Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

LARYNGEAL MASK AIRWAY (LMA)

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Anestesi RSPAD Gatot Subroto

Disusun oleh :
Anggit Anggarda Paramitha - 1102018186

Pembimbing:
dr. Listyo Lindawati Julia, Sp. AN

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN


REAMINASI
RSPAD GATOT SOEBROTO
PROGRAM PROFESI KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 18 APRIL – 29 MEI 2022

1

LEMBAR PENGESAHAN

KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI

PRESENTASI KASUS DENGAN JUDUL

LARYNGEAL MASK AIRWAY

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di


Bagian

Departemen Anestesi Dan Reanimasi

Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Jakarta

Disusun oleh:

Anggit Anggarda Paramitha

1102018186

Telah disetujui oleh Pembimbing

dr. Listyo Lindawati Julia, Sp. AN

2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
laporan kasus yang berjudul “Laryngeal Mask Airway (LMA)”, dan merupakan
salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik di Instalasi Anestesi
dan Reanimasi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.

Dalam menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini, penulis mengucapkan


rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada, dr. Listyo Lindawati Julia, Sp. AN
selaku dokter pembimbing dan penguji yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan ilmunya. Serta, kepada teman-teman Co-Ass yang telah membantu
dalam penyusunan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini, masih


terdapat banyak kekerungan dan masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca

Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak
yang berkepentingan, untuk pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya.

Jakarta, 30 April 2022

Penulis

3

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 12
3.1 Anestesi Umum…………………………………………………….16
3.2 Jalan Napas Sulit…………………………………………………...23
3.3 Laryngeal Mask Airway (LMA)…………………………………...24
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 36
BAB III PENUTUP............................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 40

4

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan rasa nyeri pada tubuh
baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran selama proses pembedahan.
Perkembangan anestesi umum di era modern melibatkan pemberian kombinasi obat
(trias anestesi) terdiri dari; hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Tahapannya
mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan.1
Jalan napas sulit merupakan suatu kondisi yang menyebabkan kesulitan
dalam ventilasi menggunakan sungkup, intubasi trakea, atau keduanya.2 Kesulitan
atau ketidakmampuan untuk melakukan manajemen jalan napas masih merupakan
faktor tunggal yang paling mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan anestesi umum.3 Supraglottic airway device adalah alat yang digunakan
ketika laringoskop direk dan intubasi tidak berhasil dilakukan. Laryngeal mask
airway (LMA) merupakan alat jalan napas supraglotik yang paling banyak
digunakan. LMA juga mampu memberikan manajemen jalan napas pada bayi dan
anak-anak. LMA memiliki beberapa keuntungan, yaitu kurang invasif, perubahan
hemodinamik secara signifikan lebih sedikit, alternatif terbaik terutama pada
operasi jangka pendek, dan ketidaknyamanan pasca operasi lebih sedikit
dirasakan.4
Pada laporan kasus ini akan membahas penggunaan anestesi umum dengan
laryngeal mask airway (LMA), laki-laki, usia 36 tahun, dengan diagnosis penyakit
chronic wound regio antebrachi dextra ex electric injury, diagnosis anestesi ASA I
tanpa penyulit jalan napas, pembedahan yang dilakukan adalah debridement dan
tutup defek.

5

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. R
No. RM : 0109XXX
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 36 Tahun
Tanggal Lahir : 14 Mei 1985
Pekerjaan : Pegawai swasta
Agama : Islam
Tanggal operasi : 27 April 2022

2.2. Anamnesis
Anamnesis dengan pasien pada tanggal 27 April 2022 pukul 15.30 WIB

A. Keluhan Utama :
Pasien ingin menjalani operasi lanjutan untuk reparasi luka di
pergelangan tangan kanan akibat tersengat listrik 3 bulan lalu.

B. Riwayat penyakit Sekarang :


Pasien mengatakan luka di pergelangan tangan pasien masih nyeri dan
sekarang akan melakukan operasi lanjutan ketiga. Pada operasi kedua,
pasien menggunakan anestesi umum dengan endotracheal tube. Pasien
tidak ada keluhan demam, mual, muntah, batuk, pilek, dan pusing.

C. Riwayat operasi :
Riwayat operasi reparasi luka 2x dengan general anestesi

D. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi, penyakit paru, diabetes
mellitus, hipertensi, penyakit jantung.

6

E. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit keluarga.

F. Riwayat Pribadi Sosial :


Pasien merokok, tidak minum alkohol.

2.3. Pemeriksaan Fisik


A. Tanda Vital
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36 oC
BB/TB : 58 kg/ 175 cm
IMT : 18,9 (Underweight)

B. Status Generalis
Kepala
Bentuk normochepal, rambut bewarna hitam dengan distribusi merata,
tidak ada konjungtiva anemis, tidak ada sclera ikterik, tidak ada mata
cekung.

Leher
Tidak ada pembesaran KGB.

Mulut
T1-T1 tenang, tidak ada deviasi uvula, Mallampati 1, tidak ada gigi
goyang, tidak ada gigi ompong, tidak ada gigi palsu, buka mulut
maksimal 3 jari.

Thoraks
Pulmo

7

Inspeksi : Normochest, tidak ada retraksi dinding dada
Palpasi : Simetris, vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler normal. Tidak ada rhonki,
tidak ada wheezing.
Cor
Inspeksi : Simetris, iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba lemah
Perkusi : Batas jantung dalam normal
Auskultasi : Bunyi S1-S2 reguler, tidak ada murmur, tidak ada
gallop

Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak ada sikatrik
Auskultasi : Bising Usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembesaran
hepar dan lien
Perkusi : Timpani

Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada oedem

2.4. Pemeriksaan Penunjang


A. Laboratorium
Waktu Pemeriksaan : 11 April 2022

Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien

Hasil
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan
Saat ini
HEMATOLOGI

Hemoglobin 16,4 13.0 - 18.0 g/dL

8

Hematokrit 47 40 - 52%

Eritrosit 5.8 4.3 - 6juta/uL

Leukosit 6740 4,800 – 10,800/uL

Trombosit 329000 150,000 – 400,000 /uL

Hitung jenis:

