Anda di halaman 1dari 60

Laporan Kasus

GENERAL ANESTESI PADA LAPAROSKOPI


APPENDIKTOMI

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Marina Rizki, S.Ked


140611014

Preseptor :
dr. Anna Millizia, M.Ked(An), Sp.An

BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2018

1
2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulispanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “General Anestesi Pada Laparoskopi
Appendiktomi” sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan Klinik
Senior (KKS) di bagian Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten
Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dr.
Anna Millizia, M.Ked(An), Sp.An sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di bagian/SMF
Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
pihak.

Lhokseumawe, Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................i


DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1

BAB 2 LAPORAN KASUS ...........................................................................3


2.1 Identitas...........................................................................................3
2.2 Anamnesis.......................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Fisik...........................................................................4
2.4 Pemeriksaan Penunjang..................................................................5
2.5 Assesment.......................................................................................6
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA...........................6
2.7 Rencana Pembedahan.....................................................................6
2.8 Rencana Anestesi............................................................................6
2.9 Kesimpulan.....................................................................................6
2.10 Laporan Anestesi..........................................................................6

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................12


3.1 Appendisitis Akut...........................................................................12
3.2 Laparoskopi.....................................................................................18
3.3 General Anestesi.............................................................................28
3.4 Intubasi Endotrakeal Tube..............................................................45

BAB 4 PEMBAHASAN..................................................................................50

BAB 5 KESIMPULAN...................................................................................54

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................55

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anestesi berasal dari bahasa Yunani, an- yang berarti “tanpa” dan aisthēsi,

yang berarti sensasi. Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total

yaitu hilangnya kesadaran secara total, anestesi regional yaitu hilangnya rasa

pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal

atau saraf yang berhubungan dengannya, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada

daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh). Komponen

anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi

otot.

Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna

menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko

yang tidak diinginkan dari pasien. Anestesi umum juga termasuk mengendalikan

pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur

anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance, dan

pemulihan. Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah Endotrakea Tube (ETT)

dan Laringeal Mask Airway (LMA).

Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam

trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira

dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea. Tindakan intubasi

trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan

1
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah

menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.

Laparoskopi adalah prosedur untuk melihat rongga perut melalui sebuah

teleskop yang dimasukkan melalui dinding perut. Prosedur pembedahan pada

laparoskopi menggunakan alat-alat yang juga dimasukkan melalui dinding perut.

Melalui teleskop, prosedur pembedahan lebih jelas terlihat karena bisa dilakukan

pemaparan yang lebih baik pada rongga panggul dan efek pembesaran dari

teleskop.

Pada appendisitis akut, tindakan operatif dengan teknik laparoskopi lebih

dipilih selain karena kemanjuan teknologi dibidang pembedahan, teknik ini dapat

meminimal luka sayatan pada saat dilakukan pembedahan.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Tn. R
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
MR : 50.45.45
Alamat : Bireun
Pekerjaan : IRT
Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Aceh
Ruangan : Bedah
Tanggal Masuk Rumah sakit : 9 Oktober 2018
Tanggal Operasi : 10 Oktober 2018

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama:
Nyeri perut kanan bawah.
2.2.2 Keluhan tambahan
Sakit kepala, demam dan mual.
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli Bedah Digestif Cut Meutia dengan keluhan berupa
nyeri perut kanan. Keluhan sudah dirasakan sejak pagi hari 1 hari
sebelumnya, awalnya nyeri dirasakan di uluhati, pasien juga muntah 2 kali,
tidak ada gangguan buang air besar dan kecil.
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma diakui

3
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi pada keluarga disangkal
Riwayat asma pada keluarga disangkal
Riwayat hipertensi pada keluarga disangkal
Riwayat diabetes mellitus pada keluarga disangkal
2.2.6 Riwayat pribadi dan kebiasaan
Merokok : disangkal
Sering terpapar debu : disangkal
Kebiasaan memakai masker : disangkal
Mengkonsumsi alkohol : disangkal
2.2.7 Riwayat sosial ekonomi
Pasien menggunakan BPJS

2.3 Pemeriksaan fisik


Status Generalisata
1. Keadaan umum : baik
2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda vital :
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 64 x/menit
RR : 20
Suhu : 37,3 0 C
4. Status gizi
BB : 75 kg
TB : 156 cm
5. Kepala : mesosephal
6. Wajah : simetris

4
7. Mata : konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), reflek pupil (+/+).
8. Leher : pembesaran kelenjar getah bening submandibula (-).
9. Telinga : Normotia (+/+)
10. Hidung : Bentuk normal
11. Mulut : Bibir edema (-), sianosis (-)
12. Thoraks : Paru : Inspeksi: normochest, simetris, jejas (-),
Palpasi : stem fremitus (normal/normal)
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesikuler +/+, Rh -/- , Wh -/-
Jantung :Inspeksi: Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi: Tidak ada thrill
Perkusi: DBN
Auskultasi: DBN
13. Abdomen : Inspeksi: Distensi (-)
Palpasi: Soepel, Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, tidak
ada defans muskuler, nyeri tekan (-)
Perkusi: Tympani
Auskultasi: Bising usus (+)
14. Ekstremitas : Edem (-/-) , Deformitas (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium 2 Oktober 2018

Pemeriksaan Hasil ( satuan) Nilai Rujukan


Hematologi Rutin
Hemoglobin 12,7 (g /dL) 13-18
Eritrosit 4,83 (juta/ mm3) 4,5-6,5
Leukosit 10,37 (ribu/ mm3) 4,0-11,0
Hematokrit 42,4 (%) 42-52

5
Index Eritrosit
MCV 87,8 (fl) 79-99
MCH 26,3 (pg) 27-32
MCHC 29,9 (g%) 33-37
RDW-CV 12,8 (%) 11-15
Trombosit 256 (ribu/mm3) 150-450
Karbohidrat
Glukosa Darah Sewaktu 90 (mg/dL) 110-200
Hemostasis
Masa Pendarahan/BT 2’ (Menit) 1-3
Masa Pembekuan/CT 8’ (Menit) 9-15
Fungsi Ginjal
Ureum 30,04 20-40
Kreatinin 0,50 0,06- 1,00
Asam Urat 5,5 < 6,8
Lemak
Kolestrol 117 < 200
HDL Kolestrol 35 > 45
LDL Kolestrol 76 100 – 129
Trigliserida 55 < 150

2.5 Assesment
Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
Status fisik ASA I
2.7 Rencana Pembedahan
Laparoskopi Appendiktomi
2.8 Rencana Anestesi:
Anestesi umum dengan intubasi endotrakeal tube
2.9 Kesimpulan
Pasien seorang perempuan usia 42 tahun, status fisik ASA I dengan
diagnosis appendisitis kronik eksaserbasi akut dengan rencana Anestesi
Umum dengan intubasi endotrakeal tube.
2.10 Laporan Anestesi
PERSIAPAN PRA ANESTESI
Persiapan pasien
Di ruang perawatan

