Anda di halaman 1dari 23

Case Report Session

Selulitis Orbita

Disusun Oleh:

Mega Gusti Ayu 1010313083


Dede Rahman Agustian 1310311062
Siti Hidayatul Fitri 1310311065
Inten Abdillah Putri 1310311077

Preseptor :
dr. Andrini Ariesti, Sp.M

BAGIAN MATA
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selulitis orbita adalah peradangan supuratif pada jaringan ikat longgar intraorbita
dibelakang septum orbita. Biasanya selulitis orbita sering mengenai anak-anak dengan
rentang usia 2-10 tahun dan orang dewasa dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun.
Penyebab dari selulitis intraorbita adalah bakteri pneumococcus, streptococcus, dan
staphylococcus. Beberapa penyakit sistemik yang bisa menjadi faktor risiko terjadinya
selulitis orbita adalah sinusitis, trauma, dan gigi berlubang. 1

Mekanisme dasar terjadinya selulitis orbita adalah bakteremia yaitu masuknya kuman
yang menjadi agen penyebab kedalam pembuluh darah dan berhasil mencapai rongga
intraorbita. Setelah kuman mencapai rongga intraorbita, kuman akan menetap dan
mengaktifkan respon imnulogis tubuh yang memicu terjadinya proses peradangan di jaringan
ikat longgar intraorbita. 2

Selulitis orbita merupakan suatu kegawatdaruratan mata karena dapat menyebabkan


kebutaan pada mata yang terkena infeksi. Oleh karena itu diperlukan diagnosis yang cepat
dan tepat serta inisiasi terapi yang tepat agar komplikasi beerupa kebutaan tidak terjadi.
Untuk mendiagnosis selulitis orbita tidaklah sulit karena manifestasi klinisnya yang khas
yaitu berupa demam, proptosis, kemosis, nyeri saat mata digerakkan, dan adanya penurunan
visus. Namun, pemeriksaan penunjang juga harus tetap dilaksanakan untuk menentukan
penyebab, terapi spesifik, dan komplikasi yang terjadi pada pasien. Beberapa pemeriksaan
penunjang yang dapat kita lakukan adalah foto rontgen untuk melihat adanya sinusitis, CT-
Scan, dan MRI. Selain itu kosnul ke bagian THT juga diperlukan apabila ada sinusitis yang
mendasari selulitis orbita. 3

Pengobatan selulitis orbita harus segera dimulai meskipun organisme penyebabnya belum
teridentifikasi. Penggunaan antibiotika spektrum luas bertujuan untuk mengeradikasi kuman
secara menyeluruh. Penggunaan antibiotika juga lebih diutamakan untuk life saving dan
menurunkan angka kematian. Pada pasien dengan penurunan visus mata secara signifikan
menandakan adanya neuritis retrobulbar. Selain itu, komplikasi dari selulitis orbita yang
tersering adalah kebutaan, kelumpuhan saraf kranial, abses otak, dan kematian. Erosi tulang
orbita dapat menyebabkan abses otak dan meningitis.

2
1.2 Rumusan Masalah
Case Report Session ini membahas tentang epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnose, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis selulitis orbita.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penulisan Case Report Session adalah untuk menambah wawasan tentang
selulitis orbita.

1.4 Manfaat Penelitian


Melalui Case Report Session ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan selulitis orbita kepada pembaca dan tentu penulis juga akan memahami
aspek klinis dari selulitis orbita tersebut.

1.5 Metode Penelitian


Penulisan makalah ini menggunakan tinjauan pustaka yang merujuk kepada berbagai
literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Orbita

2.1.1 Anatomi Orbita

Orbita adalah sebuah rongga yang secara sistematis digambarkan sebagai piramida dengan
empat dinding yang mengerucut ke posterior. Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak
paralel dan dipisahkan oleh dinding. Bentuk orbita dianalogikan sebagai sebuah pir dengan
nervus opticus sebagai tangkainya. Orbita berhubungan dengan sinus paranasal, sinus
frontalis di bagian atas, sinus maksilaris di bagian bawah, sinus etmoidalis dan sfenoid di
bagian medial.2

Secara anatomis orbita dibagi menjadi enam sisi, yaitu 5:

1. Dinding medial, terdiri dari os maxillaris, lacrimalis, ethmoid, dan sphenoid. Dinding
medial ini seringkali mengalami fraktur mengikuti sebuah trauma. Os ethmoid yang
menjadi salah satu struktur pembangun dinding medial merupakan salah satu lokasi
terjadinya sinusitis etmoidales yang merupakan salah satu penyebab tersering selulitis
orbita.
2. Dinding lateral, terdiri dari sebagian tulang sphenoid dan zygomaticum.
3. Langit- langit, berbentuk triangular, terdiri dari tulang sphenoid dan frontal. Defek
pada sisi ini menyebabkan proptosis pulsatil.
4. Lantai, terdiri dari os. Palatina, maxillaris, dan zygomaticum. Bagian posteromedial
dari tulang maksilaris relatif lemah dan seringkali terlibat dalam fraktur blowout.
5. Basis orbita, merupakan bukaan anterior orbita
6. Apeks orbita, merupakan bagian posterior orbita dimana keempat dinding orbita
bekonvergensi, memiliki dua orifisium yaitu kanal optikus dan fisura orbital superior

Rongga orbita terletak antara tulang tengkorak dan tulang wajah. Didalamnya terdapat
pembuluh darah, bola mata, dan traktus visual. Tulang orbita merupakan tulang besar yang
memiliki 4 dinding. Saat masa embriologi, pembentukan tulang orbita bersamaan dengan
tulang-tulang yang lain. Pembentukan tulang orbita dibagi atas 2 kelompok yaitu :

1. Sebagian tulang orbita, tulang sphenoid, dan tulang etmoid


2. Sebagian tulang orbita didekat wajah, tulang zygomatikum, tulang maksila, dan
lakrimal.
Kedalaman rongga orbita bervariasi antara 42-50 mm dan volumenya 26-29 cm 3.
Terdapat 7 tulang yang ikut meyusun tulang rongga orbita yaitu tulang frontal, zygomatikum,
etmoid, sphenoid, maksila, lakrimal, dan palatum. 4

4
Gambar 2.1: Anatomi Rongga Orbita

2.1.2 Septum orbital

Pada orbita terdapat suatu membran jaringan ikat yang tipis yang melapisi berbagai
struktur. Membran tersebut terdiri dari fascia bulbi, muscular sheats, intermuscular septa, dan
ligamen lockwood. Di dalam orbita terdapat struktur- struktur sebagai berikut: bagian n.
optikus, muskulus ekstraokular, kelenjar lakrimalis, kantung lakrimalis, arteri oftalmika,
nervus III, IV, dan VI, sebagian nervus V, dan fascia serta lemak. Septum orbital adalah
membran tipis yang berasal dari periosteum orbital dan masuk ke permukaan anterior
lempeng tarsal kelopak mata. Salah satu pertanda anatomis dalam menentukan lokasi
penyakit adalah septum orbital. Septum memisahkan kelopak mata
superfisial dari struktur

dalam orbital dan membentuk barier yang


mencegah infeksi dari kelopak mata menuju rongga orbita
56
.

2.1.3 Fisiologi Orbita

Kakunya struktur tulang orbita menyebabkan lubang anterior menjadi satu- satunya
tempat ekspansi. Setiap penambahan isi orbita yang terjadi di samping atau belakang bola
mata akan mendorong organ tersebut ke depan, hal ini disebut dengan proptosis. Penonjolan
bola mata adalah tanda utama penyakit orbita. Proptosis dapat disebabkan lesi- lesi ekspansif
yang dapat bersifat jinak atau ganas, berasal dari tulang, otot, saraf, pembuluh darah, atau

5
jaringan ikat. Selain itu dapat juga terjadi proptosis tanpa adanya penyakit orbita. Hal ini
disebut dengan pseudoproptosis. Pseudoproptosis dapat terjadi pada miopia tinggi, buftalmos,
dan retraksi kelopak mata. Proptosis sendiri tidak menimbulkan cedera kecuali membuat
kelopak mata tidak bisa ditutup, akan tetapi penyebab proptosis itu sendiri seringkali
berbahaya2.

Posisi mata ditentukan oleh lokasi massa. Ekspansi di dalam kerucut otot mendorong
mata lurus ke depan(proptosis aksialis), sedangkan massa yang tumbuh di luar kerucut otot
mendorong mata ke samping atau vertikal menjauhi masa tersebut(proptosis non aksialis).
Kelainan bilateral umumnya mengindikasikan adanya penyakit sistemik misalanya penyakit
Gambar 2. 2 Preseptal dan Post septal
graves. Istilah eksoftalmos sering dipakai untuk menggambarkan proptosis pada graves.
Proptosis pulsatil dapat disebabkan oleh fistula karotiko kavernosa, malformasi pembuluh
darah arteri orbita, atau transmisi denyut otak akibat tidak adanya atap orbita superior.
Proptosis yang bertambah dengan penekukan kepala ke depan atau dengan perasat valsava
merupakan suatu tanda adanya malformasi vena orbita atau meningokel 2.

Pada perubahan posisi bola mata, terutama apabila terjadi dengan cepat, mungkin
timbul interferensi mekanis terhadap gerakan bola mata yang cukup untuk membatasi
pergerakan mata dan diplopia. Dapat timbul nyeri akibat ekspansi cepat, peradangan, atau
infiltrasi pada saraf sensoris. Penglihatan biasanya tidak terpengaruh di awal kecuali bila lesi
berasal dari n. optikus atau langsung menekan saraf tersebut. Tanda lainnya dapat berupa
edema kelopak mata dan periorbital, diskolorisasi kulit, ptosis, kemosis, dan injeksi
epibulbar. Selain itu dapat juga terjadi perubahan fundus seperti pembengkakan cakram optik,
atrofi optik, kolateral optikosiliaris, dan lipatan koroid 2.

2.2 Definisi dan Epidemiologi

Selulitis orbita adalah peradangan supuratif jaringan ikat jarang intraorbita dibelakang
septum orbita.1 Selulitis orbita sering mengenai anak-anak dengan rentang umur 2-10 tahun.
Meskipun banyak pada anak-anak, selulitis orbita juga dapat terjadi pada orang dewasa
maupun lanjut usia yang mengalami gangguan kekebalan.2 Selulitis orbita pada bayi sering
disebabkan oleh sinusitis etmoidal yang merupakan penyebab eksoftalmus monookular pada
bayi. 1

2.3 Eiologi dan Faktor Risiko

6
Kuman penyebab selulitis orbita biasanya adalah pneumococcus, streptococcus, dan
1
staphylococcus. Beberapa keadaan yang bisa menjadi sumber masuknya kuman kedalam
rongga orbita adalah sinusitis, trauma, sepsis, dan lain-lain. 3 90% dari seluruh kasus selulitis
orbita merupakan kasus sekunder akibat adanya sinusitis bakterial akut maupun kronis.
Berikut ini beberapa penyebab selulitis orbita :

Tabel 2.1 : Cause of orbital cellulitis

CAUSE OF ORBITAL CELLULITIS


1. Extension from periorbital structures - Paranasal sinuses
- Face and eyelids
- Lacrimal sac ( dacryocystitis )
- Teeth ( dental infections )
2. Exogenous causes - Trauma
- Surgery
3. Endogenous causes - Bacteremia with septic embolizations
4. Intraorbital causes - Endophtalmitis
- Dacrioadenitis

2. 4 Patofisiologi

Beberapa mekanisme masuknya kuman kedalam ruang orbita bisa disebabkan oleh
beberapa mekanisme seperti trauma dan adanya riwayat infeksi sebelumnya seperti gigi
berlubang dan sinusitis.1 Rongga orbita dikelilingi oleh sinus-sinus paranasal dan sebagian
besar drainase vena sinus-sinus tersebut berjalan melalui orbita, sehingga apabila terjadi
sinusitis terutama sinusitis maksilaris, bakteri yang berasal dari sinus akan dengan mudah
masuk kedalam rongga orbita dan menyebabkan peradangan pada jaringan ikat longgar di
intraorbita. 3

Trauma kotor pada mata, terutama yang mengakibatkan perdarahan pada mata juga
bisa menjadi dasar terjadinya selulitis orbita. Pada trauma yang mengakibatkan perdarahan
pada mata, endotel pembuluh darah di mata menjadi tidak intak sehingga bakteri-bakteri yang
secara tidak disengaja masuk ke dalam mata melalui trauma akan mudah mencapai pembuluh
darah dan akhirnya mencapai ruang intraorbita dan meyebabkan terjadinya infeksi. 1 Infeksi
pada gigi juga memiliki prinsip patofisilogis yang sama dengan trauma. Infeksi pada gigi
yang sampai ke pembuluh darah akan memudahkan bakteri untuk masuk kedalam aliran
darah dan terjadilah bakteremia yang pada akhirnya bisa mencapai jaringan ikat intraorbita. 1

7
Penyakit yang mengenai fisura orbitalis superior menimbulkan kombinasi diplopia
khas, yang terjadi , yang terjadi akibat gangguan nervus oculomotorius, troclearis, dan
abducen, anestesi kornea dan wajah (nervus trigeminus divisi oftalmicus) dan mungkin
proptosis, yang dikenal dengan sindrom fisura orbita. Lesi di apeks orbita juga menimbulkan
disfungsi nervus opticus, (sindroma apeks orbita). Pada sindrom sinus cavernosus , terdapat
diplopia dan disfungsi trigeminus, kemungkinan besar mengenai ketiga divisinya. Proptosis
dapat terjadi jika terdapat bendungan vena, tetapi tidak terdapat disfungsi nervus opticus 2.