• Basofil 0 0-1%

• Eosinofil 9 1-2%

• Batang 3 2-6%

• Segmen 45 50-70%

• Limfosit 32 20-40%

• Monosit 11 2-8%

MCV 76 78 - 98 fL

MCH 25 25 - 35 pg

MCHC 33 31 - 37 g/dL

KIMIA KLINIK

SGOT 56 <35 u/I

SGPT 68 <40 u/I

Ureum 26 20 - 50 mg/dl

Kreatinin 0.87 0,5 - 1,5 mg/dl

Albumin 4.5 5.5-5.0 g/dL

Gula Darah
79 70 - 140 mg/dL
Sewaktu

KOAGULASI

9

Waktu protrombin

• Kontrol 10.8 detik

• Pasien 10.2 9.3-11.8 detik

APTT

• Kontrol 23.4 detik

• Pasien 29.6 23.4-31.5 detik

B. Radiologi
1. FOTO THORAX
Waktu Pemeriksaan: 10 April 2022
- Jantung ukuran tidak membesar
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trachea ditengah, kedua hilus tidak menebal
- Corakan bronchovascular kedua paru baik
- Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapang paru
- Sinus costofrenikus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
Kesan: tidak tampak kelainan radiologis pada paru

2.5. Diagnosis Kerja


Chronic wound regio antebrachi dextra ex electric injury

2.6. Jenis Pembedahan


Debridement dan tutup defek.

2.7. Penggolongan Asa

ASA I

2.8. Rencana Anestesi

10

Anestesi Umum

2.9. PELAKSANAAN ANESTESI

a. Persiapan Pasien

1. Sebelum operasi
- Melakukan informed consent terkait jenis tindakan operasi dan jenis
teknik pembiusan yang akan dilakukan.
- Pasien di konsultasikan dari spesialis bedah plastik dan rekonstruksi
estetika ke spesialis penyakit dalam dan spesialis anestesi.
- Setelah mendapatkan persetujuan dari spesialis penyakit dalam dan
spesialis anestesi, dilakukan kunjungan pre-operatif terhadap pasien.
2. Di ruang perawatan
- Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi.
3. Di ruang persiapan
- Memeriksa ulang identitas pasien
- Mengganti pakaian pasien dengan pakaian yang telah disediakan
sebelum masuk kamar operasi.
- Melakukan pemasangan infus dengan IV line no 20G di tangan kiri.
4. Di ruang operasi
- Pasien masuk ke kamar operasi dan dibaringkan dengan posisi
terlentang di meja operasi.

b. Persiapan Alat
1. Sarung tangan
2. LMA sesuai ukuran
3. Jelly
4. Bag-valve mask
5. Sumber oksigen
6. Alat suction
7. Syringe untuk mengembangkan cuff
8. Stetoskop

11

9. Tape

c. Persiapan Obat-Obatan Anestesi


1. Premedikasi ringan : Midazolam 2 mg
2. Analgetik : Fentanyl 75 mcg
3. Relaksan : Notrixum 20 mg
4. Induksi : Propofol 100 mg, Sevoflurance 2 vol%,
N2O 2 lt
5. Maintanance : Sevoflurance 1,5 vol%, N2O 2 lt
6. Obat reverse : Sulfas atropine 0,25 mg : Prostigmin 0.5 mg
7. Analgetik post op : Tramal 100 mg IV
8. Antiemetik : Ondansentron 8 mg IV, Deksametason 10
mg IV
9. Antibiotik : Ceftriaxone 2 gram IV
10. Obat emergency : Sulfas Atropin 0,5 – 1 mg IV
Epinepherine 1 mg atau 0,02 mg/kg larutan
1:10.000
Ephedrine 5-20 mg
Aminophylline 5-6 mg/kg IV
Nalokson 1-2 mcg/kgBB IV
Pelaksanaan Operasi
Pukul 10.30 WIB
• Menanyakan kembali identitas apakah sudah benar, rencana
tindakan sudah jelas, dan mengklarifikasi bahwa sudah ada
persetujuan akan tindakan medis yang akan dilakukan.
• Menanyakan ulang apakah pasien memiliki riwayat alergi.
• Menanyakan apakah pasien memiliki gangguan pernafasan.
• Memasang monitor EKG, NIBP, dan pulse oksimeter
• Cek apakah alat yang terpasang pada pasien (EKG, NIBP, dan
pulse oksimeter) berfungsi dengan baik.
• Menilai tanda vital sebelum induksi, yaitu tekanan darah: 121/79
mmHg, nadi: 72x/menit, suhu: 36oC, RR: 20 x/menit

12

• Bertanya kepada dokter bedah apakah pasien memiliki resiko
perdarahan lebih dari 500 ml.

Pukul 10.40 WIB


• Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.
• Induksi dengan Propofol 100 mg, Sevoflurance 2 vol%, dan N2O
2 lt.
• Setelah kesadaran pasien menurun, berikan O2 100% 5 liter/menit
atau preoksigenasi kalau perlu napas dibantu dengan menekan
balon napas secara periodik
• Setelah reflex bulu mata menghilang, diberikan Notrixum 20 mg
IV, pemberian ini mengakibatkan apnea karena itu napas
dikendalikan dengan menekan balon napas sekitar 3 menit setelah
diberikan Notrixum. Setelah relaksasi, pasien diinsersi dengan
LMA no 4 cuff (+).
• Cara pasang LMA pada pasien, yaitu cuff dikempiskan terlebih
dahulu, masukkan LMA dengan posisi sungkup sesuai saat
berada di hipopharynx melalui mulut dengan bantuan ibu jari dan
telunjuk tangan lainnya saat membuka mulut dan mendorong
LMA hingga di posisi yang sesuai, amati dinding dada kanan dan
kiri bergerak simetris, lalu kembangkan cuff untuk fiksasi, dan
pasang tape untuk fiksasi tube ke bagian atas dan bawah bibir.
• Tutup mata pasien dengan plester
• Pemberian Ondansentron 8 mg, Tramal 100 mg, Dexamethasone
10 mg
• Napas pasien dikendalikan dengan ventilator. Volume tidal 460
mL dengan frekuensi 14 kali per menit
• Tekanan darah 130/67 mmHg, nadi 70x/menit, SpO2 100%

Pukul 11.00 WIB


• Pembedahan dimulai
• Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 60x/menit, SpO2 100%