6
Pasien di konsultasikan ke dr Anna Millizia, M.Ked(An), Sp.An pada
tanggal 2 Oktober 2018 untuk persetujuan dilakukan tindakan operasi. Setelah
mendapatkan persetujuan, pasien disiapkan untuk rencana Laparoskopi
Appendiktomi keesokan harinya. Diberikan juga informasi kepada keluarga
pasien, antara lain:

 Informed consent: bertujuan untuk memberitahukan kepada keluarga pasien


tindakan medis akan apa yang akan dilakukan kepada pasien, bagaimana
pelaksanaanya, kemungkinan hasilnya, risiko tindakan yang akan dilakukan.
 Surat persetujuan operasi: merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan
dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien
tidak akan mengajukan tuntutan.
Persiapan operasi yang dianjurkan kepada pasien adalah:
 Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi, tujuannya untuk memastikan
bahwa lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
 Rencana post-op pasien adalah kembali ke ruangan.
Di Ruang Persiapan
 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan dan
sudah terpasang infus Rl.
Persiapan alat anestesi umum:
Monitor Sphygmomanometer Pulse Oxymetri
Suction Guedel Balon pernafasan
Stetoskop Laringoskop ETT
Sungkup muka Mesin Anestesi Gel
Connector Infus set+abocath Kasa steril
Plester Spuit
Persiapan obat-obatan anestesi
Anestesi umum :

7
a. Premedikasi : Fentanyl
b. Obat induksi : Propofol
c. Maintanance anastesi : Isoflurane , N2O, O2
d. Relaksan : Atracurium
e. Obat emergency : Sulfas atropine, ephedrine
f. Analgetik post op : Ketorolac 3%
g. Obat reserve : Prostigmin, Sulfas atropine
Obat Tambahan/ pilihan lain:
Ranitidine 25 mg/ml, Ondansetron 4 mg/ml, Ketorolac 10 mg/ml
Alat untuk melakukan pembiusan:
 Spuit 3 cc
 Spuit 5 cc
 Spuit 10 cc
Obat Tambahan/ pilihan lain:
Ondansentron 4 mg/2 ml, Ranitidine 25 mg/ml, Ketorolac 30 mg/ml
Rencana terapi cairan intraoperatif:
Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.
M (Maintenance)
2 cc/ kgBB/ jam = 2 cc/ 75 kg/ jam  150 cc / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi kecil, maka kebutuhan cairannya adalah:
4 ml x kgBB  4 ml x 75 kg  300 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 10 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M  10 x 150 ml  1500 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P  (150 + 300 + 750) ml = 1200 ml

10 Oktober 2018 pukul 12.00 WIB


Airway : clear
Breathing : RR 19 x/ menit, stidor (-) snorring (-) gargling (-)

8
Circulation : HR 67 x/ menit regular
Disability : GCS : E4V6M5 = 15,
kesadaran : compos mentis
ASA :I
Intra Operatif

10 Oktober pukul 12.15 WIB

1. Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi dengan posisi
supine kemudian dilakukan pemasangan manset dan oksimeter.
2. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di awal
atau penilaian pra induksi:
Kesadaran: Compos Mentis, TD= 135/93 mmHg, nadi= 83 x/menit, saturasi
O2: 99%.
3. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.
4. Pasien diberikan efedrin 1 cc
5. Pemberian premedikasi dengan Fentanyl 100 mcg iv
6. Pemberian atracurium 10 mg iv
7. Induksi dengan Propofol 100 mg iv
8. Pemberian Metilprednisolon 2 cc untuk antiinflamasi karena pasien mengaku
ada riwayat asma namun sudah lama kambuh.
9. Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup muka menggunakan O2 sebanyak 5
liter / menit
10. Setelah relaksasi pasien diintubaasi dengan ETT non kingkin nomor 7.0
11. Auskultasi dengan steteskop bahwa paru kanan dan kiri sama dan dinding
dada kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap inspirasi buatan.
12. ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit nafas alat anestesi, kemudian
N2O dibuka 2,5 liter/menit dan O2 2,5 liter/menit (N2O : O2=50% : 50%).
Pukul 12.35 WIB
 Tindakan pembedahan dimulai
 TD : 102/68 mmHg, Nadi : 79 x/mnt, Saturasi O2 99%
Pukul 12.55 WIB

9
 TD= 121/81 mmHg , nadi= 65 x/menit, saturasi O2 100%
 Injeksi ranitidin 50 mg/2 ml IV (spuit 3 cc), ondansetron 4 mg/2 ml IV dan
(spuit 3 cc), Ketorolac 30 mg IV (spuit 3 cc).
 Cairan infus Ringer Laktat 1 telah habis sebanyak 500 ml, digantikan
dengan infus Ringer Laktat 2.
Pukul 13.25 WIB
 TD= 123/96 , nadi= 89x/menit, saturasi O2 100%
 Pembedahan selesai
 Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
 Pemberian prostigmin 0,5 mg dan sulfas atropin 0,5 mg
 Setelah pasien bangun, lendir dikeluarkan dengan suction, ETT
dikeluarkan lalu diberi oksigen murni 5 liter/menit
 Manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.
 Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang
pemulihan atau recovery room (RR).
Post Operatif
Pukul 13.35 WIB
Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 13.35 WIB. Dilakukan
penilaian terhadap tingkat kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos
mentis. Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 128/85
mmHg, nadi 93 x/menit, respirasi 22 x/menit dan saturasi O2 100%.

INSTRUKSI POST OP
 IVFD RL 20 gtt/i
 Bila muntah : Inj Ondansentrone 4 mg/12 jam/IV
 Bila nyeri : Inj Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
 Terapi lain sesuai bedah

10
Laporan Anestesi

 Ahli Anestesiologi : dr. Anna Millizia, M.Ked(An). Sp.An

 Ahli Bedah : dr. Muhammad Sayuti, Sp. B (K) BD

Diagnosis prabedah : Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut


 Jenis Operasi : Laparoskopi Appendiktomi

 Jenis Anestesi : GA Intubasi Endotrakeal Tube

 Lama Operasi : 50 menit

 Lama Anestesi : 85 menit

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Appendisitis Akut
a. Definisi

Appendisitis akut adalah peradangan pada appendiks vermiformis.

Appendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6–9 cm), menghasilkan

lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen dan

selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir

tersebut maka dapat mempermudah timbulnya appendicitis. Hingga saat ini fungsi

appendiks belum diketahui dengan pasti. 1

b. Etiologi
Appendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun

terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit lainnya, di antaranya

obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks. Obstruksi pada lumen appendiks

12
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),

hiperplasia jaringan limfoid, parasit, benda asing dalam tubuh, dan neoplasma.

Yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen appendiks adalah fekalit dan

hiperplasia jaringan limfoid.

c. Patogenesis
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks

oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan

mukus yang diproduksi mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut

makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks memounya keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat

tersebut akan menghambat aliran limfe yang menyebabkan edema, diapedesis

bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang

ditandai dengan nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan

menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum

setempat sehingga menimbulkan nyeri di kuadran kanan bawah. Keadaan ini

disebut dengan appendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu, akan terjadi infark dinding

appendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan appendisitis

gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendisitis

perforasi.

13
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang

disebut infiltrate appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi

abses atau menghilang.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih

panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya

tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan

pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh

darah.2

14
Nyeri Appendisitis
Nyeri dari visera seringkali secara bersamaan dilokalisasi di dua daerah

permukaan tubuh karena nyeri dijalarkan melalui nyeri alih viseral dan nyeri

langsung parietal. Mekanisme :

1. Impuls nyeri yang berasal dari appendiks akan melewati serabut-serabut


nyeri viseral saraf simpatik dan selanjutnya akan masuk ke medulla
spinalis kira-kira setinggi thorakal X sampai thorakal XI dan dialihkan ke
daerah sekeliling umbilikus (menimbulkan rasa pegal dan kram).
2. Dimulai di peritoneum parietal tempat appendix meradang yang melekat
pada dinding abdomen. Ini menyebabkan nyeri tajam di peritoneum yang
teriritasi di kuadran kanan bawah abdomen.

d. Manifestasi Klinis

Ada beberapa gejala awal yang khas yakni nyeri yang dirasakan secara

samar (nyeri tumpul) di daerah sekitar pusar (umbilikus atau periumbilikus) yang

berhubungan dengan muntah. Kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan

bawah dengan tanda-tanda yang khas pada appendisitis akut yaitu nyeri pada titik

Mc Burney. Nyeri perut ini akan bertambah sakit apabila terjadi pergerakan

seperti batuk, bernapas dalam, bersin, dan disentuh daerah yang sakit. Nyeri saat

batuk kemungkinan disebabkan oleh peningkatan tekanan intra-abdomen. Nyeri

yang bertambah saat terjadi pergerakan disebabkan karena adanya gesekan antara

visera yang meradang sehingga menimbulkan rangsangan peritoneum.

Selain nyeri, gejala appendisitis akut lainnya adalah demam derajat

rendah, mules, konstipasi atau diare, perut membengkak, dan ketidakmampuan

mengeluarkan gas. Peradangan pada apendiks dapat merangsang peningkatan

15
peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan

dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus

akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut melalui peningkatan peristaltik.

Gejala-gejala ini biasanya memang menyertai apendisitis akut namun kehadiran

gejala-gejala ini tidak terlalu penting dalam menambah kemungkinan appendisitis

dan begitu juga ketidakhadiran gejala-gejala ini tidak akan mengurangi

kemungkinan appendisitis.

e. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Pemeriksaan fisik:

a. Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal

swelling, sehingga pada inspeksi biasa ditemukan distensi perut

b. Palpasi : Pada daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan

terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg

sign). Nyeri perut kanan bawah merupakan kunci dari diagnosis

appendisitis akut. Terkadang dokter akan melakukan pemeriksaan colok

dubur untuk menentukan letak apendiks bila letaknya sulit diketahui. Jika

saat dilakukan colok dubur kemudian terasa nyeri maka kemungkinan

apendiks penderita terletak didaerah pelvis.

Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium

dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada

pasien yang diduga apendisitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test

16
protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien

biasanya ditemukan jumlah leukosit diatas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %. Pada

pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam

setelah inflamasi jaringan. Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada

pasien yang diduga appendisitis akut antara lain adalah ultrasonografi dan CT-

scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada

tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan

ditemukan bagian yang menyilang dengan appendicalith serta perluasan dari

apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari caecum.

f. Diagnosis

Diagnosis appendisitis akut harus dilakukan secara cermat dan teliti.

Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Hal ini

disebabkan karena pada wanita sering timbul nyeri yang menyerupai appendisitis

akut, mulai dari alat genital (karena proses ovulasi, menstruasi), radang di panggul

atau penyakit kandungan lainnya. Hal ini sering menjadi penyebab terlambatnya

diagnosis sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah

perforasi.

Untuk mengurangi kesalahan diagnosis, saat berada di rumah sakit

dilakukan observasi pada penderita tiap 1-2 jam. Dari hasil pemeriksaan

laboratorium, didapatkan peningkatan jumlah sel darah putih yang melebihi

normal. 1

17
g. Penatalaksanaan

Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat adalah tindakan

operatif. Ada dua teknik operasi yang biasa digunakan :1

1. Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di bagian bawah

kanan perut. Sayatan akan lebih besar jika appendisitis sudah mengalami

perforasi.

2. Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar 1-4 buah. Satu di dekat pusar, yang

lainnya di seputar perut. Laparoskopi dilakukan dengan kamera yang akan

dimasukkan melalui sayatan tersebut. Kamera akan merekam bagian

dalam perut kemudian ditampakkan pada monitor. Gambaran yang

dihasilkan akan membantu jalannya operasi dan peralatan yang diperlukan

untuk operasi akan dimasukkan melalui sayatan di tempat lain.

Pengangkatan appendiks, pembuluh darah, dan bagian dari appendiks yang

mengarah ke usus besar akan diikat.

3.2 Teknik Laparoskopi

a. Definisi Laparoskopi

Laparoskopi adalah prosedur untuk melihat rongga perut melalui sebuah

teleskop yang dimasukkan melalui dinding perut. Prosedur pembedahan pada

laparoskopi menggunakan alat-alat yang juga dimasukkan melalui dinding perut.

Melalui teleskop, prosedur pembedahan lebih jelas terlihat karena bisa dilakukan

pemaparan yang lebih baik pada rongga panggul dan efek pembesaran dari

teleskop.

18
Pada tahun 1902, Georg Keling, di Dresden, Saxony melakukan tindakan

laparoskopi pertama pada anjing. Tahun 1910, Hans Christian Jacobaeus di

Swedia melaporkan operasi laparoskopi dilakukan pertama kalinya terhadap

manusia. Dengan ditemukannya chip komputer pada kamera TV, innovasi

laparoskop lebih berkembang lagi. Dengan adanya alat ini, dapat dilakukan

pembesaran lapangan operasi yang terlihat di monitor.

Operasi laparoskopi adalah salah satu alat diagnostik dan terapeutik yang

paling penting di era bedah ini. Sejak tahun 1987, ketika kolesistektomi

laparoskopi pertama berhasil dilakukan oleh Phillipe Mouret, yang kini telah

menjadi standar emas. Manfaat dari teknik ini adalah akses minimal termasuk rasa

sakit kurang, mobilisasi dini, bekas luka minimal dan waktu yang singkat dirawat

di rumah sakit. Prosedur invasif minimal ini menyebabkan pneumoperitoneum

yang berfungsi untuk visualisasi dan manipulasi operasi. Perubahan sistemik,

perubahan cardiopulmonary tertentu, juga tergantung pada tekanan intra-abdomen

dan gas yang digunakan. Masalah utama selama operasi laparoskopi berkaitan

dengan efek cardiopulmonary dari pneumoperitoneum, penyerapan karbon

dioksida sistemik, emboli gas vena, cedera yang tidak disengaja dengan struktur

intra-abdominal dan posisi pasien.3

a. Keuntungan Teknik Laparoskopi

Laparoskopi, yang merupakan revolusi besar di bidang ilmu bedah, kini

banyak dipilih karena prosedurnya yang mudah serta waktu operasi yang relatif

singkat dan lama pemulihan pasca operasi yang lebih singkat ketimbang

konvensional. Ukuran lubang yang diperlukan untuk operasi kurang lebih 0,5-1,5

19
cm, jauh lebih kecil dibandingkan ukuran lubang untuk operasi konvensional.

Karena alasan inilah maka operasi laparoskopi disebut juga bandaid surgery atau

keyhole surgery. Operasi ini disebut juga minimal invasive, karena bagian tubuh

dibuka dengan sedikit sayatan saja. Di samping itu, nyeri pasca operasi,

komplikasi terhadap peristaltik usus dan luka operasi (infeksi luka operasi atau

terbukanya luka operasi) juga lebih rendah. Khusus mengenai pemulihan

peristaltik usus, laparoskopi memungkinkan hal ini lebih cepat terjadi mengingat

organ (usus) tidak perlu dikeluarkan dari perut atau pun dipegang dokter.

b. Kerugian Teknik Laparoskopi

Biaya yang dibutuhkan untuk operasi ini relatif lebih mahal karena operasi

ini memerlukan peralatan-peralatan yang canggih seperti sistim kamera, sistim

lampu. Selain itu operasi laparoskopi ini relatif lebih lama dibandingkan

laparotomi tetapi jika dilakukan oleh seorang operator laparoskopi yang terlatih

dan terampil maka lama operasi tidak berbeda jauh dengan laparotomi.

Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang

operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak larut

terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest.

c. Indikasi Laparoskopi

Indikasi Diagnostik

· Diagnosis diferensiasi patologi genetalia interna

· Infertilitas primer dan atau sekunder

20
· Second look operation,apabila diperlukan tindakan berdasarkan operasi

sebelumnya

· Mencari dan mengangkat translokasi AKDR.

· Pemantauan pada saat dilakukan tindakan histeroskopi

Indikasi terapi

· Kistektomi ,miomektomi dan histerektomi

· Hemostasis perdarahan  pada perforasi uterus akibat tindakan sebelumnya.

Indikasi operatif

· Fimbrioplasti ,salpingostomi,salpingolisis

· Koagulasi lesi endometriosis.

· Aspirasi cairan dari suatu konglomerasi untuk diagnostik yang terapeutik.

· Salpingektomi pada kehamilan ektopik

· Kontrasepsi mantap (oklusi tuba)

· Rekontruksi tuba atau reanastromosis tuba pascatubectomi

· Pungsi folikel matang pada program fertilisasi in-vitro

· Biopsi ovarium pada keadaan tertentu( kelainan kromosom atau bawaa,

curiga keganasan).

· Kistektomi antara lain ada kista coklat (endometrioma), kista dermoid, dan

kista ovarium lain

· Ovariolisis, pada perlekatan periovarium

· Lisis perlekatan oleh omentum dan usus.

. Kolesistektomi

. Appendiktomi

21
d. Kontraindikasi Laparoscopy

Kontraindikasi absolut

·    Kondisi pasien yang tidak memungkinkan dilakukannya anestesi

·    Peritonitis akut terutama yang mengenai abdomen bagian atas , disertai

dengan distensi dinding perut, sebab kelainan ini merupakan

kontraindikasi untuk melakukan pneumoperitonium.

. Kelainan faktor pembekuan darah yang tidak dapat dikoreksi

Kontraindikasi relatif

·    Tumor abdomen yang sangat besar,sehingga sulit untuk memasukkan

trokar kedalam rongga pelvis oleh karena trokar dapat melukai tumor

tersebut.

·    Hernia abdominalis, dikawatirkan dapat melukai usus pada saat

memasukkan trokar ke dalam rongga pelvis, atau memperberat hernia

pada saat dilakukan  pneumoperitonium.kini kekhawatiran ini dapat di

hilangkan dengan modifikasi alat pneumoperitonium otomatic

·    Kelainan atau insufisiensi paru paru, jantung,hepar,atau kelainan

pembuluh darah vena porta,goiter atau kelainan metabolisme lain

yang sulit menyerap gas CO2.

e. Perubahan Fisiologis Selama Pembedahan Laparoskopi

Perubahan fisiologis selama operasi laparoskopi terjadi terutama karena

dua alasan: a) penciptaan pneumoperitoneum dan b) posisi pasien selama operasi.3

22
Operasi laparoskopi intra-abdomen memerlukan pneumoperitoneum

dengan insufisiensi karbon dioksida untuk memungkinkan visualisasi yang

mencukupi pada prosedur yang akan dilakukan. Hal ini menyebabkan peningkatan

volume abdomen, elastisitas dinding abdomen berkurang dan tekanan intra-

abdomen (IAP) meningkat. Ketika IAP melebihi ambang batas fisiologis, sistem

organ menjadi terganggu, yang berpotensi meningkatkan morbiditas dan

mortalitas pasien, terutama pada pasien dengan komorbiditas yang relevan.4

Gas yang paling umum digunakan untuk pembuatan pneumoperitoneum

adalah karbon dioksida (CO2). CO2-induce pada pneumoperitoneum memberikan

efek fisiologis melalui dua mekanisme yang berbeda:

 Efek mekanik yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intraperitoneal.

