Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2020


UNIVERITAS HALU OLEO

SELULITIS ORBITA

Oleh:

Aryani Intan Lestari, S.Ked


K1A1 14 091

Pembimbing:
dr. Suryani Rustam., Sp. M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Aryani Intan Lestari, S.Ked
NIM : K1A1 14 091
Judul Refrat : Selulitis Orbita

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juli 2020


Mengetahui,

Pembimbing

dr. Suryani Rustam., Sp. M


SELULITIS ORBITA

Aryani Intan Lestari, Suryani Rustam

A. PENDAHULUAN

Selulitis orbita adalah infeksi aktif jaringan lunak orbita yang terletak

posterior dari septum orbita. Lebih dari 90% kasus selulitis orbita terjadi akibat

kasus sekunder karena sinusitis bakterial akut atau kronis. Gambaran klinisnya

antara lain demam (lebih dari 75% kasus disertai lekositosis), proptosis, kemosis,

hambatan pergerakan bola mata dan nyeri pergerakan bola mata. Keterlambatan

pengobatan akan mengakibatkan progresifitas dari infeksi dan timbulnya

sindroma apeks orbita atau trombosis sinus kavernosus. Komplikasi yang terjadi

antara lain kebutaan, kelumpuhan saraf kranial, abses otak, dan bahkan dapat

terjadi kematian.1

Lebih dari 90% kasus selulitis orbita terjadi akibat kasus sekunder

karena infeksi sinus paranasal akut atau kronis terutama di sinus ethmoid,

sehingga faktor predisposisi terutama riwayat penyakit sinus atau riwayat operasi

di sinus harus ditanyakan dan dilakukan pemeriksaan ct-scan sinus paranasal.

Faktor predisposisi selulitis orbita lainnya adalah trauma okuli, riwayat operasi,

dakriosistitis, sisa benda asing di mata dan periorbita, infeksi gigi (odontogen),

tumor orbita atau tumor intraokuler, serta endoftalmitis.1,2

Selulitis orbita berpotensi menjadi penyakit mematikan apabila tidak

tertangani dengan baik. Saat era pra antibiotik, selulitis orbita muncul sebagai
infeksi akut yang sering menyebabkan kebutaan bahkan kematian, dan jika

sampai ke sinus kavernosus maka angka kematian mencapai 100%. Seiring

dengan perkembangan antibiotik yang efektif, frekuensi terjadinya komplikasi

serius akibat selulitis orbita mulai menurun. Manajemen pasien dengan infeksi

orbita tergantung pada durasi penyakit dan sejauh mana keterlibatan orbita.

Terapi medikamentosa agresif harus diberikan sejak dini untuk mencegah infeksi

berkembang lebih lanjut, sementara terapi surgikal diindikasikan jika terdapat

abses atau adanya benda asing.2

B. ANATOMI ORBITA

Rongga orbita adalah ruang yang digambarkan sebagai piramida

dengan empat dinding yang mengerucut ke arah posterior. Rongga orbita

dibentuk oleh tujuh tulang orbita. Rongga orbita berisi bola mata, persarafan,

pembuluh darah, kelenjar lakrimal, otot-otot ekstraokular, tendon, lemak dan

juga jaringan ikat. Ras dan jenis kelamin dapat mempengaruhi ukuran orbita.3

Orbita merupakan rongga yang dibentuk oleh tujuh tulang, antara lain

tulang frontal, sfenoid, zigomatika, maksila, etmoid, lakrimal, dan palatin.

Bentuk rongga orbita dianalogikan sebagai buah pir yang dimana bagian apeks

terdapat di posterior dan saraf optikus sebagai tangkainya. Volume rongga orbita

dewasa sekitar 30 mL dan bola mata menempati seperlima bagian rongganya,

sementara lemak dan otot menempati bagian terbesarnya.3

Rongga orbita memiliki empat dinding yaitu atap, dasar, lateral dan

medial. Dinding medial berjalan anteroposterior paralel dengan lempeng sagital


dan dinding lateral membentuk sudut 45 derajat. Rata-rata ukuran apertura orbita

bervariasi dengan tinggi 35 mm dan lebar 45 mm. Kedalaman orbita pada orang

dewasa, bervariasi antara 40 sampai 45 mm dari apertura ke bagian apeks.3

Kedua orbita (lekuk mata) terdapat di kanan-kiri garis tengah vertikal

tengkorak antara kranium dan tulang-tulang wajah. Secara kasar orbita memiliki

bentuk seperti piramida empat sisi dengan dasarnya (margo orbitalis) menghadap

ke depan luar dan agak ke bawah, sedang puncaknya adalah foramen optikum.

Orbita merupakan lekuk untuk menempatkan bola mata, tetapi di dalamnya juga

terdapat otot-otot ekstraokular, saraf, pembuluh darah, jaringan lemak, dan

jaringan ikat; semuanya berguna untuk berfungsinya mata secara optimal. Di

samping itu orbita juga merupakan jalan vasa dan saraf ke daerah wajah di

sekitar apertura orbitalis. 4,5

Orbita merupakan pelindung bola mata dari dalam dan belakang,

sedangkan dari depan mata dilindungi oleh palpebra. Pada puncak orbita terdapat

annulus Zinnii yang merupakan origo bersama otot-otot ekstraokular, kecuali

m.oblik inferior. Orbita dilapisi oleh periorbita yang perlekatannya dengan tulang

agak longgar. Namun demikian pada tempat tertentu periorbita melekat erat.

Perlekatan erat ini terdapat pada margo orbitalis, sutura, fisura, foramina, dan

fossa lakrimalis. 4

Bagian-bagian orbita adalah dasar, atap, dinding temporal (dinding

luar), dinding nasal (dinding dalam ), dan tepi orbita (margo orbitalis). Tulang-

tulang yang membentuk orbita berjumlah 7 buah, yaitu os frontalis, os


sfenoidalis, os etmoidalis, os maksilaris, os zigomatikum, os lakrimalis, dan os

nasalis. Margo orbitalis berbentuk kuadrilateral dan sudut-sudutnya membulat,

masing-masing tepi ukurannya 40 mm. Keempat margo orbitales tadi adalah

margo orbitalis superior, inferior, medial, dan lateral.4

Gambar 1. Anatomi Rongga Orbita

Pada dinding-dinding, atap, dan dasar orbita terdapat fissura, foramen,

dan foramina, yaitu fissura orbitalis superior, yang dibentuk oleh ala magna dan

ala parva ossis sphenoidalis, dan menghubungkan orbita dengan rongga kranium;

fissura orbitalis inferior, yang menghubungkan orbita dengan fossa

pterigopalatina dan fossa infratemporalis; kanalis etmoidalis anterior dan

posterior; serta foramen optikum dan kanalis optikus yang diameternya sekitar 5

mm dan panjangnya 10 – 12 mm. Di sekitar orbita juga terdapat sinus-sinus

paranasal, sehingga proses penyakit pada suatu sinus dapat melibatkan orbita.
Sinus paranasales yang dimaksud mencakup sinus frontalis, sinus maksilaris,

sinus etmoidalis, dan sinus sfenoidalis.4

Gambar 2. Orbita. (A) terlihat orientasi orbita. Dinding lateral orbit membentuk

sudut 90 derajat, sedangkan aksis bola mata membentuk 4 derajat. (B) terlihat

tulang-tulang yang membentuk rongga orbita.

1. Rima Orbita

Rima orbita atau yang biasa disebut batas orbita merupakan struktur

berbentuk segi empat dengan sudut tumpul. Batas supraorbita dibentuk oleh

tulang frontal yang terdapat di bagian atas dengan penanda di tengah yang
disebut dengan supraorbita notch, batas medial dibentuk oleh bagian bawah

tulang frontal dan tulang lakrimal serta tulang maksila, batas inferior

dibentuk oleh tulang maksila dan zigomatika, serta pada bagian lateral tulang

zigomatika dan frontal yang membentuk batas lateral rima orbita.3

2. Dinding Orbita

Dinding yang terdapat pada orbita dibagi menjadi empat bagian, yaitu atap,

medial, dasar, dan lateral. Tulang frontal dan sfenoid ala minor membentuk

dinding atap orbita dan terdapat fossa tempat kelenjar lakrimal yang berjalan

anterolateral di belakang prosesus zigomatika dari tulang frontal di bagian

medial, fossa troklear berada di tulang frontal 4 mm dari margin. 3

Gambar 3. Dinding Orbita dan apertura

Dinding medial dibentuk oleh empat tulang, yaitu tulang maksila, tulang

lakrimal, tulang etmoid, dan tulang sfenoid ala minor. Tulang etmoid
merupakan tulang terbesar. Lamina papyracea adalah struktur tipis seperti

kertas, dan terletak pada tulang etmoid. Lamina papyracea mudah rapuh

apabila terjadi trauma pada area dinding medial orbita. 3

Dinding dasar orbita yang merupakan atap dari antrum maksila dibentuk

oleh tiga tulang, yaitu tulang maksila, tulang palatin, dan tulang zigomatika.

Tulang maksila pada orbita memisahkan rongga orbita dengan sinus

maksilaris. Dinding dasar orbita mudah rapuh dan bersifat imatur sebelum

pubertas sehingga cenderung menyebabkan blow out fracture jika terjadi

trauma.3

Dinding lateral orbita merupakan dinding paling tebal dan kuat. Dinding

lateral dibentuk oleh dua tulang orbita yaitu tulang zigomatika dan tulang

sfenoid ala mayor. Dinding lateral orbita pada batas orbita bagian tulang

zigomatika, terdapat penandaan penting yang disebut dengan tuberkel

Whitnall yang merupakan tempat menempelnya struktur-struktur yaitu

ligamen muskulus rektus lateral, ligamen suspensorium bola mata atau

ligamen Lockwood, ligamen lateral palpebra, aponeurosis dari muskulus

levator palpebra superior, dan ligamen Whitnall. 3

3. Apex Orbita

Selain memiliki empat dinding, rongga orbita juga memiliki basis dan apex.

Basis adalah area yang digambarkan oleh garis batas orbital. Apex orbit

adalah tempat masuknya saraf dan pembuluh darah orbit, serta tempat
perlekatan otot ekstrinsik bola mata, kecuali inferior oblik. Pada apex

terdapat beberapa celah.6

Gambar 4. Apex Orbita

Fisura orbitalis superior, yaitu celah antara sayap mayor dan minor os

sphenoid, merupakan tempat masuknya nervus lacrimal, frontal, dan

troklear(diluar cincin Zinn). Cincin Zinn adalah gabungan tendon insersio

otot-otot ekstraokuli.  Di dalam cincin Zinn terdapat nervus okulomotor,

abdusens, nasosiliaris, dan optikus, serta arterioptalmikus.6

4. Apertura Orbita

Apertura orbita utama terletak dari anterior orbita dan dibatasi rima orbita.

Kanalis optik yang terbentang dari tulang sfenoid ala minor berada dekat
dengan apeks orbita dengan panjang 8 sampai 10 mm, menghubungkan fossa

