Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Selulitis Orbita

Disusun oleh :
Dwi Kristanto Wongso (07120120095)
Pembimbing : dr. Nusyirwan, SpM

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Rumah Sakit Marinir Cilandak
Periode: 23 Januari 2017 – 24 Februari 2017
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................. 1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 2


I. ANATOMI ORBITA............................................................................ 2
II. DEFINISI SELULITIS ORBITA........................................................ 5
II. EPIDEMIOLOGI................................................................................. 5
V. ETIOLOGI ......................................................................................... 6
IV. GEJALA............................................................................................. 7
VI. PATOFISIOLOGI ............................................................................. 9
VIII. DIAGNOSIS...................................................................................... 9
IX. DIAGNOSIS BANDING................................................................... 9
VII. KOMPLIKASI SELULITIS ORBITA.............................................. 10
XI. TATALAKSANA................................................................................ 10
X. PROGNOSIS ........................................................................................ 11

BAB III : KESIMPULAN .................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
Selulitis orbita adalah infeksi dari jaringan lunak orbita yang terletak posterior
dari septum orbita. Selulitis orbita terkadang bisa terjadi berkelanjutan dengan
selulitis preseptal.1 Selulitis orbita dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan juga
dapat berujung pada banyak komplikasi serius apabila tidak didiagnosa dan mendapat
terapi sesegera mungkin.
Di masa lampau, selulitis orbita dihubungkan dengan beberapa komplikasi
serius seperti kebutaan, trombosis sinus kavernosus, meningitis, abses frontal,
osteomyelitis, bahkan kematian. Sejak mulai ditemukannya pengobatan dengan
antibiotik yang terbukti efektif mengobati selulitis orbita, komplikasi-komplikasi
diatas dilaporkan semakin berkurang.7 Sebelum adanya antibiotik, kebutaan
merupakan komplikasi yang relatif sering, kurang lebih 20% dari keseluruhan selulitis
orbita. Laporan mengenai kebutaan akibat selulitis berkurang secara signifikan setelah
era post-antibiotik, seperti yang dilaporkan pada sebuah survey yang melibatkan 52
pasien dengan selulitis orbita, 18 orang (35%) pasien mengeluhkan penurunan
ketajaman penglihatan, namun setelah pemeriksaan jangka panjang, hanya 2 (4%)
pasien yang mengalami kebutaan.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI
1.1. Orbita
Kavum orbita secara skematik berbentuk piramid yang tersusun atas empat dinding
yang menjorok kearah posterior. Dinding medial dari kanan dan kiri orbita terletak
paralel dan dipisahkan oleh hidung. Dalam masing-masing orbita, dinding lateral dan
medial membentuk sudut 450, yang menghasilkan sudut diantara kedua dinding
lateral. Bentuk orbita sering dibandingkan dengan dengan buah pir, dengan saraf optik
mewakili rantingnya. Lingkar anterior orbita memiliki diameter yang lebih kecil
dibandingkan dengan regio didalam lingkar tersebut, yang menciptakan suatu
pelindung yang kokoh.
Volume orbita orang dewasa kira-kira 30mL, dan bola mata hanya mengisi kurang
lebih 1/5 dari ruang tersebut. Lemak dan otot-otot mengisi ruang yang tersisa. Batas
anterior dari kavum orbita adalah septum orbita, yang berfungsi sebagai pelindung
antara kelopak mata dan orbit. Orbita berhubungan dengan sinus frontalis dibagian
atasnya, sinus maxillaris pada bagian bawah, dan dengan sinus ethmoid & sfenoid di
medial. Dasar orbita yang tipis dapat dengan mudah mengalami cedera karena trauma
langsung ke ruang tersebut, menyebabkan fraktur “blowout” dengan herniasi dari isi
orbita ke antrum maxillaris. Infeksi didalam sinus etmoid dan sfenoid bisa mengikis
dinding medial yang setipis kertas (lamina papyracea) dan melibatkan isi dari orbita.
Defek pada langit-langit orbita (eg. neurofibromatosis) bisa menyebabkan terlihatnya
pulsasi pada ruang orbita yang dihantarkan dari otak.

Gambar 1. Tampakan anterior tulang-tulang orbita kanan


Gambar 2. Tampakan medial dinding tulang orbita kiri

1.2. Dinding Orbita


Langit-langit orbita terdiri dari lempeng orbita dari tulang frontalis. Kelenjar
air mata terletak pada fossa lakrimalis di aspek antero-lateral dari langit-langit
tersebut. Di bagian posterior, bagian “sayap” yang lebih kecil dari tulang sfenoid,
yang mencakup kanal optik, melengkapi langit-langit orbita. Dinding lateral orbita
dipisahkan dari langit-langit oleh fissura orbita superior, yang membagi bagian sayap
kecil dan besar dari tulang sfenoid. Porsi anterior dari dinding lateral terbentuk
dibentuk oleh permukaan orbita dari tulang zigoma (malar). Ini adalah bagian terkuat
dari orbita. Ligamen penyangga, tendon palpebra lateral, dan ligamen cek memiliki
jaringan ikat yang terhubung ke tuberkel lateral orbita.
Dasar orbita dipisahkan dari dinding lateral oleh fissura orbita inferior.
Lempeng orbita dari maxilla membentuk daerah pusat yang besar dari dasar orbita,
dan merupakan regio dimana fraktur “blowout” paling banyak terjadi. Prosesus
frontalis dari maxilla secara medial dan tulang zigoma secara lateral melengkapi
lingkar orbita inferior. Prosesus orbitalis dari tulang palatina membentuk suatu daerah
kecil berbentuk segitiga pada dasar orbita posterior.
Batas-batas dinding medial lebih sulit dibedakan. Tulang etmoid sangat tipis
seperti kertas, namun menebal pada bagian anterior ketika bertemu dengan tulang
lakrimal. Korpus sfenoid membentuk aspek paling posterior dari dinding medial, dan
prosesus angularis dari tulang frontalis membentuk bagian bagian atas dari cekungan
lakrimal posterior. Bagian bawah dari cekungan lakrimal posterior dibentuk oleh
tulang lakrimalis.
1.3. Apeks Orbita
Apeks orbita adalah portal utama bagi semua saraf dan pembuluh darah yang
menuju ke mata dan tempat asal seluruh otot ekstraokular kecuali otot oblikus
inferior. Fissura orbita superior terletak diantara korpus dan sayap-sayap tulang
sfenoid. Vena optalmika superior dan saraf lakrimal, frontal dan troklear melewati
porsi lateral dari fissura yang terletak diluar Zonula Zinn. Bagian superior dan inferior
dari saraf okulomotor dan saraf abdusen dan nasosiliaris melewati porsi medial dari
fissura didalam Zonula Zinn. Saraf optik dan arteri optalmika melewati kanal optik,
yang juga terdapat didalam Zonula Zinn. Vena optalmika inferior seringkali
bergabung dengan vena optalmika superior sebelum keluar dari orbita. Jika tidak,
vena optalmika inferior dapat melewati bagian manapun dari fissura orbita, termasuk
bagian disebelah korpus sfenoid yang terletak inferomedial dari Zonula Zinn, atau
melewati fissura orbita inferior.

Gambar 3. Tampakan anterior apeks orbita kanan


1.4. Vaskularisasi Orbita
Semua cabang arteri pada mata berasal dari arteri optalmika. Drainase vena
melalui sinus kavernosus dan pleksus pterigoid.

Gambar 4. Suplai vaskular dari mata1

2. DEFINISI SELULITIS ORBITA


Selulitis orbita adalah infeksi dari jaringan lunak dibelakang septum orbita
yang seringkali disebabkan oleh infeksi polimikrobia, termasuk anaerob.1

3. EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak, selulitis orbita telah dilaporkan dua kali lebih banyak pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Namun pada orang dewasa,
tidak ditemukan perbedaan frekuensi selulitis orbita pada laki-laki dan perempuan,
kecuali pada kasus-kasus yang disebabkan oleh Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA), yang lebih banyak terjadi pada wanita dengan perbandingan 4:1.
Selulitis orbita secara umum lebih banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan
dengan orang dewasa. Usia rata-rata perawatan inap anak-anak karena selulitis orbita
adalah 7 – 12 tahun. Peningkatan insidensi selulitis orbita terjadi pada musim dingin
secara internasional, karena terjadinya peningkatan insiden sinusitis pada cuaca
dingin.
Pada era pre-antibiotik, 17% selulitis orbita berujung pada kematian dan 20%
pasien menjadi buta karena meningitis. Setelah antibiotik tersedia, tetap timbul
meningitis pada 1.9% dari pasien dengan selulitis orbita yang telah mendapat terapi
antibiotik sistemik dengan cepat. Meskipun dengan tatalaksana agresif menggunakan
antibiotik dan pembedahan drainase, abses orbita dapat sangat merusak. Dari kasus-
kasus yang dilaporkan, 7.1% - 23.6% pasien terpaksa hidup dengan kebutaan.
Hilangnya penglihatan bisa jadi karena atrofi, oklusi arteri retina sentral, atau
keratopati paparan dengan pembentukan ulkus. Mekanisme lain mengenai hilangnya
penglihatan yang masih dalam pembelajaran antara lain neuritis optik septik, embolik,
atau lesi trombotik pada aliran vaskular ke retina, koroid, atau saraf optik, dan
peningkatan tekanan intraokular yang cepat. Intervensi pembedahan yang terlambat
dapat mengakibatkan penurunan penglihatan.2

4. ETIOLOGI
Sebagian besar dari keseluruhan kasus selulitis orbita pada anak-anak timbul
dari ekstensi sinusitis akut melalui tulang-tulang etmoid yang tipis, sehingga
kebanyakan organisme penyebab selulitis orbita ini adalah Streptococcus
pneumoniae, golongan Streptococcus lainnya, Haemophilus influenza ( pada negara-
negara dimana imunisasi H. influenza tipe B (Hib) tidak dilakukan pada usia bayi),
dan penyebab lain yang lebih jarang adalah Staphylococcus aureus, termasuk
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), atau Moraxella catarrhalis.
Pada usia remaja dan dewasa, dimana sering terjadi infeksi sinus kronik, organisme
anaerobik juga dapat terlibat. Apabila terdapat riwayat trauma, biasanya luka tusuk
orbita namun mungkin juga gigitan binatang, S. aureus termasuk MRSA, atau
streptokokus  - hemolitik grup A biasanya menjadi etiologi utama.1
Beberapa etiologi yang sering menyebabkan selulitis orbita:
 Penyebaran terkait sinus sejauh ini merupakan penyebab paling umum dan
paling sering timbul sekunder dari sinusitis etmoid. Penyebaran melalui cara
ini paling banyak menyerang anak-anak dan dewasa muda.
 Penyebaran dari struktur sekitar seperti dakriosistitis, dan infeksi wajah
tengah atau dental. Infeksi dental dapat menyebabkan selulitis orbita melalui
sinusitis maxillaris intermedia.
 Post-traumatik umumnya berkembang dalam 48-72 jam setelah cedera yang
menembus septum orbita. Pada beberapa kasus, gejala klinis yang tipikal dapat
tersamarkan oleh laserasi atau hematoma karena cedera.
 Post-surgikal dapat memperberat pembedahan retina, lakrima atau orbita.3
Berbeda dengan selulitis preseptal, dimana infeksi bakteri dari bagian
superfisial septum orbita, biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi yang timbul
pada kelopak mata, seperti hordeolum, luka pembedahan atau trauma, atau gigitan
hewan dan serangga.1

