Anda di halaman 1dari 29

1

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS


FAKULTAS KEDOKTERAN 09 JANUARI 2020
UNIVERSITAS PATTIMURA

ANESTESI UMUM (TIVA + INHALASI) PADA PASIEN TETANUS


GENERALISATA ET CAUSA VULNUS APPARTUM PEDIS SINISTRA

Disusun oleh:
Chindyria Yolanda Ihalauw
NIM. 2018-84-086

Pembimbing
dr. Ony. W. Angkejaya, Sp. An
dr. Fahmi Maruapey, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 3

BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................ 5

II.1 Evaluasi Pre Anestesi ...................................................................................... 5

II.2 Persiapan Pre Anestesi .................................................................................... 7

II.3 Pre-Operatif ..................................................................................................... 8

II.4 Teknik Anestesi................................................................................................ 9

II.5 Intra-Operatif ................................................................................................. 10

II.6 Post-Operatif .................................................................................................. 10

BAB III PEMBAHASAN .................................................................................. 11

III.1 Anestesi Umum ............................................................................................ 11

III.2 Tetanus Generalisata …………..................................................................... 16

BAB IV DISKUSI ............................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................


3

BAB I
PENDAHULUAN

Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell


Holmes (1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani: An
berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti
ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu
keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum
dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa
disertai hilangnya kesadaran.1,2

Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara


menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversible. Pada anestesi umum harus memenuhi beberapa hal ini
yaitu hipnotik, analgesi dan relaksasi otot rangka.1,2

Anestesi umum idealnya dapat memberikan induksi yang cepat dan tenang,
kehilangan kesadaran yang dapat diprediksi, kondisi intraoperatif yang stabil, efek
samping minimal, pemulihan refleks proteksi dan fungsi psikomotor yang cepat dan
lancar. Anestesi umum telah mengalami banyak perkembangan dan modifikasi,
begitu pula yang terjadi dengan anestesi intravena sejak diperkenalkan pertama
kalinya dalam praktek klinis yang telah berubah dari hanya sebagai induksi pada
anestesi umum menjadi anestesi intravena seluruhnya (Total Intravenous
Anesthesia) [TIVA]. TIVA adalah teknik anestesi umum di mana induksi dan
pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan kombinasi obat-
obatan anestesi yang diberikan melalui jalur intravena tanpa penggunaan anestesi
inhalasi termasuk N2O untuk mencapai trias anestesi.2,3

Konsep anestesi intravena telah berubah dari hanya sebagai induksi pada
anestesi umum menjadi anestesi intravena total. Di banyak pusat kesehatan di Eropa
dan Amerika Selatan, peran TIVA menjadi lebih populer sebagai general anesthesia
dibandingkan tehnik balance anesthesia klasik maupun anestesi inhalasi.2,3
4

Anestesi intravena (TIVA) merupakan teknik anastesi umum dengan hanya


menggunakan obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA
digunakan untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot.
Kebanyakan obat-obat anastesi intravena hanya mencakup 2 komponen anastesi,
akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias anastesi sehingga ketamin dianggap
juga sebagai agent anastesi yang lengkap.2,3
5

BAB II

LAPORAN KASUS

II.1 Evaluasi Pre-Anestesi


1. Anamnesis (12 November 2019)
a. Identitas Pasien
Nama : Tn.VV
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
No. RM : 15-40-41
Alamat : Dusun Mahia
Gol. Darah :O
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 165 cm
Tanggal MRS : 06 Desember 2019
Tanggal Masuk ICU : -
Tanggal Keluar ICU : -
Agama : Kristen Protestan
Suku/Bangsa : Indonesia
Bangsal/Kamar : Ruang Neurologi

b. Keluhan Utama:
Leher terasa tegang dan kejang.
c. Anamnesis terpimpin:
Pasien datang dengan leher terasa tegang sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit, tegang dileher dirasakan terus menerus dan tidak hilang saat istiraha,
disertai sulit menelan dan kejang. 5 hari sebelumnya pasien melakukan aktivitas
memotong batang pohon dan tanpa sadar batang pohon tersebut mengenai kaki
pasien dan mengakibatkan luka terbuka namun tidak langsung dibersihkan.
6

Keesokan harinya pasien di bawa ke Puskesmas Mahia, setelah sampai kaki


pasien di jahit sebanyak 27 jahitan tanpa pemberian suntikan anti tetanus.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riw. Asma :-
Riw. DM :-
Riw. Hipertensi : -
d. Riwayat Penyakit Keluarga:
Riw. DM :-
Riw. Hipertensi : -
e. Riwayat Operasi & Anestesi :
Tidak Ada
f. Riwayat Alergi :
Tidak ada
g. Riwayat Obat-Obatan:
Tidak ada

2. Pemeriksaan Fisik
a. Status Gizi : Kesan Cukup
b. Keadaan Psikis : Baik.

B1 : A: gurgling ; B: spontan; RR: 23x/m reguler; Inspeksi: pergerakan dada


simetris ki=ka; Auskultasi: suara napas vesikuler ki=ka; SpO2: 100%
(dengan O2 tambahan).

B2 : Akral hangat, kering, merah; TD: 146/82 mmHg; N: 81x/m reguler, kuat
angkat; BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-).

B3 : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+, suhu 37,5 ̊C.

B4 : BAK kateter urine (+) 100cc/6 jam

B5 : Inspeksi: distensi (-), darm contour (-), sikatriks (-), Palpasi: NT(-),
Auskultasi: BU normal.

B6 : Deformitas (-), oedem (-).


7

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (06 Desember 2019):
- Hemoglobin : 14,2 g/dL
- Hematokrit : 41,4%%
- Jumlah trombosit : 256 x 103/mm3
- Jumlah leukosit : 8,99 x 103/mm3
- Kolestrol total : 198 mg/dL
- Trigliserida :50 mg/dL
- Kolesterol HDL : 39 mg/dL
- Kolesterol LD : 90 mg/dL

4. Diagnosis
a. Diagnosis kerja : Tetanus Umum Grade III + Vulnus Appartum pedis sinistra
b. Diagnosis Anestesi (Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA) : PS
ASA III

5. Planning

a. Pro Debridement
b. Stop intake oral 6-8 jam
c. Antibiotik profilaksis
d. Rencana Anestesi: GA

II.2 Persiapan Pre-Anestesi


1. Persiapan Pasien
- Informed consent
- Surat persetujuan operasi
- Pasien dipuasakan sejak pukul 02.00 WIB tanggal 12 Desember 2019 untuk
memastikan bahwa lambung pasien telah kosong sebelum tindakan untuk
8

menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang


akan membahayakan pasien.
- Pengosongan kandung kemih pada pagi hari sebelum operasi.
- Pendataan kembali identitas pasien di kamar operasi. Anamnesa singkat yang
meliputi BB, umur, riwayat penyakit, dll.
- Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.

2. Persiapan Alat Anestesi

3. Persiapan Obat Anestesi umum :

1. Midazolam 2 mg/IV

2. Fentanil 100mg/IV

3. Propofol 100mg/IV

4. Isofluran 2 volume %

Pre-Operatif

a) Diagnosa Pra Bedah : Tetanus umum grade III + Vulnus Appertum Pedis
Sinistra
b) Jenis Pembedahan : Debridement + Nekrotomi
c) Jenis Anestesi : General Anestesi (TIVA+Inhalasi)
d) Lama Anestesi : 13.20 - GA TIVA + inhalasi
e) Lama Operasi : 13.25 WIT – 14.20 WIT.
f) Posisi : Supine
g) Medikasi Pra-Bedah : Ceftriaxon 1 gr/iv (07.00 WIT)
9

II.4 Teknik Anestesi


1) Pasien dalam posisi terlentang. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan
tindakan pembiusan.
2) Pre-medikasi diberikan Midazolam 2 mg/IV, Fentanyl 100 mg IV, kemudian
diinduksi dengan Propofol 100 mg IV,
3) Kemudian dilakukan intubasi dengan menggunakan Endotracheal Tube
ukuran 7, kembangkan cuff (+) dengan volume udara 15 mL, mayo (-),
sambungkan dengan connector.
4) Lakukan fiksasi pada ETT dengan plester.

II.5 Intra Operatif


a) Keseimbangan cairan:

- Cairan masuk :

- PO (RL 500 cc)


- DO (RL 250cc)

- Cairan Keluar:
-PO (0 cc)
-DO (50cc)

Gambar 2.2 Laporan Intraoperatif


10

II.6 Post-Operatif

Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 14.30 WIT.

B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 24x/m, SpO2 100% dengan sungkup Rh (-
), Wh (-).

B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 86 x/m, TD: 144/87 mmHg, S1S2 reguler,
murmur (-), gallop (-).

B3: E4V4M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.

