Disusun oleh:
Chindyria Yolanda Ihalauw
NIM. 2018-84-086
Pembimbing
dr. Ony. W. Angkejaya, Sp. An
dr. Fahmi Maruapey, Sp. An
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi umum idealnya dapat memberikan induksi yang cepat dan tenang,
kehilangan kesadaran yang dapat diprediksi, kondisi intraoperatif yang stabil, efek
samping minimal, pemulihan refleks proteksi dan fungsi psikomotor yang cepat dan
lancar. Anestesi umum telah mengalami banyak perkembangan dan modifikasi,
begitu pula yang terjadi dengan anestesi intravena sejak diperkenalkan pertama
kalinya dalam praktek klinis yang telah berubah dari hanya sebagai induksi pada
anestesi umum menjadi anestesi intravena seluruhnya (Total Intravenous
Anesthesia) [TIVA]. TIVA adalah teknik anestesi umum di mana induksi dan
pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan kombinasi obat-
obatan anestesi yang diberikan melalui jalur intravena tanpa penggunaan anestesi
inhalasi termasuk N2O untuk mencapai trias anestesi.2,3
Konsep anestesi intravena telah berubah dari hanya sebagai induksi pada
anestesi umum menjadi anestesi intravena total. Di banyak pusat kesehatan di Eropa
dan Amerika Selatan, peran TIVA menjadi lebih populer sebagai general anesthesia
dibandingkan tehnik balance anesthesia klasik maupun anestesi inhalasi.2,3
4
BAB II
LAPORAN KASUS
b. Keluhan Utama:
Leher terasa tegang dan kejang.
c. Anamnesis terpimpin:
Pasien datang dengan leher terasa tegang sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit, tegang dileher dirasakan terus menerus dan tidak hilang saat istiraha,
disertai sulit menelan dan kejang. 5 hari sebelumnya pasien melakukan aktivitas
memotong batang pohon dan tanpa sadar batang pohon tersebut mengenai kaki
pasien dan mengakibatkan luka terbuka namun tidak langsung dibersihkan.
6
2. Pemeriksaan Fisik
a. Status Gizi : Kesan Cukup
b. Keadaan Psikis : Baik.
B2 : Akral hangat, kering, merah; TD: 146/82 mmHg; N: 81x/m reguler, kuat
angkat; BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-).
B3 : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+, suhu 37,5 ̊C.
B5 : Inspeksi: distensi (-), darm contour (-), sikatriks (-), Palpasi: NT(-),
Auskultasi: BU normal.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (06 Desember 2019):
- Hemoglobin : 14,2 g/dL
- Hematokrit : 41,4%%
- Jumlah trombosit : 256 x 103/mm3
- Jumlah leukosit : 8,99 x 103/mm3
- Kolestrol total : 198 mg/dL
- Trigliserida :50 mg/dL
- Kolesterol HDL : 39 mg/dL
- Kolesterol LD : 90 mg/dL
4. Diagnosis
a. Diagnosis kerja : Tetanus Umum Grade III + Vulnus Appartum pedis sinistra
b. Diagnosis Anestesi (Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA) : PS
ASA III
5. Planning
a. Pro Debridement
b. Stop intake oral 6-8 jam
c. Antibiotik profilaksis
d. Rencana Anestesi: GA
1. Midazolam 2 mg/IV
2. Fentanil 100mg/IV
3. Propofol 100mg/IV
4. Isofluran 2 volume %
Pre-Operatif
a) Diagnosa Pra Bedah : Tetanus umum grade III + Vulnus Appertum Pedis
Sinistra
b) Jenis Pembedahan : Debridement + Nekrotomi
c) Jenis Anestesi : General Anestesi (TIVA+Inhalasi)
d) Lama Anestesi : 13.20 - GA TIVA + inhalasi
e) Lama Operasi : 13.25 WIT – 14.20 WIT.
f) Posisi : Supine
g) Medikasi Pra-Bedah : Ceftriaxon 1 gr/iv (07.00 WIT)
9
- Cairan masuk :
- Cairan Keluar:
-PO (0 cc)
-DO (50cc)
II.6 Post-Operatif
B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 24x/m, SpO2 100% dengan sungkup Rh (-
), Wh (-).