5. GEJALA
Selulitis orbita ditandai dengan demam, nyeri, pembengkakan dan eritema
kelopak mata, proptosis, kemosis, keterbatasan pergerakan ekstraokuler, dan
leukositosis. Proptosis non-aksial menandakan adanya abses periosteal atau
intraorbital. Penjalaran ke sinus kavernosa menyebabkan keterlibatan orbita
kontralateral, disfungsi trigeminal, dan gejala sistemik yang lebih menonjol.
Penjalaran intrakranial menyebabkan meningitis dan kemungkinan abses otak.
Beberapa penyakit orbita, berkembang secara cepat sebagai infeksi bakteri.
Selulitis preseptal, dimana terdapat gejala sistemik dengan pembengkakan kelopak
mata dan eritema tanpa disertai proptosis, kemosis atau keterbatasan pergerakan
ekstraokular adalah diagnosa banding utama, namun dapat juga menyerupai gejala
awal dari selulitis orbita. Penyakit lain yang dapat dipertimbangkan adalah
rhabdomyosarcoma pada anak-anak, pseudotumor, dan optalmopati Graves.4

 Presentasi: onset cepat dari demam, lemas, dan tanda-tanda orbita


 Tanda:
o Kelopak mata sangat bengkak, merah, hangat, dan nyeri terhadap perabaan
o Proptosis, jika dapat dilihat karena pembengkakan kelopak, seringkali
kearah lateral dan bawah
o Pergerakan okular terbatas dan nyeri
o Tanda-tanda disfungsi nervus optikus dapat ditemukan pada kasus-kasus
(diplopia, penurunan visus) lanjut5

Gambar 5. Proptosis, optalmoplegia, edema & eritema kelopak mata3

6. PATOFISIOLOGI
Proses peradangan akut dapat disebabkan oleh kuman piogenik seperti
pneumokok, streptokok atau stafilokok, yaitu kuman yang sering menyebabkan
sinusitis atau dakrioadenitis. Infeksi dapat terjadi secara langsung dari radang sinus
paranasalis, melalui pembuluh darah dan melalui trauma, terutama bila ada benda
asing yang masuk ke jaringan orbita. Secara histopatologi, ditemukan sel
polimorfonuklear dan nekrose jaringan.6

7. DIAGNOSIS
Diagnosa selulitis orbita dapat ditegakkan melalui anamnesis mengenai gejala
pasien, termasuk riwayat sinusitis atau trauma. Dapat juga ditentukan melalui
pemeriksaan fisik dengan melihat adanya tanda dan gejala inflamasi lokal pada mata
maupun sistemik. Konfirmasi diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan sel darah
putih di laboratorium, dan pemeriksaan radiologi menggunakan CT Scan orbita.
Selain itu, pemeriksaan cairan serebro-spinal juga dapat dikerjakan apabila
mulai timbul tanda-tanda serebral dan meningeal. Pada pemeriksaan laboratorium,
kecurigaan akan adanya selulitis orbita ditunjukkan dengan peningkatan kadar sel
darah putih sebagai penanda adanya infeksi & inflamasi. Pemeriksaan CT Scan dapat
digunakan untuk membedakan selulitis preseptal dengan orbita, dan penting dilakukan
apabila terdapat kecurigaan timbulnya abses. Pada CT Scan, dapat dilihat elevasi
lokal, dan secara umum homogen dari periorbita yang terletak bersebelahan dengan
sinus yang tampak opak.1

8. DIAGNOSIS BANDING
8.1. Pseudotumor orbita
Penyakit ini terjadi lebih lambat dengan gejala klinis yang hampir sama tetapi lebih
ringan. Teraba suatu massa pada palpasi sedangkan pada selulitis akan teraba
fluktuasi bila terjadi abses. Hasil pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi tumor
menunjukkan suatu pseudotumor.
8.2. Oftalmopati tiroid
Pada oftalmopati tiroid, gejala yang mencolok ialah retraksi kelopak mata atas yang
terjadi pada 90 – 99% penderita. Tidak teraba fluktuasi atau massa pada palpasi. Pada
pemeriksaan USG maupun CT scan terlihat pembesaran dari otot ekstraokular.

8.3. Trombosis sinus kavernosus


Trombosis sinus kavernosus mungkin terjadi bilateral tetapi pada selulitis orbita
hampir selalu unilateral. Penurunan visus terjadi hebat dengan tidak adanya reflek
pupil dan disertai papiledema.6

9. KOMPLIKASI SELULITIS ORBITA


 Komplikasi okular adalah keratopati paparan (exposure keratopathy),
peningkatan tekanan intraokular, oklusi arteri atau vena retina sentral, dan
peradangan nervus optik.
 Komplikasi intrakranial berupa meningitis, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus. Komplikasi terakhir ini tidak sering ditemukan, namun sangat
serius dan harus dicurigai apabila terdapat keterlibatan orbita bilateral,
proptosis yang berkembang dengan sangat cepat, dan kongesti vena pada
wajah, konjungtiva dan retina. Ciri tambahan meliputi progresi yang cepat dari
seluruh tanda klinis ( proptosis, mydriasis, dilatasi vena retina, penurunan
visus, timbulnya defek pupil aferen) yang disertai dengan nyeri kepala hebat,
mual dan muntah. Pembentukan abses intrakranial dicurigai dari adanya
penurunan kesadaran, tanda-tanda gangguan sistem saraf pusat, dan demam
yang menetap meski telah menerima terapi antibiotik.
 Abses sub-periorbital paling sering ditemukan disepanjang dinding medial
orbita.
 Abses orbita cukup jarang ditemukan pada selulitis orbita yang berkaitan
dengan sinusitis tapi dapat terjadi pada kasus-kasus post-traumatik atau post-
operatif.7

.10. TATALAKSANA
Tatalaksana selulitis orbita harus dimulai bahkan sebelum organisme
penyebab diidentifikasi. Segera setelah kultur nasal, konjungtiva dan darah diambil,
antibiotik harus diberikan kepada pasien. Terapi yang paling umum diberikan adalah
melalui intravena, dimulai dengan sefalosporin generasi tiga seperti cefotaxime dan
ceftriaxone, atau obat resisten  - lactamase, seperti nafcillin, imipinen, atau
piperacillin/tazobactam.
Kemungkinan infeksi anaerobik memerlukan metronidazole atau clindamycin
tambahan. Penggunaan sefalosporin tepat apabila terdapat riwayat trauma, kecuali
kemungkinan infeksi MRSA kecil, dimana penggunaan vancomycin atau clindamycin
diperlukan.
Untuk pasien dengan hipersensitivitas penicillin, pemberian vancomycin,
levofloxacin, dan metronidazole disarankan. Keberhasilan dengan ciprofloxacin oral
dan clindamycin telah dilaporkan pada kasus-kasus tanpa komplikasi. Pemeriksaan
fungsi saraf optik setiap 4 jam dengan menguji reaksi pupil, mengukur visus
penglihatan dan memeriksa fungsi penglihatan warna serta persepsi cahaya juga perlu
dilakukan sebagai evaluasi.
Konsultasi dini dengan spesialis THT-KL cukup penting. Dekongestan nasal
dan vasokonstriktor membantu membersihkan sinus paranasal. Sebagian besar kasus
memberikan reaksi yang baik terhadap antibiotik. Kasus-kasus yang tidak merespon
dengan baik mungkin memerlukan drainase sinus paranasal melalui pembedahan.
Abses orbita biasanya memerlukan pembedahan drainase, dimana rute pembedahan
ditentukan dari hasil CT atau MRI.1
Intervensi pembedahan perlu dipertimbangkan apabila terapi dengan antibiotik
tidak responsif, terjadi penurunan visus, terbentuknya abses periorbita atau
subperiosteal, dan perlunya biopsi diagnostik untuk kasus-kasus atipikal.
Selulitis preseptal biasanya dapat diobati dengan antibiotik oral, seperti
amoxicillin/clavulanate, tapi pasien harus diawasi secara ketat untuk melihat adanya
perkembangan kearah selulitis orbita. Terapi harus diperbaiki apabila ada
kemungkinan infeksi MRSA yang tinggi atau apabila terdapat luka yang kotor,
dimana organisme gram negatif mungkin perlu dicurigai.8

11. PROGNOSIS
Sebelum ketersediaan antibiotik, pasien dengan selulitis orbita memiliki
tingkat mortalitas 17%, dan 20% dan penderita mengalami kebutaan pada mata yang
terserang. Sebagai hasil dari diagnosis yang cepat dan penggunaan antibiotik yang
tepat, angka ini dapat ditekan secara signifikan, meskipun kebutaan masih terjadi pada
11% kasus. Selulitis orbita karena MRSA dapat menyebabkan kebutaan meskipun
telah mendapat terapi antibiotik.

Selulitis orbita dapat menyebabkan komplikasi orbita dan intrakranial. Abses


subperiosteal atau orbita dapat terbentuk ( 7 – 9%), dimana kehilangan penglihatan
permanen bisa terjadi karena kerusakan kornea sekunder akibat paparan atau keratitis
neurotrofik, kerusakan jaringan intraokular, glaukoma sekunder, neuritis optik, atau
oklusi arteri retina sentral. Kebutaan juga bisa timbul sekunder akibat elevasi tekanan
intraorbita atau penyebaran infeksi langsung ke nervus optikus dari sinus sphenoid.
Keterlibatan langsung dari saraf motorik bola mata atau otot ekstraokular dapat
mengakibatkan berkurangnya motilitas okular.3

BAB III
KESIMPULAN

Selulitis orbita (selulitis postseptal), yang merupakan infeksi bakteri kedalam


septum orbita, adalah penyebab paling umum terjadinya proptosis pada anak-anak.
Selulitis orbita sering disebabkan oleh sinusitis terutama dari sinus etmoid. Kuman
penyebab biasanya adalah penumokok, streptokok, atau stafilokok dan berjalan akut.
Masuknya kuman ini kedalam rongga mata dapat langsung melalui sinus paranasal,
penyebaran melalui pembuluh darah, atau bersama dengan trauma yang kotor.
Selulitis orbita akan memberikan gejala berupa demam, mata merah, kelopak edema
dan kemotik, proptosis atau eksoftalmos, nyeri pergerakan bola mata, dan tanda-tanda
gangguan saraf optik. Tatalaksana segera dengan antibiotik sistemik dosis tinggi atau
tindak pembedahan apabila terjadi abses sangatlah penting karena keterlambatan
dapat berujung pada kebutaan akibat kompresi, infark, atau kematian saraf optik
karena thrombosis sinus kavernosus atau sepsis intrakranial.

Daftar Pustaka
1. Riordan-Eva P., Cunningham Jr. E.T.. Vaughan & Asbury's General
Ophthalmology, 18th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2011. 

2. Chaudhry IA, Shamsi FA, Elzaridi E, Al-Rashed W, Al-Amri A, Al-Anezi F, Arat


YO, Holck DE
Ophthalmology. 2007 Feb; 114(2):345-54.

3. Harrington J. N.. Orbital Cellulitis.


http://emedicine.medscape.com/article/1217858-overview#a4 (accessed 06 February
2017).

4. Ilyas S.H., Yulianti S.R.. Ilmu Penyakit Mata, 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.

5. Kanski J.J.. Clinical Ophthalmology, 4th ed. Glasgow: Reed Educational &


Professional Publishing; 1999.

6. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit


Mata, 3rd ed. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya; 2006.

7. Intracranial abscess as a complication of subperiosteal abscess of the orbit.


Hartstein ME, Steinvurzel MD, Cohen CP
Ophthal Plast Reconstr Surg. 2001 Nov; 17(6):398-403.

8. Endoscopic sinus surgery for orbital subperiosteal abscess secondary to sinusitis.


Bhargava D, Sankhla D, Ganesan A, Chand P
Rhinology. 2001 Sep; 39(3):151-5.

Anda mungkin juga menyukai