B4: BAK (+) Kateter

B5: BU (+)

B6: edema (-), deformitas (-)

Terapi:

• Awasi TTV tiap 15 menit selama 2 jam

• Ketorolac 30 mg/8 jam/IV

• Lain-lain sesuai terapi dari dokter bedah


11

BAB III

PEMBAHASAN

III.1 Anestesi Umum

III.1.1 Definisi

Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral


disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan. Tujuan dari anestesi umum adalah
analgesia, menghilangkan kecemasan, amnesia, hilangnya kesadaran, penekanan
terhadap respon kardiovaskular, motorik serta hormonal terhadap stimulasi
pembedahan.1,2

III.1.2 Teknik Anestesi Umum

Anestesi umum dibagi menjadi tiga tehnik yaitu tehnik anestesi total
intravena, anestesi total inhalasi, dan anestesi kombinasi antara intravena dan
inhalasi yang sering disebut balance anestesia. Masing-masing dari tehnik tersebut
memiliki kekurangan dan kelebihan. Pemilihan tehnik seringkali ditentukan oleh
karakteristik pasien sehingga tepat penggunaan dan resiko efek samping yang
paling minimal. Saat ini penggunaan tehnik ini sudah umum dan sering
dikerjakan.1,2,5

III.1.2.1 Anestesi Umum Intravena

Obat anestesi intravena diharapkan menginduksi hilangnya kesadaran dengan


cepat dan juga cepat dalam pemulihannya dengan tetap mempertahankan fungsi
saraf pusat seperti sebelum pembiusan. Karena tidak ada obat tunggal yang
sempurna maka pada praktiknya, obat anestesi sering diberikan berupa
kombinasi.1,2,5
12

a. Propofol

Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan. Propofol
pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di pasaran sejak tahun 1977
sebagai obat induksi anestesi, semakin dan semakin luas penggunaannya di seluruh
dunia mulai tahun 1986. Propofol adalah 2,6-diisopropylphenol yang diberikan
secara intravena dalam konsentrasi 1% dalam minyak kedelai 10%.1,2,5

Propofol adalah modulator selektif reseptor γ-aminobutyric acid (GABA).


GABA merupakan neurotransmitter inhibitor utama di saraf pusat. Saat reseptor
GABA diaktifkan, terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga
terjadi hiperpolarisasi membrane sel post-sinap dan inhibisi fungsi neuron post-
sinap. Interaksi antara propofol dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan
disosiasi neurotransmitter inhibisi (GABA) dari reseptornya sehingga
memperpanjang efek GABA. Propofol digunakan sebagai obat induksi, untuk
pemeliharaan maupun sebagai sedasi. 1,2,5

Propofol dalam dosis 1,5-2,5 mg/kgBB diberikan intravena akan menyebabkan


kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik. Proses pemulihannya juga cepat
dibandingkan dengan obat anestesi yang lain. Pasien cepat kembali sadar setelah
pembiusan dengan propofol dan efek residual yang minimal merupakan keuntungan
propofol.1,2,5

Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya disediakan dengan Cremophor
EL, namun karena banyaknya reaksi anafilaktoid yang ditimbulkan, sediaannya
diubah menjadi bentuk emulsi. Namun penyuntikan propofol di vena perifer akan
menyebabkan rasa nyeri sehingga sebelum obat ini disuntikkan dapat diberikan
lidokain 1% intravena.1,2,5

Kejadian mual muntah pasca operasi sangat jarang karena propofol memiliki
efek anti muntah. Efek yang menguntungkan lainnya adalah efek antikonvulsan dan
mengurangi konstriksi bronkus.1,2,5
13

b. Fentanil

Fentanil merupakan salah satu preparat golongan opioid dan termasuk dalam
opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-
0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid
yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan
depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang diberikan selama operasi
dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat
mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid
post operasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis
fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk
memberikan efek analgesi. 1,2,5

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek


depresi nafas lebih pendek meperidin. Efek euphoria dan analgetik diantagonis oleh
antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau
diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu yang biasanya digunakan bersama sebagai
anestesi IV. Dosis tinggi menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang
mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi di striatum. Efek ini di
antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski
juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi.1,2,5

III. 1.2.2 Anestesi Umum Inhalasi

a. Isofluran

Isofluran adalah 1-kloro 2,2,2-trifluoroetil difluorometil eter. Senyawa ini


merupakan cairan yang mudah menguap pada suhu kamar dan tidak mudah terbakar
ataupun eksplosif dalam campuran udara atau oksigen.

Isofluran memiliki koefisien partisi darah: gas yang jauh lebih rendah
dibandingkan halotan atau enfluran. Akibatnya, induksi dengan isofluran dan
14

pemulihan dari isoflurat relative lebih cepat. Perubahan kedalaman anestetik juga
dapat dicapai lebih cepat dengan isofluran daripada dengan halotan atau enfluran.
Lebih dari 99% isofluran yang terhirup diekskresikan dalam bentuk tidak berubah
melalui paru – paru. Sekitar 0,2% isofluran terabsorbsi dimetabolisme oksidatif
oleh sitokrom p450 2E1. Sedikit hasil penguraian isofluran yang dihasilkan tidak
cukup untuk menimbulkan toksisitas pada ginjal, hati, atau organ lain. Isofluran
tidak menunjukkan sifat mutagen, teratogen, atau karsinogen.