Patologi penampakan patologik selulitis orbital mirip seperti inflamasi supuratif


secara umum kecuali dalam beberapa aspek, yaitu 5:

1. Karena tidak terdapat sistem limfatik, agen protektif terbatas pada elemen fagositik
dari jaringan retikular orbital
2. Karena ruang terbatas, tekanan intraorbital meningkat sehingga mengaugmentasi
virulensi infeksi menyebabkan nekrosis dini dan ekstensif terhadap jaringan
3. Umumnya, infeksi menyebar sebagai tromboflebitis dari struktur sekitar

8
4. Apeks orbita adalah tempat masuk semua saraf dan pembuluh darah ke mata dan
tempat asal semua otot ekstraokular, kecuali oblique inferior.

Gambar 2.3. Stadium selulitis orbita

Menurut klasifikasi Chandler, secara klinis selulitis orbita dibagi dalam 5 stadium, yaitu 7
8
:

9
1. Stadium 1 : Edem inflamasi.
Kelopak mata membengkak dengan adanya edema orbital. Pembengkakan disebabkan
terganggunya drainase melalui pembuluh darah etmoid. Kongesti vena melalui vena
tidak berkatup menuju kelopak mata dan melalui vena oftalmik superior ke orbital.
2. Stadium 2 : Selulitis orbita.
Adanya infiltrasi difus pada jaringan orbita dengan adanya sel inflamasi. Kelopak
mata membengkak dan adanya kemosis konjungtiva dengan derajat proptosis dan
penurunan penglihatan.
3. Stadium 3 : Abses periosteal.
Material purulen yang terkumpul di periorbital dan pada dinding orbital. Edema
kelopak mata, kemosis konjungtiva, penurunan gerakan otot mata, proptosis,
penurunan penglihatan yang tergantung pada ukuran dan lokasi abses.
4. Stadium 4 : Abses orbita.
Terkumpulnya pus didalam otot mata. Proptosis, kemosis konjungtiva, penurunan
gerakan otot mata, hilangnya penglihatan pada kasus berat.
5. Stadium 5 : Trombosis sinus kavernosus.
Perluasan infeksi ke sinus kavernosus yang bisa sebabkan edema pada kedua kelopak
mata dan keterlibatan saraf karnial ketiga,kelima, dan keenam.
Sedangkan secara radiologis selulitis orbita diklasifikasikan kedalam 3 kategori utama
yaitu infiltrasi difus jaringan lemak, abses subperiosteal, dan abses orbita.

2.5 Manifestasi Klinis

Kelopak sangat edem, hiperemis


Mata proptosis, atau exoftalmus diplopia
Gangguan gerakan okular (ophthalmoplegia)
Nyeri pada mata
Perubahan penglihatan akibat adanya inflamasi ataupun kompresi pada saraf optik
Penurunan tajam penglihatan
Gangguan persepsi warna
RAPD (+)
Lapangan pandang abnormal
Perluasan sinus kavernosus dapat menyebabkan gangguan bilateral nervus kranialis II-
IV, disertai edema berat dan demam septik. Erosi tulang-tulang orbita dapat menyebabkan
abses otak dan meningitis 2 9.

2.6 Diagnosis

10
Dalam anamnesis harus ditanyakan faktor-faktor yang berisiko untuk terjadinya
selulitis orbita, diantaranya 2 10
:

Infeksi saluran nafas atas


Sinusitis
Radang pada gigi
Operasi dan trauma
Imunokopromise
Selulitis preseptal dan selulitis orbital, keduanya disertai dengan inflamasi palpebera,
sehingga sangatlah penting untuk melakukan pemeriksaan ocular yang lengkap. Harus
dicermati tanda-tanda sistemik, terutama pada anak. Evaluasi vital sign dan gejala
konstitusional.Periksa adnexa palpebral dan ocular untuk mencari tanda trauma local. Dapat
ditemukan limfadenopati cervical, submandibular, atau preaurikular. Limfa node preaurikular
yang tender dapat menandakan konjungtivitis adenoviral. Tes pengelihatan dan reaksi pupil,
pergerakan bola mata, bila terdapat gangguan dapat diperkirakan infeksi telah menjalar
sampai ke orbita. Bila terdapat RAPD diperkirakan terdapat kompresi saraf. Pada retina
terlihat tanda stasis pembuluh vena dengan edema papil. Adanya sakit kepala dan letargi
patut dicurigai sebagai kemungkinan meningitis. Beberapa tanda diatas terkadang belum
dapat ditemui pada awal infeksi. Lakukan evaluasi dengan cermat terhadap jaringan nekrosis
dan patut dilakukak pemeriksaan histopatologi pada lesi yang dicurigai.

Pemeriksaan Penunjang

1. Kultur Bakteri dilakukan dengan melakukan swab pada nasal dan konjungtiva, serta
mengambil sampel darah
2. Pemeriksaan rutin darah dengan hasil leukositosis
3. X-Ray untuk mengidentifikasi sinusitis
4. USG orbital untuk mendeteksi abses intraorbita
5. CT Scan dan MRI berguna untuk
a. Membedakan selulitis preseptal da postseptal
b. Mendeteksi perluasan ke intrakranial
c. Untuk menentukan kapan dan dimana akan dilakukan drainase abses orbita 5

CT Scan harus dilakukan pada pasien dengan perubahan penglihatan, proptosis,


optalmoplegi, gangguan sistem saraf,, dan kurangnya perbaikan setelah pemberian obat
dalam 24-48 jam. Pada CT Scan dapat ditemukan perluasan rongga sinus ke orbital space,
edema pada otot ekstraokular, abses orbital ataupun subperiosteal 11.

11
Gambar 2. 4 CT scan selulitis orbita(kiri) dan selulitis preseptal (kanan)

2.7 Tatalaksana

Pengobatan harus segera dimulai sebelum organisme penyebabnya diidentifikasi. Segera


setelah didapatkan biakan hidung, konjungtiva dan darah, harus diberikan antibiotik
intravena. Terapi antibiotik awal harus mengatasi Stafilokokus, H.Influenza, dan bakteri
anaerob. Sebagian besar kasus berespon cepat terhadap pemberian antibiotik. Kasus yang
tidak berespon mungkin memerlukan drainase sinus paranasal melalui pembedahan 2 8.

1. Terapi antibiotik intensif. Setelah memperoleh hasil biakan kuman, pemberian


antibiotik intravena segera dilakukan. Untuk infeksi stafilokokus diberikan high dose
penisilinase-resisten antibiotik dikombinasikan dengan ampisilin.
Untuk hemofilus influenza terutama pada anak, perlu ditambahkan kloramfenikol atau
asam klavulanat. Cefotaxim, Siprofloksasin atau Vancomisin bisa menjadi alternatif
sebagai kombinasi dari oxacilin dan penisilin.
2. Analgetik dan anti inflamasi untuk kontrol nyeri dan demam.
3. Dekongestan hidung dan vasokonstriktor membantu drainase sinus paranasal.
Konsultasi dengan ahli otolaringologi sejak dini sangat bermanfaat.
4. Intervensi operasi diindikasikan jika tidak terdapat respon terhadap antibiotik,
penurunan penglihatan, adanya abses orbital dan subperiosteal.
5. Urgent drainase (dalam 24 jam sejak tampilan klinis) direkomendasikan untuk
dilakukan pada :
a. Abses yang besar
b. Abses orbita superior atau inferior yang luas
c. Komplikasi intrakranial
d. Infeksi yang telah diketahui dari gigi yang diduga disebabkan oleh kuman
anaerob,

2.8 Diagnosis Banding

Selulitis preseptal

12
o Pada selulitis preseptal, pembengkakan kelopak mata dapat meluas melampaui
orbital superior rim hingga alis
o Pada selulitis orbital, pembengkakan kelopak mata terbatas pada margin
inferior orbital superior rim, karena adanya penghalang struktural berupa
septum orbital.
o Gerakan otot mata tidak terpengaruh pada preseptal selulitis, tapi berpengaruh
pada orbital selulitis

Abses Subperiosteal
Abses Orbita
Reaksi alergi : sering bilateral dan berespon dengan anti histamin.
Periorbital udem : karena hipoalbuminemia, bilateral, tidak merah dan nyeri, dan
disertai udem dibagian tubuh lain.
Pseudotumor orbital : inflamasi idiopatic pada orbital dengan tampilan proptosis,
nyeri mata, bengkak, injeksi konjungtiva dan oftalmoplegi.
Tumor pada mata : Rhabdomyosarcoma, retinoblastoma, dan neuroblastoma yang
juga dengan tampilan proptosis.
Orbital trauma
Thyroid-associated ophthalmopathy
Orbital myositis 10 11
2.9 Komplikasi

Komplikasi hilangnya penglihatan dapat disebabkan oleh


iskemik retinopathy dan neuropathy optic
karena adanya peningkatan tekanan
intraorbita. Terhambatnya gerakan okular
(oftalmoplegi) disebabkan oleh peradangan
pada jaringan lunak. Sekuele intrakranial
karena penyebaran infeksi bisa berupa
trombosis sinus kavernosus, menigitis
dan abses serebral . Keterlibatan saraf optik dapat menyebabkan
Gambar 2.5 Tulang pembentuk Rongga
papiludem dan neuritis yang dengan cepat dapat menjadi atrofi
Orbita
dan berakhir dengan kebutaan. Faktor yang menyebabkan timbulnya atrofi ialah faktor
mekanik, tekanan pada retina sentral dan arteri lainnya, inflamasi orbita dapat meluas hingga
ke saraf optik dan menimbulkan nekrosis ataupun abses. 1

13
2.10 Prognosis

Dengan pengenalan dan penanganan yang tepat, prognosis untuk sembuh total tanpa
komplikasi sangat baik. Morbiditas terjadi dari penyebaran patogen ke orbita yang dapat
mengancam penglihatan dan berlanjut ke penyebaran CNS. Selulitis orbital dapat berlanjut
menjadi abses orbital dan menyebar secara posterior menyebabkan trombosis sinus
kavernosus. Penyebaran sistemik dapat menyebabkan meningitis dan sepsis. Pasien yang
mengalami imunokompromais atau diabetes memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk
mengalami infeksi fungal. Manajemen agresif dengan foto polos otak dan terapi IV
diindikasikan pada pasien ini 10.

14
BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berusia 47 tahun dirawat di Bangsal Mata RS. Dr. M. Djamil
Padang tanggal 19 April 2017 dengan:

Keluhan Utama:

Mata kanan bengkak dan menonjol sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :

- Mata kanan bengkak dan menonjol sejak 2 hari yang lalu disertai dengan penglihatan
mata kanan kabur.
- Mata bengkak dan menonjol dirasakan setelah pasien pulang dari beraktifitas, pasien
seorang petani.
- Sakit kepala (+)
- Muntah (+), 1 hari sebelum masuk rumah sakit, muntah sebanyak 1 x
- Keluhan sering bersin-bersin dan hidung tersumbat pagi hari (-)
- Gatal (-)
- Demam (-)
- Pasien kiriman dari dr. Sp.M di Solok

Riwayat penyakit dahulu :

- Riwayat Diabetes melitus tidak ada


- Riwayat hipertensi tidak ada.
- Riwayat cabut gigi tahun 1990
- Riwayat sakit gigi (+), sakit gigi dirasakan 1 bulan sebelum masuk rumah sakit
- Riwayat penyakit asam urat (+)

Riwayat pekerjaan : Petani

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Sedang

15
Kesadaran : CMC

Tekanan Darah :120/80 mmHg

Nadi : 84x/menit

Nafas : 16x/menit

Suhu : 36,7 0C

Keadaan gizi : baik

Tinggi badan : 165 cm

Berat badan : 64 kg

Sianosis : tidak ada

Edema : tidak ada

Anemis : tidak ada

Ikterus :tidak ada

Kulit : Tidak ada kelainan

Kelenjar Getah Bening : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Kepala : tidak ada kelainan

Rambut : tidak ada kelainan

Mata : Status ophtalmikus

THT : Tidak ada kelainan

Gigi dan mulut : tidak ada kelainan

Leher : tidak ada kelainan

Torak :

Paru : auskultasi vesikuler, ronki (-), wheezing (-)

Jantung : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)

16
Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+)

Punggung : tidak ada kelainan

Alat kelamin : tidak diperiksa

Anus : tidak ada kelainan

Ekstremitas : Defisit neurologis (-), edema (-)

Status Oftalmikus

STATUS
OD OS
OFTALMIKUS

Visus tanpa koreksi 0 6/6

Visus dengan koreksi

Refleks fundus + +

Trikiasis (-) Trikiasis (-)


Silia / supersilia
Madarosis (-) Madarosis (-)

Palpebra superior Edema (+) Edema (-)

Palpebra inferior Edema (+) Edema (-)

Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal

Hiperemis (+), Hiperemis (-), Papil (-),


Konjungtiva Tarsalis
keosis (+) di inferior folikel (-), sikatrik (-)

Konjungtiva Forniks Hiperemis (+) Hiperemis (-)

Hiperemis (+)

Injeksi siliar (+) Injeksi siliar (-)


Konjungtiva Bulbii
Injeksi konjungtiva Injeksi konjunktiva (-)

(+)

Sklera Warna putih Warna putih

Kornea Bening Bening

Kamera Okuli Agak dalam Cukup dalam

17
Anterior

Iris Coklat Coklat

Bulat, RP (+/+),
Pupil diameter 5-6 mm, Bulat RP (+/+) diameter 2-3 mm
RAPD (+)

Lensa Keruh Bening

Korpus vitreum Jernih Jernih

Fundus :

- Media Relatif bening Bening

Batas kabur,c/d sulit


- Papil optikus Bulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4
dinilai

- Makula Refleks fovea (+) Reflek fovea (+)

- aa/vv retina 2:3 2:3

Perdarahan (-),
- Retina Perdarahan (-), eksudat (-)
eksudat (+)

Tekanan bulbus okuli

Posisi bulbus okuli Eksotropia 150 Ortho

Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Gambar

Pemeriksaan Penunjang
Hb : 13,5 g/dl
Leukosit : 7.770 /mm3
Hematokrit : 40%

18
Trombosit : 217.000 /mm3
PT : 13,0 detik
APTT : 53,6 detik
Ur / Cr : 17 / 0,9 mg/dl
Na / K / Cl : 135 / 3,7 / 101 mmol/L

Diagnosis Kerja
Selulitis orbita OD
Diagnosis banding

Abses subperiosteal OD

Abses orbita OD

Terapi :

Terapi medika mentosa

1. Ceftriaxone vial 1 gr 2 x 1 (IV) skin test


2. Paracetamol 3 x 500 mg p.o
3. Cendolyteers ed 6 x 1 OD
4. Cloramfenikol eo 3 x OD

Prognosis :

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Follow Up 28 April 2017


Jam 17.00
S/ Bengkak mata kanan (+)
O/
Status Oftalmikus OD OS
Visus tanpa koreksi 0 6/6
Visus dengan koreksi
Refleks Fundus + +
Silia/ Suprasilia Madarosis(-), Trikiasis (-) Madarosis(-), Trikiasis (-)
Palpebra Superior Edema (+) Edema (-)
Palpebra Inferior Edema (+) Edema (-)
Aparat Lakrimal Lakrimasi (+) N Lakrimasi (+) N
Folikel (-), hiperemis (+), Folikel (-), hiperemis (-),
Konjungtiva Tarsalis
papil (-) papil (-)
Folikel (-), hiperemis (+), Folikel (-), hiperemis (-),
Konjungtiva Fornics
papil (-) papil (-)

19
Injeksi konjungtiva (+), Injeksi konjungtiva (-),
Konjungtiva Bulbi
injeksi siliar (+) injeksi siliar (-)
Sklera Hiperemis Putih
Kornea Bening Bening
Kamera Okuli Anterior Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Bulat, Reflek +/+, 4-5 Bulat, reflek +/+, 3
Pupil
mm, RAPD (+) mm
Lensa Keruh Bening
Funduskopi
Media Bening Bening
Bulat,batas kabur, c/d Bulat, batas tegas, c/d
Papil Optikus
sulit dinilai 0,3-0,4
Aa: vv. Retina 2:3 2:3
Retina Perdarahan (-), eksudat (-) Perdaahan (-), eksudat (-)
Makula Refleks fovea (+) Reflek fovea (+)
Tekanan Bulbus Okuli
Gerakan Bulbus Okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Posisi Bulbus Okuli Eksotropia Ortho
A/ selulitis orbita OD + edem papil OD
P/ Ceftriaxone vial gr 2 x 1 gr (IV)

Paracetamol 3 x 500 mg p.o


Cendolyteers ed 6 x 1 OD
Cloramfenikol eo 3 x OD

20
BAB IV
ANALISIS KASUS

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 47 tahun dirawat di bangsal mata
RSUP Dr. M Djamil Padang tanggal 19 April 2017 dengan diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada mata, serta dibantu dengan pemeriksaan
penunjang.
Melalui autoanamnesa didapatkan keluhan utama pasien adalah mata kanan
membengkak dan menonjol sejak dua hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan pandangan
kabur pada mata kanan dan sakit kepala. Keluhan hidung berair dan tersumbat dipagi hari
disangkal, riwayat trauma pada mata disangkal, riwayat diabetes melitus dan hipertensi
disangkal. Pasien memiliki riwayat cabut gigi pada tahun 1990, dan pasien memiliki
riwayat sakit gigi 3 hari sebelum mengeluhkan mata bengkak, pasien sudah diketahui
memiliki beberapa lubang pada giginya namun tidak diobati karena dianggap tidak
mengganggu. Sebelumnya pasien berobat ke Sp. M di Solok pasien kemudian dirujuk ke
RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada mata kanan diperoleh V=0, edema palpebra
superior dan inferior, hiperemis pada konjungtiva bulbi, tarsalis dan fornik, kemosis pada
bagian inferior, sedangkan pada mata kiri melalui pemeriksaan visus dan inspeksi tidak
ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan pupil kedua mata, didapatkan pupil bulat, refleks
pupil mata kanan + / + dan mata kiri + / +, diameter pupil kanan 5-6 mm dan diameter
pupil kiri 2-3 mm. Iris berwarna coklat..
Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada korban didapatkan nilai PT dan
APTT melebihi nilai rujukan dan neutrofilia relatif. Pada pemeriksaan CT scan orbita
diperoleh hasil sesuai gambaran selulitis orbita kanan dengan keterlibatan lemak
retrobulbar dan otot rektus lateral dan superior. Untuk menilai faktor risiko selulitis orbita
pada pasien, dilakukan konsul ke bagian THT-KL namun tidak ditemukan kelainan di
bidang THT-KL.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada kasus ini diperoleh diagnosis

21
kerja selulitis orbita kanan dengan dignosa banding selulitis preseptal. Diagnosa selulitis
preseptal dapat disingkirkan melalui pemeriksaan fisik gerak bola mata dan tajam
penglihatan dimana pada kasus selulitis preseptal, tidak terdapat gangguan gerak bola mata
dan penurunan tajam visus, sedangkan pada pasien ini telah terjadi penurunan gerak bola
mata dan penurunan tajam visus 12. Diagnosa selulitis orbita juga diperkuat dengan hasil CT
scan orbita yang menunjukkan hasil sesuai gambaran selulitis orbita kanan.
Selulitis orbita pada kasus ini ditemukan pada laki-laki berusia 47 tahun. Hal ini tidak
sejalan dengan Ilyas dkk yang menemukan insiden selulitis orbita pada umumnya, lebih
sering terjadi pada anak-anak daripada usia dewasa (kisaran tersering usia 7-12 tahun),
sedangkan dari segi jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan frekuensi antara jenis kelamin
pria dan wanita pada pasien selulitis orbita dewasa, namun pada anak-anak selulitis orbita
dilaporkan dua kali lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan 12.

Selulitis orbita terjadi dalam 3 situasi berikut:

(1) perluasan infeksi dari stuktur periorbital, dimana sinus paranasal merupakan penyebab
tersering.

(2) inokulasi langsung orbita setelah adanya trauma, operasi, atau infeksi kulit

(3) penyebaran hematogen dari bakteremia, misalnya dari fokus- fokus seperti otitis media
dan pneumonia (1). Pada pasien ini beberapa faktor risiko utama telah disingkirkan melalui
berbagai pemeriksaan dan anamnesis yang dilakukan. Faktor risiko terkuat yang dapat
digunakan untuk menjelaskan kondisi pasien saat ini adalah adanya riwayat sakit gigi dan
ekstraksi gigi pada pasien.

Organisme penyebab tersering pada selulitis orbita adalah S. pneumoni dan S.


aureus terutama pada kasus trauma, dapat juga S group A, S milleri, H influenza dan
bakteri gram negatif anaerob lainnya, sedangkan pada lansia yang menderita diabetes dan
imunokompromise kuman tersering adalah zigomicota (3). Pada kuman penyabab selulitis
orbita tidak dapat ditentukan dikarenakan tidak dilakukannya pemeriksaan mikrobiologis,
namun dengan menimbang faktor risiko kebersihan mulut maka kemungkinan dapat
ditemukan kuman yang sama dengan rongga mulut seperti Bacteroides.

Saat ini pasien diberikan pengobatan antibiotik ceftriaxon 2 x 1 gr IV, dan


kloramfenikol tetes mata 3 x sehari pada mata kanan untuk mengobati dan mencegah
terjadinya infeksi yang meluas. Pemberian antibiotik spektrum luas juga dilakukan karena

22
mungkin saja infeksi disebabkan oleh bakteri dan mencegah terjadinya infeksi
sekunder. Pasien juga memperoleh terapi parasetamol untuk mengurangi sakit kepala.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta ; 2010. p: 102.
2. Vaughan, D.G, Asbury,T., Eva PR. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika,
Jakarta ; 2000. p : 255-6
3. American Academy of Opthalmology. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System. American
Academy of Opthalmology . Singapore : 2011. p: 41-4
4. Guthof, RF, Katowitz, JA. Essentials in Opthalmology: Oculoplastic and Orbit.
Springer Berlin Heidenberg. New York : 2007.
5. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New age international; 2007.
6. Kwitko GM. Preseptal cellulitis. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/121 8009-overview. 2012. April 2017
7. Heni Riyanto, Balgis Desy, Hendrian Dwi Kaloso, Soebagyo. Orbital Cellulitis and
Endophthalmitis Associated with Odontogenic Paranasal Sinusitis. Jurnal Oftalmologi
Indonesia (7) 1 ; 2009.
8. Imtiaz A. Chaudhry. The Hot Orbit: Orbital Cellulitis. Middle East African Journal of
Ophthalmology (19) 1 ; 2012.
9. Alan Ehrlich, MD. Orbital cellulitis. Diakses dari
https://www.dynamed.com/topics/dmp~AN~T115737#Overview-and-
Recommendations. April 2017.
10. Seongmu Lee, MD, Michael T. Yen, MD . Management of preseptal and orbital
cellulitis.
11. Peds Stanford. Periorbital and orbital cellulitis. Diakses dari
(http://peds.stanford.edu/Rotations/blue_team/documents/Periorbital_and_Orbital_Cel
lulitis_Summary.pdf) ; April 2017.
12. The infectious disease manual. David wilks. Masschushette : blackwell sciece Ltd.

Page 109-110

23

Anda mungkin juga menyukai