kranial tengah dengan rongga orbita. Kanalis optik dilewati saraf optikus,

arteri oftalmika yang merupakan cabang dari arteri karotis interna setelah

melewati sinus kavernosus. Trauma tumpul bisa menyebabkan fraktur

kanalis optik, hematom di bagian apeks orbita yang menyebabkan kerusakan

saraf optik.3

Fisura orbita superior berada di antara tulang sfenoid ala minor dan ala

mayor dan menyatukan fossa kranial tengah dan rongga orbita yang juga

terletak di antara atap dan dinding lateral. Struktur yang melewati fisura

orbita superior dari lateral ke medial adalah saraf lakrimal, saraf frontal, dan

saraf troklearis; serta cabang dari bagian atas dan bawah saraf okulomotor

yaitu saraf nasosiliaris dan saraf abdusen.3

Fisura orbita inferior terletak diantara tulang sfenoid ala mayor, tulang

maksila dan tulang palatin, tepatnya diantara dinding lateral dan dinding

dasar rongga orbita. Fisura orbita inferior mentransmisikan saraf maksila

yang berganti nama menjadi saraf infraoribta, saraf tersebut berjalan ke arah

anterior pada dasar orbit melalui kanalis infraorbita dan mempersarafi bagian

bawah palpebra, pipi, bagian atas bibir, atas gigi dan gusi.3

Foramen zigomatika dan zigomatikotemporal mentransmisikan pembuluh

darah dan percabangan dari saraf zigomatika melalui dinding lateral orbita

ke daerah pipi dan fosa temporal. Kanalis nasolakrimal membentang dari

fossa sakus lakrimal ke arah meatus inferior di bagian bawah turbinat


hidung. Kanalis ini dilewati duktus nasolakrimal yang menghubungkan

sakus lakrimal ke mukosa hidung.3

5. Vaskularisasi Orbita

Pemasok ateri utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteria

ophtalmica, yaitu cabang besar pertama arteri carotis interna bagian

intracranial. Cabang ini berjalan di bawah nervus opticus dan bersamanya

melewati kananlis optikus menuju ke orbita. Cabang intraorbital pertama

adalah arteria centralis retina, yang memasuki nervus opticus sekitar 8-15

mm dibelakang bola mata. Cabang-cabang lain arteri lacrimalis, yang

memperdarahi glandula lacrimalis dan kelopak mata atas; cabang-cabang

muskularis ke berbagai otot orbita; arteria ciliaris posterior longus dan

brevis; arteria palpebral medialis ke kedua kelopak mata; dan arteria suprea

orbitalis suprathrochlearis.6

Arteri cilliaris posterior breve mendarahi koroid dan bagian-bagian nervus

opticus. Kedua arteria ciliaris posterior longa mendarahi corpus ciliaris,

beranastomosis satu dengan yang lain, dan bersama ateri ciliaris anterior

membentuk circulus arteriosus major iris. Arteria ciliaris anterior berasal

dari cabang-cabang muskularis dan menuju ke musculi recti. Arteri ini

memasok darah ke sclera, episklera, limbus, dan konjungtiva, serta ikut

membentuk circulus arterialis major iris. Cabang-cabang arteri ophtalmica

yang paling anterior ikut membentuk aliran-aliran arteri yang berkelok-kelok


di kelopak mata, yang membuat anastomosis dengan sirkulasi karotis

eksterna melalui arteri facialis.6

Gambar 5. Vaskularisasi Orbita

Drainase vena-vena di orbita,terutama melalui vena ophtalmica superior dan

inferior, yang juga menampung darah dari venae vorticosae, vena ciliaris

anterior, dan vena centralis retinae. Vena ophtalmica berhubungan dengan

sinus cavernosus melalui fissure orbitalis superior, dan dengan pleksus

venosus pterigoideus melalui fissure orbitalis inferior. Vena ophtalmica

superior mula-mula terbentuk dari vena supraorbitalis dan supratrochlearis

serta dari satu cabang vena angularis, ketiga vena tersebut mengalirkan darah

dari kulit di daerah periorbita. Vena ini membentuk hubungan langsung

antara kulit wajah dan sinus cavernosus yang vatal pada infeksi superficial

dikulit periorbita.6
Gambar 6. Vaskularisasi Vena Orbita

C. DEFINISI

Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat

intraorbita dibelakang septum orbita. Infeksi yang telah melewati septum orbita

dan melibatkan jaringan lunak dari orbita, menyebabkan penurunan visus,

protusio, kemosis, oftalmoplegi dan diplopia.2,7

Selulitis orbita digunakan untuk menggambarkan infeksi keterlibatan

jaringan posterior ke septum orbita, termasuk lemak dan otot dalam tulang orbita.

Selulitis orbita merupakan kedaan yang kurang umum, mungkin terkait dengan

visual yang signifikan dan gejala sisa yang mengancam jiwa, termasuk neuropati

optic, encephalomeningitis, trombosis sinus kavernosa, sepsis dan pembentukan

abses intracranial.8

D. EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 90% kasus selulitis orbita terjadi akibat kasus sekunder

karena infeksi sinus paranasal akut atau kronis terutama di sinus ethmoid,

sehingga faktor predisposisi terutama riwayat penyakit sinus atau riwayat operasi

di sinus harus ditanyakan dan dilakukan pemeriksaan ct-scan sinus paranasal.2

Selulitis orbita pada bayi sering disebabkan oleh sinusitis etmoidal

yang merupakan penyebab eksoftalmus monocular pada bayi. Selulitis orbita

terutama mengenai anak antara umur 2-10 tahun. Walaupun sebagian besar kasus

timbul pada anak-anak, orang berusia lanjut dan yang mengalami gangguan

kekebalan juga dapat terkena.7

Tidak ada kecenderungan ras ataupun jenis kelamin pada orang

dewasa. Namun pada anak laki-laki dua kali lebih mungkin untuk

mengembangkan selulitis orbita dibandingkan dengan anak perempuan. Usia

rata-rata anak dirawat di Rumah Sakit dengan selulitis orbita adalah 7 – 12 tahun.

Dalam analisis retrospektif dari infeksi orbital anak, usia rata-rata pasien yang

terkena adalah 6,8 tahun, mulai dari 1 minggu sampai 16 tahun . Kondisi ini lebih

umum di bulan-bulan musim dingin di seluruh dunia karena menignkatnya resiko

sinusitis. Sebelum penggunaan rutin haemophilus b (Hib) vaksin, kejadian

selulitis orbita setinggi 80%. Sejak pengenalan vaksin Hib, angka kejadia

menurun menjadi sekitar 59%.8

E. FAKTOR PREDISPOSISI2

 Sinusitis
 Trauma okuli

 Riwayat operasi

 Dakriosistitis

 Sisa benda asing di mata dan periorbita

 Infeksi gigi (odontogen)

 Tumor orbita atau intraokuler

 Endoftalmitis

F. ETIOLOGI

Selulitis orbita sering disebabkan oleh sinusitis terutama sinus etmoid

yang merupakan penyebab utama eksoftalmus pada bayi, merupakan penyulit

skleritis, juga truma kotor yang masuk ke dalam rongga orbita, sepsis, piemia dan

erisepelas. Kuman penyebab biasanya adalah pneumokokus, streptokokus, atau

stafilokokus dan berjalan akut. Bila terjadi akibat lues, jamur dan sarkoidosis

maka perjalanan penyakit dapat kronis. Pada dewasa, selulitis orbita sering

disebabkan oleh campiran infeksi gram positif kokus, gram negati, dan terkadang

bakteri anaerob.7,9,10

Secara histori, H. Influenzae tipe b adalah salah satu yang paling

umum dari organisme yang terkait dengan selulitis orbita pada anak-anak

sebelum pengenalan dan tersebarnya secara luas vaksin Hib pada tahun 1985.

Pengenalan Hib vaksin tampaknya telah mempengaruhi tidak hanya penurunan

selulitis orbita tetapi penurunan selulitis periorbita apapun sebabnya. Hipotesis


yang menarik adalah bahwa mungkin Hib tidak hanya patogen aktif tetapi juga

patogenesis organisme lain.8

G. PATOGENESIS

Infeksi dapat terjadi melalui mekanisme:9

1. Secara langsung dari radang sinus dan radang kelenjar air mata

2. Secara hematogen, misalnya pada piore, emfiem, bakteremi

3. Melalui trauma terutama bila ada benda asing yang masuk ke rongga orbita.

Masuknya kuman ini ke dalam rongga mata dapat langsung melalui

sinus paranasal, penyebaran melalui pembuluh darah dan bakteremia atau berama

dengan trauma yang kotor. Trauma mungkin merupakan penyebab masuknya

bahan tercemar ke dalam orbita melalui kulit atau sinus paranasal. Orbita

dikelilingi oleh sinus-sinus paranasal, dan sebagian dari drainase vena sinus-

sinus tersebut berjalan melalui orbita.6

Sebagian besar kasus selulitis orbita timbul akibat perluasan sinusitis

melalui tulang-tulang ethmoid yang tipis. Orbita dipisahkan dari sinus ethmoid

dan maksila oleh lempengan tulang yang tipis yang disebut lamina papyracea,

yang memiliki struktur tipis dan memiliki beberapa defek. Infeksi dapat

menyebar langsung akibat penetrasi langsung melalui tulang tipis tersebut, atau

dapat juga melintasi langsung foraminaethmoid anterior dan posterior.

Kombinasi dari tulang tipis, banyak foramen neurovaskular, dan beberapa defek

tulang yang terjadi secara alami memungkinkan mudahnya penyebaran bahan-

bahan infeksius yang berasal dari ruang ethmoidal dan ruang subperiosteal
medial sehingga lokasi yang paling sering terjadinya abses subperiosteal

sekunder akibat sinusitis akut adalah di sepanjang dinding orbita medial.2,6

Penyebaran pada anak-anak, karena tulang septadan dinding sinusnya

lebih tipis, garis sutura yang masih terbuka dan foramen vaskular yang lebih

besar. Perluasan infeksi juga dapat berkembang ke rongga intrakranial, menjadi

meningitis, abses epidural dan subdural, dan abses parenkim otak terutama dari

lobus frontal.2

H. KLASIFIKASI

Menurut klasifikasi Chandler, secara kilnis selulitis orbita dibagi

dalam 5 stadium yaitu:1,11

1. Stadium 1 (edema inflamasi); selulitis orbita preseptal dengan peradangan

dan edema di anterior septum orbita.

2. Stadium 2 (selulitis orbita); selulitis orbita dengan ekstensi inflamasi dan

edema di luar septum orbita.

3. Stadium 3 (abses periosteal); abses subperiosteal di bawah periosteum lamina

papyracea

4. Stadium 4 (abses orbita); abses orbita dan pengumpulan secret purulent

dalam orbita

5. Stadium 5 (trombosis sinus kavernosus); trombosis sinus kavernosa setelah

infeksi ekstensi posterior melalui ophtalmik superior.


