Oleh :
Preseptor :
dr. Anna Millizia, M.Ked(An), Sp.An
BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2018
1
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulispanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “General Anestesi Pada Laparoskopi
Appendiktomi” sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan Klinik
Senior (KKS) di bagian Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten
Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dr.
Anna Millizia, M.Ked(An), Sp.An sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di bagian/SMF
Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB 4 PEMBAHASAN..................................................................................50
BAB 5 KESIMPULAN...................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................55
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Anestesi berasal dari bahasa Yunani, an- yang berarti “tanpa” dan aisthēsi,
yang berarti sensasi. Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total
yaitu hilangnya kesadaran secara total, anestesi regional yaitu hilangnya rasa
pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal
atau saraf yang berhubungan dengannya, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada
daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh). Komponen
anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot.
yang tidak diinginkan dari pasien. Anestesi umum juga termasuk mengendalikan
pemulihan. Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah Endotrakea Tube (ETT)
dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea. Tindakan intubasi
trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan
1
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah
Melalui teleskop, prosedur pembedahan lebih jelas terlihat karena bisa dilakukan
pemaparan yang lebih baik pada rongga panggul dan efek pembesaran dari
teleskop.
dipilih selain karena kemanjuan teknologi dibidang pembedahan, teknik ini dapat
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. R
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
MR : 50.45.45
Alamat : Bireun
Pekerjaan : IRT
Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Aceh
Ruangan : Bedah
Tanggal Masuk Rumah sakit : 9 Oktober 2018
Tanggal Operasi : 10 Oktober 2018
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama:
Nyeri perut kanan bawah.
2.2.2 Keluhan tambahan
Sakit kepala, demam dan mual.
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli Bedah Digestif Cut Meutia dengan keluhan berupa
nyeri perut kanan. Keluhan sudah dirasakan sejak pagi hari 1 hari
sebelumnya, awalnya nyeri dirasakan di uluhati, pasien juga muntah 2 kali,
tidak ada gangguan buang air besar dan kecil.
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma diakui
3
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi pada keluarga disangkal
Riwayat asma pada keluarga disangkal
Riwayat hipertensi pada keluarga disangkal
Riwayat diabetes mellitus pada keluarga disangkal
2.2.6 Riwayat pribadi dan kebiasaan
Merokok : disangkal
Sering terpapar debu : disangkal
Kebiasaan memakai masker : disangkal
Mengkonsumsi alkohol : disangkal
2.2.7 Riwayat sosial ekonomi
Pasien menggunakan BPJS
4
7. Mata : konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), reflek pupil (+/+).
8. Leher : pembesaran kelenjar getah bening submandibula (-).
9. Telinga : Normotia (+/+)
10. Hidung : Bentuk normal
11. Mulut : Bibir edema (-), sianosis (-)
12. Thoraks : Paru : Inspeksi: normochest, simetris, jejas (-),
Palpasi : stem fremitus (normal/normal)
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: vesikuler +/+, Rh -/- , Wh -/-
Jantung :Inspeksi: Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi: Tidak ada thrill
Perkusi: DBN
Auskultasi: DBN
13. Abdomen : Inspeksi: Distensi (-)
Palpasi: Soepel, Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, tidak
ada defans muskuler, nyeri tekan (-)
Perkusi: Tympani
Auskultasi: Bising usus (+)
14. Ekstremitas : Edem (-/-) , Deformitas (-/-)
5
Index Eritrosit
MCV 87,8 (fl) 79-99
MCH 26,3 (pg) 27-32
MCHC 29,9 (g%) 33-37
RDW-CV 12,8 (%) 11-15
Trombosit 256 (ribu/mm3) 150-450
Karbohidrat
Glukosa Darah Sewaktu 90 (mg/dL) 110-200
Hemostasis
Masa Pendarahan/BT 2’ (Menit) 1-3
Masa Pembekuan/CT 8’ (Menit) 9-15
Fungsi Ginjal
Ureum 30,04 20-40
Kreatinin 0,50 0,06- 1,00
Asam Urat 5,5 < 6,8
Lemak
Kolestrol 117 < 200
HDL Kolestrol 35 > 45
LDL Kolestrol 76 100 – 129
Trigliserida 55 < 150
2.5 Assesment
Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
Status fisik ASA I
2.7 Rencana Pembedahan
Laparoskopi Appendiktomi
2.8 Rencana Anestesi:
Anestesi umum dengan intubasi endotrakeal tube
2.9 Kesimpulan
Pasien seorang perempuan usia 42 tahun, status fisik ASA I dengan
diagnosis appendisitis kronik eksaserbasi akut dengan rencana Anestesi
Umum dengan intubasi endotrakeal tube.