 Efek kimia dari CO2 digunakan untuk insuflasi.3

Efek Pada Respiratory

Pneumoperitoneum menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen

dengan elevasi diafragma. Hal ini menyebabkan runtuhnya jaringan basal paru

yang akhirnya menyebabkan penurunan kapasitas fungsional residual (FRC), rasio

ventilasi perfusi (V / Q) mismatch, meningkatkan shunting intrapulmonary darah

yang mengarah ke hipoksemia. Konsekuensi ini dapat dikelola dengan mekanisme

peningkatan frekuensi ventilasi ringan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) dan

juga dengan meningkatkan fraksi terinspirasi oksigen (FiO2) selama operasi

laparoskopi. Berbagai penelitian mendukung bahwa PEEP 5 cm H2O harus

dianggap penting selama operasi laparoskopi untuk mengurangi atelektasis

23
intraoperatif yang disebabkan oleh pneumoperitoneum. Hal ini meningkatkan

FRC, dengan demikian meningkatkan pertukaran gas dan oksigenasi.3

Efek Pada Cardiovaskuler

Perubahan kardiovaskular terjadi selama prosedur laparoskopi karena efek

mekanik dan kimia CO2 yang disebabkan pneumoperitoneum. Efek mekanik dari

pneumoperitoneum adalah kompresi vena cava inferior, yang menyebabkan

penurunan aliran balik vena yang menyebabkan penurunan curah jantung dan

peningkatan tekanan vena sentral, mengakibatkan peningkatan resistensi

pembuluh darah dalam sirkulasi arteri. Efek ini harus dikelola dengan

menanamkan cairan yang cukup selama intraoperatif. Efek lain adalah takikardia,

yang merupakan efek sekunder akibat peningkatan debit simpatik, hiperkarbia dan

penurunan aliran balik vena. Hiperkarbia, asidosis, stimulasi simpatis dari

penurunan aliran balik vena dan stimulasi vagal dengan peregangan dari

peritoneum juga mengganggu irama jantung. Sedangkan pada hiperkarbia parah

dapat menghasilkan kontraksi ventrikel prematur, takikardia ventrikel dan bahkan

fibrilasi ventrikel. Stimulasi vagal juga dapat menyebabkan bradyarrythmia. Efek

ini dapat dicegah dengan meminimalkan tekanan intra-abdomen (tidak di atas 12

mmHg) dan hidrasi pra operasi yang tepat dan memonitor end-tidal CO2 (et-

CO2).3

Efek Neurologis

IAP tinggi menyebabkan peningkatan tekanan intra-serebral (ICP) oleh

karena terbatasnya drainase vena serebral sebagai akibat dari peningkatan tekanan

intra-toraks. Pada studi klinis menunjukkan bahwa tekanan perfusi serebral

24
dipertahankan oleh peningkatan tekanan arteri rata-rata yang terjadi pada

peningkatan IAP, peningkatan ICP dapat menyebabkan edema serebral. Ini

memberikan kontribusi terjadinya disfungsi neurologis pada pasien yang

mengalami prosedur laparoskopi yang berkepanjangan.4

Efek Akibat Pengaruh Posisi Pasien

Selama prosedur laparoskopi posisi pasien baik dalam Trendelenburg atau

Reverse Trendelenburg. Posisi ini berdampak pada fungsi kardiopulmoner. Dalam

posisi Trendelenburg, ada peningkatan preload akibat peningkatan aliran balik

vena dari ekstremitas bawah. Posisi ini menyebabkan organ dalam abdomen

bergeser ke arah cephalad, yang meningkatkan tekanan pada diafragma. Dalam

kasus posisi Reverse-Trendelenburg, fungsi paru cenderung meningkat karena

organ-organ dalam abdomen bergeser ke arah caudal, yang meningkatkan volume

tidal oleh penurunan tekanan pada diafragma. Posisi ini juga menurunkan preload

pada jantung dan menyebabkan penurunan aliran balik vena yang menyebabkan

hipotensi. 3,4

Pengelolaan Anestesi

Tujuan dari manajemen anestesi dari pasien yang menjalani operasi

laparoskopi dengan perubahan fisiologis selama operasi dengan efek minimal

pada sistem vital dan pemulihan yang cepat dari anestesi dengan efek residual

minimal. Semua perubahan ini dapat dideteksi dini dengan memantau

elektrokardiogram, tekanan arteri noninvasif (NIBP), tekanan udara, oksimeter

pulsa (SpO2), konsentrasi et-CO2, stimulasi saraf perifer dan suhu tubuh. Output

urine juga harus dipantau pada pasien dengan fungsi kardiopulmoner yang

25
dikompromikan. Kateterisasi urin juga meminimalkan risiko cedera kandung

kemih selama pelabuhan penyisipan.3

a. Manajemen Perioperatif

Airway

Teknik yang paling umum untuk manajemen jalan napas adalah Cuffed

Oral Tracheal Tube (COTT), relaksasi neuromuscular, dan ventilasi tekanan

positif. Tindakan ini melindungi terhadap aspirasi asam lambung,

memungkinkan kontrol optimal CO2. Disarankan ventilasi dengan bag mask

sebelum intubasi harus diminimalkan untuk menghindari distensi lambung

dan penggunaan tabung nasogastrik mungkin diperlukan untuk

mengempiskan perut, dan juga untuk menghindari cedera lambung pada

penyisipan trochar. Penggunaan laringeal mask airway (LMA) pada operasi

laparoskopi masih kontroversial karena peningkatan risiko aspirasi dan

kesulitan untuk mempertahankan transfer gas yang efektif ketika tekanan

jalan napas yang tinggi selama pneumoperitoneum.4

Ventilasi

Pneumoperitoneum dan posisi Trendelenburg yang curam menghambat

ventilasi yang efektif selama operasi laparoskopi. Modalitas kontrol volume

secara tradisional menggunakan aliran konstan untuk memberikan volume

tidal yang telah ditetapkan dan memastikan volume/menit yang memadai

dengan mengorbankan peningkatan risiko barotrauma dan inflasi tekanan

tinggi, terutama pada pasien obesitas.4

Analgetik

26
Keuntungan utama dari operasi laparoskopi adalah berkurangnya waktu

tinggal pasca operasi dan kebutuhan analgesia kualitas tinggi sangat penting

untuk mencegah rasa nyeri pasca operasi. Dengan sifat operasi invasif yang

minimal, nyeri yang dirasakan singkat, namun intens, dan sampai 80% dari

pasien akan memerlukan analgesia opioid pada tahap perioperatif. 4

Antiemetik

Operasi laparoskopi memiliki insiden tinggi terjadinya mual dan muntah

pasca operasi dan ini bisa memperburuk nyeri, dan memperpanjang periode

masuk rumah sakit untuk pasien. Oleh karena itu, profilaksis penting,

terutama pada pasien dengan faktor risiko lain. Seperti operasi terbuka,

regimen seperti ondansetron, cyclizine, dan deksametason tampaknya paling

efektif selain tindakan umum seperti pengempisan isi perut. 4

b. Manajemen Post-operatif

Nyeri biasanya dirasakan selama 2 jam pertama pasca-prosedur operasi

dan durasi dapat berkepanjangan jika kemungkinan terjadi komplikasi

tambahan. Pasca operasi laparoskopi sering terjadi nyeri bahu yang

merupakan hal yang umum terjadi tetapi dapat dikurangi jika dokter bedah

mengeluarkan sebanyak banyaknya gas dari rongga peritoneum. Semua

pasien harus menerima oksigen sementara dalam pemulihan untuk

mengurangi dampak dari pneumoperitoneum pada fungsi pernapasan.5

3.3 General Anestesi

a. Definisi Anestesi Umum

27
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna

menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan

resiko yang tidak diinginkan dari pasien. 11

b. Teori Anestesi Umum

Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum, diantaranya

a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid

Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya berhubungan

langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut di dalam

lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi

(volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika parenteral.

