasma
hanya sebesar 15%. Waktu paruhnya berkisar antara 2-3 jam.
Eliminasi lewat ginjal sebesar 70% tanpa mengalami
perubahan.Onset ranitidin 10-15 menit (i.v) ,durasi 8-12 , dosis
dewasa 50 mg ampul iv.
b. Granisetrone
Merupakan suatu antiemetik selektif serotonin 5-HT3
reseptor yang sangat efektif yang dapat menekan mual dan muntah
karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Granisetron
mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan
basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang
sehingga dapat terjadi konstipasi. Granisetron dieliminasi dengan
cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi
dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati. Dosis yang
biasanya diberikan untuk premedikasi dosis tunggal 3mg dan
maksimal pemberian 9 mg/hari. Dalam suatu penelitian kombinasi
antara Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum
ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat
induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah
muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi trakhea daripada
ondansetron dan dexamethasone.
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis Pre op apendisitis akut didapatkan dari anamnesis dan hasil


pemeriksaan penunjang untuk mengetahui keadaan umum pasien dan memastikan
apakah operasi dapat dilakukan.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II (pasien dengan
kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologus, angka mortalitas 16%). Pada pasien ini dilakukan regional
anestesi. Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi appendiktomi
sehingga pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk
mempermudah operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya
sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan.
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron, inj.
Ranitidine . Ondansetron dan ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV
(post operatif nausea vomiting). Ondansetron digunakan sebagai anti emetik dan
untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan ondansetron dikarenakan obat ini
mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna,
meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan
lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek ini akan
meminimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Ondansetron juga mempunyai efek
analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos
(seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu Ondansetron juga
berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor triggerzone pada sistem
saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.
Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor
H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat
mengurangi risiko pnemonia aspirasi.
Setelah itu, pasien diposisikan miring ke kanan untuk mengekspose area
lumbal yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi tanda pada L5 atau S1,
kemudian tempat tusukan ditentukan. Setelah itu, area tersebut disterilkan dengan
betadin atau alkohol. Anestetik local dengan lidokain 1-2% diberikan pada tempat
tusukan.
Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27 G
dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser disuntikkan
sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum spinal berikut
mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu
keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas
bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain
lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi
kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).
Selain itu diberikan morphine 0,1 mg dengan tujuan untuk memperpanjang waktu
kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun demikian, perlu diwaspadai
efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.
Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk
membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena RL.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor
Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu aktivitas motorik
1 (dua ekstremitas dapat digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan),
kesadaran 2(sadar penuh), sirkulasi 2 (tekanan darah dalam kisaran <20%
sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi Aldrete Score pada pasien
ini adalah 9 sehingga layak untuk pindah ke bangsal.

BAB IV
KESIMPULAN

Seorang Wanita usia 38 tahun dengan apendisitis akut yang dilakukan


operasi apendiktomi pada tanggal 15 Maret 2017. Tindakan anestesi yang
dilakukan adalah anestesi regional dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih
karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi anestesi regional.
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional.
Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi menurut American
Society of Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA II .Di ruang
pemulihan (recovery room) vital sign pasien dalam batas normal dan nilai aldrette
score mencapai 9 sehingga pasien bisa dipindahkan ke bangsal.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Himendra, A. 2004. Teori Anestesiologi:Yayasan Pustaka Wina:Bandung.
Jaideep J Pandit. Intravenous Anaesthetic Drug. 2007. Anaesthesia And Intensive

Care Medicine 9:4. Diunduh dari:

http://www.philippelefevre.com/downloads/basic_sciences_articles/iv-

anaesthetic-agents/intravenous-anaesthetic-agents.pdf
Latief, SA, Suryadi, KA, Dachlan, R.2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi
ketiga. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Mangku G,dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan

pertama. Jakarta : Universitas Udayana Indeks.


Mansjoer A, Triyanti K, Wardhani WI. Et all (editor). 2007. Kapita Selekta

Kedokteran. Cetakan keenam : Media Aesculapius FK UI.


Muhiman, Roesli Thaib, Sunatrio, Dahlan. 1998. ANESTESIOLOGI , Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.
Omoigui, S. 1997. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai