Selulitis Orbita
Disusun oleh :
Dwi Kristanto Wongso (07120120095)
Pembimbing : dr. Nusyirwan, SpM
BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................. 1
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
Selulitis orbita adalah infeksi dari jaringan lunak orbita yang terletak posterior
dari septum orbita. Selulitis orbita terkadang bisa terjadi berkelanjutan dengan
selulitis preseptal.1 Selulitis orbita dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan juga
dapat berujung pada banyak komplikasi serius apabila tidak didiagnosa dan mendapat
terapi sesegera mungkin.
Di masa lampau, selulitis orbita dihubungkan dengan beberapa komplikasi
serius seperti kebutaan, trombosis sinus kavernosus, meningitis, abses frontal,
osteomyelitis, bahkan kematian. Sejak mulai ditemukannya pengobatan dengan
antibiotik yang terbukti efektif mengobati selulitis orbita, komplikasi-komplikasi
diatas dilaporkan semakin berkurang.7 Sebelum adanya antibiotik, kebutaan
merupakan komplikasi yang relatif sering, kurang lebih 20% dari keseluruhan selulitis
orbita. Laporan mengenai kebutaan akibat selulitis berkurang secara signifikan setelah
era post-antibiotik, seperti yang dilaporkan pada sebuah survey yang melibatkan 52
pasien dengan selulitis orbita, 18 orang (35%) pasien mengeluhkan penurunan
ketajaman penglihatan, namun setelah pemeriksaan jangka panjang, hanya 2 (4%)
pasien yang mengalami kebutaan.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI
1.1. Orbita
Kavum orbita secara skematik berbentuk piramid yang tersusun atas empat dinding
yang menjorok kearah posterior. Dinding medial dari kanan dan kiri orbita terletak
paralel dan dipisahkan oleh hidung. Dalam masing-masing orbita, dinding lateral dan
medial membentuk sudut 450, yang menghasilkan sudut diantara kedua dinding
lateral. Bentuk orbita sering dibandingkan dengan dengan buah pir, dengan saraf optik
mewakili rantingnya. Lingkar anterior orbita memiliki diameter yang lebih kecil
dibandingkan dengan regio didalam lingkar tersebut, yang menciptakan suatu
pelindung yang kokoh.
Volume orbita orang dewasa kira-kira 30mL, dan bola mata hanya mengisi kurang
lebih 1/5 dari ruang tersebut. Lemak dan otot-otot mengisi ruang yang tersisa. Batas
anterior dari kavum orbita adalah septum orbita, yang berfungsi sebagai pelindung
antara kelopak mata dan orbit. Orbita berhubungan dengan sinus frontalis dibagian
atasnya, sinus maxillaris pada bagian bawah, dan dengan sinus ethmoid & sfenoid di
medial. Dasar orbita yang tipis dapat dengan mudah mengalami cedera karena trauma
langsung ke ruang tersebut, menyebabkan fraktur “blowout” dengan herniasi dari isi
orbita ke antrum maxillaris. Infeksi didalam sinus etmoid dan sfenoid bisa mengikis
dinding medial yang setipis kertas (lamina papyracea) dan melibatkan isi dari orbita.
Defek pada langit-langit orbita (eg. neurofibromatosis) bisa menyebabkan terlihatnya
pulsasi pada ruang orbita yang dihantarkan dari otak.
3. EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak, selulitis orbita telah dilaporkan dua kali lebih banyak pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Namun pada orang dewasa,
tidak ditemukan perbedaan frekuensi selulitis orbita pada laki-laki dan perempuan,
kecuali pada kasus-kasus yang disebabkan oleh Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA), yang lebih banyak terjadi pada wanita dengan perbandingan 4:1.
Selulitis orbita secara umum lebih banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan
dengan orang dewasa. Usia rata-rata perawatan inap anak-anak karena selulitis orbita
adalah 7 – 12 tahun. Peningkatan insidensi selulitis orbita terjadi pada musim dingin
secara internasional, karena terjadinya peningkatan insiden sinusitis pada cuaca
dingin.
Pada era pre-antibiotik, 17% selulitis orbita berujung pada kematian dan 20%
pasien menjadi buta karena meningitis. Setelah antibiotik tersedia, tetap timbul
meningitis pada 1.9% dari pasien dengan selulitis orbita yang telah mendapat terapi
antibiotik sistemik dengan cepat. Meskipun dengan tatalaksana agresif menggunakan
antibiotik dan pembedahan drainase, abses orbita dapat sangat merusak. Dari kasus-
kasus yang dilaporkan, 7.1% - 23.6% pasien terpaksa hidup dengan kebutaan.
Hilangnya penglihatan bisa jadi karena atrofi, oklusi arteri retina sentral, atau
keratopati paparan dengan pembentukan ulkus. Mekanisme lain mengenai hilangnya
penglihatan yang masih dalam pembelajaran antara lain neuritis optik septik, embolik,
atau lesi trombotik pada aliran vaskular ke retina, koroid, atau saraf optik, dan
peningkatan tekanan intraokular yang cepat. Intervensi pembedahan yang terlambat
dapat mengakibatkan penurunan penglihatan.2
4. ETIOLOGI
Sebagian besar dari keseluruhan kasus selulitis orbita pada anak-anak timbul
dari ekstensi sinusitis akut melalui tulang-tulang etmoid yang tipis, sehingga
kebanyakan organisme penyebab selulitis orbita ini adalah Streptococcus
pneumoniae, golongan Streptococcus lainnya, Haemophilus influenza ( pada negara-
negara dimana imunisasi H. influenza tipe B (Hib) tidak dilakukan pada usia bayi),
dan penyebab lain yang lebih jarang adalah Staphylococcus aureus, termasuk
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), atau Moraxella catarrhalis.
Pada usia remaja dan dewasa, dimana sering terjadi infeksi sinus kronik, organisme
anaerobik juga dapat terlibat. Apabila terdapat riwayat trauma, biasanya luka tusuk
orbita namun mungkin juga gigitan binatang, S. aureus termasuk MRSA, atau
streptokokus - hemolitik grup A biasanya menjadi etiologi utama.1
Beberapa etiologi yang sering menyebabkan selulitis orbita:
Penyebaran terkait sinus sejauh ini merupakan penyebab paling umum dan
paling sering timbul sekunder dari sinusitis etmoid. Penyebaran melalui cara
ini paling banyak menyerang anak-anak dan dewasa muda.
Penyebaran dari struktur sekitar seperti dakriosistitis, dan infeksi wajah
tengah atau dental. Infeksi dental dapat menyebabkan selulitis orbita melalui
sinusitis maxillaris intermedia.
Post-traumatik umumnya berkembang dalam 48-72 jam setelah cedera yang
menembus septum orbita. Pada beberapa kasus, gejala klinis yang tipikal dapat
tersamarkan oleh laserasi atau hematoma karena cedera.
Post-surgikal dapat memperberat pembedahan retina, lakrima atau orbita.3
Berbeda dengan selulitis preseptal, dimana infeksi bakteri dari bagian
superfisial septum orbita, biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi yang timbul
pada kelopak mata, seperti hordeolum, luka pembedahan atau trauma, atau gigitan
hewan dan serangga.1
5. GEJALA
Selulitis orbita ditandai dengan demam, nyeri, pembengkakan dan eritema
kelopak mata, proptosis, kemosis, keterbatasan pergerakan ekstraokuler, dan
leukositosis. Proptosis non-aksial menandakan adanya abses periosteal atau
intraorbital. Penjalaran ke sinus kavernosa menyebabkan keterlibatan orbita
kontralateral, disfungsi trigeminal, dan gejala sistemik yang lebih menonjol.
Penjalaran intrakranial menyebabkan meningitis dan kemungkinan abses otak.
Beberapa penyakit orbita, berkembang secara cepat sebagai infeksi bakteri.
Selulitis preseptal, dimana terdapat gejala sistemik dengan pembengkakan kelopak
mata dan eritema tanpa disertai proptosis, kemosis atau keterbatasan pergerakan
ekstraokular adalah diagnosa banding utama, namun dapat juga menyerupai gejala
awal dari selulitis orbita. Penyakit lain yang dapat dipertimbangkan adalah
rhabdomyosarcoma pada anak-anak, pseudotumor, dan optalmopati Graves.4
6. PATOFISIOLOGI
Proses peradangan akut dapat disebabkan oleh kuman piogenik seperti
pneumokok, streptokok atau stafilokok, yaitu kuman yang sering menyebabkan
sinusitis atau dakrioadenitis. Infeksi dapat terjadi secara langsung dari radang sinus
paranasalis, melalui pembuluh darah dan melalui trauma, terutama bila ada benda
asing yang masuk ke jaringan orbita. Secara histopatologi, ditemukan sel
polimorfonuklear dan nekrose jaringan.6
7. DIAGNOSIS
Diagnosa selulitis orbita dapat ditegakkan melalui anamnesis mengenai gejala
pasien, termasuk riwayat sinusitis atau trauma. Dapat juga ditentukan melalui
pemeriksaan fisik dengan melihat adanya tanda dan gejala inflamasi lokal pada mata
maupun sistemik. Konfirmasi diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan sel darah
putih di laboratorium, dan pemeriksaan radiologi menggunakan CT Scan orbita.
Selain itu, pemeriksaan cairan serebro-spinal juga dapat dikerjakan apabila
mulai timbul tanda-tanda serebral dan meningeal. Pada pemeriksaan laboratorium,
kecurigaan akan adanya selulitis orbita ditunjukkan dengan peningkatan kadar sel
darah putih sebagai penanda adanya infeksi & inflamasi. Pemeriksaan CT Scan dapat
digunakan untuk membedakan selulitis preseptal dengan orbita, dan penting dilakukan
apabila terdapat kecurigaan timbulnya abses. Pada CT Scan, dapat dilihat elevasi
lokal, dan secara umum homogen dari periorbita yang terletak bersebelahan dengan
sinus yang tampak opak.1
8. DIAGNOSIS BANDING
8.1. Pseudotumor orbita
Penyakit ini terjadi lebih lambat dengan gejala klinis yang hampir sama tetapi lebih
ringan. Teraba suatu massa pada palpasi sedangkan pada selulitis akan teraba
fluktuasi bila terjadi abses. Hasil pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi tumor
menunjukkan suatu pseudotumor.
8.2. Oftalmopati tiroid
Pada oftalmopati tiroid, gejala yang mencolok ialah retraksi kelopak mata atas yang
terjadi pada 90 – 99% penderita. Tidak teraba fluktuasi atau massa pada palpasi. Pada
pemeriksaan USG maupun CT scan terlihat pembesaran dari otot ekstraokular.
.10. TATALAKSANA
Tatalaksana selulitis orbita harus dimulai bahkan sebelum organisme
penyebab diidentifikasi. Segera setelah kultur nasal, konjungtiva dan darah diambil,
antibiotik harus diberikan kepada pasien. Terapi yang paling umum diberikan adalah
melalui intravena, dimulai dengan sefalosporin generasi tiga seperti cefotaxime dan
ceftriaxone, atau obat resisten - lactamase, seperti nafcillin, imipinen, atau
piperacillin/tazobactam.
Kemungkinan infeksi anaerobik memerlukan metronidazole atau clindamycin
tambahan. Penggunaan sefalosporin tepat apabila terdapat riwayat trauma, kecuali
kemungkinan infeksi MRSA kecil, dimana penggunaan vancomycin atau clindamycin
diperlukan.
Untuk pasien dengan hipersensitivitas penicillin, pemberian vancomycin,
levofloxacin, dan metronidazole disarankan. Keberhasilan dengan ciprofloxacin oral
dan clindamycin telah dilaporkan pada kasus-kasus tanpa komplikasi. Pemeriksaan
fungsi saraf optik setiap 4 jam dengan menguji reaksi pupil, mengukur visus
penglihatan dan memeriksa fungsi penglihatan warna serta persepsi cahaya juga perlu
dilakukan sebagai evaluasi.
Konsultasi dini dengan spesialis THT-KL cukup penting. Dekongestan nasal
dan vasokonstriktor membantu membersihkan sinus paranasal. Sebagian besar kasus
memberikan reaksi yang baik terhadap antibiotik. Kasus-kasus yang tidak merespon
dengan baik mungkin memerlukan drainase sinus paranasal melalui pembedahan.
Abses orbita biasanya memerlukan pembedahan drainase, dimana rute pembedahan
ditentukan dari hasil CT atau MRI.1
Intervensi pembedahan perlu dipertimbangkan apabila terapi dengan antibiotik
tidak responsif, terjadi penurunan visus, terbentuknya abses periorbita atau
subperiosteal, dan perlunya biopsi diagnostik untuk kasus-kasus atipikal.
Selulitis preseptal biasanya dapat diobati dengan antibiotik oral, seperti
amoxicillin/clavulanate, tapi pasien harus diawasi secara ketat untuk melihat adanya
perkembangan kearah selulitis orbita. Terapi harus diperbaiki apabila ada
kemungkinan infeksi MRSA yang tinggi atau apabila terdapat luka yang kotor,
dimana organisme gram negatif mungkin perlu dicurigai.8
11. PROGNOSIS
Sebelum ketersediaan antibiotik, pasien dengan selulitis orbita memiliki
tingkat mortalitas 17%, dan 20% dan penderita mengalami kebutaan pada mata yang
terserang. Sebagai hasil dari diagnosis yang cepat dan penggunaan antibiotik yang
tepat, angka ini dapat ditekan secara signifikan, meskipun kebutaan masih terjadi pada
11% kasus. Selulitis orbita karena MRSA dapat menyebabkan kebutaan meskipun
telah mendapat terapi antibiotik.
BAB III
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
1. Riordan-Eva P., Cunningham Jr. E.T.. Vaughan & Asbury's General
Ophthalmology, 18th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2011.
4. Ilyas S.H., Yulianti S.R.. Ilmu Penyakit Mata, 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.