Disusun oleh :
Anggit Anggarda Paramitha - 1102018186
Pembimbing:
dr. Listyo Lindawati Julia, Sp. AN
1
LEMBAR PENGESAHAN
Jakarta
Disusun oleh:
1102018186
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
laporan kasus yang berjudul “Laryngeal Mask Airway (LMA)”, dan merupakan
salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik di Instalasi Anestesi
dan Reanimasi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak
yang berkepentingan, untuk pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan rasa nyeri pada tubuh
baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran selama proses pembedahan.
Perkembangan anestesi umum di era modern melibatkan pemberian kombinasi obat
(trias anestesi) terdiri dari; hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Tahapannya
mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan.1
Jalan napas sulit merupakan suatu kondisi yang menyebabkan kesulitan
dalam ventilasi menggunakan sungkup, intubasi trakea, atau keduanya.2 Kesulitan
atau ketidakmampuan untuk melakukan manajemen jalan napas masih merupakan
faktor tunggal yang paling mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan anestesi umum.3 Supraglottic airway device adalah alat yang digunakan
ketika laringoskop direk dan intubasi tidak berhasil dilakukan. Laryngeal mask
airway (LMA) merupakan alat jalan napas supraglotik yang paling banyak
digunakan. LMA juga mampu memberikan manajemen jalan napas pada bayi dan
anak-anak. LMA memiliki beberapa keuntungan, yaitu kurang invasif, perubahan
hemodinamik secara signifikan lebih sedikit, alternatif terbaik terutama pada
operasi jangka pendek, dan ketidaknyamanan pasca operasi lebih sedikit
dirasakan.4
Pada laporan kasus ini akan membahas penggunaan anestesi umum dengan
laryngeal mask airway (LMA), laki-laki, usia 36 tahun, dengan diagnosis penyakit
chronic wound regio antebrachi dextra ex electric injury, diagnosis anestesi ASA I
tanpa penyulit jalan napas, pembedahan yang dilakukan adalah debridement dan
tutup defek.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2. Anamnesis
Anamnesis dengan pasien pada tanggal 27 April 2022 pukul 15.30 WIB
A. Keluhan Utama :
Pasien ingin menjalani operasi lanjutan untuk reparasi luka di
pergelangan tangan kanan akibat tersengat listrik 3 bulan lalu.
C. Riwayat operasi :
Riwayat operasi reparasi luka 2x dengan general anestesi
6
E. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat penyakit keluarga.
B. Status Generalis
Kepala
Bentuk normochepal, rambut bewarna hitam dengan distribusi merata,
tidak ada konjungtiva anemis, tidak ada sclera ikterik, tidak ada mata
cekung.
Leher
Tidak ada pembesaran KGB.
Mulut
T1-T1 tenang, tidak ada deviasi uvula, Mallampati 1, tidak ada gigi
goyang, tidak ada gigi ompong, tidak ada gigi palsu, buka mulut
maksimal 3 jari.
Thoraks
Pulmo
7
Inspeksi : Normochest, tidak ada retraksi dinding dada
Palpasi : Simetris, vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler normal. Tidak ada rhonki,
tidak ada wheezing.
Cor
Inspeksi : Simetris, iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba lemah
Perkusi : Batas jantung dalam normal
Auskultasi : Bunyi S1-S2 reguler, tidak ada murmur, tidak ada
gallop
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak ada sikatrik
Auskultasi : Bising Usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembesaran
hepar dan lien
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada oedem
Hasil
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan
Saat ini
HEMATOLOGI
8
Hematokrit 47 40 - 52%
Hitung jenis:
• Basofil 0 0-1%
• Eosinofil 9 1-2%
• Batang 3 2-6%
• Segmen 45 50-70%
• Limfosit 32 20-40%
• Monosit 11 2-8%
MCV 76 78 - 98 fL
MCH 25 25 - 35 pg
MCHC 33 31 - 37 g/dL
KIMIA KLINIK
Ureum 26 20 - 50 mg/dl
Gula Darah
79 70 - 140 mg/dL
Sewaktu
KOAGULASI
9
Waktu protrombin
APTT
B. Radiologi
1. FOTO THORAX
Waktu Pemeriksaan: 10 April 2022
- Jantung ukuran tidak membesar
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trachea ditengah, kedua hilus tidak menebal
- Corakan bronchovascular kedua paru baik
- Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapang paru
- Sinus costofrenikus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
Kesan: tidak tampak kelainan radiologis pada paru
ASA I
10
Anestesi Umum
a. Persiapan Pasien
1. Sebelum operasi
- Melakukan informed consent terkait jenis tindakan operasi dan jenis
teknik pembiusan yang akan dilakukan.
- Pasien di konsultasikan dari spesialis bedah plastik dan rekonstruksi
estetika ke spesialis penyakit dalam dan spesialis anestesi.
- Setelah mendapatkan persetujuan dari spesialis penyakit dalam dan
spesialis anestesi, dilakukan kunjungan pre-operatif terhadap pasien.
2. Di ruang perawatan
- Pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi.
3. Di ruang persiapan
- Memeriksa ulang identitas pasien
- Mengganti pakaian pasien dengan pakaian yang telah disediakan
sebelum masuk kamar operasi.
- Melakukan pemasangan infus dengan IV line no 20G di tangan kiri.
4. Di ruang operasi
- Pasien masuk ke kamar operasi dan dibaringkan dengan posisi
terlentang di meja operasi.
b. Persiapan Alat
1. Sarung tangan
2. LMA sesuai ukuran
3. Jelly
4. Bag-valve mask
5. Sumber oksigen
6. Alat suction
7. Syringe untuk mengembangkan cuff
8. Stetoskop
11
9. Tape
12
• Bertanya kepada dokter bedah apakah pasien memiliki resiko
perdarahan lebih dari 500 ml.
13
Pukul 11.15 WIB
• Tekanan darah 105/65 mmHg, nadi 58x/menit, SpO2 100%
Post Operasi
1. Di Ruang Pemulihan
14
Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 12.00 WIB. Lalu
diberikan oksgien dengan nasal kanul sebesar 2 liter/menit, kemudian
dilakukan penilaian terhadap tingkat kesadaran, Pada pasien
kesadarannya compos mentis. Dilakukan pemeriksaan tanda vital,
tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 65x/menit, respirasi 16x/menit dan
saturasi O2 100%.
Penilaian pulih sadar menurut Aldrette score:
Kesadaran : 2 (Sadar orientasi baik)
Warna kulit : 2 (Merah muda)
Aktivitas : 2 (4 ekstremitas bergerak)
Respirasi : 2 (Adekuat, dapat napas dalam batuk)
Kardiovaskuler : 2 (Tekanan darah stabil)
Total Aldrette score : 10
Pasien diperbolehkan dipindahkan ke ruang perawatan
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
16
Terdiri dari:
1.) Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal,
epidural, dan kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2.) Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis,
aksiler, analgesia regional intravena, dan yang lainnya.
1. Stadium I (Analgesia/disorientasi)
Dimulai saat pemberian anestetik hipnotik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesia (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan bisa dikerjakan di stadium ini. Stadium
berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflek bulu mata
diketahui dengan melakukan rabaan pada bulu mata.
2. Stadium II (Eksitasi/Delirium)
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur dan
diakhiri dengan hilangnya refleks menelan serta kelopak mata
dan selanjutnya nafas menjadi teratur.
17
b. Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume
tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak
bergerak (tetapi terfiksasi di tengah), pupil midriasis,
reflek cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan
reflek laring hilang sehingga proses intubasi dapat
dilakukan.
c. Plana 3: Permulaan diawali paralise otot interkostal
sampai paralise seluruh otot Interkostal. Tahap ini
ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan
dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil
makin melebar dan refleks cahaya menjadi hilang,
lakrimasi negatif, refleks laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Plana 4: Penderita mengalami paralise semua otot
interkostal sampai paralise diafragma. Tahap ini ditandai
dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat,
iregular dan tidak adekuat. Tonus otot makin menurun
sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya
negatif refleks sphincter ani negatif.
4. Stadium IV (Overdosis/Paralysis)
Stadium IV dari paralisis diafragma sampai apneu dan
kematian. Tahap ini ditandai dengan hilangnya semua refleks,
pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan
circulatory failure.
a. Manajemen Operatif
1) Preoperatif6
Tujuan utamanya adalah untuk mencari kemungkinan penyulit
anestesia. Salah satu yang dapat menyebabkan penyulit
anestesia adalah kelainan anatomi, terutama anatomi jalan
napas. Kelainan fungsi tubuh dan penyakit penyerta juga perlu
18
diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan
obat anestetik.
Anamnesis:
a. Identitas pasien penting untuk menghindari kesalahan
pasien
b. Riwayat penyakit yang diderita, termasuk riwayat
pengobatan, riwayat alergi yang dimiliki dan pencetus serta
obat yang biasa digunakan untuk mengatasinya.
c. Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok,
minum alkohol atau penggunaan obat-obat rekreasional
(misalnya metamfetamin, heroin, kokain).
d. Riwayat kematian anggota keluarga diatas meja operasi.
Pemeriksaan Fisik:
a. Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi à leher
pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila
yang protrusive, gigi geligi yang goyang dan sebagainya.
19
b. Pasien sesak napas dapat dilihat dari posisi berbaring
(setengah duduk atau menggunakan bantal yang tinggi),
frekuensi napas, jenis pernapasan dan tingkat saturasi
oksigen dengan menggunakan oksimeter.
c. Auskultasi dada à dengarkan bunyi napas dasar, napas
tambahan, murmur dan gallop.
Pemeriksaan Tambahan
Dilakukan sesuai indikasi:
1. Pemeriksaan laboratorium darah
2. EKG
3. Foto rontgen thorax
20
f. ASA VI: Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya
yang manaorgannya akan diangkat untuk kemudian
diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan.
Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan huruf E
dan wanita dengan kehamilan tanpa komplikasi diberikan ASA
II.
Puasa
Lamanya puasa hendaknya disesuaikan dengan umur pasien,
kondisi fisik dan rencana operasinya. Pada umumnya pasien
dewasa memerlukan waktu 6 – 8 jam untuk mengosongkan
lambung dari makanan padat. Anak besar perlu 4 – 6 jam. Anak
kecil dan bayi 4 jam. Clear fluid boleh diminum hingga 2 jam
praoperasi. Tujuan dari puasa adalah untuk mencegah
terjadinya pneumonia aspirasi yang dapat fatal. Jika pasien
rentan terhadap kondisi dehidrasi, perlu dipertimbangkan
cairan intravena selama periode puasa ini.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1 – 2 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan
dan bangun dari anestesia diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anestesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan
pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan
21
pasien dapat membangun kepercayaan dan menenangkan hati
pasien
2) Intraoperatif6
Persiapan Anestesia
Hal pertama yang dilakukan ketika masuk ruang operasi
adalah pastikan sumber listrik terpasang pada peralatan
elektronik. Dan pastikan peralatan elektronik berfungsi
dengan baik seperti lampu ruangan, mesin anestesia, berbagai
alat pantau, mesin penghangat tempat tidur / blanket roll,
infusion pumps, syringe pumps, defibrillator.
Sumber gas, terutama oksigen harus disambungkan dengan
mesin anestesia. Pengecekan dilakukan dengan cara melihat
gerakan flowmeter. Flowmeter adalah indikatorr fresh gas
flow. Setelah semua gas diperiksa, harus dipastikan tidak ada
kebocoran pada sirkuit napas.
Berikutnya adalah menyiapkan STATICS.
1. S = Scope
2. T = Tubes
3. A = Airway
4. T = Tapes
5. I = Introducer
6. C = Connector
7. S = Suction
Induksi Anestesia5
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi anestesi dapat
dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuskuler
atau rektal. Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya
disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan,
22
sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik.
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara/rute:
a. Induksi Intravena
b. Induksi Intramuskular
c. Induksi Inhalasi
d. Induksi Mencuri
3) Pascaoperatif5
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room, lalu
dilakukan operasi dengan skor Aldrette.
23
Kriteria SMART merupakan prediktor kesulitan akses jalan napas anterior
melalui leher (krikotirotomi). Kriteria ini terdiri dari surgery, mass,
anatomy, radiation, dan tumor/trauma.
24
Gambar 3.2 LMA Klasik
2. LMA flexible
Bentuk dan ukuran sungkupnya hampir menyerupai cLMA, dengan
airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan
fleksibilitasnya meningkat yang memungkinkan posisi proximal end
menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan pergeseran sungkup.
Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan
THT. Ukuran fLMA : 2 – 5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari
cLMA karena flexibilitas airway tube. Sungkup dapat ber rotasi 180
pada sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang.