2.10 Laporan Anestesi
PERSIAPAN PRA ANESTESI
Persiapan pasien
Di ruang perawatan
6
Pasien di konsultasikan ke dr Anna Millizia, M.Ked(An), Sp.An pada
tanggal 2 Oktober 2018 untuk persetujuan dilakukan tindakan operasi. Setelah
mendapatkan persetujuan, pasien disiapkan untuk rencana Laparoskopi
Appendiktomi keesokan harinya. Diberikan juga informasi kepada keluarga
pasien, antara lain:
7
a. Premedikasi : Fentanyl
b. Obat induksi : Propofol
c. Maintanance anastesi : Isoflurane , N2O, O2
d. Relaksan : Atracurium
e. Obat emergency : Sulfas atropine, ephedrine
f. Analgetik post op : Ketorolac 3%
g. Obat reserve : Prostigmin, Sulfas atropine
Obat Tambahan/ pilihan lain:
Ranitidine 25 mg/ml, Ondansetron 4 mg/ml, Ketorolac 10 mg/ml
Alat untuk melakukan pembiusan:
Spuit 3 cc
Spuit 5 cc
Spuit 10 cc
Obat Tambahan/ pilihan lain:
Ondansentron 4 mg/2 ml, Ranitidine 25 mg/ml, Ketorolac 30 mg/ml
Rencana terapi cairan intraoperatif:
Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.
M (Maintenance)
2 cc/ kgBB/ jam = 2 cc/ 75 kg/ jam 150 cc / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi kecil, maka kebutuhan cairannya adalah:
4 ml x kgBB 4 ml x 75 kg 300 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 10 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 10 x 150 ml 1500 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P (150 + 300 + 750) ml = 1200 ml
8
Circulation : HR 67 x/ menit regular
Disability : GCS : E4V6M5 = 15,
kesadaran : compos mentis
ASA :I
Intra Operatif
1. Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi dengan posisi
supine kemudian dilakukan pemasangan manset dan oksimeter.
2. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di awal
atau penilaian pra induksi:
Kesadaran: Compos Mentis, TD= 135/93 mmHg, nadi= 83 x/menit, saturasi
O2: 99%.
3. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.
4. Pasien diberikan efedrin 1 cc
5. Pemberian premedikasi dengan Fentanyl 100 mcg iv
6. Pemberian atracurium 10 mg iv
7. Induksi dengan Propofol 100 mg iv
8. Pemberian Metilprednisolon 2 cc untuk antiinflamasi karena pasien mengaku
ada riwayat asma namun sudah lama kambuh.
9. Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup muka menggunakan O2 sebanyak 5
liter / menit
10. Setelah relaksasi pasien diintubaasi dengan ETT non kingkin nomor 7.0
11. Auskultasi dengan steteskop bahwa paru kanan dan kiri sama dan dinding
dada kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap inspirasi buatan.
12. ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit nafas alat anestesi, kemudian
N2O dibuka 2,5 liter/menit dan O2 2,5 liter/menit (N2O : O2=50% : 50%).
Pukul 12.35 WIB
Tindakan pembedahan dimulai
TD : 102/68 mmHg, Nadi : 79 x/mnt, Saturasi O2 99%
Pukul 12.55 WIB
9
TD= 121/81 mmHg , nadi= 65 x/menit, saturasi O2 100%
Injeksi ranitidin 50 mg/2 ml IV (spuit 3 cc), ondansetron 4 mg/2 ml IV dan
(spuit 3 cc), Ketorolac 30 mg IV (spuit 3 cc).