b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect).

Potensi analgesia gas – gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap

tekanan gas – gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi

tergantung dari konsentrasi molekul – molekul bebas aktif.

c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-

crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi

molekul – molekul obatnya dengan molekul – molekul di otak.

d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan

interaksi dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu

membran).

c. Tujuan Anestesi Umum

28
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan

stabilisasi otonom.

d. Keuntungan dan kerugian anestesi umum

Keuntungan dari penggunaan anestesi ini adalah dapat mencegah terjadinya

kesadaran intraoperasi; efek relaksasi otot yang tepat dalam jangka waktu yang

lama; memungkinkan untuk pengontrolan jalan, sistem, dan sirkulasi penapasan;

dapat digunakan pada kasus pasien hipersensitif terhadap zat anestesi lokal; dapat

diberikan tanpa mengubah posisi supinasi pasien; dapat disesuaikan secara mudah

apabila waktu operasi perlu diperpanjang; dan dapat diberikan secara cepat dan

reversibel. Anestesi umum juga memiliki kerugian, yaitu membutuhkan

perawatan yang lebih rumit; membutuhkan persiapan pasien pra operasi; dapat

menyebabkan fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi aktif;

berhubungan dengan beberapa komplikasi seperti mual muntah, sakit

tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan terlambatnya pengembalian fungsi

mental normal; serta berhubungan dengan hipertermia maligna, kondisi otot yang

jarang dan bersifat keturunan apabila terpapar oleh anestesi umum dapat

menyebabkan peningkatan suhu tubuh akut dan berpotensi letal, hiperkarbia,

asidosis metabolik dan hiperkalemia.

e. Syarat, Kontraindikasi Dan Komplikasi Anestesi Umum

Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :

a. Memberi induksi yang halus dan cepat.

b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons

29
c. Timbulkan keadaan amnesia

d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.

e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk

tindakan operasi.

f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang

berlangsung lama.

Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis

derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).

Kontraindikasi Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM

tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA.

Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan.

Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang

bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat – obatan yang

mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau

dosisnya diturunkan. Pasien dengan gangguan ginjal, obat – obatan yang

diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang

memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang

meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf simpatis

pada penyakit diabetes basedow karena dapat menyebabkan peningkatan kadar

gula darah.

Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan

anestesi telah dilakukan dengan sebaik – baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan

oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul

30
pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular

berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 %

dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada

periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan

khususnya pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan

– kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau

infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah

setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu

tubuh.

f. Persiapan Untuk Anestesi Umum

Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum

pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan

wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat

anestesi sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan

alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi –

geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan

pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang

sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan,

masa pembekuan), radiologi, EKG.

Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan

dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist

(ASA).

- ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.

31
- ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang

baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu

ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut

dengan lekositosis dan febris.

- ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang

diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis

perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia

miokardium.

- ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara

langsung mengancam kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau

dekompensasi kordis.

- ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun

dioperasi atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii

dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan

mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE

Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi

lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif,

pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam,

bayi 3 – 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat

dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu

menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat)

atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam

32
keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk

dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi

izin pembedahan secara tertulis (informed concent).

Premedikasi sendiri ialah pemberian obat ½ - 1 jam sebelum induksi

anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari

anestesia, menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan

analgesia dan mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan,

mengurasi sekresi saliva dan saluran napas.

Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :

 Gol. Antikolinergik

Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual

dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan menurunkan

spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja setelah 10 – 15

menit.

 Gol. Hipnotik – sedatif

Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital). Diberikan untuk sedasi dan

mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara

oral atau IM. Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan anak 3 – 5

mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan

efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang

menyebabkan mual dan muntah.

 Gol. Analgetik narkotik

33
Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang

operasi. Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian penggunaan

morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus pada

pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.

Pethidin. Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV. Diberikan untuk

menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos.

Pethidin juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.

 Gol. Transquilizer

Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian

dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis

premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.

g. Metode Pemberian Anestesi Umum

Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral (Intravena,

Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau

anak-anak dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke

anus. Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian

berikan anestesi perinhalasi secara perlahan.

h. Stadium Anestesi

Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia

sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4

sampai henti napas dan henti jantung.

Stadium I

34
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat

anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat

mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan

pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat

dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya

reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).

Stadium II

Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai

dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),

pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan

diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.

Stadium III

Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga

hilangnya pernapasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan

spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke

kiri dan kekanan dengan mudah.

Stadium IV

Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera

diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien

sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman

anestesi yang berlebihan.

TANDA REFLEKS PADA MATA

Refleks pupil

35
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya

dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/

stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal

menandakan pasien mati.

Refleks bulu mata

Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi. Apabila

saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.

Refleks kelopak mata

Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk

memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik

palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah

masuk stadium 1 ataupun 2.

Refleks cahaya

Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita

beri rangsangan cahaya.

h. Teknik Anestesi Umum

a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan

Indikasi :

 Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)

 Keadaan umum baik (ASA I – II)

 Lambung harus kosong

Prosedur :

 Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik

36
 Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

 Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat

penenang)efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non

opioid, dll

 Induksi

 Pemeliharaan

b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan

Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=

endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama,

sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)

Prosedur :

1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn

durasi singkat)

2. Intubasi setelah induksi dan suksinil

3. Pemeliharaan

Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:

S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-

Scope

T = Tubes. Pipa trakea. Usia > 5 tahun dengan balon (cuffed)

A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)

yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak

menymbat jalan napas

T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

37
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah

dimasukkan

C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia

S = Suction. Penyedot lendir dan ludah

Teknik Intubasi

1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap

2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)

3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt

4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong

kepala sedikit ekstensi → mulut membuka

5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi

sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri

6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau

angkat epiglotis ( pada bilah lurus )

7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )

8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah

9. Masukan ET melalui rima glottis

10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas

( alat resusitasi )

Klasifikasi Mallampati :

Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

38
c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)

Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol

pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah

operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian

kita akhiri efek anestesinya.