B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 86 x/m, TD: 144/87 mmHg, S1S2 reguler,
murmur (-), gallop (-).
B5: BU (+)
Terapi:
BAB III
PEMBAHASAN
III.1.1 Definisi
Anestesi umum dibagi menjadi tiga tehnik yaitu tehnik anestesi total
intravena, anestesi total inhalasi, dan anestesi kombinasi antara intravena dan
inhalasi yang sering disebut balance anestesia. Masing-masing dari tehnik tersebut
memiliki kekurangan dan kelebihan. Pemilihan tehnik seringkali ditentukan oleh
karakteristik pasien sehingga tepat penggunaan dan resiko efek samping yang
paling minimal. Saat ini penggunaan tehnik ini sudah umum dan sering
dikerjakan.1,2,5
a. Propofol
Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan. Propofol
pertama kali ditemukan tahun 1970 dan diperkenalkan di pasaran sejak tahun 1977
sebagai obat induksi anestesi, semakin dan semakin luas penggunaannya di seluruh
dunia mulai tahun 1986. Propofol adalah 2,6-diisopropylphenol yang diberikan
secara intravena dalam konsentrasi 1% dalam minyak kedelai 10%.1,2,5
Propofol tidak larut dalam air dan pada awalnya disediakan dengan Cremophor
EL, namun karena banyaknya reaksi anafilaktoid yang ditimbulkan, sediaannya
diubah menjadi bentuk emulsi. Namun penyuntikan propofol di vena perifer akan
menyebabkan rasa nyeri sehingga sebelum obat ini disuntikkan dapat diberikan
lidokain 1% intravena.1,2,5
Kejadian mual muntah pasca operasi sangat jarang karena propofol memiliki
efek anti muntah. Efek yang menguntungkan lainnya adalah efek antikonvulsan dan
mengurangi konstriksi bronkus.1,2,5
13
b. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan opioid dan termasuk dalam
opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-
0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid
yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan
depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang diberikan selama operasi
dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat
mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid
post operasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis
fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan
sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk
memberikan efek analgesi. 1,2,5
a. Isofluran
Isofluran memiliki koefisien partisi darah: gas yang jauh lebih rendah
dibandingkan halotan atau enfluran. Akibatnya, induksi dengan isofluran dan
14
pemulihan dari isoflurat relative lebih cepat. Perubahan kedalaman anestetik juga
dapat dicapai lebih cepat dengan isofluran daripada dengan halotan atau enfluran.
Lebih dari 99% isofluran yang terhirup diekskresikan dalam bentuk tidak berubah
melalui paru – paru. Sekitar 0,2% isofluran terabsorbsi dimetabolisme oksidatif
oleh sitokrom p450 2E1. Sedikit hasil penguraian isofluran yang dihasilkan tidak
cukup untuk menimbulkan toksisitas pada ginjal, hati, atau organ lain. Isofluran
tidak menunjukkan sifat mutagen, teratogen, atau karsinogen.
Isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Ini
menghasilkan sedikit volume urin pekat. Perubahan fungsi ginjal yang teramati
selama anesteshia dengan isofluran akan pulih dengan cepat, dan tidak ada efek
lanjutan atau toksisitas jangka panjang pada ginjal yang ada hubungannya dengan
isofluran.