Cairan infus Ringer Laktat 1 telah habis sebanyak 500 ml, digantikan
dengan infus Ringer Laktat 2.
Pukul 13.25 WIB
TD= 123/96 , nadi= 89x/menit, saturasi O2 100%
Pembedahan selesai
Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
Pemberian prostigmin 0,5 mg dan sulfas atropin 0,5 mg
Setelah pasien bangun, lendir dikeluarkan dengan suction, ETT
dikeluarkan lalu diberi oksigen murni 5 liter/menit
Manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.
Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang
pemulihan atau recovery room (RR).
Post Operatif
Pukul 13.35 WIB
Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 13.35 WIB. Dilakukan
penilaian terhadap tingkat kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos
mentis. Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 128/85
mmHg, nadi 93 x/menit, respirasi 22 x/menit dan saturasi O2 100%.
INSTRUKSI POST OP
IVFD RL 20 gtt/i
Bila muntah : Inj Ondansentrone 4 mg/12 jam/IV
Bila nyeri : Inj Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
Terapi lain sesuai bedah
10
Laporan Anestesi
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Appendisitis Akut
a. Definisi
lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen dan
tersebut maka dapat mempermudah timbulnya appendicitis. Hingga saat ini fungsi
b. Etiologi
Appendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks. Obstruksi pada lumen appendiks
12
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),
hiperplasia jaringan limfoid, parasit, benda asing dalam tubuh, dan neoplasma.
Yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen appendiks adalah fekalit dan
c. Patogenesis
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
appendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan appendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendisitis
perforasi.
13
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah.2
14
Nyeri Appendisitis
Nyeri dari visera seringkali secara bersamaan dilokalisasi di dua daerah
permukaan tubuh karena nyeri dijalarkan melalui nyeri alih viseral dan nyeri
d. Manifestasi Klinis
Ada beberapa gejala awal yang khas yakni nyeri yang dirasakan secara
samar (nyeri tumpul) di daerah sekitar pusar (umbilikus atau periumbilikus) yang
berhubungan dengan muntah. Kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan
bawah dengan tanda-tanda yang khas pada appendisitis akut yaitu nyeri pada titik
Mc Burney. Nyeri perut ini akan bertambah sakit apabila terjadi pergerakan
seperti batuk, bernapas dalam, bersin, dan disentuh daerah yang sakit. Nyeri saat
yang bertambah saat terjadi pergerakan disebabkan karena adanya gesekan antara
15
peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan
dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus
kemungkinan appendisitis.
Pemeriksaan fisik:
b. Palpasi : Pada daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan
terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg
dubur untuk menentukan letak apendiks bila letaknya sulit diketahui. Jika
Pemeriksaan penunjang :
pasien yang diduga apendisitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test
16
protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien
biasanya ditemukan jumlah leukosit diatas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %. Pada
pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam
pasien yang diduga appendisitis akut antara lain adalah ultrasonografi dan CT-
tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan
f. Diagnosis
Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan karena pada wanita sering timbul nyeri yang menyerupai appendisitis
akut, mulai dari alat genital (karena proses ovulasi, menstruasi), radang di panggul
atau penyakit kandungan lainnya. Hal ini sering menjadi penyebab terlambatnya
diagnosis sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
perforasi.
dilakukan observasi pada penderita tiap 1-2 jam. Dari hasil pemeriksaan
normal. 1
17
g. Penatalaksanaan
Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat adalah tindakan
1. Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di bagian bawah
kanan perut. Sayatan akan lebih besar jika appendisitis sudah mengalami
perforasi.
2. Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar 1-4 buah. Satu di dekat pusar, yang
a. Definisi Laparoskopi
Melalui teleskop, prosedur pembedahan lebih jelas terlihat karena bisa dilakukan
pemaparan yang lebih baik pada rongga panggul dan efek pembesaran dari
teleskop.