Isogluran adalah anastesi inhalasi yang paling umum digunakan di Amerika


Serikat. Induksi anesthesia dapat tercapai dalam waktu kurang dari 10 menit dengan
konsentrasi isofluran yang terhirup adalah 3% dalam oksigen ; konsentrasi ini
berkurang menjadi 1,5% sampai 2,5% untuk mempertahankan anesthesia.
Penggunaan obat lain seperti opioid atau dinitrogen monoksida mengurangi
konsentrasi isofluran yang dibutuhkan untuk anestesi bedah.

Isofluran menghasilakn penurunan tekanan darah arteri yang tergantung


konsentrasi. Tidak seperti halotan, curah jantung terpelihara dengan baik dengan
isofluran, dan hipotensi diakibatkan oleh penurunan resistensi vascular sistemik.
Isofluran menghasilkan vasodilatasi pada kebanyakan jaringan pembuluh darah
dengan efek yang sangat jelas terutama pada kulit dan otot. Isofluran merupakan
suatu vasodilator coroner yang poten., secara bersamaan meningkatkan aliran darah
coroner dan mengurangi pemakaian oksigen miokardial.

Isofluran menghasilkan penekanan ventilasi yang tergantung-konsentrasi.


Pasien yang menghirup isofluran secara spontan memiliki laju respirasi yang
normal namun volume tidal menurun, sehingga terjadi pengurangan ventilasi
alveolar secara nyata dan peningkatan tensi karbon dioksida arteri. Isofluran
terutma efektif mendepresi respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia.
Walaupun isofluran merupakan bronkodilator yang efektif, senyawa ini juga
merupakan iritan saluran nafas dan dapat merangsang reflex – reflex saluran nafas
selama induksi anesthesia, menyebabkan batuk dan laringospasme.
15

Isofluran, seperti halotan, mendilatasi pembuluh darah serebral,


menghasilkan peningkatan tekanan aliran darah serebral dan resiko peningkatan
tekanan intracranial. Isofluran menguragi pengunaan oksigen metabolic serebral.
Isofluran lebih sedikit menyebabkan vasodilatasi serebral dibandingkan enfluran
atau halotan.

Isofluran menghasilkan relaksasi otot rangka melalui efek sentralnya.


Senyawa ini juga meningkatkan efek relaksan otot yang mendepolarisasi maupun
yang tidak mendepolarisasi. Isofluran lebih poten daripada halotan dalam
mempotensiasi senyawa bloker neuromuscular isofluran, seperti anestetik inhalasi
halogen lain, merelaksasi otot polos uterus dan tidak dianjurkan untuk analgesia
atau anesthesia pada persalinan dan pelahiran melalui vagina.

Isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Ini
menghasilkan sedikit volume urin pekat. Perubahan fungsi ginjal yang teramati
selama anesteshia dengan isofluran akan pulih dengan cepat, dan tidak ada efek
lanjutan atau toksisitas jangka panjang pada ginjal yang ada hubungannya dengan
isofluran.
16

III. 2 Tetanus Generalisata

Etiologi

Tetanus disebabkan oleh neurotoksin yang diproduksi oleh bakteri


Clostridium tetani (C. tetani). C.tetani merupakan organisme yang obligat anaerob,
berbentuk spora, dan merupakan basil gram-positif. Spora dapat bertahan di tanah
serta pada kotoran manusia dan binatang. Setelah mendapat akses melalui jaringan
terinfeksi, spora berfloriferasi kedalam bentuk vegetatif, memproduksi toksin
tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin sangat poten, hanya dengan dosis
0,01 mg merupakan dosis letal bagi orang kebanyakan. Spora C. tetani tahan
terhadap kebanyakan desinfektan dan pada air mendidih untuk beberapa menit.
Pada kondisi tekanan oksigen rendah spora akan berkembang dan bakteri vegetatif
berbiak untuk menghasilkan neurotoksin. Spora akan dengan cepat dikeluarkan
oleh fagosit dari jaringan sehat yang kaya oksigen.

Infeksi oleh C. tetani akan tetap secara lokal, tetapi toksin tetanospasmin

akan terdistribusi secara sistemik melalui aliran darah, sampai mencapai ujung saraf

motorik. Tetanospasmin berikatan dengan gangliosides GD1b & GT1b pada

membran saraf terminal motorik pada otot rangka (yang akan mengurangi

pengeluaran acetylcholine). Jika toksin yang dikeluarkan banyak, masuk ke

peredaran darah untuk berikatan dengan saraf terminal di seluruh tubuh. Toksin ini

kemudian masuk dan ditransfer intra axonal. Transport akan terjadi pertama kali

ke saraf motorik baru kemudian ke saraf sensorik dan otonom. Toksin yang berada

pada sel-sel tubuh dapat berdifusi keluar dari sel dan mempengaruhi serta

memasuki saraf-saraf disekitarnya. Bila neuron inhibisi interspinal dipengaruhi,

gejala klinis tetanus akan muncul. Selanjutnya transport intraneural akan menyebar

ke brainstem dan midbrain.