 Teknik sama dengan diatas

 Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)

 Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

i. Obat – Obat Dalam Anestesi Umum

Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau

inhalasi.

1. Anestetik intravena

 Penggunaan :

39
 Untuk induksi

 Obat tunggal pada operasi singkat

 Tambahan pada obat inhalasi lemah

 Tambahan pada regional anestesi

 Sedasi

 Cara pemberian :

 Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat

 Suntikan berulang (intermiten)

 Diteteskan perinfus

Obat anestetik intravena meliputi :

a. Benzodiazepine

Sifat : hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine like effect,

pelemas otot ringan, cepat melewati barier plasenta.

Kontraindikasi : porfiria dan hamil.

Dosis : Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam :

induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.

b. Propofol

Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting.

Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan

pemberian barbiturat secara inutravena, dan waktu pemulihan yang

lebih cepat. Dosis : 2 – 2,5 mg/kg IV.

c. Ketamin

40
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.

Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian

jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien

resiko tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2

mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 – 10 mg/kgBB.

d. Thiopentone Sodium

Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan

dalam air menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian

thiopental adalah induksi anestesi umum, operasi singkat, sedasi

anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang.

Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan

napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.

2. Anestetik inhalasi

a. N2O

Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak

berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya

tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja,

tekanan penguapan pada suhu kamar ± 50 atmosfir. N2O

mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O

dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum

untuk mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% . gas ini

sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada

waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa

41
mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi

untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O

digunakan secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada

saat proses persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara

umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain

b. Halotan

Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah

terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan

oksigen. Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja,

magnesium, aluminium, brom, karet dan plastic. Karet larut dalam

halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga

pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec.

Efek analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang

ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit

untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4

volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.

c. Isofluran

Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara

kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda.

Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara

yang dihisap oleh penderita karena penderita menahan nafas dan

batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium induksi

dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan

42
bersama N2O dan O2. isofluran merelaksasi otot sehingga baik

untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran

tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin.

Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan

pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg

morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia

diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi

dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam dengan isofluran

tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran.

Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1

MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan

tekanan intracranial.

d. Sevofluran

Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling

disukai untuk induksi inhalasi.

j. Skor Pemulihan Pasca Anestesi

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang

menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu

untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih

perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).

A. Aldrete Score

Nilai Warna

 Merah muda, 2

43
 Pucat, 1

 Sianosis, 0

Pernapasan

 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2

 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1

  Apnoea atau obstruksi, 0

Sirkulasi

 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2

 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1

 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0

Kesadaran  

 Sadar, siaga dan orientasi, 2

 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1

 Tidak berespons, 0

Aktivitas  

 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2

 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1

 Tidak bergerak, 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

 B. Steward Score (anak-anak)

Pergerakan

 Gerak bertujuan 2

 Gerak tak bertujuan 1

44
 Tidak bergerak 0

Pernafasan

 Batuk, menangis 2

 Pertahankan jalan nafas 1

 Perlu bantuan 0

Kesadaran

 Menangis 2

 Bereaksi terhadap rangsangan 1

 Tidak bereaksi 0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

3.4 Intubasi Endotrakeal Tube

a. Definisi

Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam

trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira

dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief, 2007).

Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi,

yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan

yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. 11

b. Ukuran ETT

Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu

misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang

mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan

45
nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung

distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian

tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa

dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada

orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar

8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007). Untuk intubasi oral

panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm.

Pada anak-anak dipakai rumus (Latief, 2007):

 Diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)

 Rumus lain: (umur + 2)/2

 Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)

Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih

besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan

dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.

c. Indikasi Intubasi Trakhea

Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai

berikut (Latief, 2007): 11

a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah

khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.

b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi,

memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.

46
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan faring pada

saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati

dibagi menjadi 4 gradasi (Latief, 2007). 11

d. Kotraindikasi ETT

Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan

mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:

a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom

b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis

c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher, atresi

laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial

d. Benda asing

e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher

f. Obesitas

g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis arkilosing,

halo traction

h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi

moncong.

e. Pemasangan Intubasi Endotrakheal

Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut (Latief, 2007):

a. Persiapan Alat (STATICS)

b. Pelaksanaan

1) Mesin siap pakai

2) Cuci tangan

47
3) Memakai sarung tangan steril

4) Periksa balon pipa/ cuff ETT

5) Pasang macintosh blade yang sesuai

6) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai

7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit

8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan

9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan

10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan

11) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,

dorong blade sampai pangkal epiglotis

12) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%

13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan

kanan

14) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan

nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB

15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak

terdengar

16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan

17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran

18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester

19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir

20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan

21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

48
f. Komplikasi Intubasi

Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan

nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang biasa

terjadi adalah:

a. Saat Intubasi

1) Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di

laring.

2) Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,

dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.

3) Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan

intra okuler, laringospasme

4) Kebocoran balon.

b. Saat ETT di tempatkan

1) Malposisi (kesalahan letak)

2) Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa

hidung.

3) Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.

c. Setelah ekstubasi

1) Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea),

sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.

2) Laringospasme. 11

49
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus di atas, dilakukan tindakan laparoskopi appendiktomi dengan

anestesi umum (anestesi general). Tindakan laparoskopi dilakukan dengan cara

memasukkan gas ke dalam rongga abdomen (pneumoperitoneum) untuk

mengembangkan rongga abdomen sehingga area kerja di dalam rongga abdomen

menjadi lebih luas. Gas yang digunakan adalah CO2 (insuflasi CO2) karena tidak

mengganggu sistemik, mudah diserap, mudah dikeluarkan oleh tubuh (difusi atau

pertukaran gas), dan tidak mengendap (sehingga resiko terjadinya emboli udara

sangat kecil sebab tinggi derajat kelarutannya). 6

Pneumoperitoneum meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan

menekan diafragma ke arah cephalad, pengembangan paru menjadi terhambat

sehingga difusi CO2 ke luar terhambat pula. Bila dibiarkan terus-menerus, kondisi

ini akan menyebabkan hiperkarbia dan hipoksia. Hiperkarbia akan merangsang

sistem saraf simpatis, yang akan meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan

kemungkinan disritmia. Kondisi ini harus dicegah dengan cara menjaga

keseimbangan antara O2 dan CO2, yaitu dengan memberikan O2 tinggi, respiratory

rate tinggi (hiperventilasi), dan volume tidal yang tidak terlalu besar (karena jika