16
Etiologi
Infeksi oleh C. tetani akan tetap secara lokal, tetapi toksin tetanospasmin
akan terdistribusi secara sistemik melalui aliran darah, sampai mencapai ujung saraf
membran saraf terminal motorik pada otot rangka (yang akan mengurangi
peredaran darah untuk berikatan dengan saraf terminal di seluruh tubuh. Toksin ini
kemudian masuk dan ditransfer intra axonal. Transport akan terjadi pertama kali
ke saraf motorik baru kemudian ke saraf sensorik dan otonom. Toksin yang berada
pada sel-sel tubuh dapat berdifusi keluar dari sel dan mempengaruhi serta
gejala klinis tetanus akan muncul. Selanjutnya transport intraneural akan menyebar
Gejala dari tetanus akan menghilang jika tetanospasmin telah berdifusi dari
sel-sel tubuh melalui ruang ekstraseluler, dan hilang dari terminal presinaptik
neoron. Tetanospasmin menyebar kesemua neuron lokal, tetapi secara khusus diikat
dan terminal γ-aminobutyric acid (GABA) pada otak. Prinsipnya adalah memblok
jalur inhibisi ini. Stimulus yang datang dan pergi dari CNS tidak akan diteruskan
ke bawah. Inhibisi terhadap neuron motorik α adalah yang pertamakali terjadi dan
motor neuron ini akan kehilangan kontrol inhibisinya. Selanjutnya (karena jalurnya
yang panjang) neuron simpatis preganglionik pada kornu lateralis dan pusat
Gejala Klinis
oleh tanah, kotoran atau logam berkarat dapat mencetuskan tetanus. Bisa juga
merupakan komplikasi dari luka bakar, ulkus, ganggrene, gigitan ular, infeksi
telinga tengah, infeksi gigi, aborsi, persalinan, injeksi intramuskular, tindik dan
saat pemotongan tali pusat dengan menggunakan pisau atau gunting yang tidak
steril. Pengguna obat-obat terlarang juga rentan terkena tetanus. Pada 25% pasien
yang masuk rumah sakit tidak dijumpai adanya sumber infeksi yang pasti.
18
Waktu inkubasi (waktu dari kuman masuk sampai muncul gejala klinis)
rata-rata antara 7-10 hari, bervariasi antara 2 sampai 60 hari. Onsetnya (dari gejala
awal sampai timbulnya spasme pertama) bervariasi juga antara 1-7 hari. Hampir
semua kasus (90%) akan menampakan gejala klinis dalam kurun waktu 15 hari
setelah terinfeksi. Periode inkubasi dan periode onset sangat penting untuk
menentukan prognosis penyakit. Semakin singkat periode ini maka semakin berat
beberapa hari setelah spasme dan akan menetap dalam kurun waktu 1-2 minggu.
Spasme akan berkurang setelah 2-3 minggu, tetapi kekakuan (stiffness) bisa jadi
akan bertahan lebih lama lagi. Masa pemulihan penyakit terjadi karena tumbuhnya
Gejala yang muncul berupa rasa nyeri dan kaku. Kaku menimbulkan
Rigiditas menyeluruh dan otot wajah yang menunjukkan suatu ekspresi khas yang
disebut ‘risus sardonicus. Spasme yang khas dengan fleksi dan adduksi dari tangan,
ekstensi kaki dan opistotonus sangat nyeri. Kondisi ini juga memungkinkan
terjadinya fraktur serta ruptur tendon. Spasme dicetuskan oleh rangsangan eksternal
yang lebih lama dan lebih sering. Spasme merupakan keadaan yang darurat ketika
sampai mengenai laring dan atau diafragma yang bisa mengakibatkan gagal napas.
19
Spasme faring sering diikuti oleh spasme laring dan sering disertai oleh aspirasi dan
kepala dan leher terkena pertama kali dengan perluasan spasme dan rigiditas ke
kaudal secara progresif. Diagnosis banding pada kondisi seperti ini meliputi infeksi
hysteria.
Dengan jumlah toksin yang rendah pada luka perifer akan meyebabkan
local tetanus. Spasme dan rigiditas yang terjadi terlokalisir pada area yang terbatas.