13

Pukul 11.15 WIB
• Tekanan darah 105/65 mmHg, nadi 58x/menit, SpO2 100%

Pukul 11.30 WIB


• Tekanan darah 110/68 mmHg, nadi 55x/menit, SpO2 100%
• Pemberian cairan RL 500 ml
• Pemberian antibiotik Ceftriaxone 2 gr

Pukul 11.45 WIB


• Tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 52x/menit, SpO2 100%

Pukul 11.55 WIB


• Pembedahan selesai
• Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 60x/menit, SpO2 100%
• Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
• Pemberian reverse
• Bersihkan jalan napas dari secret, dengan suction
• Sekret dikeluarkan dengan suction pastikan jalan napas sudah
bersih dari sekret sembari membangunkan pasien, LMA
dikeluarkan jika pasien sudah sadar, lalu diberi oksigen murni 5
liter/menit
• Cara pengeluaran LMA pada pasien, yaitu buka tape yang
terpasang, kempiskan cuff, tarik LMA secara perlahan dan
lembut.
• Elektrokardiogram, manset sfigmomanometer dan saturasi O2
dilepas
• Pasien dipindahkan ke brankar untuk dibawa keruang pemulihan
atau recovery room (RR)

Post Operasi
1. Di Ruang Pemulihan

14

Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 12.00 WIB. Lalu
diberikan oksgien dengan nasal kanul sebesar 2 liter/menit, kemudian
dilakukan penilaian terhadap tingkat kesadaran, Pada pasien
kesadarannya compos mentis. Dilakukan pemeriksaan tanda vital,
tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 65x/menit, respirasi 16x/menit dan
saturasi O2 100%.
Penilaian pulih sadar menurut Aldrette score:
Kesadaran : 2 (Sadar orientasi baik)
Warna kulit : 2 (Merah muda)
Aktivitas : 2 (4 ekstremitas bergerak)
Respirasi : 2 (Adekuat, dapat napas dalam batuk)
Kardiovaskuler : 2 (Tekanan darah stabil)
Total Aldrette score : 10
Pasien diperbolehkan dipindahkan ke ruang perawatan

2. Instruksi Pasca Bedah


• Paracetamol 1000 mg IV bila pasien kesakitan
• Ondancentron 4 mg IV bila pasien mual muntah
• Infus Asering 5-10 gtt/menit
• Obat-obatan sesuai DPJP
• Pemantauan tekanan darah, nadi, napas setiap 15 menit selama 2
jam

15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anestesi Umum


3.1.1 Definisi

Anestesia berasal dari bahasa Yunani yang berarti


“hilangnya rasa”. Anestesia didefinisikan sebagai tindakan dan
usaha meniadakan nyeri disertai hilangnya kesadaran yang bersifat
pulih kembali (reversible) akibat pemberian obat-obatan.1 Anestesi
menyebabkan amnesia yang bersifat anterograd, yaitu hilangnya
ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat pasien
sudah sadar, pasien tidak dapat mengingat peristiwa
pembedahan/pembiusan yang baru saja dilakukan tanpa efek
samping.5 Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga
komponen atau lebih dikenal dengan istilah trias anestesi, yaitu
hipnotik (tidak sadarkan diri = “mati ingatan’), analgesi (bebas
nyeri = “mati rasa”), dan relaksasi otot rangka (“mati gerak”). Trias
anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestesi secara
tunggal atau dengan kombinasi beberapa agen anestesi (balanced
anesthesia). Obat-obat anestesi dapat diberikan secara parental,
inhalasi, atau rektal.1

3.1.2 Klasifikasi Anestesi


1. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh
tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat
reversible.
2. Anestesi Lokal
Anestesi lokal yaitu hilangnya rasa sakit setempat yang
terpengaruh hanya pada syaraf perifer sehingga tidak terjadi
kehilangan kesadaran.
3. Anestesi Regional

16

Terdiri dari:
1.) Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal,
epidural, dan kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2.) Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis,
aksiler, analgesia regional intravena, dan yang lainnya.

3.1.3 Stadium Anestesi

Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4


stadium, yaitu:1

1. Stadium I (Analgesia/disorientasi)
Dimulai saat pemberian anestetik hipnotik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesia (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan bisa dikerjakan di stadium ini. Stadium
berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflek bulu mata
diketahui dengan melakukan rabaan pada bulu mata.

2. Stadium II (Eksitasi/Delirium)
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur dan
diakhiri dengan hilangnya refleks menelan serta kelopak mata
dan selanjutnya nafas menjadi teratur.

3. Stadium III (Operasi)


Mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya pernapasan
spotan sampai paralise otot nafas. Stadium ini dibagi menjadi 4
plana :
a. Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut
seimbang, terjadi gerakan bola mata involunter, pupil
miosis, reflek cahaya ada, lakrimasi meningkat, reflek
faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai
menurun).

17

b. Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume
tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak
bergerak (tetapi terfiksasi di tengah), pupil midriasis,
reflek cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan
reflek laring hilang sehingga proses intubasi dapat
dilakukan.
c. Plana 3: Permulaan diawali paralise otot interkostal
sampai paralise seluruh otot Interkostal. Tahap ini
ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan
dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil
makin melebar dan refleks cahaya menjadi hilang,
lakrimasi negatif, refleks laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Plana 4: Penderita mengalami paralise semua otot
interkostal sampai paralise diafragma. Tahap ini ditandai
dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat,
iregular dan tidak adekuat. Tonus otot makin menurun
sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya
negatif refleks sphincter ani negatif.

4. Stadium IV (Overdosis/Paralysis)
Stadium IV dari paralisis diafragma sampai apneu dan
kematian. Tahap ini ditandai dengan hilangnya semua refleks,
pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan
circulatory failure.

a. Manajemen Operatif
1) Preoperatif6
Tujuan utamanya adalah untuk mencari kemungkinan penyulit
anestesia. Salah satu yang dapat menyebabkan penyulit
anestesia adalah kelainan anatomi, terutama anatomi jalan
napas. Kelainan fungsi tubuh dan penyakit penyerta juga perlu

18

diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan
obat anestetik.

Anamnesis:
a. Identitas pasien penting untuk menghindari kesalahan
pasien
b. Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat
pengobatan, riwayat alergi yang dimiliki dan pencetus serta
obat yang biasa digunakan untuk mengatasinya.
c. Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok,
minum alkohol atau penggunaan obat-obat rekreasional
(misalnya metamfetamin, heroin, kokain).
d. Riwayat kematian anggota keluarga diatas meja operasi.
Pemeriksaan Fisik:
a. Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi à leher
pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila
yang protrusive, gigi geligi yang goyang dan sebagainya.