Gambar 7. Klasifikasi selulitis Orbita

Sedangkan secara radiologis selulitis orbita diklasifikasikan ke dalam 3

kategori utama yaitu:1

1. Infiltrasi difus jaringan lemak

2. Abses subperiosteal, dan

3. Abses orbita
I. MANIFESTASI KLINIS

Selulitis orbita memberi gambaran edema dan eritema pada jaringan

periorbita yang cepat diikuti oleh nyeri hebat, mata kabur dengan atau tanpa

diplopia, konjungtiva biasanya kemosis, proptosis, dan ophthalmoplegia, juga

dapat disertai gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, dan nyeri sendi. Tajam

penglihatan menurun bila terjadi penyulit neuritis retrobulbar. Biasanya ada

riwayat trauma, sinusitis akut atau infeksi saluran pernapasan atas beberapa hari

sebelum edema kelopak mata. Pada retina terlihat tanda statis pembuluh darah

vena dan edema papil.2,7,12

Pada infeksi yang berat, inflamasi dapat berlanjut menjadi nekrosis dan

abses yang melibatkan saraf optic, sclera, koroid, dan retina. Mekanisme dari

kehilangan pengelihatan dari keterlibatan saraf optik termasuk perineuritis optik

atau neuritis, kompresi mekanik langsung dari abses, atau oklusi vascular dari

pembuluh darah yang menyuplai saraf optik.10,13

Warning Sign dari selulitis orbita adalah dilatasi pupil,

ophtalmoplegia, kehilangan penglihatan, defek pupil afferent, papiledema,

perivaskulitis, dan tertutupnya violaceous.14


Gambar 8. Selulitis Orbita dextra

Gambar 9. Selulitis orbita kanan disertai ophtalmoplegia

Selulitis praseptum adalah gejala awal yang paling sering dijumpai. CT

Scan atau MRI bermanfaat untuk membedakan antara keterlibatan pra dan pasca

septum serta mengidentifikasi dan menentukan lokasi abses orbita atau

mengidentifikasi dan menentukan lokasi abses orbita atau benda asing. Foto sinar

X polos semata hanya dapat mengidentifikasi adanya sinusitis.6


Infeksi praseptum perlu dibedakan dari infeksi orbita. Keduanya

menyebabkan edema, eritema, hyperemia, nyeri, dan leukositosis. Kemosis,

proptosis, pembatasan gerakan mata, dan penurunan pengelihatan

mengisyaratkan keterlibatan orbita bagian dalam. Proptosis nonaksial

menandakan adanya abses orbita. Perluasan ke sinus kavernosus dapat

menyebabkan gangguan bilateral nervus kranialis II-VI, disertai edema berat dan

demam septik. Erosi tulang-tulang orbita dapat menyebabkan abses otak dan

meningitis.6

Pada anak-anak, beberapa penyakit orbita berkembang secepat

selulitis. Rabdomiosarkoma, pseudotumor, dan oftalmopati graves dapat

menyerupai selulitis orbita.6

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG15,16

1. Penentuan status imunisasi tetanus pada kasus trauma

2. White cell count

3. Kultur darah

4. Kultur sekret nasal

5. High-resolution CT pada orbita, sinus, dan otak adalah penting untuk

konfirmasi diagnosis dan menyingkirkan subperiosteal atau intracranial abses

6. MRI. Pilihan lain untuk membatasi paparan radiasi, sekaligus memberikan

keunggulan solusi jaringan lunak orbita dibandingan CT dan USG. MRI

dapat memberikan keuntungan lebih lanjut dalam evaluasi dari benda asing

bukan logam dan diduga ada keterlibatan intrakranial.


7. Pungsi lumbal apabila terdapat gejala meningeal dan cerebral

Gambar 10. CT Scan proyeksi axial memperlihatkan opasifikasi pada


preseptal dan orbita

Gambar 11. (a) MRI memperlihatkan selulitis orbita dextra disertai dengan
benda asing pada intraorbital. (b) setelah explorasi dengan pembedahan
fragmen kayu dari cabang pohon sebagai benda asing
K. PENATALKASANAAN

Pengobatan adalah dengan segera memberikan antibiotik sistemik

dosis tinggi, istirahat atau dirawat, bila terlihat daerah fluktuasi abses maka

dilakukan insisi, selain pengobatan penyebab seperti kelainan sinus dan lainnya.

Pengobatan harus dimulai sebelum organisme penyebabnya diindentifikasi.

Segera setelah didepatkan biakan hidung, konjungtiva, dan darah, harus

diberikan antibiotik intravena.6,7

Antibiotik pilihan pada selulitis preseptal dan post septal adalah

antibiotik yang poten untuk bakteri gram positif dan bakteri gram negatif, serta

penambahan antibiotik empiris (metronidazole atau clindamycin) untuk

memayungi organisme anaerob yang mungkin terlibat. Obat-obatan dengan

penetrasi baik pada blood brain barrier juga lebih disuka seperti agen antimikroba

sensitif pada kuman Methicillin-Sensitif Staphylococcus Aureus (MRSA). Obat-

obat yang digunakan antara lain golongan Cephalosporine generasi ketiga

(Cefotaxime, Cefoperazone, dan Ceftriaxone), antibiotik golongan ß-Laktam

(Meropenem), kombinasi Penisilin (misalnya Tikarsilin) dan inhibitor enzim ß-

Laktamase (Asam Klavulanat), Metronidazole (untuk kuman anaerob) dan

Golongan Glycopeptide (Vankomycin) merupakan pilihan terapi pada kasus

dengan kecurigan MRSA.2

Selulitis pasca trauma, terutama setelah gigitan hewan, harus diberikan

antibiotic untuk mengatasi basil gram negatif dan gram positif. Dekongestan

hidung dan vasokonstiktor membantu drainase sinus paranasal. Sebagian besar


kasus berespon cepat terhadap pemberian antibiotic. Kasus yang tidak berespon

mungkin memerlukan drainase sinus paranasal melalui pembedahan.6

Selulitis orbita odontogen biasanya tidak memberikan respons

terhadap pemberian antibiotika saja dan memerlukan insisi dan drainase.

Menurut Pat dan Manning tindakan bedah orbita dan sinus pada kasus selulitis

orbita dilakukan bila secara klinis dan radiologis didapatkan tanda-tanda

supurasi, adanya penurunan visus pada pasien dengan immunocompromised,

adanya komplikasi lebih berat seperti kebutaan dan defek pupil aferen dengan

selulitis ipsilateral dan timbulnya tanda-tanda progresivitas pada orbita walaupun

sudah diberikan antibiotika intravena.1

Mungkin diperlukan drainase abses atau dekompresi orbita terutama

jika saraf optic terganggu. Fungsi saraf optik harus diamati dengan ketat, monitor

tajam penglihatan, penglihatan warna, dan tes defek pupil aferen relative.

Drainase abses subperosteal sangat diperlukan kecuali anak yang sangat muda.

Operasi utama objektif untuk mengeluarkan pus dengan adekuat, mengurangi

tekanan orbita dan mengambil sampel untuk kultur.17,18

Gambar 12. Pasien umur 10 tahun dengan Selulitis Orbita. (A)


pemeriksaan pertama. Edema, hiperemis dan ptosis total pada palpebral superior
sinistra dan regia periokular. (B) Setelah terapi. Perbaikan klinis dapat dilihat
pada gambar

Gambar 13. Alogaritma Penanganan Selulitis Orbita


L. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

Penyebab lain pembengkakan kelopak mata seperti trauma, keganasam

(misalnya: leukemia limfoblastik akut dan neuroblastoma), penyakit mata tiroid,

siindrom inflmasi orbita dan dacyrocystitis dengan luapan inflamasi kelopak

mata. Edema dan kemosis kelopak mata juga dapat terjadi pada penyakit ginjal,

reaksi alergi dan konjungtivitis infeksi. 8

Sindrom inflamasi orbita idiopatik sering terjadi salah diagnosis dengan selulitis

orbita. Orang dewasa dengan kondisi ini mengalami demam,tidak enak badan,

dan infeksi sinus terkait. Peradangan akut itu sering hadir pada penyakit mata

tiroid bisa tampak serupa untuk tanda-tanda selulitis adanya retraksi kelopak

mata dan seringkali studi fungsi tiroid yang abnormal, biasanya menunjukkan

diagnosis yang sesuai. 8

Pada anak-anak keganasan seperti rhandomyosarcoma, neuroblastoma dan

retinoblastoma lanjut perlu dibedakan dari selulitis orbita. Akhirnya peradangan

orbita yang tidak biasa seperti TBC, sifilis, dan aktinimikosis, jamur, dan parasit

harus diperimbangkan.8

M. KOMPLIKASI

Orbita selulitis dapat memiliki banyak komplikasi, terutama apabila

terapi tidak adekuat atau terlambat mendapatkan penanganan, antara lain

komplikasi okular seperti keratitis exposure, peningkatan tekanan intra okular,

obstruksi arteri dan vena retina sentralis, neuropati optik, trombosis sinus
cavernous, abses periosteal dan abses orbita. Komplikasi intra kranial juga dapat

terjadi, yaitu meningitis pada 2% pasien dengan selulitis orbita.2,19,20

N. PROGNOSIS

Outcome dari terapi medikamentosa pada pasien infeksi orbita tergantung pada

durasi penyakit dan keterlibatan orbita. Selulitis orbita berpotensi menjadi

penyakit mematikan apabila tidak tertangani dengan baik. Prognosis sangat baik

apabila segera diterapi dengan antibiotik dan bedah drainase atas indikasi.

Keterlambatan pada diagnosis dan terapi infeksi orbita dapat menyebabkan

trombosis sinus carnous yang dapat berakibat fatal2,14,21


DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto, dkk. 2009. Orbital Sellulitis and Endophthalmitis. Jurnal Oftalmologi

Indonesia (JOI), Vol. 7(1): 28-31

2. Liyanti, R., dkk. 2019. Orbital Cellulitis. Jurnal Kesehatan Andalas volume 8(4):

295-304

3. Maulana, M. 2019. Anatomi Orbita, Palpebra dan Saluran Lakrimal. Departemen

Ilmu Kesehatan Mata. Fakultas Kedokteran Unversitas Padjajaran. Pusat Mata

Nasional Rumah Sakit Cicendo. Bandung

4. Suhardjo. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas

Kedokteran Gajah Mada. Yogyakarta

5. Moore, Keith L. Dalley, Arthur F, Agur, Anne MR. 2010. Clinically Oriented

Anatomy 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia.

6. Vaughan D, Asbury J. 2013. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC

7. Ilyas, S., Yulianti, SR. 2014. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Fakultas Kedokteran.

Universitas Indonesia.

8. Mallika O.U. MS., dkk. 2011. Orbital and Preseptal Cellulitis. Kerala Journal of

Ophtalmology Volume 23(1): 10-14

9.  Ilyas, S., Tanzilm, M. 2008. Sari Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran.

Universitas Indonesia

10. Hedge, R., Sundar, G.. 2017. Orbital Cellulitis; A Review. TNOA Journal of

Ophthalmic Science and Research Volume 55(3): 211-219


11. Weerakkody, Y., Baba, Y. 2016. Chandler Classification of Orbital Infections.

https://radiopaedia.org/articles/chandler-classification-of-orbital-infections.

Diakses 13 Juli 2020

12. Paediatric Emergency Medicine CHQ. 2019. Guideline: Peri-Orbital and Orbital

Cellulitis: Emergency Management in Children. Queesland Govemment

13. Elshafei, A.M., dkk. 2017. Clinical profile and outcomes of management of

orbital cellulitis in Upper Egypt. Journal of Ophthalmic Inflammation and

Infection Volume 7(8): 1-6

14. Yanoff M., Duker J.S. 2014. Opthalmology Fouth Edition. Elsevier Saunders.

China.

15. Kanski, J. 2016. Clinical Ophthalmology: A systematic Approach. Eight Edition.

Elsevier

16. Seongmu, L., Yen, MT. 2010. Management of preseptal and orbital cellulitis.

Saudi Journal of Ophtalmology Volume 25: 21-29

17. James, B., dkk. 2006. Lecture note: Oftalmologi. Edisi Sembilan. PT. Glora

Aksara Permata. Erlangga

18. Durrani, O., Oluwole, M. 2012. Management of Orbital Cellulitis and Orbital

Abscess (Adults and Children). NHS Trust; Sandwell and West Birmingham

Hospitals

19. Akcay, E., dkk. 2014. Preseptal and Orbital Cellulitis. Journal of Microbiology

and Infectious Diseases volume 4 (3): 123-127


20. Kyari, F. 2018. Emergency management: orbital cellulitis. Community Eye

Health Journal Volume 31(103):60

21. Saiba, S.E., Mutesa, L. 2010. Orbita and Facial Cellulitis. Rwanda Medical

Journal Volume 68(4): 58-59

Anda mungkin juga menyukai