volume tidal besar namun tidak disertai dengan kemampuan pengembangan paru

yang cukup maka dapat terjadi pneumotoraks). Jika hiperkarbia sudah terjadi,

kondisi ini dapat dikompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau

50
respiratory rate sehingga terjadi peningkatan tekanan intra-thoracic, yang akan

diikuti peningkatan tekanan rata-rata arteri pulmonal. 3,6

Tekanan insuflasi CO2 yang tidak terlalu tinggi biasanya menyebabkan

sedikit peningkatan atau tidak sama sekali dari denyut jantung, tekanan vena

sentral, atau curah jantung. Tekanan insuflasi yang tinggi cenderung

menyebabkan penekanan organ-organ di sekitarnya, antara lain kolaps vena utama

abdomen (inferior vena cava) dan aorta abdominalis, yang akan menyebabkan

penurunan venous return, yang akan diikuti dengan penurunan curah jantung pada

beberapa pasien.6 Karena itu, sebelum penekanan oleh CO2 berlangsung, vaskuler

harus terisi penuh sehingga menjaga aliran darah balik agar adekuat. Caranya

adalah dengan pemberian infus cairan.

Pada saat laparoskopi, biasanya pasien diposisikan pada posisi

Trendelenburg (head-down position), posisi ini menyebabkan organ-organ di

rongga abdomen dan diafragma berpindah ke arah cephalad yang akan

menyebabkan pasien sesak napas jika pasien sadar pada anestesi regional.6

Tindakan laparoskopi juga memerlukan relaksasi otot agar visualisasi

menjadi lebih baik dan tekanan insuflasi yang diperlukan lebih rendah, sehingga

diperlukan relaksan otot. Relaksan otot ini bekerja pada otot rangka, sehingga

terjadi kelumpuhan otot pernapasan, otot interostalis, abdominalis, dan relaksasi

otot-otot ekstremitas. Kondisi ini tidak memungkinkan pasien untuk bernapas

spontan karena otot pernapasan lumpuh, sehingga diperlukan teknik ventilasi

yang menjamin zat anestesi inhalasi dan O2 masuk ke trakea dengan benar.7

51
Karena banyaknya risiko yang berhubungan dengan terhambatnya

pernapasan dan vaskular, maka perlu dilakukan anamnesa pre-operatif yang tepat

mengenai penyakit sistemik atau penyakit tertentu yang mengganggu fungsi paru-

paru maupun jantung.

Manajemen Pre-Operatif

Sebelum tindakan laparoskopi, ada beberapa hal yang harus dilakukan

untuk mencegah efek-efek insuflasi CO2 yang tidak diinginkan ke organ-organ

sekitarnya, seperti penekanan gas ke arah cephalad menekan diafragma, ke kaudal

menekan vesika urinaria, ke anterior menekan peritoneum, dan ke posterior

menekan vena cava inferior dan aorta abdominalis. Efek penekanan yang dapat

dicegah adalah kolaps vena cava inferior yang dapat menyebabkan penurunan

venous return dan curah jantung. Untuk mencegahnya, maka pembuluh-

pembuluh darah tersebut harus diisi terlebih dahulu dengan infus cairan sehingga

pembuluh darah memiliki tahanan (tidak obstruksi karena penekanan). Pada

pasien ini diberikan infus RL.

Manajemen Intra-Operatif

Tindakan laparoskopi dibutuhkan anestesi umum (anestesi general) karena

tindakan ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang tidak

memungkinkan pasien untuk bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk menjamin

52
adekuatnya difusi CO2 ke luar tubuh, respiratory rate harus diatur menggunakan

mechanical ventilator dengan RR yang cepat (hiperventilasi) dan volume tidal

yang tidak terlalu besar.

Manajemen Post-Operatif

Pasien post-laparaskopi harus diamati perubahan hemodinamiknya, karena

perubahan hemodinamik sangat mungkin terjadi akibat pneumoperitoneum.

Pasien post-laparoskopi biasanya akan mengalami mual dan muntah

karena distensi dari rongga peritoneum dan untuk mengatasinya pasien dapat

diberikan anti-mual dan anti-muntah. Pasien juga akan merasakan nyeri pada bahu

akibat iritasi diafragma, nyeri ini dapat berlangsung selama 4 hari, hal ini dapat

diatasi dengan pemberian analgesik. Untuk mencegah terjadinya infeksi, dapat

pula diberikan antibiotik profilaksis.

53
BAB V

KESIMPULAN

Teknik anestesi dan manajemen perioperatif yang dilakukan pada tindakan

laparaskopi pada pasien ini, baik dari preoperatif, intraoperatif dan postoperatif

sudah sesuai dengan teori yang ada. Setelah dirawat di recovery room hingga

kesadaran membaik dengan ditemukan tekanan darah 128/85 mmHg, nadi 93

x/menit, respirasi 22 x/menit dan saturasi O2 100% dipindahkan ke bangsal dan

setelah 3 hari pasien dipulangkan dengan kondisi membaik.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Price S, Wilson L. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit, ed 6


vol (1). Jakarta: EGC buku kedokteran. 2006. 448-9.
2. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.3, cet. 1. Jakarta:
Media Aesculapius. 2000.
3.  O’Malley C, Cunningham AJ. Physiologic changes during
laparoscopy. Anesthesiol Clin North America.2001;19:1–19.
4. Hayden P, Cowman S. Anaesthesia for laparoscopic surgery. J
Revalidation from anesthetic (RCA). 2015 (I); 177-180.
5. Phelps P, Cakmakkaya OS, Apfel CC et al. A simple clinical maneuver to
reduce laparoscopy induced shoulder pain: a randomized controlled trial.
Obstet Gynaecol. 2008; 111: 1155–60.
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology, ed 3.
McGraw-Hill. 2006.
7. Amornyotin S. Anesthetic Consideration For Laparoscopic Surgery.
International Journal of Anesthesiology & Research (IJAR). 2013;1(1).3-7.
8. Ashari I. Appendisitis Akut. Dikutip dari:
http://www.irwanashari.com/2007/06/appendisitis-akut.html
9. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.3, cet. 1. Jakarta:
Media Aesculapius. 2000.
10. Sudarwaty Y. General Anestesi pada Laparoskopi Appendiktomi. Dikutip
dari:http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=GENERAL+ANESTESI+PADA+LAPAROSCOPI+APPENDICTO
MI
11. Latief, A.S., (2007), Petunjuk Praktis Anesthesiologi Edisi Kedua, Bagian
Anesthesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
12. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology, Third edition.
McGraw-Hill, 2006

55
56

Anda mungkin juga menyukai