Gambar 3.1 Klasifikasi Mallampati


19

b. Pasien sesak napas dapat dilihat dari posisi berbaring
(setengah duduk atau menggunakan bantal yang tinggi),
frekuensi napas, jenis pernapasan dan tingkat saturasi
oksigen dengan menggunakan oksimeter.
c. Auskultasi dada à dengarkan bunyi napas dasar, napas
tambahan, murmur dan gallop.

Pemeriksaan Tambahan
Dilakukan sesuai indikasi:
1. Pemeriksaan laboratorium darah
2. EKG
3. Foto rontgen thorax

Status Fisik ASA


Klasifikasi status fisik berdasarkan American Society of
Anesthesiologists Physical Status Classification (ASA):7
a. ASA I: Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun
sistemik selain penyakit yang akan dioperasi.
b. ASA II: Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan
sampai sedangselain penyakit yang akan dioperasi.
Misalnya DM yang terkontrol atau hipertensi ringan.
c. ASA III: Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain
penyakit yangakan dioperasi, tetapi belum mengancam
jiwa. Misalnya DM yang tak terkontrol, hipertensi tak
terkontrol.
d. ASA IV: Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang
mengancam jiwaselain penyakit yang akan dioperasi.
Misalnya asma bronkial berat, gagal jantung kongestif.
e. ASA V: Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana
tindakananestesi mungkin saja dapat menyelamatkan tapi
risiko kematian tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi
pada pasien koma berat.

20

f. ASA VI: Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya
yang manaorgannya akan diangkat untuk kemudian
diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan.
Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan huruf E
dan wanita dengan kehamilan tanpa komplikasi diberikan ASA
II.

Puasa
Lamanya puasa hendaknya disesuaikan dengan umur pasien,
kondisi fisik dan rencana operasinya. Pada umumnya pasien
dewasa memerlukan waktu 6 – 8 jam untuk mengosongkan
lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4 – 6 jam. Anak
kecil dan bayi 4 jam. Clear fluid boleh diminum hingga 2 jam
praoperasi. Tujuan dari puasa adalah untuk mencegah
terjadinya pneumonia aspirasi yang dapat fatal. Jika pasien
rentan terhadap kondisi dehidrasi, perlu dipertimbangkan
cairan intravena selama periode puasa ini.

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1 – 2 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan
dan bangun dari anestesia diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anestesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan
pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan

21

pasien dapat membangun kepercayaan dan menenangkan hati
pasien

2) Intraoperatif6
Persiapan Anestesia
Hal pertama yang dilakukan ketika masuk ruang operasi
adalah pastikan sumber listrik terpasang pada peralatan
elektronik. Dan pastikan peralatan elektronik berfungsi
dengan baik seperti lampu ruangan, mesin anestesia, berbagai
alat pantau, mesin penghangat tempat tidur / blanket roll,
infusion pumps, syringe pumps, defibrillator.
Sumber gas, terutama oksigen harus disambungkan dengan
mesin anestesia. Pengecekan dilakukan dengan cara melihat
gerakan flowmeter. Flowmeter adalah indikatorr fresh gas
flow. Setelah semua gas diperiksa, harus dipastikan tidak ada
kebocoran pada sirkuit napas.
Berikutnya adalah menyiapkan STATICS.
1. S = Scope
2. T = Tubes
3. A = Airway
4. T = Tapes
5. I = Introducer
6. C = Connector
7. S = Suction

Induksi Anestesia5
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi anestesi dapat
dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuskuler
atau rektal. Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya
disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan,

22

sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik.
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara/rute:
a. Induksi Intravena
b. Induksi Intramuskular
c. Induksi Inhalasi
d. Induksi Mencuri

3) Pascaoperatif5
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room, lalu
dilakukan operasi dengan skor Aldrette.

3.2 Jalan Napas Sulit


Jalan napas sulit diartikan sebagai situasi klinis dimana terdapat
kesulitan dalam ventilasi menggunakan sungkup, intubasi trakea, atau
keduanya. Jalan napas sulit merupakan interaksi antara faktor pasie, kondisi
klinis, serta keahlian dan preferensi praktisi. Berikut ini beberapa faktor
yang memengaruhi kesulitan jalan napas:2
1. LEMON
LEMON adalah singkatan untuk faktor-faktor yang memengaruhi
kesulitan intubasi menggunakan laringoskop direk. LEMON terdiri dari
look externally, evaluate 3-3-2 rule, mallampati, obstruction, dan neck
mobility.
2. MOANS
Kriteria MOANS merupakan prediktor sulit ventilasi menggunakan
sungkup muka. MOANS terdiri dari mask seal, obstruction/obesity, age,
no teeth, dan stiffness.
3. RODS
Kriteria RODS merupakan prediktor kesulitan ventilasi dengan alat
supraglotik. RODS terdiri dari restriction, obstruction/obesity,
anatomical distortion, dan stiffness.
4. SMART

23

Kriteria SMART merupakan prediktor kesulitan akses jalan napas anterior
melalui leher (krikotirotomi). Kriteria ini terdiri dari surgery, mass,
anatomy, radiation, dan tumor/trauma.

3.3 Laryngeal Mask Airway (LMA)


Laryngeal Mask Airway (LMA) merupakan alat jalan napas supraglotik
yang dipakai dalam memfasilitasi pertukaran udara.5 Pada awalnya
digunakan terutama di kamar operasi, sekarang ini LMA lebih banyak
digunakan di tempat emergensi sebagai suatu alat asesoris yang penting
dalam manajemen kesulitan jalan nafas. Laryngeal mask airway jenis klasik
mempunyai kemampuan menjaga jalan napas secara adekuat serta
menyebabkan angka kejadian komplikasi dan morbiditas faringolaringeal
yang rendah.
3.3.1 Jenis-Jenis LMA
Sampai saat ini berbagai jenis telah diproduksi dengan keunggulan
dan tujuan tertentu dari masin-masing jenis LMA. Jenis-jenis LMA
yang telah tersedia sebagai berikut:8

1. LMA klasik (cLMA)


LMA klasik merupakan suatu peralatan yang digunakan pada
airway management yang dapat digunakan ulang dan digunakan
sebagai alternatif baik itu untuk ventilasi facemask maupun intubasi
endotrakeal. cLMA juga memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan difficult airway. Jika cLMA dimasukkan dengan
tepat maka tip cLMA berada diatas sfingter esofagus, cuff samping
berada di fossa pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan
dasar lidah. Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi
yang efektif dengan inflasi yang minimal dari lambung.