Mortalitas pada kondisi ini rendah, perkecualian pada cephalic tetanus yakni
tetanus lokal akibat luka di kepala yang akan mengenai saraf kranial; paralisis lebih
dominan daripada spasme, dan progresi menjadi tetanus generalisata sangat sering
Sering terjadi pada hari ke 7 setelah kelahiran, dengan riwayat kegagalan infan
Karena infan muntah (akibat meningkatnya tekanan intra abdominal) dan dehidrasi
Disfungsi otonom akan terjadi pada kasus-kasus yang berat, dan mulai dari
beberapa hari setelah spasme otot (toksin sudah menyebar jauh sampai ke kornu
20
dalam bentuk takikardia dan kegagalan fungsi usus dan kandung kencing.
vena sentral, dan cardiac output meningkat. Manifestasi klinisnya berupa hipertensi
yang labil, pyrexia, berkeringat, jari-jari yang cyanosis dan dingin.Episode ini
biasanya singkat dan terjadi tanpa provokasi. Hal ini terjadi akibat berkurangnya
antara lain: Phillips, Ablett, Dakar, Udwadia. Yang sering dipakai adalah Phillips
I Ringan tidak ada gangguan fungsi respirasi, tidak ada atau disfagia sangat
ringan
disfagia ringan
III Berat memanjang, peningkatan RR>40, tidak bisa bicara, disfagia berat,
takikardi >120
2-5 hari 4
11-14 hari 2
Internal/umbilikal 5
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
Tidak ada 10
Proteksi lengkap 0
Derajat ASA I 1
Penatalaksanaan Tetanus
III. Menetralisasi toksin bebas
Antitoksin tetanus pertama kali digunakan pada tahun 1893 dan sampai saat
ini masih merupakan komponen utama dalam penanganan tetanus dari kuda. Pada
diperoleh tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian mortalitas 130
Dosis human tetanus immune globulin 100-300 IU/kgBB diberikan i.m. Bila
ini tidak tersedia atau terlalu mahal, alternatifnya adalah antitoksin dari kuda
Mengingat C. tetani merupakan bakteri anaerob, maka jika ditemukan ada luka
secara luas telah digunakan selama beberapa tahun. Struktur obat ini mirip GABA,
dan penicillin bisa bekerja sebagai kompetitif GABA antagonist pada SSP dan
24
sering memicu spasme. Namun demikian obat ini masih sering dipakai. Antibiotik
Pencegahan terhadap stimulus yang tidak perlu adalah mutlak. Pada tetanus
stadium awal, pasien dihadapkan pada resiko terjadinya spasme laring dan otot-otot
pernapasan lainnya. Bila spasme otot terjadi, jalan napas harus segera diamankan
diberikan melalui beberapa rute, termasuk obat yang murah, tetapi metabolitnya
diberikan secara bolus i.v. selanjutnya secara oral pada fase pemulihan. Midazolam
telah menjadi alternatif terapi dengan akumulasi obat yang sangat rendah.
Bila pemberian sedasi belum cukup, bisa diberikan obat-obat pelumpuh otot
dengan intermitten positive presure ventilation untuk jangka waktu yang lebih
lama. Secara tradisional digunakan obat pelumpuh otot long acting seperti
25
yang terjadi pada tetanus yang berat. Telah ada laporan tentang terjadinya
Dance melaporkan tidak ada perbedaan komplikasi yang terjadi pada penggunaan
tidak menimbulan efek samping pada kardiovaskuler dan histamine release, tetapi
kelemahannya adalah durasi kerjanya yang pendek. Pernah juga ada laporan
pengunaan infus atracurium selama 71 hari. Pada pasien ini, dengan fungsi hati dan
ginjal yang masih normal, tidak ditemukan adanya akumulasi laudanosine yang
melalui infus yang lama dapat mengakibatkan neuropati dan myopati yang kritis,
digunakan pada satu pasien. Penggunaan obat pelumpuh otot pada pasien ini tidak
rigiditas otot tanpa penambahan obat pelumpuh otot. Pemeriksaan EMG dan fungsi
tanpa adanya pengaruh yang berarti pada fungsi neuromuscular junction pada
pemberian bolus propofol tersebut. Kendati demikian level obat yang mendekati
Komplikasi
Komplikasi yang bisa timbul dapat dilihat pada tabel dibawah. Hal-hal
tersebut bisa timbul akibat penyakitnya seperti spasme laring, sebagai akibat dari
penanganan seperti sedasi menyebabkan koma, aspirasi atau apnoea. Atau dapat
Spasme otot akan menghilang setelah 1-3 minggu, tetapi sisa kekakuan
masih ada. Walaupun kebanyakan pasien yang masih bisa bertahan dapat pulih
jantung, arythmia, odem paru dan krisis hipertensi dapat berakibat fatal.
27
BAB IV
DISKUSI
Seorang laki – laki usia 41 tahun pada kasus di atas akan di lakukan tindakan
debridemen dengan anestesi umum berupa TIVA dan inhalasi. Berdasarkan
pemeriksaan preoperative, pasien tergolong PS ASA III sesuai dengan klasifikasi
penilaian status fisik menurut The American Society of Anesthesiologist. Pasien
dengan PS ASA III adalah pasien dengan gangguan sistemik berat, dengan
keterbatasan fungsional.
Pada pasien ini, anestesi yang pertama dilakukan adalah anestesi umum
untuk debridemen vulnus apertum pedis sinistra dengan urutan menajemen
perioperative yang dilakukan pada pasien ini antara lain prosedur pre-operative,
intra-operatif, dan post-operatif secara garis besar mengikuti literature, dengan
penggunaan obat anestesi umum.
Pada pasien dilakukan tahan pre-anestesi yaitu pegumpulan data pasien,
pasien dipuasakan, dan dilakukan tahap pre-anastesia yaitu tidakan induksi dengan
pemberian agen induksi secara injeksi atau inhalasi. Agen induksi yang diberikan
pada pasien ini adalah Propofol 100 mcg IV. Propofol adalah anestetik parenteral
yang paling umum digunakan. Propofol dapat digunakan untuk induksi maupun
pemeliharaan anestesi pada teknik anestesia intravena total maupun anestesia
imbang. Kelebihan lainnya pasien merasa lebih nyaman pada periode paska bedah
dibanding anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang
karena propofol mempunyai efek anti emetik. Selain itu juga pasien diberikan
Fentanyl 100mcg IV. Fentanyl merupakan suatu opioid sintentik yang bekerja pada
agonnis reseptor μ dan kira-kira 100 kali lebih kuat daripada morfin sebagai
analgesik.
Setelah dilakukan anestesi melalui intravena, dilakukan intubasi dengan
menggunakan Endotrakeal Tube berukuran 7. Setelah diintubasi, pasien diberikan
anestesi secara inhalasi. Anestesi umum inhalasi merupakan alah satu metode
anestesi yang mengunakan senyawa gas atau cairan yang mudah menguap
menggunakan alat anestesi langsung. Agen anestesi inhaasi yang digunakan pada
pasien adalah isoflurane. Isoflurane merupakan suatu vasodilator coroner yang
28
poten, yang secara bersamaan meningkatkan aliran darah coroner dan mengurangi
pemakaian oksigen miokardial. Menurut teori, hal ini menjadikan isofluran aman
sebagai suatu anestesi yang aman. Pemulihan dapat berlangsung secara spontan
setelah masa kerja obat berakhir. Namun untuk mempercepat pemulihannya perlu
diberikan obat anti-kolinesterase yaitu neostigmin (dosis 0,5 mg) atau prostigmin.
29
DAFTAR PUSTAKA