18
Pada tahun 1902, Georg Keling, di Dresden, Saxony melakukan tindakan
laparoskop lebih berkembang lagi. Dengan adanya alat ini, dapat dilakukan
Operasi laparoskopi adalah salah satu alat diagnostik dan terapeutik yang
paling penting di era bedah ini. Sejak tahun 1987, ketika kolesistektomi
laparoskopi pertama berhasil dilakukan oleh Phillipe Mouret, yang kini telah
menjadi standar emas. Manfaat dari teknik ini adalah akses minimal termasuk rasa
sakit kurang, mobilisasi dini, bekas luka minimal dan waktu yang singkat dirawat
dan gas yang digunakan. Masalah utama selama operasi laparoskopi berkaitan
dioksida sistemik, emboli gas vena, cedera yang tidak disengaja dengan struktur
banyak dipilih karena prosedurnya yang mudah serta waktu operasi yang relatif
singkat dan lama pemulihan pasca operasi yang lebih singkat ketimbang
konvensional. Ukuran lubang yang diperlukan untuk operasi kurang lebih 0,5-1,5
19
cm, jauh lebih kecil dibandingkan ukuran lubang untuk operasi konvensional.
Karena alasan inilah maka operasi laparoskopi disebut juga bandaid surgery atau
keyhole surgery. Operasi ini disebut juga minimal invasive, karena bagian tubuh
dibuka dengan sedikit sayatan saja. Di samping itu, nyeri pasca operasi,
komplikasi terhadap peristaltik usus dan luka operasi (infeksi luka operasi atau
peristaltik usus, laparoskopi memungkinkan hal ini lebih cepat terjadi mengingat
organ (usus) tidak perlu dikeluarkan dari perut atau pun dipegang dokter.
Biaya yang dibutuhkan untuk operasi ini relatif lebih mahal karena operasi
lampu. Selain itu operasi laparoskopi ini relatif lebih lama dibandingkan
laparotomi tetapi jika dilakukan oleh seorang operator laparoskopi yang terlatih
dan terampil maka lama operasi tidak berbeda jauh dengan laparotomi.
maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang
operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak larut
c. Indikasi Laparoskopi
Indikasi Diagnostik
20
· Second look operation,apabila diperlukan tindakan berdasarkan operasi
sebelumnya
Indikasi terapi
Indikasi operatif
· Fimbrioplasti ,salpingostomi,salpingolisis
curiga keganasan).
· Kistektomi antara lain ada kista coklat (endometrioma), kista dermoid, dan
. Kolesistektomi
. Appendiktomi
21
d. Kontraindikasi Laparoscopy
Kontraindikasi absolut
Kontraindikasi relatif
trokar kedalam rongga pelvis oleh karena trokar dapat melukai tumor
tersebut.
22
Operasi laparoskopi intra-abdomen memerlukan pneumoperitoneum
mencukupi pada prosedur yang akan dilakukan. Hal ini menyebabkan peningkatan
abdomen (IAP) meningkat. Ketika IAP melebihi ambang batas fisiologis, sistem
dengan elevasi diafragma. Hal ini menyebabkan runtuhnya jaringan basal paru
peningkatan frekuensi ventilasi ringan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) dan
23
intraoperatif yang disebabkan oleh pneumoperitoneum. Hal ini meningkatkan
mekanik dan kimia CO2 yang disebabkan pneumoperitoneum. Efek mekanik dari
penurunan aliran balik vena yang menyebabkan penurunan curah jantung dan
pembuluh darah dalam sirkulasi arteri. Efek ini harus dikelola dengan
menanamkan cairan yang cukup selama intraoperatif. Efek lain adalah takikardia,
yang merupakan efek sekunder akibat peningkatan debit simpatik, hiperkarbia dan
penurunan aliran balik vena dan stimulasi vagal dengan peregangan dari
mmHg) dan hidrasi pra operasi yang tepat dan memonitor end-tidal CO2 (et-
CO2).3
Efek Neurologis
karena terbatasnya drainase vena serebral sebagai akibat dari peningkatan tekanan
24
dipertahankan oleh peningkatan tekanan arteri rata-rata yang terjadi pada
vena dari ekstremitas bawah. Posisi ini menyebabkan organ dalam abdomen
tidal oleh penurunan tekanan pada diafragma. Posisi ini juga menurunkan preload
pada jantung dan menyebabkan penurunan aliran balik vena yang menyebabkan
hipotensi. 3,4
Pengelolaan Anestesi
pada sistem vital dan pemulihan yang cepat dari anestesi dengan efek residual
pulsa (SpO2), konsentrasi et-CO2, stimulasi saraf perifer dan suhu tubuh. Output
urine juga harus dipantau pada pasien dengan fungsi kardiopulmoner yang
25
dikompromikan. Kateterisasi urin juga meminimalkan risiko cedera kandung
a. Manajemen Perioperatif
Airway
Teknik yang paling umum untuk manajemen jalan napas adalah Cuffed
Ventilasi
Analgetik
26
Keuntungan utama dari operasi laparoskopi adalah berkurangnya waktu
tinggal pasca operasi dan kebutuhan analgesia kualitas tinggi sangat penting
untuk mencegah rasa nyeri pasca operasi. Dengan sifat operasi invasif yang
minimal, nyeri yang dirasakan singkat, namun intens, dan sampai 80% dari
Antiemetik
pasca operasi dan ini bisa memperburuk nyeri, dan memperpanjang periode
masuk rumah sakit untuk pasien. Oleh karena itu, profilaksis penting,
terutama pada pasien dengan faktor risiko lain. Seperti operasi terbuka,
b. Manajemen Post-operatif
merupakan hal yang umum terjadi tetapi dapat dikurangi jika dokter bedah
27
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum, diantaranya
lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect).