24

Gambar 3.2 LMA Klasik

2. LMA flexible
Bentuk dan ukuran sungkupnya hampir menyerupai cLMA, dengan
airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan
fleksibilitasnya meningkat yang memungkinkan posisi proximal end
menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan pergeseran sungkup.
Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan
THT. Ukuran fLMA : 2 – 5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari
cLMA karena flexibilitas airway tube. Sungkup dapat ber rotasi 180
pada sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang.
Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.

Gambar 3.3 LMA flexible

3. LMA Proseal

25

LMA proseal dengan akses lambung dapat medekomprasi lambung
seketika LMA dipasang. LMA proseal lebih sesuai secara anatomis
untuk jalan nafas dan lebih cocok untuk ventilasi tekanan positif.
Harga PLMA kira-kira 10 % lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk 40 kali pemakaian.

Gambar 3.4 LMA Proseal

4. LMA Fastrach
LMA Fastrach terdiri dari satu tube stainless steel yang melengkung
(diameter internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector
15 mm, handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglottis. Nama
lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang
dirancang khusus untuk dapat pula melakukan intubasi trakea.

Gambar 3.5 LMA Fastrach

26

5. LMA Unique
LMA Unique adalah alat jalan nafas yang baik dengan sekali
pemakaian. LMA Unique juga dapat digunakan untuk berbagai
macam aplikasi rutin mulai dari anestesi umum, penggunaan darurat
atau sebagai suatu alat resusitasi. LMA Unique sekali pakai terbuat
dari bahan bening berkelas medis polyvinyl chloride. tabung saluran
udara pada LMA Unique lebih kaku dan cuff lebih tebal. Hal ini
disediakan dalam keadaan steril dan untuk penggunaan satu kali
pakai saja.

Gambar 3.6 LMA Unique

3.3.2 Indikasi dan Kontraindikasi Pemakaian LMA


LMA digunakan pada pasien emergensi atau pasien yang sudah
teranestesi, tetapi sulit diintubasi atau tidak memungkinkan untuk
dipasang sungkup muka.5 Prinsipnya LMA dapat digunakan pada
semua pasien yang bila dilakukan anastesi dengan face mask dapat
dilakukan dengan aman (kecuali penderita-penderita yang memiliki
kelainan orofaring). Selian itu pengetahuan dan instruksi untuk
penempatan perangkat ini dapat dipahami dalam waktu yang relative
singkat. Indikasi pemakaian LMA dijelaskan sebagai berikut.9
1. Alternatif face mask dan intubasi endotrakheal untuk penanganan
jalan nafas sulit.

27

2. Penanganan airway selama anastesi umum pada: rutin ataupun
emergency, radioterapi, CT-Scan/MRI, resusitasi luka bakar,
ESWL, adenotonsilektomi, bronkoskopi dengan fiberoptik
fleksibel, resusitasi neonatal.
3. Situasi jalan nafas sulit: terencana, penyelamatan jalan nafas,
membantu intubasi endotrakeal.

Diluar indikasi di atas kondisi-kondisi berikut ini merupakan


kontraindikasi penggunaan LMA:

1. Resiko aspirasi.
2. Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher
menyebabkan memasukkan LMA lebih jauh ke hipofaring sulit.
3. Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar.
4. Obstruksi dari glotis atau supraglotis.
5. Kelainan pada orofaring (misalnya hematoma, dan kerusakan
jaringan).
6. Ventilasi satu paru.

3.3.3 Teknik Pemakaian LMA


Macam-macam teknik insersi LMA:
1. Teknik klasik atau standard (Brains original teknik)
2. Inverted/reverse/rotation approach.
3. Lateral approach a inflated atau deflated cuff
4. Teknik dengan laringoskop
Macam-macam teknik insersi atau masukkan LMA antara lain
teknik klasik/standard digital Brain’s original techniques),
inverted/reserve/rotation approach, lateral approach (inflated atau
defated cuff). Konsep insersi LMA mirip dengan mekanisme menelan.
Setelah makanan dikunyah, maka lidah menekan bolus makanan
terhadap langit-langit rongga mulut berasamaan dengan otot-otot
pharyngeal mendorong makanan kedalam hipopharyng. Insersi LMA,
dengan cara yang mirip balon LMA yang belum terkembang dilekatkan
menyusuri langit-langit dengan jari telunjuk menekan LMA menyusuri

28

sepanjang langit-langit keras dan langit-langit lunak terus sampai ke
hipopharyng. Teknik ini sesuai untuk penderita dewasa ataupun anak-
anak dan sesuai untuk semua model LMA.
Teknik pemasangan LMA Inverted/reverse/rotation approach
dan Lateral approach a inflated atau deflated cuff menggunakan
langkah yang sama seperti teknik klasik atau standard, tetapi berbeda
saat posisi awal LMA akan dimasukkan. Posisi awal LMA pada teknik
inverted/reverse/rotation approach adalah kebalikan dari teknik klasik
dan saat mask LMA sudah berada di dalam mulut mask akan dirotasi
sesuai posisi mask saat berada di hipofaring. Teknik lateral approach a
inflated atau deflated cuff memasukkan mask LMA dari bagian lateral
kemudian setelah berada di dalam rongga mulut menuju faring posisi
mask akan berada di tengah dan cuff LMA bisa masih kempis atau sudah
menggembung saat dimasukkan.
Langkah-langkah:
1. Pilih LMA dengan ukuran yang sesuai dengan berat badan pasien
dan catat volume inflasi cuff maksimum.

Tabel 3.1 Ukuran LMA Sesuai Berat Badan (kg)

2. Kembangkan dan kempiskan cuff untuk memeriksa volumenya dan


memastikan tidak ada kebocoran.
3. Untuk mengurangi risiko terlipatnya epiglottis à kempiskan cuff
LMA sepenuhnya sebelum pemasangan.
4. Dengan cuff benar-benar mengempis, oleskan sedikit pelumas steril
ke permukaan posterior masker dan manset distal.
5. Pra-oksigenasi pasien dengan ventilasi bag-valve-mask jika
memungkinkan.