17

Gejala dari tetanus akan menghilang jika tetanospasmin telah berdifusi dari

sel-sel tubuh melalui ruang ekstraseluler, dan hilang dari terminal presinaptik

neoron. Tetanospasmin menyebar kesemua neuron lokal, tetapi secara khusus diikat

interneuron inhibisi, yang merupakan terminal gliserynergik pada medula spinalis,

dan terminal γ-aminobutyric acid (GABA) pada otak. Prinsipnya adalah memblok

jalur inhibisi ini. Stimulus yang datang dan pergi dari CNS tidak akan diteruskan

ke bawah. Inhibisi terhadap neuron motorik α adalah yang pertamakali terjadi dan

motor neuron ini akan kehilangan kontrol inhibisinya. Selanjutnya (karena jalurnya

yang panjang) neuron simpatis preganglionik pada kornu lateralis dan pusat

parasimpatis juga terkena. Neuron motorik yang terkena akan mengalami

penurunan sekresi asetylcholine kedalam celah neoromuskular. Pusat medula dan

hipotalamus juga akan terpengaruh. Mekanisme terjadinya spasme intermiten dan

guncangan otonom belumlah jelas. Efek prejunctional pada neuromuskular

junction bisa jadi menimbulkan kelelahan dintara spasme.

Gejala Klinis

Tetanus umumnya terjadi setelah adanya riwayat luka. Kontaminasi luka

oleh tanah, kotoran atau logam berkarat dapat mencetuskan tetanus. Bisa juga

merupakan komplikasi dari luka bakar, ulkus, ganggrene, gigitan ular, infeksi

telinga tengah, infeksi gigi, aborsi, persalinan, injeksi intramuskular, tindik dan

pembedahan. Tetanus neonatal biasanya terjadi akibat terjadinya kontaminasi pada

saat pemotongan tali pusat dengan menggunakan pisau atau gunting yang tidak

steril. Pengguna obat-obat terlarang juga rentan terkena tetanus. Pada 25% pasien

yang masuk rumah sakit tidak dijumpai adanya sumber infeksi yang pasti.
18

Waktu inkubasi (waktu dari kuman masuk sampai muncul gejala klinis)

rata-rata antara 7-10 hari, bervariasi antara 2 sampai 60 hari. Onsetnya (dari gejala

awal sampai timbulnya spasme pertama) bervariasi juga antara 1-7 hari. Hampir

semua kasus (90%) akan menampakan gejala klinis dalam kurun waktu 15 hari

setelah terinfeksi. Periode inkubasi dan periode onset sangat penting untuk

menentukan prognosis penyakit. Semakin singkat periode ini maka semakin berat

penyakitnya dan smakin jelek prognosisnya. Gangguan otonom umumnya mulai

beberapa hari setelah spasme dan akan menetap dalam kurun waktu 1-2 minggu.

Spasme akan berkurang setelah 2-3 minggu, tetapi kekakuan (stiffness) bisa jadi

akan bertahan lebih lama lagi. Masa pemulihan penyakit terjadi karena tumbuhnya

kembali akson terminal dan rusaknya toksin.

Gejala yang muncul berupa rasa nyeri dan kaku. Kaku menimbulkan

rigiditas, dan menyebabkan kesulitan mebuka mulut (trismus atau ‘lockjaw’).

Kebanyakan (75 %) penderita tetanus generalisata non-neonatus disertai trismus.

Rigiditas menyeluruh dan otot wajah yang menunjukkan suatu ekspresi khas yang

disebut ‘risus sardonicus. Spasme yang khas dengan fleksi dan adduksi dari tangan,

ekstensi kaki dan opistotonus sangat nyeri. Kondisi ini juga memungkinkan

terjadinya fraktur serta ruptur tendon. Spasme dicetuskan oleh rangsangan eksternal

melalui pendengaran (gaduh), visual, atau emosi. Sejalan dengan memburuknya

penyakit, walaupun dengan rangsangan yang minimal, akan menimbulkan spasme

yang lebih lama dan lebih sering. Spasme merupakan keadaan yang darurat ketika

sampai mengenai laring dan atau diafragma yang bisa mengakibatkan gagal napas.
19

Spasme faring sering diikuti oleh spasme laring dan sering disertai oleh aspirasi dan

obstruksi jalan napas.