Harga fLMA kira-kira 30 % lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk digunakan 40 kali.
3. LMA Proseal
25
LMA proseal dengan akses lambung dapat medekomprasi lambung
seketika LMA dipasang. LMA proseal lebih sesuai secara anatomis
untuk jalan nafas dan lebih cocok untuk ventilasi tekanan positif.
Harga PLMA kira-kira 10 % lebih mahal dari cLMA dan
direkomendasikan untuk 40 kali pemakaian.
4. LMA Fastrach
LMA Fastrach terdiri dari satu tube stainless steel yang melengkung
(diameter internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector
15 mm, handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglottis. Nama
lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang
dirancang khusus untuk dapat pula melakukan intubasi trakea.
26
5. LMA Unique
LMA Unique adalah alat jalan nafas yang baik dengan sekali
pemakaian. LMA Unique juga dapat digunakan untuk berbagai
macam aplikasi rutin mulai dari anestesi umum, penggunaan darurat
atau sebagai suatu alat resusitasi. LMA Unique sekali pakai terbuat
dari bahan bening berkelas medis polyvinyl chloride. tabung saluran
udara pada LMA Unique lebih kaku dan cuff lebih tebal. Hal ini
disediakan dalam keadaan steril dan untuk penggunaan satu kali
pakai saja.
27
2. Penanganan airway selama anastesi umum pada: rutin ataupun
emergency, radioterapi, CT-Scan/MRI, resusitasi luka bakar,
ESWL, adenotonsilektomi, bronkoskopi dengan fiberoptik
fleksibel, resusitasi neonatal.
3. Situasi jalan nafas sulit: terencana, penyelamatan jalan nafas,
membantu intubasi endotrakeal.
1. Resiko aspirasi.
2. Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher
menyebabkan memasukkan LMA lebih jauh ke hipofaring sulit.
3. Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar.
4. Obstruksi dari glotis atau supraglotis.
5. Kelainan pada orofaring (misalnya hematoma, dan kerusakan
jaringan).
6. Ventilasi satu paru.
28
sepanjang langit-langit keras dan langit-langit lunak terus sampai ke
hipopharyng. Teknik ini sesuai untuk penderita dewasa ataupun anak-
anak dan sesuai untuk semua model LMA.
Teknik pemasangan LMA Inverted/reverse/rotation approach
dan Lateral approach a inflated atau deflated cuff menggunakan
langkah yang sama seperti teknik klasik atau standard, tetapi berbeda
saat posisi awal LMA akan dimasukkan. Posisi awal LMA pada teknik
inverted/reverse/rotation approach adalah kebalikan dari teknik klasik
dan saat mask LMA sudah berada di dalam mulut mask akan dirotasi
sesuai posisi mask saat berada di hipofaring. Teknik lateral approach a
inflated atau deflated cuff memasukkan mask LMA dari bagian lateral
kemudian setelah berada di dalam rongga mulut menuju faring posisi
mask akan berada di tengah dan cuff LMA bisa masih kempis atau sudah
menggembung saat dimasukkan.
Langkah-langkah:
1. Pilih LMA dengan ukuran yang sesuai dengan berat badan pasien
dan catat volume inflasi cuff maksimum.
29
6. Jika tidak ada kontraindikasi: kepala dan leher pasien diposisikan
dalam kondisi sniffing (menengadahkan kepala) untuk membantu
membuka mulut pasien.
7. Lenturkan leher pasien dan angkat dagu, dan pertahankan tekanan
balik manual pada oksiput sesuai kebutuhan saat Anda memasukkan
LMA.
30
13. Mulailah ventilasi.
14. Kaji kebocoran dan ventilasi paru dengan chest rise.
15. Periksa karbon dioksida end-tidal untuk memastikan
penempatannya.
16. Posisi pasien dikembalikan pada posisi netral dan LMA difiksasi
dengan pita perekat pada wajah pasien.
31
Gambar 3.9 Teknik Insersi LMA Inverted/Reverse/Rotation
Approach
32
5. Lenturkan leher pasien dan angkat dagu, dan pertahankan
tekanan balik manual pada oksiput sesuai kebutuhan saat
Anda memasukkan LMA.
6. Masukkan laringoskop terlebih dahulu dari lateral bibir untuk
memudahkan saat memasukkan mask LMA.