Potensi analgesia gas – gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap
tekanan gas – gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi
membran).
28
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan
stabilisasi otonom.
kesadaran intraoperasi; efek relaksasi otot yang tepat dalam jangka waktu yang
dapat digunakan pada kasus pasien hipersensitif terhadap zat anestesi lokal; dapat
diberikan tanpa mengubah posisi supinasi pasien; dapat disesuaikan secara mudah
apabila waktu operasi perlu diperpanjang; dan dapat diberikan secara cepat dan
perawatan yang lebih rumit; membutuhkan persiapan pasien pra operasi; dapat
mental normal; serta berhubungan dengan hipertermia maligna, kondisi otot yang
jarang dan bersifat keturunan apabila terpapar oleh anestesi umum dapat
29
c. Timbulkan keadaan amnesia
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk
tindakan operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang
berlangsung lama.
derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).
Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang
bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat – obatan yang
diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang
memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang
meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf simpatis
gula darah.
oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul
30
pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular
berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 %
khususnya pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan
tubuh.
geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan
pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
(ASA).
31
- ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu
- ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
miokardium.
dekompensasi kordis.
dioperasi atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii
dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu
32
keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk
dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi
Gol. Antikolinergik
dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan menurunkan
menit.
oral atau IM. Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan anak 3 – 5
efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
33
Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang
morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus pada
Gol. Transquilizer
anus. Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian
h. Stadium Anestesi
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia
sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4
Stadium I
34
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya
reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
Stadium IV
diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien
sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman
Refleks pupil
35
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi. Apabila
saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk
memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik
palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita
Indikasi :
Prosedur :
36
Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
opioid, dll
Induksi
Pemeliharaan
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama,
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
3. Pemeliharaan
Scope
A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)
yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak
T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
37
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
Teknik Intubasi
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas
( alat resusitasi )
Klasifikasi Mallampati :
38
c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian
Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau
inhalasi.
1. Anestetik intravena
Penggunaan :
39
Untuk induksi
Sedasi
Cara pemberian :
Diteteskan perinfus
a. Benzodiazepine
b. Propofol
c. Ketamin
40
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.
d. Thiopentone Sodium
2. Anestetik inhalasi
a. N2O
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya
41
mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi
b. Halotan
pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec.
c. Isofluran
42
bersama N2O dan O2. isofluran merelaksasi otot sehingga baik
Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1
tekanan intracranial.
d. Sevofluran
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih
A. Aldrete Score
Nilai Warna
Merah muda, 2
43
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Sirkulasi
Kesadaran
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Tidak bergerak, 0
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
44
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Tidak bereaksi 0
a. Definisi
dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief, 2007).
Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi,
yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan
yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. 11
b. Ukuran ETT
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang
mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan
45
nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung
distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian
tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa
dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada
orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar
8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007). Untuk intubasi oral
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih
besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
46
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan faring pada
saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati
d. Kotraindikasi ETT
d. Benda asing
f. Obesitas
halo traction
moncong.
b. Pelaksanaan
2) Cuci tangan
47
3) Memakai sarung tangan steril
10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
48
f. Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang biasa
terjadi adalah:
a. Saat Intubasi
laring.
2) Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
4) Kebocoran balon.
2) Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa
hidung.
c. Setelah ekstubasi
1) Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea),
2) Laringospasme. 11
49
BAB IV
PEMBAHASAN
menjadi lebih luas. Gas yang digunakan adalah CO2 (insuflasi CO2) karena tidak
mengganggu sistemik, mudah diserap, mudah dikeluarkan oleh tubuh (difusi atau
pertukaran gas), dan tidak mengendap (sehingga resiko terjadinya emboli udara
sehingga difusi CO2 ke luar terhambat pula. Bila dibiarkan terus-menerus, kondisi
sistem saraf simpatis, yang akan meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan
rate tinggi (hiperventilasi), dan volume tidal yang tidak terlalu besar (karena jika
volume tidal besar namun tidak disertai dengan kemampuan pengembangan paru
yang cukup maka dapat terjadi pneumotoraks). Jika hiperkarbia sudah terjadi,
50
respiratory rate sehingga terjadi peningkatan tekanan intra-thoracic, yang akan
sedikit peningkatan atau tidak sama sekali dari denyut jantung, tekanan vena
abdomen (inferior vena cava) dan aorta abdominalis, yang akan menyebabkan
penurunan venous return, yang akan diikuti dengan penurunan curah jantung pada
beberapa pasien.6 Karena itu, sebelum penekanan oleh CO2 berlangsung, vaskuler
harus terisi penuh sehingga menjaga aliran darah balik agar adekuat. Caranya
menyebabkan pasien sesak napas jika pasien sadar pada anestesi regional.6
menjadi lebih baik dan tekanan insuflasi yang diperlukan lebih rendah, sehingga
diperlukan relaksan otot. Relaksan otot ini bekerja pada otot rangka, sehingga
yang menjamin zat anestesi inhalasi dan O2 masuk ke trakea dengan benar.7
51
Karena banyaknya risiko yang berhubungan dengan terhambatnya
pernapasan dan vaskular, maka perlu dilakukan anamnesa pre-operatif yang tepat
mengenai penyakit sistemik atau penyakit tertentu yang mengganggu fungsi paru-
Manajemen Pre-Operatif
menekan vena cava inferior dan aorta abdominalis. Efek penekanan yang dapat
dicegah adalah kolaps vena cava inferior yang dapat menyebabkan penurunan
pembuluh darah tersebut harus diisi terlebih dahulu dengan infus cairan sehingga
Manajemen Intra-Operatif
tindakan ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang tidak
memungkinkan pasien untuk bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk menjamin
52
adekuatnya difusi CO2 ke luar tubuh, respiratory rate harus diatur menggunakan
Manajemen Post-Operatif
karena distensi dari rongga peritoneum dan untuk mengatasinya pasien dapat
diberikan anti-mual dan anti-muntah. Pasien juga akan merasakan nyeri pada bahu
akibat iritasi diafragma, nyeri ini dapat berlangsung selama 4 hari, hal ini dapat
53
BAB V
KESIMPULAN
laparaskopi pada pasien ini, baik dari preoperatif, intraoperatif dan postoperatif
sudah sesuai dengan teori yang ada. Setelah dirawat di recovery room hingga
54
DAFTAR PUSTAKA
55
56