Pada tetanus generalisata otot-otot seluruh tubuh akan terkena. Otot-otot

kepala dan leher terkena pertama kali dengan perluasan spasme dan rigiditas ke

kaudal secara progresif. Diagnosis banding pada kondisi seperti ini meliputi infeksi

orofasial, reksi distonia terhadap obat, hipokalsemia, keracunan strychnine dan

hysteria.

Dengan jumlah toksin yang rendah pada luka perifer akan meyebabkan

local tetanus. Spasme dan rigiditas yang terjadi terlokalisir pada area yang terbatas.

Mortalitas pada kondisi ini rendah, perkecualian pada cephalic tetanus yakni

tetanus lokal akibat luka di kepala yang akan mengenai saraf kranial; paralisis lebih

dominan daripada spasme, dan progresi menjadi tetanus generalisata sangat sering

dengan angka kematian yang tinggi.

Tetanus neonatorum menimbulkan kematian lebih dari 50% akibat tetanus.

Sering terjadi pada hari ke 7 setelah kelahiran, dengan riwayat kegagalan infan

untuk minum. Neonatus menunjukkan spasme yang tipikal yang sering

menimbulkan misdiagnosa dengan konvulsi yang disebabkan oleh penyakit lain.

Karena infan muntah (akibat meningkatnya tekanan intra abdominal) dan dehidrasi

(karena ketidakmampuan untuk minum), sering didiagnosis sebagai meningitis dan

sepsis terlebih dahulu.

Disfungsi otonom akan terjadi pada kasus-kasus yang berat, dan mulai dari

beberapa hari setelah spasme otot (toksin sudah menyebar jauh sampai ke kornu
20

lateralis medula spinalis). Akan terjadi peningkatan tonus simpatis, bermanifestasi

dalam bentuk takikardia dan kegagalan fungsi usus dan kandung kencing.

Overaktifitas simpatis melibatkan reseptor α dan β. Resistensi vaskuler, tekanan

vena sentral, dan cardiac output meningkat. Manifestasi klinisnya berupa hipertensi

yang labil, pyrexia, berkeringat, jari-jari yang cyanosis dan dingin.Episode ini

biasanya singkat dan terjadi tanpa provokasi. Hal ini terjadi akibat berkurangnya

inhibisi serat-serat postsynaptik simpatis pada sel-sel kolumna intermediolateral

sebagai akibat dari sangat tingginya konsentrasi sirkulasi noradrenalin. Pendapat

lain mengenai terjadinya overaktifitas simpatis ini adalah kehilangan inhibisi

medula adrenal sehingga meningkatkan sekresi adrenaline. Sebagai akibat inhibisai

langsung dari toksin tetanospasmin menyebabkan berhentinya pengeluaran opioid

endogen serta meningkatnya pengeluaran hormon thyroid.


21

Menentukan Tingkat Keparahan

Beberapa sistim yang dipakai untuk menilai tingkat keparahan penyakit

antara lain: Phillips, Ablett, Dakar, Udwadia. Yang sering dipakai adalah Phillips

score dan Ablett.

Tabel 3.1 Klasifikasi Ablett

DERAJAT MANIFESTASI KLINIS

Trismus ringan-sedang, spastisitas menyeluruh, tidak ada spasme,

I Ringan tidak ada gangguan fungsi respirasi, tidak ada atau disfagia sangat

ringan

Trismus sedang, rigiditas yang jelas, spasme ringan-sedang tidak

II Sedang lama, hambatan respirasi sedang dengan peningkatan RR >30,

disfagia ringan

Trismus berat, spastisitas dan spastisitas menyeluruh, reflek spasme

III Berat memanjang, peningkatan RR>40, tidak bisa bicara, disfagia berat,

takikardi >120

Sangat = Derajat 3 dengan gangguan otonom; hipertensi berat & takikardi


IV
Berat yang persisten
22

Tabel 3.2 Phillips Score

KRITERIA TOLOK UKUR NILAI

Kurang dari 48 jam 5

2-5 hari 4

Masa Inkubasi 6-10 hari 3

11-14 hari 2

Lebih dari 14 hari 1

Internal/umbilikal 5

Leher, kepala, dinding tubuh 4

Lokasi Infeksi Ekstremitas proksimal 3

Ekstremitas distal 2

Tidak diketahui 1

Tidak ada 10

Mungkin ada/ ibu mendapat immunisasi 8


Status
Lebih dari 10 tahun yang lalu 4
Immunisasi
Kurang dari 10 tahun 2

Proteksi lengkap 0

Penyakit/trauma yang membahayakan jiwa 10


Faktor yang
Keadaan tdk langsung membahayakan jiwa 8
Memberatkan
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4
23

Trauma atau penyakit ringan 2

Derajat ASA I 1

Tetanus Ringan : Skor < 9

Tetanus Sedang : Skor 9-16

Tetanus Berat : Skor > 16

Penatalaksanaan Tetanus
III. Menetralisasi toksin bebas
Antitoksin tetanus pertama kali digunakan pada tahun 1893 dan sampai saat

ini masih merupakan komponen utama dalam penanganan tetanus dari kuda. Pada

doube blind randomised trial yang membandingkan kedua antitoksin tersebut,

diperoleh tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian mortalitas 130

neonatus. Namun demikian kejadian reaksi anafilaksis lebih randah dengan

menggunakan human immuno globulin.