29

6. Jika tidak ada kontraindikasi: kepala dan leher pasien diposisikan
dalam kondisi sniffing (menengadahkan kepala) untuk membantu
membuka mulut pasien.
7. Lenturkan leher pasien dan angkat dagu, dan pertahankan tekanan
balik manual pada oksiput sesuai kebutuhan saat Anda memasukkan
LMA.

8. Untuk memudahkan pemasangan: manuver pengangkatan rahang


bawah dapat dilakukan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk
tangan yang tidak dominan.
9. Masukkan tabung ke dalam mulut sehingga bukaan masker
menghadap ke depan LMA dimasukkan ke dalam mulut dengan
meletakkan jari telunjuk pada perbatasan sungkup dan pipa LMA,
menekan balon LMA terhadap palatum sambil mendorong LMA
masuk ke orofaring mengikuti lengkungan dinding faring posterior.
Tahanan akan dirasakan pada saat LMA menempati hipofaring dan
LMA tidak didorong lebih lanjut
10. Lepaskan tangan Anda dari tabung sebelum menggembungkan cuff.
11. Balon LMA kemudian dikembangkan dengan udara secukupnya.
12. Hubungkan alat bag-valve ke tabung.

30

13. Mulailah ventilasi.
14. Kaji kebocoran dan ventilasi paru dengan chest rise.
15. Periksa karbon dioksida end-tidal untuk memastikan
penempatannya.
16. Posisi pasien dikembalikan pada posisi netral dan LMA difiksasi
dengan pita perekat pada wajah pasien.

Gambar 3.7 Teknik Insersi LMA Cara Classic

Gambar 3.8 Teknik Insersi LMA Lateral Approach Deflated Cuff

31

Gambar 3.9 Teknik Insersi LMA Inverted/Reverse/Rotation
Approach

Pemasangan LMA juga bisa dilakukan dengan bantuan


laringoskop. Langkah-langkah pemasangan LMA dengan laringoskop
adalah sebagai berikut:
1. Pilih LMA dengan ukuran yang sesuai dan catat volume
inflasi cuff maksimum.
2. Kembangkan dan kempiskan cuff untuk memeriksa
volumenya dan memastikan tidak ada kebocoran.
3. Dengan cuff benar-benar mengempis, oleskan sedikit
pelumas steril ke permukaan posterior masker dan manset
distal.
4. Pra-oksigenasi pasien dengan ventilasi bag-valve-mask jika
memungkinkan.

32

5. Lenturkan leher pasien dan angkat dagu, dan pertahankan
tekanan balik manual pada oksiput sesuai kebutuhan saat
Anda memasukkan LMA.
6. Masukkan laringoskop terlebih dahulu dari lateral bibir untuk
memudahkan saat memasukkan mask LMA.
7. Masukkan tabung ke dalam mulut sehingga bukaan masker
menghadap ke depan. Pendekatan standar adalah memandu
masker secara manual di sepanjang langit-langit mulut dan
masuk ke tenggorokan dengan mendorong dengan jari
telunjuk (atau panjang) (atau ibu jari) yang ditempatkan di
lekukan berbentuk V di mana tabung menempel pada masker.
Dorong tube cephalad, sehingga permukaan posterior masker
yang dilumasi mengikuti kurva palatum keras dan lunak.
Masker harus masuk ke hipofaring sepanjang dinding
posterior.
8. Lepaskan tangan Anda dari tabung sebelum
menggembungkan cuff.
9. Kembangkan cuff.
10. Hubungkan alat bag-valve ke tabung.
11. Mulailah ventilasi.
12. Kaji kebocoran dan ventilasi paru dengan auskultasi dan chest
rise.
13. Periksa karbon dioksida end-tidal untuk memastikan
penempatannya.
14. Posisi pasien dikembalikan pada posisi netral dan LMA
difiksasi dengan pita perekat pada wajah pasien..

33

Gambar 3.10 Pemasangan LMA dengan Laringoskop

3.3.4 Teknik Pelepasan LMA


Pelepasan LMA hampir sama dengan pelepasan ETT. Pastikan
operasi telah selesai, pasien sudah bisa napas spontan kuat,
hemodinamik stabil. Pelepasan LMA bisa dilakukan secara sadar atau
masih dalam anestesi dalam. Jika proses ekstubasi dilakukan saat pasien
sudah sadar, pastikan pasien sudah dalam kondisi sadar. Tanda-tanda
pasien sudah sadar, yaitu ada reflek menelan, terdapat gejolak saat
dilakukan suction, ada reaksi membuka mata, dan ada refleks batuk. Jika
proses ekstubasi dilakukan saat pasien masih dalam pengaruh anestesi
dalam, pastikan pasien masih memiliki tanda-tanda sebgai berikut: tidak
ada gejolak saat suction, tidak ada gejolak saat dipasang laringoskop dan
dilakukan suction melalui mulut, LMA dicabut saat inspirasi, dan
pasang oropharyngeal airway diikuti dengan melepas laringoskop dari
mulut pasien.

3.3.5 Komplikasi Penggunaan LMA


Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat):
a. Gagal insersi (0,3 – 4%)
b. Ineffective seal (<5%)
c. Malposisi (20 – 35%)

Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar):


a. Tenggorokan lecet (0 – 70%)
b. Disfagia (4 – 24%)
c. Disartria (4 – 47%)

34

Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh):
a. Batuk (<2%)
b. Muntah (0,02 – 5%)
c. Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
d. Regurgitasi klinik (0,1%)

35

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini membahas seorang laki-laki, 36 tahun dengan berat badan
58 kg dengan diagnosis penyakit chronic wound regio antebrachi dextra ex electric
injury akan menjalani tindakan debridement dan tutup defek selama 55 menit.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya
pasien dapat digolongkan dalam ASA I. Pada pemeriksan fisik, bagian saluran
pernapasan atas di dapatkan skor mallampati I yaitu pallatum mole, fauces, uvula
dan pilar terlihat jelas.

Anestesi pasien ini dilakukan dengan anestesi umum dan dilakukan


pemasangan LMA tanpa adanya indikasi sulit jalan napas. Indikasi untuk
penggunaan LMA pada pasien ini adalah prosedur elektif pada pasien dengan
durasi prosedur operasi yang pendek. Hal yang tidak sesuai dengan indikasi
penggunaan LMA pada pasien ini adalah LMA seringkali digunakan pada pasien
dengan jalan napas sulit atau situasi pasien cardiac arrest di luar rumah sakit.10
Penggunaan LMA pada operasi memiliki beberapa keuntungan, yaitu cara
memasukkan LMA yang mudah, memerlukan sedikit latihan, dapat dilakukan oleh
orang dnegan pengalaman anestesi bervariasi dan risiko minimal trauma mulut dan
laring.

Pasien menggunakan LMA No 4 cuff (+) sesuai dengan ukuran LMA yang
dianjurkan untuk pasien dengan berat badan 58 kg (Tabel 3.1).Ukuran LMA yang
digunakan oleh pasien harus disesuaikan dengan usia dan berat badan pasien agar
tidak terjadi kegagalan pada insersi LMA. Keberhasilan pemasangan LMA sangat
tergantung pada pemilihan ukuran LMA yang sesuai, kedalaman anestesi, waktu
pemasangan LMA yang tepat, dan keterampilan pemasan LMA, yang dapat dinilai
dari efek atau komplikasi yang terjadi pada saat pemasangan.

Pemakaian LMA klasik (cLMA) pada pasien Tn. R selama operasi sudah
sesuai dengan jurnal penelitian sebelumnya. CLMA memiliki tingkat penyisipan
pertama kali 90%, tingkat penyisipan keseluruhan 99-100% dan tingkat komplikasi
serius yang rendah (<11%).12 Insersi LMA, baik klasik atau lainnya, berhasil hanya

36

jika pasien dibius secara memadai, baik bernapas spontan atau menggunakan
ventilator. Penyebab paling umum dari kegagalan ventilasi secara efektif dengan
LMA adalah kedalaman anestesi yang tidak memadai dan ukuran yang salah.13
Insersi LMA yang dilakukan pada operasi Tn. R adalah teknik klasik atau standard
dengan cuff kempis tanpa bantuan laringoskop sudah sesuai karena cLMA memiliki
poros yang fleksibel yang terhubung dengan silikon karet dan ukuran LMA yang
digunakan sudah sesuai untuk Tn. R.

Proses eksersi pada operasi Tn. R dilakukan setelah pasien sadar dan
pasien sudah bisa melakukan pernapasan secara spontan dengan mengempiskan
cuff LMA terlebih dahulu. Eksersi LMA dengan mengempiskan cuff terlebih dahulu
sudah sesuai karena hemodinamik dan saturasi oksigen akan tetap stabil. Proses
eksersi saat pasien bangun tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan risiko
komplikasi jalan napas, seperti batuk, perlukaan jalan nafas, dan desaturasi.

Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anestesia dengan


tujuan melancarkan induksi rumatan dan mencegah pasien bangun dari anestesinya
Dosis midazolam adalah 0,1-0,2 mg/kgBB (5,8-11,6 mg). Dosis 2 mg yang
diberikan pada pasien lebih kecil dari dosis minimal karena tindakan operasi yang
akan dilakukan pada pasien memakan waktu yang relatif singkat dan termasuk
operasi minor. Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine yang
berfungsi sebagai sedasi dan umumnya dikombinasikan dengan fentanyl. Onsetnya
1-5 menit dengan durasi <2 jam.

Fentanyl digunakan sebagai analgetik pada operasi Tn. R. Fentanyl


merupakan analgesik opioid dengan kekuatan 100 kali morfin. Mudah menembus
sawar jaringan. Dosis fentanyl adalah 1-2 mcg/kgBB (58-116 mcg). Dosis 75 mcg
yang diberikan untuk Tn. R sudah sesuai. Onset kerja fentanyl sekitar 1-2 menit dan
analgesinya hanya berlangsung 30 menit.

Pada operasi Tn. R digunakan induksi anestesi berupa propofol,


sevoflurane, dan N2O. Propofol merupakan obat golongan hipnotik-sedatif yang
digunakan untuk induksi anestesi dan mempertahankan pengaruh anestesi. Dosis
propofol adalah 2-2,5 mg/kg BB (116-145 mg). Dosis 100 mg yang diberikan pada
Tn. R kurang dari dosis minimal karena tindakan operasi yang akan dilakukan pada

37

pasien memakan waktu yang relatif singkat dan termasuk operasi minor. Selain itu
saat premedikasi pasien diberikan midazolam yang mempunyai efek sedasi yang
dapat mengurangi pemeberian dosis propofol dan fentanyl.

Pada pasien juga dilakukan pemberian sevoflurane dan N2O karena onset
kerja propofol yang lama (3-10 menit) sehingga kombinasi ketiga obat ini dapat
mempersingkat waktu kemunculan dan pemulihan anestesi. Penggunaan
sevoflurane dan N2O untuk induksi LMA tidak berbeda jauh dengan induksi
menggunakan propofol. Dosis sevoflurane untuk induksi yaitu 0,5-5%, pada pasien
diberikan dosis 2 vol%, sedangkan dosis N2O untuk induksi 2 lt ditambah dengan
oksigen 2 liter/menit.

Notrixum digunakan sebagai sebagai tambahan untuk anestesi umum


selama operasi untuk merelaksasikan otot rangka dan memudahkan saat
memasukkan LMA. Dosis notrixum adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (29-34,8 mg). Dosis
20 mg yang diberikan pada Tn. R dibawah dosis minimal karena tindakan operasi
yang akan dilakukan pada pasien memakan waktu yang relatif singkat dan termasuk
operasi minor.

Penggunaan inhalasi sevoflurance saat induksi dan maintenance lebih


dianjurkan karena tidak mengiritasi saluran nafas. Pada kasus Tn. R diberikan
sevoflurane dan N2O untuk dosis maintenance. Dosis sevoflurane yang digunakan
Tn. R sudah sesuai dengan dosis maintenance (0,5-3%) yaitu 1 vol%. Dosis N2O
maintenance yang digunakan pada pasien 2% ditambah dengan oksigen 2 liter per
menit.