7. Masukkan tabung ke dalam mulut sehingga bukaan masker
menghadap ke depan. Pendekatan standar adalah memandu
masker secara manual di sepanjang langit-langit mulut dan
masuk ke tenggorokan dengan mendorong dengan jari
telunjuk (atau panjang) (atau ibu jari) yang ditempatkan di
lekukan berbentuk V di mana tabung menempel pada masker.
Dorong tube cephalad, sehingga permukaan posterior masker
yang dilumasi mengikuti kurva palatum keras dan lunak.
Masker harus masuk ke hipofaring sepanjang dinding
posterior.
8. Lepaskan tangan Anda dari tabung sebelum
menggembungkan cuff.
9. Kembangkan cuff.
10. Hubungkan alat bag-valve ke tabung.
11. Mulailah ventilasi.
12. Kaji kebocoran dan ventilasi paru dengan auskultasi dan chest
rise.
13. Periksa karbon dioksida end-tidal untuk memastikan
penempatannya.
14. Posisi pasien dikembalikan pada posisi netral dan LMA
difiksasi dengan pita perekat pada wajah pasien..
33
34
Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh):
a. Batuk (<2%)
b. Muntah (0,02 – 5%)
c. Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
d. Regurgitasi klinik (0,1%)
35
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini membahas seorang laki-laki, 36 tahun dengan berat badan
58 kg dengan diagnosis penyakit chronic wound regio antebrachi dextra ex electric
injury akan menjalani tindakan debridement dan tutup defek selama 55 menit.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya
pasien dapat digolongkan dalam ASA I. Pada pemeriksan fisik, bagian saluran
pernapasan atas di dapatkan skor mallampati I yaitu pallatum mole, fauces, uvula
dan pilar terlihat jelas.
Pasien menggunakan LMA No 4 cuff (+) sesuai dengan ukuran LMA yang
dianjurkan untuk pasien dengan berat badan 58 kg (Tabel 3.1).Ukuran LMA yang
digunakan oleh pasien harus disesuaikan dengan usia dan berat badan pasien agar
tidak terjadi kegagalan pada insersi LMA. Keberhasilan pemasangan LMA sangat
tergantung pada pemilihan ukuran LMA yang sesuai, kedalaman anestesi, waktu
pemasangan LMA yang tepat, dan keterampilan pemasan LMA, yang dapat dinilai
dari efek atau komplikasi yang terjadi pada saat pemasangan.
Pemakaian LMA klasik (cLMA) pada pasien Tn. R selama operasi sudah
sesuai dengan jurnal penelitian sebelumnya. CLMA memiliki tingkat penyisipan
pertama kali 90%, tingkat penyisipan keseluruhan 99-100% dan tingkat komplikasi
serius yang rendah (<11%).12 Insersi LMA, baik klasik atau lainnya, berhasil hanya
36
jika pasien dibius secara memadai, baik bernapas spontan atau menggunakan
ventilator. Penyebab paling umum dari kegagalan ventilasi secara efektif dengan
LMA adalah kedalaman anestesi yang tidak memadai dan ukuran yang salah.13
Insersi LMA yang dilakukan pada operasi Tn. R adalah teknik klasik atau standard
dengan cuff kempis tanpa bantuan laringoskop sudah sesuai karena cLMA memiliki
poros yang fleksibel yang terhubung dengan silikon karet dan ukuran LMA yang
digunakan sudah sesuai untuk Tn. R.
Proses eksersi pada operasi Tn. R dilakukan setelah pasien sadar dan
pasien sudah bisa melakukan pernapasan secara spontan dengan mengempiskan
cuff LMA terlebih dahulu. Eksersi LMA dengan mengempiskan cuff terlebih dahulu
sudah sesuai karena hemodinamik dan saturasi oksigen akan tetap stabil. Proses
eksersi saat pasien bangun tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan risiko
komplikasi jalan napas, seperti batuk, perlukaan jalan nafas, dan desaturasi.
37
pasien memakan waktu yang relatif singkat dan termasuk operasi minor. Selain itu
saat premedikasi pasien diberikan midazolam yang mempunyai efek sedasi yang
dapat mengurangi pemeberian dosis propofol dan fentanyl.
Pada pasien juga dilakukan pemberian sevoflurane dan N2O karena onset
kerja propofol yang lama (3-10 menit) sehingga kombinasi ketiga obat ini dapat
mempersingkat waktu kemunculan dan pemulihan anestesi. Penggunaan
sevoflurane dan N2O untuk induksi LMA tidak berbeda jauh dengan induksi
menggunakan propofol. Dosis sevoflurane untuk induksi yaitu 0,5-5%, pada pasien
diberikan dosis 2 vol%, sedangkan dosis N2O untuk induksi 2 lt ditambah dengan
oksigen 2 liter/menit.
Selain itu juga diberikan obat yang lain seperti ondansetron 8 mg untuk
mencegah mual muntah pasca operasi, tramal 100 mg sebagai NSAID untuk
mengatasi nyeri sedang sampai berat pasca operasi, deksametason 10 mg untuk
mencegah mual muntah pasca operasi, dan antibiotik ceftriaxone 2 gram untuk
pencegahan infeksi pasca operasi.
38
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dalam kasus ini membahas seorang laki-laki, 36 tahun dengan berat badan
58 kg dengan diagnosis penyakit chronic wound regio antebrachi dextra ex
electric injury akan menjalani tindakan debridement dan tutup defek selama 55
menit. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
lainnya pasien dapat digolongkan dalam ASA I. Pada pemeriksan fisik, bagian
saluran pernapasan atas di dapatkan skor mallampati I yaitu pallatum mole,
fauces, uvula dan pilar terlihat jelas.
Pada operasi ini digunakan teknik operasi umum, yaitu laryngeal mask
airway (LMA) karena operasi dilakukan dengan durasi yang singkat.
Penggunaan LMA sudah sesuai baik dari ukuran LMA, jenis LMA, insersi (cara
pasang) LMA, dan ekstubasi (cara pengeluaran) LMA.
39
DAFTAR PUSTAKA
40
Paediatric Anaesth. 2008; 18(4): 308-12. doi: 10.1111/j.1460-
9592.2008.02434.x. PMID: 18315636.
14. Ramesh S, Jayanthi R. Supraglottic airway devices in children. Indian J
Anaesth. 2011; 55(5): 476-482. doi:10.4103/0019-5049.89874
15. Koo CH, Lee SY, Chung SH, Ryu JH. Deep vs. Awake Extubation and LMA
Removal in Terms of Airway Complications in Pediatric Patients Undergoing
Anesthesia: A Systemic Review and Meta-Analysis. J Clin Med.
2018;7(10):353. Published 2018 Oct 14. doi:10.3390/jcm7100353
16. Hika A, Ayele W, Aberra B, Aregawi A, Bantie AT, Mulugeta S, Chemeda
D, Seifu A. A Comparison of Awake Versus Deep Removal of Laryngeal
Mask Airway in Children Aged 2 to 8 Years Who Underwent Ophthalmic
Procedures at Menilik II Hospital: A Prospective Observational Cohort Study.
Open Access Surgery. 2021; 14: 9-15. https://doi.org/10.2147/OAS.S287507
17. Seyedhejazi, Mahin et al. LMA Extubation in Pediatric Patients: A
Comparison of Inflated and Deflated LMA Cuff Methods. Advances in
Bioscience and Clinical Medicine. 2014; 2(2): 34-39. ISSN 2203-1413.
<https://www.journals.aiac.org.au/index.php/ABCMED/article/view/656>.
18. Bakshi, S.A., Bule, S.S., Shingade, G.U. Comparative Evaluation of
Induction with Propofol Vs. Sevoflurane for Insertion of Laryngeal Mask
Airway in Children. International Journal of Research in Medical Science.
2019; 7(4): 1271-1275. doi: http://dx.doi.org/10.18203/2320-
6012.ijrms20191338
19. Kim, E.-H., Song, I.-K., Lee, J.-H., Kim, H.-S., Kim, H.-C., Yoon, S.-H., …
Kim, J.-T. Desflurane versus sevoflurane in pediatric anesthesia with a
laryngeal mask airway. Medicine. 2017; 96(35),
e7977. doi:10.1097/md.0000000000007977
20. White, M. C., Cook, T. M., & Stoddart, P. A. A Critique of Elective Pediatric
Supraglottic Airway Devices. Pediatric Anesthesia. 2009; 19(1): 55–65.
doi:10.1111/j.1460-9592.2009.02997.x
41