Dosis human tetanus immune globulin 100-300 IU/kgBB diberikan i.m. Bila

ini tidak tersedia atau terlalu mahal, alternatifnya adalah antitoksin dari kuda

dengan dosis 500-1000 U/kgBB i.m.

III. Eradikasi sumber infeksi

Mengingat C. tetani merupakan bakteri anaerob, maka jika ditemukan ada luka

harus dibersihkan dan dilakukan debridement pada jaringan nekrosis. Penicillin

secara luas telah digunakan selama beberapa tahun. Struktur obat ini mirip GABA,

dan penicillin bisa bekerja sebagai kompetitif GABA antagonist pada SSP dan
24

sering memicu spasme. Namun demikian obat ini masih sering dipakai. Antibiotik

lain adalah metronidazole merupakan obat pilihan.

Penanganan rigiditas dan spasme

Pencegahan terhadap stimulus yang tidak perlu adalah mutlak. Pada tetanus

stadium awal, pasien dihadapkan pada resiko terjadinya spasme laring dan otot-otot

pernapasan lainnya. Bila spasme otot terjadi, jalan napas harus segera diamankan

dengan pemasangan pipa endotrakeal atau dilakukan trakeostomi. Apabila otot-otot

bantu pernapasan juga terkena, ventilasi mekanik diperlukan.

Penatalaksanaan utama untuk mengatasi spasme dan rigiditas adalah dengan

menggunakan obat golongan benzodiazepine. Benzodiazepine merupakan GABA

agonist dengan menghambat reseptor inhibitor GABA endogen. Diazepam bisa

diberikan melalui beberapa rute, termasuk obat yang murah, tetapi metabolitnya

bertahan lama (long acting), sehingga memungkinkan terakumulasi dan

menimbulkan koma yang berkepanjangan. Dosis diazepam 100-200 mg/jam,

diberikan secara bolus i.v. selanjutnya secara oral pada fase pemulihan. Midazolam

telah menjadi alternatif terapi dengan akumulasi obat yang sangat rendah.

Tambahan sedasi bisa juga didapat dengan pemberian antikonvulsan seperti

phenobarbital dan phenothiazine serta chlorpromazine. Propofol juga bisa

digunakan dengan keuntungan cepatnya pemulihan setelah infus dihentikan.

Bila pemberian sedasi belum cukup, bisa diberikan obat-obat pelumpuh otot

dengan intermitten positive presure ventilation untuk jangka waktu yang lebih

lama. Secara tradisional digunakan obat pelumpuh otot long acting seperti
25

pancuronium. Namun demikian, dengan adanya efek pancuronium yang

menghambat reuptake katekolamine, dapat memperburuk instabilitas autonom

yang terjadi pada tetanus yang berat. Telah ada laporan tentang terjadinya

perburukan hipertensi dan takikardi akibat penggunaan pancuronium. Dilain pihak

Dance melaporkan tidak ada perbedaan komplikasi yang terjadi pada penggunaan

pancuronium dibandingkan dengan obat pelumpuh otot yang lain. Vecuronium

tidak menimbulan efek samping pada kardiovaskuler dan histamine release, tetapi

kelemahannya adalah durasi kerjanya yang pendek. Pernah juga ada laporan

pengunaan infus atracurium selama 71 hari. Pada pasien ini, dengan fungsi hati dan

ginjal yang masih normal, tidak ditemukan adanya akumulasi laudanosine yang

merupakan metabolit yang bersifat epileptogenik dari atracurium. Penggunaan obat

pelumpuh otot golonan aminosteroid (vecuronium, pancuronium, rocuronium)

melalui infus yang lama dapat mengakibatkan neuropati dan myopati yang kritis,

tetapi kejadian ini tidak pernahdijumpai pada pasien tetanus.

Penggunaan dantrolene untuk megatasi spasme yang refrakter juga pernah

digunakan pada satu pasien. Penggunaan obat pelumpuh otot pada pasien ini tidak

diperlukan, spasme otot berhenti dan kondisi pasien mengalami perbaikan.