Selain itu juga diberikan obat yang lain seperti ondansetron 8 mg untuk
mencegah mual muntah pasca operasi, tramal 100 mg sebagai NSAID untuk
mengatasi nyeri sedang sampai berat pasca operasi, deksametason 10 mg untuk
mencegah mual muntah pasca operasi, dan antibiotik ceftriaxone 2 gram untuk
pencegahan infeksi pasca operasi.

38

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dalam kasus ini membahas seorang laki-laki, 36 tahun dengan berat badan
58 kg dengan diagnosis penyakit chronic wound regio antebrachi dextra ex
electric injury akan menjalani tindakan debridement dan tutup defek selama 55
menit. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
lainnya pasien dapat digolongkan dalam ASA I. Pada pemeriksan fisik, bagian
saluran pernapasan atas di dapatkan skor mallampati I yaitu pallatum mole,
fauces, uvula dan pilar terlihat jelas.

Pada operasi ini digunakan teknik operasi umum, yaitu laryngeal mask
airway (LMA) karena operasi dilakukan dengan durasi yang singkat.
Penggunaan LMA sudah sesuai baik dari ukuran LMA, jenis LMA, insersi (cara
pasang) LMA, dan ekstubasi (cara pengeluaran) LMA.

Obat-obatan yang dipakai untuk anestesi umum ini meliputi midazolam 2


mg dan fentanyl 75 mcg untuk pramedikasi. Lalu untuk induksi diberikan
propofol 100 mg, Sevoflurane 2% untuk induksi dan 1,5% untuk maintenance,
dan N2O 2 liter. Selain itu juga diberikan obat yang lain seperti ondansetron 8
mg untuk mencegah mual muntah pasca operasi, tramal 1000 mg sebagai
NSAID untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat pasca operasi,
deksametason 10 mg untuk mencegah mual muntah pasca operasi, dan
antibiotik ceftriaxone 2 gram untuk pencegahan infeksi pasca operasi.

39

DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo dan Jatmiko, D. Anestesiologi Edisi 2. Semarang: Perdatin Cabang


Jawa Tengah. 2015.
2. Rehatta, NM., Hanindito E., et al. Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2019.
3. Mahdavi, A., Razavi, SS., et al. Comparison of the Peak Inspiratory Pressure
and Lung Dynamic Compliance between a Classic Laryngeal Mask Airway
and an Endotracheal Tube in Children Under Mechanical Ventilation.
Tanaffos. 2017; 16(4): 289-294.
4. Li, WX dan Li, SS. The Laryngeal Mask Airway in Pediatric Anesthesia.
Biomed J Sci & Tech Res. 2018; 7(2): 5813-5814.
5. Pramono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC. 2019.
6. Dradjat, M. T. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 2. Jakarta: Aksara
Medisin. 2012.
7. ASA. ASA Physical Status Classification System.
https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/asa-physical-status-
classification-system. 2020. (diakses 24 Juni 2021).
8. Morgan GE, Mikhail MS. 2013. Edisi Revisi. Airway Management. Clinical
Anesthesiology 5 nd ed, Lange Medical Books, New York, 2013.
9. Setiawaty, et al. Laryngeal Mask Airway (LMA), Maassar: Bagian Anestesi
Universitas Hasanuddin. 2012.
10. Morgan, GE. Clinical Anesthesiology, 6th ed. New York: Mc Graw-Hill
Companies, Inc; 2018.
11. Asida SM, Ahmed SS. Ease of insertion of the laryngeal mask airway in
pediatric surgical patients: Predictors of failure and outcome. Saudi J Anaesth.
2016; 10(3): 295-300. doi:10.4103/1658-354X.174898
12. Birnbach DJ, Browne IM. Basic of Anesthesia. 7th Ed. Pennsylvania: Elsevier
Churcill Livingston; 2017.
13. Ghai B, Makkar JK, Bhardwaj N, Wig J. Laryngeal mask airway insertion in
children: comparison between rotational, lateral and standard technique.

40

Paediatric Anaesth. 2008; 18(4): 308-12. doi: 10.1111/j.1460-
9592.2008.02434.x. PMID: 18315636.
14. Ramesh S, Jayanthi R. Supraglottic airway devices in children. Indian J
Anaesth. 2011; 55(5): 476-482. doi:10.4103/0019-5049.89874
15. Koo CH, Lee SY, Chung SH, Ryu JH. Deep vs. Awake Extubation and LMA
Removal in Terms of Airway Complications in Pediatric Patients Undergoing
Anesthesia: A Systemic Review and Meta-Analysis. J Clin Med.
2018;7(10):353. Published 2018 Oct 14. doi:10.3390/jcm7100353
16. Hika A, Ayele W, Aberra B, Aregawi A, Bantie AT, Mulugeta S, Chemeda
D, Seifu A. A Comparison of Awake Versus Deep Removal of Laryngeal
Mask Airway in Children Aged 2 to 8 Years Who Underwent Ophthalmic
Procedures at Menilik II Hospital: A Prospective Observational Cohort Study.
Open Access Surgery. 2021; 14: 9-15. https://doi.org/10.2147/OAS.S287507
17. Seyedhejazi, Mahin et al. LMA Extubation in Pediatric Patients: A
Comparison of Inflated and Deflated LMA Cuff Methods. Advances in
Bioscience and Clinical Medicine. 2014; 2(2): 34-39. ISSN 2203-1413.
<https://www.journals.aiac.org.au/index.php/ABCMED/article/view/656>.
18. Bakshi, S.A., Bule, S.S., Shingade, G.U. Comparative Evaluation of
Induction with Propofol Vs. Sevoflurane for Insertion of Laryngeal Mask
Airway in Children. International Journal of Research in Medical Science.
2019; 7(4): 1271-1275. doi: http://dx.doi.org/10.18203/2320-
6012.ijrms20191338
19. Kim, E.-H., Song, I.-K., Lee, J.-H., Kim, H.-S., Kim, H.-C., Yoon, S.-H., …
Kim, J.-T. Desflurane versus sevoflurane in pediatric anesthesia with a
laryngeal mask airway. Medicine. 2017; 96(35),
e7977. doi:10.1097/md.0000000000007977
20. White, M. C., Cook, T. M., & Stoddart, P. A. A Critique of Elective Pediatric
Supraglottic Airway Devices. Pediatric Anesthesia. 2009; 19(1): 55–65.
doi:10.1111/j.1460-9592.2009.02997.x

41

Anda mungkin juga menyukai