Anda di halaman 1dari 54

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

DAN TERAPI INTENSIF FEBRUARI 2020

ANESTESI UMUM PADA PASIEN MOLAHIDATIDOSA

Oleh
Aryani Intan Lestari, S.Ked
K1A1 14 091

Pembimbing
dr. Agus Purwo Hidayat, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Aryani Intan Lestari
Nim : K1A1 14 091
Program Studi : Profesi Dokter
Laporan Kasus : Anestesi Umum pada Pasien Molahidatidosa

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada
bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Haluoleo.

Kendari, Februari 2020


Mengetahui,

Pembimbing

dr. Agus Purwo Hidayat, Sp. An

ii
BAB I
ILUSTRASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 29 tahun
Agama : Islam
Suku : Muna
Alamat : Jalan manggarai
No. RM : 56 64 91
Diagnosis : Molahidatidosa

B. Anamnesis
1. Keluhan utama : Keluar darah dari jalan lahir
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh keluar darah sejak 2
hari yang lalu, berwarna kecoklatan, disertai dengan pengeluaran lendir
(+), air – air (-). Keluhan penyerta sakit kepala (+), penglihatan kabur (-),
mual (+), muntah (-). Riwayat penyakit terdahulu diabetes mellitus (-),
hipertensi (-), asma (-), alergi obat (-), alergi makanan (-).Riwayat Hari
pertama haid terakhir 25 September 2019. Haid teratur setiap bulan dengan
siklus haid 28-30 hari dan lama haid ±5 hari dengan 2-3 kali ganti
pembalut. Riwayat penggunaan KB: Suntik 1 bulan.
3. Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien
disangkal.
C. Pemeriksaan Fisik
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg

1
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36C
Pernafasan : 20 x/menit
Status Generalis
1. Kulit : Warna kulit sawo matang, ikterik (-), tidak sianosis, turgor
kulit cukup,capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.
2. Kepala : Normocephali, tidak ada bekas trauma, distribusi rambut
merata dan tidak mudah dicabut.
3. Mata : Konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-)
4. Mulut : Sianosis (-/-), gigi palsu (-/-), Uvula dan palatum mole dan
durum terlihat.
5. Pemeriksaan Leher
a. Inspeksi : Leher panjang, pembesaran KGB (-), gerak vertebrae
servikal baik.
b. Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid.
6. Pemeriksaan Thorax
a. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
2) Palpasi :Ictus cordis tidak
3) Perkusi :
a) Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra
b) Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dextra
c) Batas bawah kiri : ICS V garis midclavikula sinistra
d) Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna dextra
4) Auskultasi:BJ I & II regular , tidak ditemukan gallop dan murmur.
b. Paru
1) Inspeksi : Gerak Dinding dada simetris.
2) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiridan tidak
terdapat ketertinggalan gerak.

2
3) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
4) Auskultasi: Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
7. Pemeriksaan Abdomen
1) Inspeksi : Perut cembung, simetris, tidak terdapat massa
2) Auskultasi : Terdengar suara bising usus kesan normal
3) Perkusi : Timpani
4) Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak
teraba.
8. Pemeriksaan genital :
Fluksus (-), fluor (+), vulva tak ada kelainan, keluar darah dari jalan lahir
(+)
9. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat fraktur maupun bekas trauma, massa, akral teraba hangat
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium 19/1/2020

Parameter Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan


Darah Rutin
Hemoglobin 13,0 12.0-16.0 g/dL
Leukosit 8.76 4.00-6.00 x 103/uL
Hematokrit 39.4 37-48%
Trombosit 299 150-450 x 103/uL
Faktor Pembekuan
Waktu pembekuan 7’38” 6-12 menit
Wakktu Perdarahan 2’58” ≤ 3 menit
Imunoserologi
HbS Ag Non Reaktif Non Reaktif
2. Laboratorium 19/1/2020
Parameter Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
β hCG 151.70 Lk: <2, Pr: <1

E. Kesimpulan

3
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat disimpulkan :
Diagnosis pre operatif : Molahidatidosa
Status Operatif : ASA III
Jenis Operasi : Histerektomi
Jenis Anastesi : General Anastesi
F. Intra Operatif
Jenis Anastesi : General Anastesi
1. Persiapan Pre-Operasi :
a. Pre-operasi
- Informed consent terhadap pasien dan keluarga mengenai tindakan
pembedahan dan anestesi
- Monitoring tekanan darah, saturasi, heart rate, respiration rate
b. Premedikasi
- Ondansetron 4 mg/iv
- Dexamethasone 10 mg/iv
- Fentanyl 50 mcg/iv
c. Induksi Anestesia
- Propofol 100 mg/iv
- Sevofluran volume 2 %
d. Pemeliharaan (Maintenance)
- Propofol 100 mg/iv
- Efedrin 60 mg/iv
- Tramus 50 mg/iv
- Ketorolac 30 mg/iv
- Asam traneksamat 1 gram
- Ascorbic acid 250 mg
- Vitamin K 10 mg
- Adona 50 mg
- Furosemide 20 mg/iv
- Tramadol 10 mg/iv

4
e. Tehnik anastesi :
 injeksi fentanyl 100 mcg selanjutnya propofol 100 mg
 menaikkan O2 4L/m
 face mask di dekatkan ke wajah pasien
 periksa reflek bulu mata untuk memastikan pasien sudah tertidur
 pasang fase mask ke wajah pasien
 lakukan maneuver airway , sambil dilakukan bagging
 segera lepaskan sungkup dan pasang laringoskop secepatnya untuk
mencegah penurunan saturasi
 ETT dimasukan di mulut pasien sebelah kanan
 Setelah ETT masuk , cuff dikembangkan
 Segera pasang selang airway ke ETT
 Memastikan udara masuk ke dalam paru dengan mendengarkan
menggunakan stetoskop untuk memastikan bunyi nafas paru kiri dan
kanan sama
 Melakukan fiksasi ETT menggunakan Tape
 Selanjutnya pernafasan dikontrol dengan bagging dari mesin
anastesi.
G. Intra Operasi
Laporan monitor anestesi selama operasi:
Jam TD (mmHG) Nadi SPO2
00.30 118/64 98 100 %
00.35 118/62 95 100 %
00.40 105/58 88 100 %
00.45 105/58 89 100 %
00.50 100/52 92 100 %
00.55 98/50 105 100 %
01.00 98/50 120 100 %
01.05 90/48 129 100 %
01.10 80/40 138 100 %
01.15 80/45 135 100 %
01.20 90/60 120 100 %
01.25 100/60 108 100 %
01.30 118/58 98 100 %

5
01.35 115/55 95 100%
01.40 108/58 98 100%
01.45 100/53 96 100%
01.50 103/52 94 100%
01.55 118.55 98 100%

H. Post Operatif :
Cairan infus : RL kolf ke-5
TD : 112/70
Nadi : 84 x/menit
SPO2 : 100 %
Aldrete’s score :4
Pasien dipindahkan ke ICU.
I.

6
BAB II
PENDAHULUAN

Anastesi adalah istilah yang diturunkan dari dua kata Yunani yaitu ”an”
dan ”esthesia” dan bersama-sama berarti hilangnnya rasa atau hilangnya sensasi.
Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebgai kehilagan rasa
secara patologis pada bagian tubuh teretentu. Anestesiologi adalah cabang ilmu
kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi,
penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian
bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi
pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra
anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap
penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3.
Anastesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat revesible. Perbedaan dengan
anestesi lokal antara lain, pada anestesi lokal hilangya rasa sakit setempat sedang
pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh saraf
perifer sedangkan pada anestesi umum yang terpengaruh saraf pusat dan pada
anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran1.
Mola Hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropik dengan gambaran adanya pembesaran,
edema dan vili vesikuler sehingga menunjukkan berbagai ukuran trofoblas
proliferatif tidak normal. Mola hidatidosa dianggap sebagai penyakit penting di
Indonesia. Hal tersebut terjadi karena prevalensi mola hidatidosa yang cukup
tinggi yaitu sekitar 10-20% dapat berkembang menjadi tumor trofoblas
gestasional4,5,6.

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Molahidatidosa
1. Definisi
Mola Hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak
wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis
mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik dengan gambaran
adanya pembesaran, edema dan vili vesikuler sehingga menunjukkan
berbagai ukuran trofoblas proliferatif tidak normal. Secara makroskopik
mola hidatidosa mudah dikenal dengan dijumpai gelembung-gelembung
putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran gelembung
yang bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 cm atau 2 cm.
Sedangkan gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa
adalah edema pada stroma vili, tidak ditemukan pembuluh darah pada vili
atau degenerasi hidropik dan terjadi proliferasi sel-sel trofoblas. Mola
Hidatidosa terdiri dari Mola Hidatidosa komplit dan Mola Hidatidosa
parsial. Perbedaan antara keduanya adalah berdasarkan morfologi,
gambaran klinikopatologi dan sitogenetik4,5.

Gambar 1. Mola Hidatidosa

8
Kelompokan jaringan yang membentuk struktur ‘mirip buah
anggur’ diikat oleh jaringan fibrotik yang halus. Jaringan seperti buah
anggur, terdiri dari kista-kista kecil dengan ukuran yang berbeda-beda dari
pembengkakan jonjot-jonjot kecil sampai kista yang berdiameter 4 cm,
berdinding tipis dan berisi cairan bening7.
Secara makrokopis, vili pada mola hidatidosa komplit tampak
seperti rangkaian buah anggur. Hampir 90% dari mola komplit adalah 46,
XX, berasal dari duplikasi kromosom sperma haploid setelah
memfertilisasi telur dengan kromosom maternal tidak ada atau inaktif.
Sepuluh persen mola komplit adalah 46, XY atau 46, XX, sebagai hasil
dari fertilisasi telur kosong oleh dua buah sperma (dispermi)4,8.
Beberapa studi memperlihatkan pasien dengan penyakit berulang
adalah molar biparental yang dapat bersifat familial atau sporadik. Kondisi
ini berkaitan dengan mutasi missense pada gen NLRP7 pada kromosom
19q13.3-13.4.2,10 Neoplasia trofoblastik (mola invasif atau
koriokarsinoma) terjadi setelah mola komplit pada 15-20% kasus9.

Gambar 2. Mola Parsial

9
Tampak hanya beberapa vili korealis yang berubah bentuk
menyerupai anggur diantara vili korealis yang masih normal. Mola parsial
ini disebabkan oleh dua spermatozoa yang membuahi satu sel telur
sehingga terjadi keadaan triploid. Tampak fetus juga sudah terbentuk,
tetapi jarang yang bisa bertahan lebih dari 15 minggu7.
Mola hidatidosa parsial memperlihatkan adanya jaringan fetus atau
embrionik, vili korion dengan edema fokal yang bervariasi dalam bentuk
dan ukuran, inklusi trofoblas stroma, sirkulasi pada vili, hiperplasia
trofoblas fokal dengan atipia sedang, ploriferasi terbatas pada sinsi-
tiotrofoblas. Sebagian besar mola parsial mempunyai kariotipe triploid
(biasanya 69, XXY), kadang-kadang tetraploid (92, XXXY) sebagai hasil
fertilisasi ovum normal oleh dua sperma. Kurang dari 5% mola parsial
akan berkembang menjadi TTG dan jarang terjadi metastase. Penanganan
kehamilan molar dengan kuretase atau histerektomi tergantung pada
keinginan untuk mempertahankan fertilitas. Pemeriksaan kadar hCG
didapatkan tinggi dibandingkan kehamilan normal, apabila kadar hCG
tinggi kemungkinan suatu kehamilan kembar. Kadar hCG mola >500.000
IU/24 jam4,5,8.
2. Epidemiologi
Secara umum insidensi Mola Hidatidosa di Asia dan di Amerika
Latin lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara barat. Lima negara
yang menduduki peringkat atas yaitu Indonesia dengan 13 kasus, Taiwan
8,0 kasus, Filipina dan China 5,0 kasus, serta Jepang 3 kasus. Sedangkan
insidensi terendah terdapat di Amerika Utara, Eropa, dan Oceania dengan
rata-rata 0.5-1.84 kasus per 1.000 kehamilan. Insidensi di Eropa dan
Amerika Serikat adalah 1-2 per 1000 kehamilan sedangkan insidensi Mola
Hidatidosa di Asia Tenggara delapan kali lebih tinggi. Insidensi Mola
Hidatidosa yang terdata di Rumah Sakit Indonesia lebih tinggi dari nilai di
negara-negara lain yaitu 1 per 40 persalinan. Insiden Mola Hidatidosa
Komplit tertinggi adalah Indonesia yaitu 1 dari 77 kehamilan dan 1 dari 57
persalinan10,11.

10
Hal tersebut menunjukkan bahwa Mola Hidatidosa merupakan
salah satu penyakit yang terpenting di Indonesia dimana prevalensi mola
hidatidosa cukup tinggi sekitar 10-20% yang dapat berkembang menjadi
tumor trofoblas gestasional. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2002 ditemukan kasus
mola hidatidosa 1:123 dari kehamilan, dan pada tahun 2003 ditemukan
kasus mola hidatidosa 1:245 kehamilan. Sedangkan hasil penelitian yang
dilakukan di tempat yang sama pada tahun 2012–2013 diperoleh sebanyak
39 kasus mola hidatidosa yang didistribusi berdasarkan kelompok umur,
paritas, pendidikan, dan kadar hemoglobin penderita6.
3. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti. Kejadian
mola hidatidosa berhubungan dengan kelainan pada kromosom. Mola
hidatidosa komplit paling sering memiliki komposisi kromosom diploid,
biasanya 46 XX dan merupakan hasil dari androgenesis yang berarti kedua
set kromosom berasal dari pihak ayah. Hampir 90% dari mola komplit
adalah 46, XX, berasal dari duplikasi kromosom sperma haploid setelah
memfertilisasi telur dengan kromosom maternal tidak ada atau inaktif.
Sepuluh persen mola komplit adalah 46, XY atau 46, XX, sebagai hasil
dari fertilisasi telur kosong oleh dua buah sperma (dispermi)6,11,12.
Mola hidatidosa komplit mengalami pembesaran vili tanpa adanya
fetus atau embrio, trofoblas hiperplasia dengan tingkat atipia yang
bervariasi, dan tidak ada kapiler-kapiler vili. Secara makrokopis, vili pada
mola hidatidosa komplit tampak seperti rangkaian buah anggur12.
Sebagian besar mola parsial mempunyai kariotipe triploid
(biasanya 69, XXX, 69, XXY atau yang paling jarang 69, XYY, kadang-
kadang tetraploid (92, XXXY) sebagai hasil fertilisasi ovum normal oleh
dua sperma. Kadang-kadang, ovum haploid yang sama dapat dibuahi oleh
sperma 46,XY yang tidak tereduksi. Kariotipe triploid ini menghasilkan
bebrapa perkembangan embrionik, namun pada akhirnya kondisi janin
akan mati. Janin yang mencapai usia kehamilan yang lanjut akan terjadi

11
pertumbuhan janin terhambat yang berat, anomali bawaan, ataupun
keduanya. Kurang dari 5% mola parsial akan berkembang menjadi TTG
dan jarang terjadi metastase. Mola Hidatidosa parsial memperlihatkan
adanya jaringan fetus atau embrionik, vili korion dengan edema fokal yang
bervariasi dalam bentuk dan ukuran, inklusi trofoblas stroma, sirkulasi
pada vili, hiperplasia trofoblas fokal dengan atipia sedang, ploriferasi
terbatas pada sinsitiotrofoblas6.

Gambar 3. Patogenesis Mola Hidatidosa


Tabel 1. Perbandingan bentuk mola hidatidosa
Mola Komplit Mola Parsial
Sinonim Klasik Parsial
Vili Semua mengalami Beberapa normal
edema
Kapiler Sedikit mengandung Banyak mengandung
SDM SDM
Hiperplasia Nyata Minimal-sedang
trofoblastik
Embrio Tidak ada tali pusat, Janin abnormal

12
amnion dan janin
Usia kehamilan 8-16 minggu 10-26 minggu
Kadar Hcg Tinggi Rendah-sedang
Kariotipe Terutama 46 XX Tripoid
Potensi keganasan 15-20% Sedikit

4. Faktor Risiko13
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Mola Hidatidosa
adalah :
a. Usia ibu
Peningkatan resiko untuk Mola Hidatidosa Komplit karena
kedua usia reproduksi yang ekstrim yaitu terlalu muda dan terlalu tua 11.
Menurut Kruger TF (2007), hal ini berhubungan dengan keadaan
patologis ovum premature dan postmature. Ovum patologis terjadi
karena gangguan pada proses meiosis, sehingga ovum tidak memiliki
inti sel. Jika ovum patologis tersebut dibuahi oleh satu sel sperma
maka karyotipe yang dihasilkan adalah 46,XX homozigot dan ini
adalah karyotipe tersering yang ditemukan pada Mola Hidatidosa
Komplit (90%). Ovum dari wanita yang lebih tua lebih rentan terhadap
pembuahan yang abnormal. Dalam sebuah penelitian, resiko untuk
Mola Hidatidosa Komplit meningkat 2,0 kali lipat untuk wanita yang
lebih tua dari 35 tahun dan 7,5 kali lipat untuk wanita yang lebih tua
dari 40 tahun.
b. Status gizi
Studi kasus kontrol dari Italia dan Amerika Serikat telah
menunjukkan bahwa asupan makanan rendah karoten dapat dikaitkan
dengan peningkatan resiko kehamilan Mola Hidatidosa. Daerah
dengan tingginya insiden kehamilan mola juga memiliki frekuensi
tinggi kekurangan vitamin A. Kekurangan prekusor vitamin A,
karoten, atau lemak hewan sebagai faktor penyerapan vitamin A, yang
mungkin menjadi faktor penyebab Mola Hidatidosa. Kekurangan
vitamin A menyebabkan penyusutan janin dan kegagalan

13
pembangunan epitel pada hewan betina dan degenerasi epitel
semineferous dengan penurunan perkembangan gamet yang pada
hewan jantan.
c. Riwayat Obstetri
Resiko untuk Mola Hidatidosa Komplit dan Mola Hidatidosa
Parsial meningkat pada wanita dengan riwayat aborsi spontan
sebelumnya. Riwayat Mola Hidatidosa sebelumnya juga merupakan
faktor resiko yang kuat. Ibu multipara cenderung beresiko terjadi
kehamilan mola hidatidosa karena trauma kelahiran atau
penyimpangan trasnmisi secara genetic.
d. Genetik
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik.
Hasil penelitian sitogenetik Kajii et al dan Lawler et al, menunjukkan
bahwa pada kasus Mola Hidatidosa lebih banyak ditemukan kelainan
Balance translocation dibandingkan dengan populasi normal (4,6% dan
0,6%). Ada kemungkinan, pada wanita dengan kelainan sitogenetik
seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan proses meiosis berupa
nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau
intinya tidak aktif.
e. Golongan darah
Ibu dengan golongan darah A dan ayah dengan golongan darah
A atau O memiliki resiko meningkat dibandingkan dengan semua
kombinasi golongan darah lain. Penemuan ini mendukung faktor
genetik atau faktor imunologik berkaitan dengan histokompatibilitas
ibu dan jaringan trofoblas.
f. Merokok, konsumsi alkohol, infeksi
Merokok dilaporkan meningkatkan resiko GTD. Resiko relatif
wanita yang merokok lebih dari 15 batang per hari adalah 2,6
dibandingkan 2,2 pada wanita yang merokok kurang dari 15 batang per
hari. Lama waktu merokok berhubungan dengan insiden GTD. Peran
alkohol dan infeksi (Human Papilloma virus, Adenovirus, dan

14
Tuberkulosis) juga telah dipertimbangkan. Meskipun peran genetik di
dalam perkembangan Mola Hidatidosa adalah pasti, sedikit diketahui
tentang genotip yang menjadi faktor predisposisi Mola Hidatidosa atau
faktor lingkungan yang meningkatkan resiko patologis ovum.
5. Patofisiologi13
Ada beberapa teori yang diajukan menerangkan patogenesis dari
penyakit trofoblas. Diantaranya Hertig et al, mengatakan bahwa pada Mola
Hidatidosa terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada
minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan cairan
dalam jaringan mesenkim vili dan terbentuklah kista-kista kecil yang
makin lama makin besar, sampai pada akhirnya terbentuklah gelembung
mola. Sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili
yang oedemateus tadi.
Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya
jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasia, displasi
maupun neoplasi. Bentuk abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang
abnormal, dimana terjadi absorbsi cairan yang berlebihan ke vili. Keadaan
ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian.
Reynolds mengatakan bahwa, bila wanita hamil, terutama antara
hari ke 13 dan 21, mengalami kekurangan asam folat dan histidine, akan
mengalami gangguan pembentukan thymidine, yang merupakan bagian
penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini akan menyebabkan
kematian embrio dan gangguan angiogenesis, yang pada gilirannya akan
menimbulkan perubahan hidrofik.
Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari
unsur ibu yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah
yang diperlukan untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air
ketuban dan lain lain), secara seimbang.
Imprint gen mempunyai peranan yang penting pada perkembangan
Mola Hidatidosa. Pencetakan (imprinting) merupakan proses di mana gen
spesifik mengalami metilasi sehingga mereka tidak lagi dapat

15
ditranskripsi. Perkembangan embrio normal membutuhkan satu set gen
yang dicetak secara maternal dan gen lain dicetak secara paternal. Pada
Mola Hidatidosa, dua set gen yang dicetak secara paternal. Pada keadaan
ini trofoblas displasia, namun janin tidak terberntuk.
Studi yang dilakukan pada mencit memperlihatkan bahwa gen
yang berasal dari paternal mempunyai peranan dalam perkembangan
plasenta dan gen yang berasal dari maternal berperan dalam perkembangan
fetus. Sehingga perkembangan materi genetik paternal dapat menyebakan
proliferasi trofoblas yang berlebihan. Pada Mola Hidatidosa Komplit
hanya punya DNA paternal sehingga terjadi proliferasi trofoblas yang
banyak bila dibandingkan Mola Hidatidosa Parsial.
Identifikasi kromosom paternal mempunyai peranan penting dalam
diagnosis Mola Hidatidosa, maka banyak dikembangkan teknik
pemeriksaan yang berasal dari paternal kromosom. Pemeriksaan tersebut
antara lain adalah: Polymerase Chain Reaction (PCR). DNA
fingerprinting, restriction fragmen lenght polymorphism (RFLP)
assesment, short tandem repeat – derived DNA polymorphism,
flowcytometri dan analisis DNA dengan menggunakan images analysis.
6. Gambaran Klinik5
Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda
dengan kehamilan biasa yaitu mual, muntah, pusing, sakit kepala dan lain-
lain, hanya saja derajat keluhannya lebih hebat. Selanjutnya
perkembangannya lebih pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih
besar dari usia kehamilan. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya tidak
kecil atau sama besar walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal
ini perkembangan trofoblas tidak begitu aktif sehingga perlu dipikirkan
kemungkina adanya jenis dying mole.
Perdarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan
perdarahan inilah yang menyebabkan pasien datang kerumah sakit. Gejala
perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh
dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan biasanya intermiten,

16
sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau
kematian. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk
dalam keadaan anemia.
Seperti pada kehamilan biasa, Mola Hidatidosa bisa disertai
dengan pre eklampsia ataupun eklampsia, hanya perbedaannya adalah
bahwa pre eklampsia pada mola terjadinya lebih muda daripada kehamilan
biasa. Penyulit lain yang akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan yaitu
tirotoksikosis. Maka Martaadisoebrata menganjurkan agar tiap kasus Mola
Hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif seperti kita selalu
mencari tanda-tanda pre eklampsia pada tiap kehamilan biasa. Hal ini
diakibatkan karena efek mirip tirotropin dari hCG maka kadar tiroksin
bebas dalam plasma akan meningkat sementara kadar TSH akan menurun.
Meskipun demikian jarang dijumpai tirotoksikosis namun menurut
Martaadisoeberata menganjurkan agar tiap kasus mola hidatidosa dicari
tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif. Peningkatan T4 bebas didalam
serum akan cepat kembali normal setelah evakuasi uterus. Pada mola
hidatidosa yang berukuran besar sering terjadi preeklasia awitan dini. Hal
ini dikarenakan preeklamsia gestasional jarang terjadi pada usia kehamilan
24 minggu. Maka preeklamsia yang terjadi pada sebelum usia kehamilan
24 minggu harus dicurigai akan kehamilan mola.

17
Gambar 4. Manifestasi Klinis Mola Hidatidosa
7. Diagnosis4,5
a. Anamnesis
Perdarahan pervaginam, paling sering biasanya terjadi pada
usia kehamilan 6-16 minggu. Terdapat gejala hamil muda yang sering
lebih nyata dari kehamilan biasa (hiperemesis gravidarum). Keluar
jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada)
yang merupakan diagnosa pasti. Perdarahan bisa sedikit atau banyak,
tidak teratur, berwarna merah kecoklatan. Kadang kala timbul gejala
preeklampsia.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi: muka dan kadang-kadang badan terlihat pucat
kekuningkuningan, yang disebut muka mola (mola face). Selain
itu, kalau gelembung mola keluar, dapat terlihat jelas.
2) Palpasi: uterus membesar ridak sesuai dengan usia kehamilannya,
teraba lembek. Tidak teraba bagian janin dan ballotement, juga
gerakan janin. Adanya fenomena harmonika, darah dan gelembung

18
mola keluar, fundus uteri turun, lalu naik lagi karena terkumpulnya
darah baru.
3) Auskultasi: tidak terdengar bunyi denyut jantung janin, terdengar
bising dan bunyi khas.
c. Pemeriksaan Dalam
Untuk mengetahui apakah terdapat perdarahan atau jaringan
pada kanalis servikalis dan vagina.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Beta hCG urin tinggi ≥100.000 IU/ml
2) Beta hCG serum ≥40.000 IU/ml
3) Uji biologik dan uji imunologik (Galli Mainini dan Planotest) akan
positif setelah pengenceran (titrasi)
4) Galli Mainini 1/300 (+), maka suspek mola hidatidosa.
5) Galli Mainini 1/200 (+), maka kemungkinan mola hidatidosa atau
kehamilan kembar
6) Uji Sonde
Sonde dimasukkan ke dalam kanalis servikalis secara pelan
dan hati-hati, kemudian sonde diputar. Jika tidak ada tahanan,
kemungkinan mola.
7) Foto Rontgen Abdomen
Tidak terlihat adanya tulang-tulang janin (pada kehamilan 3-4
bulan)
8) Ultrasonografi
Pada mola akan terlihat bayangan badai salju dan tidak
terlihat janin.
Adanya Mola Hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan
dengan amenore, perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari usia
kehamilan dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti seperti balotemen
dan detak jantung janin. Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotoprin (hCG) dalam darah
atau urin baik secara bioasay, immunoasay, maupun radioimmunoasa.

19
Peningkatan kadar hCG terutama dari hari ke 100 sangat sugestif. Bila
belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan USG, dimana kasus mola
menunjukkan gambaran yang khas yaitu berupa badai salju (snow flake
pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).
Diagnosis yang paling tepat bila kita melihat keluarnya gelembung
Mola. Namun, bila menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya
sudah terlambat karena pengeluaran gelembung umumnya disertai
perdarahan yang banyak dan keadaan umum pasien menurun. Yang paling
terbaik ialah bila dapat mendiagnosis mola sebelum keluar.
Diagnosis ultrasonografi pada mola parsial lebih sulit karena janin
mungkin maish dapat hidup, tetapi menunjukkan tanda-tanda yang
konsisten dengan triploid, seperti pembatasan pertumbuhan dini yang tidak
biasa atau kelainan perkembangan. Mungkin hanya ada ruang kistik yang
tersebar didalam plasenta dan perubahan kistik ovarium biasanya jauh
lebih jelas. Jika ragu, lakukan pemindaian ulang dalamn1-2 minggu.
Pada wanita dengan molahidatidosa komplit, level serum beta-hCG
kuantitatif lebih sering tinggi dari yang diharapkan. Seringkali melebihi
100.000 IU/L. Dalam kasus mola parsial, tingkat beta hCG sering dalam
kisaran yang luas terkait dengan kehamilan normal dan gejalanya biasanya
kurang jelas.
8. Penatalaksanaan
Pengelolaan Mola Hidatidosa dapat terdiri atas 4 tahap berikut ini.
a. Perbaiki Keadaan Umum
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah
untuk memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau
mengurangi penyulit seperti pre eklampsia atau tirotoksikosis. Pada
keadaan gawat darurat, pasien Mola Hidatidosa harus terlebih dahulu
menstabilkan pasien. Jika ada bukti gangguan pernapasan dan edema
paru, seseorang harus memulai ventilasi tekanan positif non-invasif
(seperti BiPAP) atau memulai ventilasi mekanis secara darurat.
Selanjutnya, jika ada tanda-tanda gejala eklampsia (tahap akhir pre-

20
eklampsia) termasuk kejang, seseorang harus memulai manajemen
yang tepat termasuk benzodiazepin dan pemberian magnesium sulfat.
Jika pasien memiliki tanda-tanda preeklampsia, kontrol tekanan darah
yang mendesak diperlukan dengan obat-obatan seperti hydralazine dan
labetalol. Jika ada tanda dan gejala hipertiroidisme, praktisi harus
memulai pengobatan yang tepat termasuk penghambat beta dan
memantau kadar tiroid. Jika anemia berat hadir, dokter harus
mempertimbangkan transfusi darah6.
Setelah pasien distabilkan, konsultasi diperlukan untuk
kemungkinan kebutuhan dilatasi dan kuretase. Pada pasien dengan usia
ibu lanjut dan lebih dari 40 tahun dan mereka yang telah
menyelesaikan persalinan, histerektomi sering dilakukan. Setelah
evakuasi kehamilan mola, jika kadar hCG tetap meningkat, ada bukti
penyakit persisten atau invasif yang memerlukan pemeriksaan
keganasan dan kadang-kadang kemoterapi. Konsultasi onkologi
ginekologi biasanya diperlukan dalam kasus ini untuk memandu
terapi6.
b. Pengeluaran Jaringan Mola5
1) Vakum Kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki selanjutnya dilakukan
vakum kuretase tanpa pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi
diberikan pula uterotonika. Vakum Kuretase dilanjutkan dengan
kuretase dengan menggunakan sendok kuret biasa yang tumpul.
Tindakan kuret cukup dilakukan 1 kali saja asal bersih. Kuret
Kedua hanya dilakukan bila ada indikasi. Sebelum tindakan kuret
sebaiknya disediakan darah untuk menjaga bila terjadi perdarahan
yang banyak.
2) Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada umumnya pada perempuan
yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk
melakukan histerektomi adalah karena umur tua dan paritas tinggi

21
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan
yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak
jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan
pemeriksaan histopatologik sudah tampak adanya tanda-tanda
keganasan berupa mola invasif/koriokarsinoma.
B. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Tindakan generalanestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan
adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan general anestesi
dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik
intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya
inhalasi dan intravena.1
Teknik General Anestesi General anestesi dapat dilakukan dengan 3
teknik,yaitu2:
 General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat
anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
 General Anestes Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alatatau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
 Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik generalanestesi dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu: (1) Efek
hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obathipnotikum atau obat
anestesi umum yang lain. (2) Efek analgesia, diperoleh dengan
mempergunakan obat analgetik opiat atau obat generalanestesiatau dengan

22
cara analgesia regional. (3) Efek relaksasi, diperoleh dengan
mempergunakan obat pelumpuh otot atau generalanestesi, atau dengan
cara analgesia regio.
1. Indikasi Anestesi Umum
Pasien yang menjalani prosedur bedah yang membutuhkan
relaksasi mendalam untuk jangka waktu yang lama paling cocok untuk
anestesi umum selama tidak ada kontraindikasi. Pembedahan yang tidak
dapat dibius secara adekuat dengan anestesi lokal atau regional
memerlukan anestesi umum. Operasi yang kemungkinan menyebabkan
kehilangan darah yang signifikan atau pernapasan yang akan terpengaruh
memerlukan anestesi umum. Pasien yang tidak kooperatif juga lebih baik
dirawat dengan anestesi umum bahkan untuk prosedur yang lebih kecil.
Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi local. Pasien yang memilih
anestesi umum. Obat-obatan yang memberikan relaksasi yang dalam
biasanya menyebabkan setidaknya beberapa derajat depresi pernapasan.
Preferensi pasien juga dapat memengaruhi keputusan untuk menjalani
anestesi14.
2. Kontraindikasi Anestesi Umum8
Tidak ada kontraindikasi absolut terhadap anestesi umum. Namun,
ada banyak kontraindikasi relatif. Pasien yang berencana untuk menjalani
anestesi umum harus menjalani evaluasi pra operasi oleh penyedia
anestesi. Evaluasi ini melibatkan tinjauan komorbiditas medis pasien,
fungsi jantung / paru-paru, dan kehamilan / status merokok. Kondisi medis
pasien dimaksimalkan sebelum operasi jika memungkinkan. Sebagai
contoh, seorang pasien dengan angina tidak stabil harus menjalani
kateterisasi jantung atau bypass sebelum operasi elektif.8
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi
kordis derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik
>110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA (glomerulonefritis
akut).

23
Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami
kelainan.Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan
pemakaian obat yang bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan
jantung, obat – obatan yang mendepresi miokard atau menurunkan aliran
koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan. Pasien dengan gangguan
ginjal, obat – obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan.
Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada
bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat
yang merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow
karena dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
3. Stadium Anestesi30
Tahap keadaan pada penggunaan anestesi digolongkan menjadi empat
stadium:
 Pada stadium I (analgesia)
Dimulai dari saat pemberian anestetikum sampai menurunnya
kesadaran, hilangnya kepekaan terhadap waktu, depresi intelegensi,
dan disorientasi, tetapi penderita masih dapat mengikuti perintah. Pada
tahap ini rasa sakit hilang dan dapat dilakukan tindakan pembedahan
ringan seperti pencabutan gigi. Pada mulanya, penderita masih sadar
dan dapat berbicara dengan dokter giginya. Bila konsentrasi N2O
meningkat, maka penderita makin mengalami disorientasi dan bahkan
mulai kehilangan kesadarannya, hingga mulai masuk ke dalam stadium
kedua. Tanda-tanda stadium I adalah respirasi tidak menunjukkan
irama yang khas, bola mata tidak menunjukkan proses yang khas, pupil
mata tidak berubah, dan refleks kelopak mata aktif.
 Stadium II (delirium)
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium
pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas gerakan yang tidak
menuruti kehendak, tonus otot serta refleks-refleks meningkat. Tanda-
tanda stadium ini yaitu respirasi tidak teratur, dapat terjadi apnoe atau
hiperapnoe, pupil mata dilatasi, refleks kelopak mata hilang, dapat

24
timbul komplikasi seperti mual, muntah, luksasi atau fraktur, dan
warna kulit normal.
 Stadium III
Tahap anestesi yang ketiga dimulai dari teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III ini terdiri dari empat tingkat
menurut kedalaman anestesi, yaitu tingkat 1, yang dimulai dari
hilangnya refleks kelopak mata sampai pernapasan teratur. Tanda-
tanda tingkat ini yaitu pernapasan teratur dan spontan, bola mata
bergerak kesana kemari, pupil mata terlihat mengecil, relaksasi otot
belum sempuma, serta pernapasan dada dan perut seimbang. Tingkat
kedua dimulai dari gerakan bola mata yang terhenti sampai paralisis
sebagian otot interkostal. Tanda-tanda tingkat ini yaitu pernapasan
teratur tetapi kurang dalam dibandingkan tingkat 1, bolamata tidak
bergerak, pupil mata dilatasi, reflex laring menghilang sehingga dapat
dikerjakan intubasi, dan otot relaksasi sebagian. Tingkat ketiga dimulai
dari paralisis sebagian otot interkostal sampai paralisis seluruh otot
intercostal dan hanya terdapat pernapasan perut. Tanda-tanda tingkat
ini yaitu pernapasan sebagian besar oleh perut karena otot interkostal
mengalami paralisis, pupil mata dilatasi, dan relaksasi otot sempurna.
Sedangkan tingkat keempat dimulai dari paralisis seluruh otot
interkostal sampai paralisis seluruh otot diafragma. Tanda-tanda
tingkat ini yaitu pernapasan perut sempurna, pupil mata dilatasi
sempurna, refleks cahaya hilang, dan tekanan darah menurun.
 Stadium IV
Paralisis medula oblongata dimulai dengan lebih melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III tingkat 4. Tanda-tanda stadium
ini yaitu tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah
kolaps, denyut jantung berhenti, pernapasan yang lumpuh yang tidak
dapat dibantu dengan napas buatan, dan dapat menyebabkan kematian

25
4. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat
sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan
menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah:1
 Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
 Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
 Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
of Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)

26
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri
dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
5. Klasifikasi Mallampati
 Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal
 Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
uvula
 Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
 Mallampati IV : palatum durum saja
6. Intubasi Endotrakeal14
a. Pengertian Intubasi Endotrakheal.
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui
mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau
trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan
memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan.8
b. Tujuan Intubasi Endotrakhea.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah
untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan
nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya,
tujuan intubasi endotrakheal :
 Mempermudah pemberian anestesia.
 Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta
mempertahankan kelancaran pernafasan.
 Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
 Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
 Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
 Mengatasi obstruksi laring akut.

27
c. Indikasi dan Kontraindikasi1,18.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain9 :
1) Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya
tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi
dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
2) Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya
tekanan karbondioksida di arteri.
3) Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal
atau sebagai bronchial toilet.
4) Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang
gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal
antara lain :
1) Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
2) Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar
untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli
bedah.
3) Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tidak ada ketegangan.
4) Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction
dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan
mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
5) Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
intestinal.
6) Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
7) Tracheostomi.
8) Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.

28
Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di
ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada
beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
1) Asfiksia neonatorum yang berat.
2) Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat
pernafasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan
aspirasi.
3) Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
4) Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
5) Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu
yang lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi.
6) Pada post operative respiratory insufficiency.

Gambar 5. Posisi kepala saat akan dilakukan intubasi


d. Alat-alat Untuk Intubasi
Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi
endotrakheal antara lain19
1) Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring.
Ada dua jenis laringoskop yaitu Blade lengkung (McIntosh). Biasa
digunakan pada laringoskop dewasa.

29
Gambar 6. Laringoscopy
2) Pipa endotrakheal
Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali
pakai dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea.Untuk operasi
tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang
tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk
mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis
balon yaitu balon dengan volume besar dan kecil.Balon volume
kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan
mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan
ischemia.Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang
lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan
volume kecil.Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-
anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan
krikoid.Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa
biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar
8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm. Untuk intubasi oral
panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai
rumus : Panjang pipa yang masuk (mm) = Rumus tersebut
merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih

30
besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat
diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.

Gambar 7. Pipa endotrakheal


3) Pipa orofaring atau nasofaring.
Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena
jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.

Gambar 8. Pipa orofaring

31
4) Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan
intubasi.
5) Stilet atau forsep intubasi.
Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal
sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill)
digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa
nasogastrik melalui orofaring.

Gambar 9. Stilet
6) Connector.
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan
bag valve mask ataupun peralatan anesthesia.
7) Alat pengisap atau suction.
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah dan cairan
lainnya
b. Tindakan Intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti
beberapa prosedur yang telah ditetapkan antara lain1 :
1) Persiapan
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan
bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala
dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam
satu garis lurus.

32
2) Oksigenasi.
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan
selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan
balon dengan tangan kanan.
3) Laringoskop.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari
sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop
didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan
kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala
dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk
huruf V.
4) Pemasangan pipa endotrakheal.
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut
sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke
posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila
mengganggu, stilet dapat dicabut.Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri
memfiksasi.Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop
dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
5) Mengontrol letak pipa.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan
suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran
udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan
terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan
suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret
lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada

33
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi
kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah
esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang,
terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang
keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak
semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi
dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
6) Ventilasi.
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan.

Gambar 5. Posisi kepala saat akan dilakukan intubasi


7) Langkah-langkah intubasi
 Pastikan ventilasi aman
 Pasang dan cek semua keperluan peralatan.
 Pilih ukuran ET tube yang tepat
 Pilih tipe dan ukuran yang tepat dari blade laringoskop yang
akan digunakan.
 Cek lampu, tes fungsi ET tube secara menyeluruh
 Masukkan stilet dan lubrikasi ET tube.
 Tempatkan kepala pada posisi netral atau sniffing
 Bersihkan jalan nafas jika diperlukan.

34
 Masukkan blade laringoskop.
 Pegang laringoskop dengan tangan kiri.
 Masukkan laringoskop di sisi kanan mulut pasien, sisihkan
lidah ke sisi kiri.
 Visualisasi epiglotis dan vocal cords,
 Masukkan ET tube, sesuaikan kedalamannya dengan jenis
kelamin.
 Kembangkan cuff nya untuk mencapai seal yang tepat
 Perhatikan pergerakan dinding dada dan auskultasi suara nafas
 Fiksasi posisi ET dengan plester
 Berikan bantuan ventilasi lewat ET tube

35
Gambar 9. Laringoskop Endotrakeal Tube dan Intubasi
10. Komplikasi Intubasi Endotrakheal.
Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi1:
1) Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta
malposisi laringeal cuff.
2) Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah
atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan
diseksi retrofaringeal.

36
3) Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan
intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan
spasme laring.
4) Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
Komplikasi pemasukan pipa endotracheal:
1) Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke
endobronkial dan malposisi laringeal cuff.
2) Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung
3) Malfungsi tuba berupa obstruksi.
Komplikasi setelah ekstubasi:
1) Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis
atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis
pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
2) Gangguan refleks berupa spasme laring.
C. Hubungan Hipertiroid dan Molahidatidosa
Hipertiroid adalah hiperfungsi kelenjar tiroid, berupa peningkatan
biosintesis dan sekresi hormon oleh kelenjar tiroid. Salah satu penyebab
sekunder terjadinya hipertiroid adalah kehamilan mola yang termasuk dalam
penyakit trofoblastik gestasional. Mola hidatidosa tergolong dalam penyakit
trofoblas, dan merupakan kehamilan yang berkembang tidak normal.
Penyebab hipertiroid pada kehamilan mola hidatidosa akibat peningkatan
kadar human Chorionic Gonadotropin (hCG). Kadar hCG yang tinggi ini
berefek stimulasi terhadap kelenjar tiroid, sehingga terjadi peningkatan kadar
hormon tiroid dalam serum yang menyebabkan terjadinya tirotoksikosis23.
Patofisiologi terjadinya hipertiroid pada kehamilan mola hidatidosa
adalah terjadinya peningkatan kadar serum hCG yang mempunyai efek
stimulasi tiroid. Pada trimester pertama kehamilan normal, kadar hCG akan
mencapai puncak, sedangkan kadar TSH serum akan turun sampai kadar yang
rendah. Pada kehamilan normal, sebagian besar penurunan kadar TSH serum
ini tidak berlangsung lama. Pada keadaan patologi dimana kadar hCG

37
meningkat secara bermakna untuk waktu yang cukup lama, maka akan terjadi
stimulasi kelenjar tiroid secara bermakna pula. Keadaan ini akan
menyebabkan penurunan kadar TSH dan peningkatan kadar hormon bebas.
Hormon hCG dan TSH merupakan hormon yang termasuk dalam kelompok
hormon glikoprotein yang mengandung subunit α dan subunit β. Subunit β
pada hormon hCG dan hormon TSH 85% memiliki kesamaan pada 114 asam
amino pertama. Persamaan ini menyebabkan terjadi stimulasi berlebihan hCG
terhadap reseptor TSH pada kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon
tiroksin dan triodotironin23.
Gejala klinis tirotoksikosis dapat dijumpai pada mola hidatidosa
dengan beberapa sifat yang istimewa, yaitu sering tidak menunjukkan
gambaran klinis tirotoksikosis yang umum, walaupun hasil pemeriksaan
laboratorium jelas menunjukkan keadaan hipertiroid. Hal ini menyebabkan
keadaan tersebut seringkali tidak terdiagnosis. Gejala klinis yang kurang nyata
ini disebabkan oleh karena sekresi berlebihan hormon tiroid hanya terjadi
dalam waktu yang singkat saja, atau karena gejala dan tanda tirotoksikosis ini
tersamar oleh gejala dan tanda penyakit tropoblastik ini. Perjalanan
penyakitnya dapat timbul secara cepat atau dapat tiba-tiba muncul sebagai
keadaan yang sangat berat. Keadaan sangat berat tersebut dapat berupa krisis
tiroid atau gagal jantung mendadak. Gejala dan tanda klinis tirotoksikosis
yang dapat timbul adalah berkeringat banyak, tidak tahan terhadap panas,
palpitasi, sesak nafas, kelemahan badan, penurunan berat badan, nafsu makan
bertambah, pembesaran kelenjar tiroid yang ringan, tremor, takikardi, dan
fibrilasi atrial23.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada hipertiroid dengan
kehamilan mola adalah pemeriksaan kadar hormon β hCG, FT4 dan TSHs.
Hipertiroid pada kehamilan mola ditunjukkan dengan peningkatan kadar FT4
dan FT3, penurunan TSHs dan peningkatan hCG yang sangat bermakna.
Peningkatan kadar hCG yang sangat tinggi mencapai 1000 kali dari nilai
normal. Pada penyakit trofoblastik kadar hCG umumnya melebihi 300.000
IU/L, dan selalu melebihi 100.000 IU/L. Rasio T3:T4 pada kehamilan mola

38
sangat rendah, tidak seperti pada penyakit Grave’s yang sering lebih besar dari
dua puluh. Penelitian yang dilakukan oleh Glinoer menyimpulkan bahwa
setiap kenaikan kadar hCG sebesar 10.000 IU/L akan meningkatkan kadar T4
sebesar 0,1 mg/dl, dan menurunkan kadar TSH sebesar 0,1 mIU/L.
Peningkatan kadar serum T4 akan terjadi hanya bila konsentrasi hCG > 50.000
IU/L, dan menetap lebih dari satu minggu. Pada kasus ini ditemukan
peningkatan kadar hCG, T4 bebas, dan penurunan kadar TSHs23.
D. Syok Hipovolemik
Pengertian syok terdapat bermacam-macam sesuai dengan konteks
klinis dan tingkat kedalaman analisisnya. Secara patofisiologi syok merupakan
gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya transport
oksigen ke jaringan atau perfusi yang diakibatkan oleh gangguan
hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan
tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik,
penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Dengan
demikian syok dapat terjadi oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui
berbagai proses. Secara umum dapat dikelompokkan kepada empat komponen
yaitu masalah penurunan volume plasma intravaskuler, masalah pompa
jantung, masalah pada pembuluh baik arteri, vena, arteriol, venule atupun
kapiler, serta sumbatan potensi aliran baik pada jantung, sirkulasi pulmonal
dan sitemik25.
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti
luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paing sering
ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal
juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh
berbagai trauma hebat pada organorgan tubuh atau fraktur yang yang disertai
dengan luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama25.

39
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya
syok hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi,
tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-uung jari (refiling
kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan
darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau
stadium. Stadium syok dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah sama
halnya dengan perhitungan skor tenis lapangan, yaitu 15, 15-30, 30-40, dan
>40%25.
Setiap stadium syok hipovolemik ini dapat dibedakan dengan
pemeriksaan klinis tersebut25.
1. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah
hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh
mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi
penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas
atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi
nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.
2. Syok hipovolemik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-
30%. Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu
menkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi,
penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling
kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi
lebih cemas.
3. Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%.
Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat.
Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit,
peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi
dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat
lambat.
4. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari
40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian
lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III

40
terus memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40%
menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan
disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik.
Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume
sirkulasi tersebut maka secara klinis tahap syok hipovolemik dapat dibedakan
menjadi tiga tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan
tahapan irevesrsibel. Pada tahapan kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh
masih dapat mempertahankan fungsi srikulasi dengan meningkatkan respon
simpatis. Pada tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi
mempertahankan fungsinya dengan baik untuk seluruh organ dan sistim organ.
Pada tahapan ini melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan
perfusi ke jaringan organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan
aliran darah ke ekstremitas. Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai
mulai pucat dan terasa dingin. Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila
kehilangan darah terus berlanjut sehingga menyebabkan kerusakan organ yang
menetap dan tidak dapat diperbaiki. Kedaan klinis yang paling nyata adalah
terjadinya kerusakan sistim filtrasi ginjal yang disebut sebagai gagal ginjal
akut25.
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-
tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya
kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil.
Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai
pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika ditemukan oleh petugas
dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok harus dilakukan secara
komprehensif yang meliputi penatalaksanaan sebelum dan di tempat
pelayanan kesehatan atau rumah sakit. Penatalaksanaan sebelum di tempat
pelayanan kesehatan harus memperhatikan prinsip-prinsip tahapan resusitasi.
Selanjutnya bila kondisi jantung, jalan nafas dan respirasi dapat
dipertahankan, tindakan selanjutnya adalah adalah menghentikan trauma
penyebab perdarahan yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut.
Menghentikan perdarahan sumber perdarahan dan jika memungkinkan

41
melakukan resusitasi cairan secepat mungkin. Selanjutnya dibawa ke tempat
pelayaan kesehatan, dan yang perlu diperhatikan juga adalah teknik mobilisai
dan pemantauan selama perjalanan. Perlu juga diperhatikan posisi pasien yang
dapat membantu mencegah kondisi syok menjadi lebih buruk, misalnya posisi
pasien trauma agar tidak memperberat trauma dan perdarahan yang terjadi,
pada wanita hamil dimiringkan kea rah kiri agar kehamilannya tidak menekan
vena cava inferior yang dapat memperburuh fungsi sirkulasi. Sedangkan saat
ini posisi tredelenberg tidak dianjurkan lagi karena justru dapat memperburuk
fungsi ventilasi paru25.
Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya harus
dilakukan pemasangan infus intravena. Cairan resusitasi yang digunakan
adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah
dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada
orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan
pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan
hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian cairan
kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu
satu jam, karena distribusi cairan koloid lebih cepat berpindah dari
intravaskuler ke ruang intersisial. Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik
maka pilihannya adalah dengan pemberian koloid, dan dipersiapkan
pemberian darah segera25.
E. Komplikasi Penanganan Resusitasi Masif
Penatalaksanaan cairan pada syok perdarahan berat adalah dengan
melakukan resusitasi agresif/resusitasi standar (massive resuscitation) untuk
mengganti cairan yang hilang dengan menggunakan kristaloid dengan
pemberian 3× lipat dari estimate blood loss. Hal ini dikenal dengan ’hukum 3
untuk 1’ (’3 for 1 rule’). Dasar pemikiran pada resusitasi ini adalah cairan
kristaloid memiliki partikel molekul kecil yang relatif berdifusi keluar dari
intravaskuler ke interstitial, sehingga dianggap hanya 25% atau kurang lebih
1/3 dari cairan kristaloid yang bertahan dalam intravaskuler26.

42
Namun resusitasi agresif ini memiliki beberapa kerugian yaitu
mengakibatkan terjadinya rebleeding, koagulopati, hipotermia, serta cedera
reperfusi. Pada dekade terakhir, prinsip penatalaksanaan ini mulai berubah
dengan adanya konsep resusitasi hipotensif/resusitasi terbatas (permissive
hypotension) di mana pemberian cairan tidak dilakukan secara agresif, namun
dengan pemberian cairan minimal yang sudah memberikan perfusi jaringan
yang cukup, sehingga tidak terjadi hal yang merugikan seperti yang
diakibatkan oleh resusitasi agresif26.
Resusitasi hipotensif/resusitasi terbatas merupakan suatu tindakan
pemberian resusitasi cairan yang diberikan pada pasien trauma dengan syok
perdarahan yang bertujuan mengembalikan volume darah untuk mencukupi
perfusi organ-organ vital (jantung, otak), dan menghindari kehilangan darah
lebih lanjut.2 Sedangkan pada resusitasi agresif, dilakukan penggantian
dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali dari perkiraan volume kehilangannya
(estimate blood loss) yang bertujuan mengembalikan darah yang hilang
menjadi ’normovolemik’. Resusitasi agresif pada trauma berat, memberikan
dampak yang merugikan, yaitu terbentuknya perdarahan ulang (rebleeding)
akibat pecahnya bekuan-bekuan darah yang terbentuk karena efek dilusi,
cedera reperfusi akibat terlepasnya produk-produk metabolisme ke sirkulasi
sistemik yang terperangkap pada saat terjadi gangguan perfusi, hipotermia
serta koagulopati yang diakibatkan kebocoran endotel sehingga terlepasnya
faktor pembekuan darah26.
Kondisi syok sendiri menyebabkan metabolisme yang semula aerobik,
berubah menjadi anaerobik, menghasilkan asam laktat dan 2 molekul ATP.
Asam laktat yang bertumpuk akan menimbulkan asidosis metabolik, merusak
fungsi membran sel yang berakhir dengan kematian sel tersebut
Hiperlaktatemia diperberat oleh kondisi di atas. Hal ini yang menjadi dasar
pemikiran bahwa dengan pemberian resusitasi terbatas perfusi jaringan sudah
terpenuhi, sedangkan dampak merugikan dari jumlah pemberian cairan yang
berlebih pada resusitasi agresif tidak terjadi26.

43
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien yang akan mengalami proses pembiusan dan pembedahan dapat


dikategorikan dalam beberapa kelas status fisik, yang semula diusulkan dan
digunakan oleh American Society Anestesiologist (ASA). Pasien ini status
fisiknya diklasifikasikan pada ASA kelas III yaitu pasien dengan penyakit
sistemik berat.
Terdapat 6 periode dalam anestesi umum, yaitu :
1. Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-obat
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik (misal:
atropin), sedative (misal: barbiturat), dan analgetik (misal: meperidine,
morfin). Tujuan pemberian premedikasi adalah untuk menimbulkan rasa
nyaman, tujuan meredakan kecemasan dan ketakutan, mengurangi sekresi
kelenjar ludah dan brokus, dan menekan reflex vagus, memperlancar induksi,
mengurangi dosis obat anestesia, serta mengurangi rasa sakit dan kegelisahan
pasca bedah, mengurangi rasa mual muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang
membahayakan. Terdapat tiga molekul yang memiliki sifat antiemetic yaitu
steroid (dexametason), antagonis reseptor serotonin 5HT3 (ondansentron) dan
antagonis reseptor dopamine D2 (droperidol).
Ondansentron adalah derivate dari karbazolon yang strukturnya berkaitan
dengan antagonis serotonin dan sub tipe 5-Hidroksitriptamin tipe 3 (5HT3 )
spesifik yang tidak mempunyai efek pada aktifitas reseptor dopamin,
histamine, adrenergik dan kolinergik. Ondansetron sudah sering digunakan
untuk anti emetik, selain efek tersebut ondansetron juga mempunyai efek anti
menggigil melalui mekanisme penghambatan pada reseptor 5-HT3 yang
mengakibatkan penghambatan termoregulasi pada tingkat hipotalamus yang
merupakan pusat pengaturan suhu tubuh. Oleh karena itu, ondansetron juga
dapat digunakan untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum sekaligus

44
sebagai anti emetik. Dosis yang direkomendasikan dosis 4 mg. Efek dari
ondansetron 8 mg oral setara dengan 4 mg Dosis IV20.
Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan glukokortikoid yang
mempunyai efek anti-inflamasi yang adekuat. Pemberian deksametason akan
menekan pembentukan bradikinin dan juga pelepasan neuropeptida dari
ujung-ujung saraf, hal tersebut dapat menimbulkan rangsangan nyeri pada
jaringan yang mengalami proses inflamasi. Penekanan produksi prostaglandin
oleh deksametason akan menghasilkan efek analgesia melalui penghambatan
sintesis enzim cyclooksigenase di jaringan perifer tubuh. Deksametason juga
menekan mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),
interleukin 1-β (IL-1 β), dan interleukin-6 (IL-6). ), dan interleukin-6 (IL-6).
Dosis deksametason untuk pencegahan mual dan muntah pascabedah telah
ditetapkan, akan tetapi dosis optimal sebagai adjuvan dari deksametason
belum dapat ditentukan. Dosis deksametason yang dipergunakan untuk
penelitian berkisar 5–40 mg. Penelitian deksametason 10 mg intravena
dibanding dengan plasebo pada pembedahan tonsilektomi menghasilkan
penurunan nyeri yang bermakna21.
Fentanil merupakan obat golongan opioid yang banyak digunakan sebagai anti
nyeri. Fentanil adalah opioid sintesis yang efektif dalam menumpulkan respon
simpatis pada laringoskopi dan intubasi serta stimulus pembedahan. Karena
sifat analgesia yang baik, onset yang cepat dan durasi yang singkat, sedikit
mendepresi kardiovaskular serta tidak menyebabkan pelepasan histamin, maka
fentanil seringkali menjadi pilihan utama agen premedikasi dan induksi dalam
anestesia umum. Fentanil dengan dosis 1-2 mcg/kgbb, dapat digunakan untuk
analgesik preoperatif. Terdapat preparat fentanil dalam bentuk oral
transmukosa dengan dosis 5-20 mcg/kgbb. Bentuk ini dapat digunakan
sebagai premedikasi pada orang dewasa dan anak-anak untuk mengurangi
kecemasan dan nyeri. Fentanil dalam bentuk oral transmukosa tidak
direkomendasikan untuk anak dibawah 6 tahun sebagai preoperatif karena
dapat menyebabkan mual dan muntah. Fentanil dapat menyebabkan depresi

45
miokard dan pelepasan histamin dan mungkin menyebabkan depresi ventilasi
dan bradikardi29.
2. Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Dapat dikerjakan 4 cara pemberian obat-obat anestesi ke dalam tubuh, yaitu:
1). Intravena, misal: tiopental, droperidol; 2). Rektal, misal: tiopental; 3)
Intramuskular, misal: ketamin; 4) Inhalasi, misal: halotan, sevofluran Tujuan
tindakan induksi ini bukanlah untuk menganestesi, tetapi untuk mempercepat
terjadinya proses anestesi dan menyenangkan. Sebelum induksi anestesi
selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan sehingga
terjadi keadaan gawat dapat diatasi lebih cepat dan tepat, dengan kata ingat :
kata STATICS (Stetetoskop, Tube, Airway, Tape/plester, Introducer
/mandarin/stilet, Conector, Suction).
Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam
anestesi umum. Pada pasien ini induksi dilakukan dengan pemberian propofol
100 ml/iv. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang
cepat dan pemulihan yang lengkap serta juga memiliki efek anti muntah. Akan
tetapi dengan dosis yang direkomendasikan untuk induksi bolus intravena
dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. Dosis induksi
propofol pada dewasa sehat sekitar 1,5 sampai 2,5 mg/kg bb i.v. Hal ini akan
menghasilkan kadar dalam darah sekitar 2-6 µg/ml yang dapat menyebabkan
pasien tidak sadar, namun dosis propofol juga dipengaruhi oleh usia pasien
dan obat-obatan yang dikonsumsi24.
Teknik anestesi umum dapat dilakukan dengan anestesi inhalasi, anestesi
intravena, ataupun kombinasi kedua teknik tersebut. Saat memilih teknik dan
obat yang akan digunakan dalam anestesi umum perlu dipertimbangkan
berbagai hal, antara lain adalah keamanan dan kemudahan dalam melakukan
teknik tersebut, kecepatan induksi dan pemulihan, stabilitas hemodinamik,
efek samping yang ditimbulkan, serta biaya yang diperlukan28.

46
Teknik yang memakai kombinasi antara anestesi intravena sebagai obat
induksi dan anestesi inhalasi sebagai rumatan cukup mudah serta aman
digunakan namun terdapat kekurangan yang harus diperhatikan. Waktu
pemulihan yang lama atau efek samping yang dapat timbul terutama mual-
muntah pasca anestesi memerlukan obat tambahan untuk pencegahannya.
Anestesi inhalasi sevofluran merupakan agen anestesi yang cukup ideal
pencegahannya. Anestesi inhalasi sevofluran merupakan agen anestesi yang
cukup ideal untuk operasi bedah rawat jalan dalam hal waktu induksi dan juga
pulih sadar yang cepat serta hemodinamik yang tetap stabil selama anestesi.
Namun, efek samping mual-muntah, agitasi pasca-anestesi masih mungkin
terjadi. Selain itu, sevofluran membutuhkan biaya yang lebih besar bila
dibanding dengan obat anestesi inhalasi lain seperti halotan, enfluran, atau
isofluran28.
3. Periode Maintenance (Periode Pemeliharaan)
Periode ini diihitung sejak mulainya induksi dan selama pelaksanaan
pembedahan. Ada beberapa metode dan obatobatan yang dipilih oleh seorang
ahli anestesi untuk mengkoordinir tim anestetis, misal secara inhalasi dengan
halotan, enfluran, sevofluran atau secara parenteral dengan fentanil, petidin,
morfin. Belakangan ini, metode ini sering dikombinasikan dengan obat
pelumpuh otot, seperti: atrakurium, pasien masih tertidur dan sering dijumpai
adanya muntah. Karakteristik pernafasannya pun sudah teratur dan membaik27.
4. Periode Reversal (Periode Bangun)
Pada periode ini terjadi perubahan dari tingkat kesadarannya hingga
kesadarannya sempurna. Terkadang pasien masih tertidur dan sering dijumpai
adanya muntah. Karakteristik pernafasannya pun sudah teratur dan
membaik27.
5. Periode Recovery (Periode Pemulihan)
Periode pemulihan ini dapa dibagi atas 3 bagian, yaitu: (1) Reversal
(bangun dari anestesi) periode ini biasanya sangat singkat, tetapi merupakan
stadium yang sangat penting dan penuh risiko. Oleh karena itu, periode ini
harus di bawah pengawasan langsung dari ahli anestesi dan biasanya

47
dilakukan di kamar operasi. (2) Early Recovery (permulaan pemulihan
kesadaran), stadium ini berakhir sampai pasien dapat mengenal orientasi
dengan baik, dalam hal waktu, ruangan, dan dapat mengatur pernafasannya
sendiri. Periode ini memerlukan waktu 1-2 jam dan lamanya tergantung
anestesi yang diberikan. (3) Late Recovery (pemulihan kesadaran seperti
semula) periode ini merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya dan
dimulai sejak efek obat anestesi menghilang dari dalam tubuh. Terkadang
efek hangover didapati seperti pening, pusing, dan tidak dapat
berkonsentrasi27.
6. Periode Pasca Operasi.
Pada periode ini, diharapkan pasien sudah dapat berdiri dan berjalan sendiri
serta tidak dijumpai kelainan respirasi, kelainan tekanan darah, maupun
gejala muntah27.

BAB V

48
KESIMPULAN

1. Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara


sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
2. Mola Hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropik dengan gambaran adanya pembesaran,
edema dan vili vesikuler sehingga menunjukkan berbagai ukuran trofoblas
proliferatif tidak normal.
3. Terdapat 6 periode dalam anestesi umum, yaitu :
a. Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-
obat pendahuluan.
b. Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan.
c. Periode Maintenance (Periode Pemeliharaan) merupakan periode ini
diihitung sejak mulainya induksi dan selama pelaksanaan pembedahan.
d. Periode Reversal (Periode Bangun), periode ini terjadi perubahan dari
tingkat kesadarannya hingga kesadarannya sempurna.
e. Periode Recovery (Periode Pemulihan)
f. Periode pasca operasi, diharapkan pasien sudah dapat berdiri dan
berjalan sendiri serta tidak dijumpai kelainan respirasi, kelainan tekanan
darah, maupun gejala muntah

DAFTAR PUSTAKA

49
1. Latief, 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisis 2. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI.

2. Mangku, G. dan Senapathi, I.G.A. 2010 Buku Ajar Ilmu Anastesi dan
Reanimasi. Indeks Jakarta, Jakarta. 42-45, 60-63.

3. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk


Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

4. Prawirohardjo, S. 2014. Ilmu Kebidanan. PT.Bina Pustaka Srwono


Prawihardjo. Jakarta:488-490

5. Prawirohardjo, S. 2014. Ilmu Kandungan. PT.Bina Pustaka Srwono


Prawihardjo. Jakarta:208-214

6. Paputungan, T.V., Wagey, F.W., Lengkong, R.A. 2016. Profil Penderita Mola
Hidatidosa di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic (e-CI)
4(1). Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Manado

7. Slavik, T. 2010. Pathology of gestational trophoblastic neoplasia: a review


with recent insight. South Afr J Gynaecol Oncol 2(2):56-60

8. Cunningham, dkk. 2014. William Obstetrics 24th Editian. Mcgraw-Hill


Education. United States.

9. Slim, R., Wallace. E.P. 2013. NLRP7 and the genetics of hydatidiform moles;
recent advances and new challenges. Review Article 4(242). Department
Human Genetics, McGill University Health Centre, Montreal, QC, Canada.
Canada

10. Kusuma1,A.I., Pramono. B.A. 2017. Karakteristik Mola Hidatidosa Di Rsup


Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro 6(2). Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro. Semarang

11. Wargasetia, T.L., Heda M. D. Nataprawira, H.M.D., Shahib, M.N. 2011.


Aspek Patobiologis pada Penyakit Trofoblas Gestasional. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 10(2). Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung

12. Purba, Y.S., Munir, M.A., Saranga. D. 2019. Mola Hidatidosa. Jurnal
Medical Profession (MedPro) 1(1).

13. Bracken, M.B. 1987. Incidence and aetiology of hydatidiform mole: an


epidemiological review. British Journul oj Obstetrics and Gynaecology Vol.
94, pp. 1123-1135.

50
14. Smith, G., Goldman, J. 2019. General Anesthesia for Surgeons. Diakses pada
tanggal 31 Januari 2020. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493199/

15. Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok


Hipovolemik. Jurnal Kesehatan Andalaa 2(3): 178-182

16. Ario, D., Budipramana, V. S. 2011. Kebutuhan Optimal Cairan Ringer Laktat
untuk Resusitasi Terbatas (Permissive Hypotension) pada Syok Perdarahan
Berat yang Menimbulkan Kenaikan Laktat Darah Paling Minimal. Journal of
Emergency Vol. 1(1): 31-37

17. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M.Clinical Anesthesiology 4 th edition.


2006. McGraw Hill. New York.

18. Sakti,Y.B.H. M. Budi K.H. 2016. Perbandingan Antara Pemberian Ondansetron


Dengan Pemberian Metoklopramid Untuk Mengatasi Mual Dan Muntah Paska
Laparatomi Di RSUD. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Sainteks 8(1) (32– 31).

19. Kabrhel C., dkk. 2007. Orotracheal Intubation. The New England Journal of
Medicine. 356(17): 15-18.

20. Fatoni, A. Z., dkk. 2014. Perbandingan Efek Pemberian Ondansetron dan
Petidin Intravena untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum. Jurnal
Anestesiologi Indonesia Volume VI, Nomor 2: 89-100

21. Erlangga, M. E., dkk. Perbandingan Pemberian Deksametason 10 mg dengan


15 mg Intravena sebagai Adjuvan Analgetik terhadap Skala Nyeri Pascabedah
pada Pasien yang Dilakukan Radikal Mastektomi Termodifikasi. Jurnal
Anestesi Perioperatif Volume 3(3): 146-154

22. Matana, M., dkk. 2013. Efek Premedikasi Midazolam 0,05 mg/kgbb/iv
terhadap Tekanan Darah dan Laju Nadi. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1
(1): 691-696

23. Pangkahila, E., Pandelaki, K. 2009. Hipertiroid pada Kehamilan Mola


Hidatidosa. Jurnal Biomedik, Volume 1(2): 124-13

24. Indra, B., dkk. 2016. Perbandingan Insidensi Hipotensi Saat Induksi Intravena
Propofol 2 Mg/Kg Bb Pada Posisi Supine dengan Perlakuan dan Tanpa
Perlakuan Elevasi Tungkai. Jurnal Kesehatan Andalas Volume 5(1): 238-242

25. Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok


Hipovolemik: Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas; 2(3)78-182

51
26. Tafwid, I. M.2015. Tatalaksana Syok Hipovolemik Et Causa Suspek Intra
Abdominal Hemorrhagic Post Sectio Caesari. J Agromed Unila Volume
2(3):105-110

27. Lewar, E.I. 2015. Efek Pemberian Obat Anestesi Inhalasi Sevofluran
Terhadap Perubahan Frekuensi Nadi Intra Anestesi Di Kamar Operasi Rumah
Sakit Umum Daerah Umbu. Jurnal Info Kesehatan, Vol. 14 (2)

28. Arvianto, dkk. 2017. Perbandingan antara Sevofluran dan Propofol


Menggunakan Total Intravenous Anesthesia Target Controlled Infusion
terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan Pasien pada Ekstirpasi
Fibroadenoma Payudara. JAP, Volume 5(1): 24-31

29. Berhimpong, dkk.2015. Perbandingan Premedikasi Fentanil 1 mcg/kgBB IV


terhadap Tekanan Darah dan Nadi Akibat Intubasi Jalan Nafas pada Pasien
yang Menjalani Pembedahan Elektif di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Periode November-Desember 2014. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3(1): 412-
419

30. Achmad, H., dkk. 2008. Penggunaan sedasi inhalasi N2O-O2 pada
penatalaksanaan marsupialisasi ranula rongga mulut anak anxiety patient.
Dentofasial, Vol.7(2): 79-8780

52

Anda mungkin juga menyukai