Sedasi dengan menggunakan propofol bisa juga mengendalikan spasme dan

rigiditas otot tanpa penambahan obat pelumpuh otot. Pemeriksaan EMG dan fungsi

neuromuskuler memperlihatkan adanya penurunan sebesar 80% aktifitas EMG

tanpa adanya pengaruh yang berarti pada fungsi neuromuscular junction pada

pemberian bolus propofol tersebut. Kendati demikian level obat yang mendekati

konsentrasi anestesi, sehingga penggunaan ventilasi mekanik akan diperlukan.


26

Komplikasi

Komplikasi yang bisa timbul dapat dilihat pada tabel dibawah. Hal-hal

tersebut bisa timbul akibat penyakitnya seperti spasme laring, sebagai akibat dari

penanganan seperti sedasi menyebabkan koma, aspirasi atau apnoea. Atau dapat

pula timbul pneumonia akibat pengunaan ventilator.

Spasme otot akan menghilang setelah 1-3 minggu, tetapi sisa kekakuan

masih ada. Walaupun kebanyakan pasien yang masih bisa bertahan dapat pulih

secara komplit pada minggu ke-6, komplikasi kardiovaskuler, termasuk gagal

jantung, arythmia, odem paru dan krisis hipertensi dapat berakibat fatal.
27

BAB IV
DISKUSI

Seorang laki – laki usia 41 tahun pada kasus di atas akan di lakukan tindakan
debridemen dengan anestesi umum berupa TIVA dan inhalasi. Berdasarkan
pemeriksaan preoperative, pasien tergolong PS ASA III sesuai dengan klasifikasi
penilaian status fisik menurut The American Society of Anesthesiologist. Pasien
dengan PS ASA III adalah pasien dengan gangguan sistemik berat, dengan
keterbatasan fungsional.
Pada pasien ini, anestesi yang pertama dilakukan adalah anestesi umum
untuk debridemen vulnus apertum pedis sinistra dengan urutan menajemen
perioperative yang dilakukan pada pasien ini antara lain prosedur pre-operative,
intra-operatif, dan post-operatif secara garis besar mengikuti literature, dengan
penggunaan obat anestesi umum.
Pada pasien dilakukan tahan pre-anestesi yaitu pegumpulan data pasien,
pasien dipuasakan, dan dilakukan tahap pre-anastesia yaitu tidakan induksi dengan
pemberian agen induksi secara injeksi atau inhalasi. Agen induksi yang diberikan
pada pasien ini adalah Propofol 100 mcg IV. Propofol adalah anestetik parenteral
yang paling umum digunakan. Propofol dapat digunakan untuk induksi maupun
pemeliharaan anestesi pada teknik anestesia intravena total maupun anestesia
imbang. Kelebihan lainnya pasien merasa lebih nyaman pada periode paska bedah
dibanding anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang
karena propofol mempunyai efek anti emetik. Selain itu juga pasien diberikan
Fentanyl 100mcg IV. Fentanyl merupakan suatu opioid sintentik yang bekerja pada
agonnis reseptor μ dan kira-kira 100 kali lebih kuat daripada morfin sebagai
analgesik.
Setelah dilakukan anestesi melalui intravena, dilakukan intubasi dengan
menggunakan Endotrakeal Tube berukuran 7. Setelah diintubasi, pasien diberikan
anestesi secara inhalasi. Anestesi umum inhalasi merupakan alah satu metode
anestesi yang mengunakan senyawa gas atau cairan yang mudah menguap
menggunakan alat anestesi langsung. Agen anestesi inhaasi yang digunakan pada
pasien adalah isoflurane. Isoflurane merupakan suatu vasodilator coroner yang
28

poten, yang secara bersamaan meningkatkan aliran darah coroner dan mengurangi
pemakaian oksigen miokardial. Menurut teori, hal ini menjadikan isofluran aman
sebagai suatu anestesi yang aman. Pemulihan dapat berlangsung secara spontan
setelah masa kerja obat berakhir. Namun untuk mempercepat pemulihannya perlu
diberikan obat anti-kolinesterase yaitu neostigmin (dosis 0,5 mg) atau prostigmin.
29

DAFTAR PUSTAKA

1. Barash, Paul G., Bruce F. Cullen, Robert K. Stoelting, Mikhael K.Cahalanand,


dan M. Christine Stock. Clinical Anestesia Sixth Edition.Wolters Kluwer:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Buku Petunjuk Praktis Anestesiologi Jilid
II. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. Hal 112-16.
3. Iqbal M, Sudadi. TIVA (Total Intravenous Anesthesia). Jurnal Komplikasi
Anestesi Volume 2 Nomor 1, November 2014
4. Syarif A, Sunaryo. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Hal 206 & 271.
5. Syarif A, Sunaryo. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Hal 206 & 271.
6. Irwin R, Rippe J.M. Manual of intensive care medicine. Fourt Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;2006
7. Goodman & Gilman, 2012, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G.
Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai