Selulitis Orbita
Disusun Oleh:
Preseptor :
dr. Andrini Ariesti, Sp.M
BAGIAN MATA
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
Mekanisme dasar terjadinya selulitis orbita adalah bakteremia yaitu masuknya kuman
yang menjadi agen penyebab kedalam pembuluh darah dan berhasil mencapai rongga
intraorbita. Setelah kuman mencapai rongga intraorbita, kuman akan menetap dan
mengaktifkan respon imnulogis tubuh yang memicu terjadinya proses peradangan di jaringan
ikat longgar intraorbita. 2
Pengobatan selulitis orbita harus segera dimulai meskipun organisme penyebabnya belum
teridentifikasi. Penggunaan antibiotika spektrum luas bertujuan untuk mengeradikasi kuman
secara menyeluruh. Penggunaan antibiotika juga lebih diutamakan untuk life saving dan
menurunkan angka kematian. Pada pasien dengan penurunan visus mata secara signifikan
menandakan adanya neuritis retrobulbar. Selain itu, komplikasi dari selulitis orbita yang
tersering adalah kebutaan, kelumpuhan saraf kranial, abses otak, dan kematian. Erosi tulang
orbita dapat menyebabkan abses otak dan meningitis.
2
1.2 Rumusan Masalah
Case Report Session ini membahas tentang epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnose, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis selulitis orbita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Orbita
Orbita adalah sebuah rongga yang secara sistematis digambarkan sebagai piramida dengan
empat dinding yang mengerucut ke posterior. Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak
paralel dan dipisahkan oleh dinding. Bentuk orbita dianalogikan sebagai sebuah pir dengan
nervus opticus sebagai tangkainya. Orbita berhubungan dengan sinus paranasal, sinus
frontalis di bagian atas, sinus maksilaris di bagian bawah, sinus etmoidalis dan sfenoid di
bagian medial.2
1. Dinding medial, terdiri dari os maxillaris, lacrimalis, ethmoid, dan sphenoid. Dinding
medial ini seringkali mengalami fraktur mengikuti sebuah trauma. Os ethmoid yang
menjadi salah satu struktur pembangun dinding medial merupakan salah satu lokasi
terjadinya sinusitis etmoidales yang merupakan salah satu penyebab tersering selulitis
orbita.
2. Dinding lateral, terdiri dari sebagian tulang sphenoid dan zygomaticum.
3. Langit- langit, berbentuk triangular, terdiri dari tulang sphenoid dan frontal. Defek
pada sisi ini menyebabkan proptosis pulsatil.
4. Lantai, terdiri dari os. Palatina, maxillaris, dan zygomaticum. Bagian posteromedial
dari tulang maksilaris relatif lemah dan seringkali terlibat dalam fraktur blowout.
5. Basis orbita, merupakan bukaan anterior orbita
6. Apeks orbita, merupakan bagian posterior orbita dimana keempat dinding orbita
bekonvergensi, memiliki dua orifisium yaitu kanal optikus dan fisura orbital superior
Rongga orbita terletak antara tulang tengkorak dan tulang wajah. Didalamnya terdapat
pembuluh darah, bola mata, dan traktus visual. Tulang orbita merupakan tulang besar yang
memiliki 4 dinding. Saat masa embriologi, pembentukan tulang orbita bersamaan dengan
tulang-tulang yang lain. Pembentukan tulang orbita dibagi atas 2 kelompok yaitu :
4
Gambar 2.1: Anatomi Rongga Orbita
Pada orbita terdapat suatu membran jaringan ikat yang tipis yang melapisi berbagai
struktur. Membran tersebut terdiri dari fascia bulbi, muscular sheats, intermuscular septa, dan
ligamen lockwood. Di dalam orbita terdapat struktur- struktur sebagai berikut: bagian n.
optikus, muskulus ekstraokular, kelenjar lakrimalis, kantung lakrimalis, arteri oftalmika,
nervus III, IV, dan VI, sebagian nervus V, dan fascia serta lemak. Septum orbital adalah
membran tipis yang berasal dari periosteum orbital dan masuk ke permukaan anterior
lempeng tarsal kelopak mata. Salah satu pertanda anatomis dalam menentukan lokasi
penyakit adalah septum orbital. Septum memisahkan kelopak mata
superfisial dari struktur
Kakunya struktur tulang orbita menyebabkan lubang anterior menjadi satu- satunya
tempat ekspansi. Setiap penambahan isi orbita yang terjadi di samping atau belakang bola
mata akan mendorong organ tersebut ke depan, hal ini disebut dengan proptosis. Penonjolan
bola mata adalah tanda utama penyakit orbita. Proptosis dapat disebabkan lesi- lesi ekspansif
yang dapat bersifat jinak atau ganas, berasal dari tulang, otot, saraf, pembuluh darah, atau
5
jaringan ikat. Selain itu dapat juga terjadi proptosis tanpa adanya penyakit orbita. Hal ini
disebut dengan pseudoproptosis. Pseudoproptosis dapat terjadi pada miopia tinggi, buftalmos,
dan retraksi kelopak mata. Proptosis sendiri tidak menimbulkan cedera kecuali membuat
kelopak mata tidak bisa ditutup, akan tetapi penyebab proptosis itu sendiri seringkali
berbahaya2.
Posisi mata ditentukan oleh lokasi massa. Ekspansi di dalam kerucut otot mendorong
mata lurus ke depan(proptosis aksialis), sedangkan massa yang tumbuh di luar kerucut otot
mendorong mata ke samping atau vertikal menjauhi masa tersebut(proptosis non aksialis).
Kelainan bilateral umumnya mengindikasikan adanya penyakit sistemik misalanya penyakit
Gambar 2. 2 Preseptal dan Post septal
graves. Istilah eksoftalmos sering dipakai untuk menggambarkan proptosis pada graves.
Proptosis pulsatil dapat disebabkan oleh fistula karotiko kavernosa, malformasi pembuluh
darah arteri orbita, atau transmisi denyut otak akibat tidak adanya atap orbita superior.
Proptosis yang bertambah dengan penekukan kepala ke depan atau dengan perasat valsava
merupakan suatu tanda adanya malformasi vena orbita atau meningokel 2.
Pada perubahan posisi bola mata, terutama apabila terjadi dengan cepat, mungkin
timbul interferensi mekanis terhadap gerakan bola mata yang cukup untuk membatasi
pergerakan mata dan diplopia. Dapat timbul nyeri akibat ekspansi cepat, peradangan, atau
infiltrasi pada saraf sensoris. Penglihatan biasanya tidak terpengaruh di awal kecuali bila lesi
berasal dari n. optikus atau langsung menekan saraf tersebut. Tanda lainnya dapat berupa
edema kelopak mata dan periorbital, diskolorisasi kulit, ptosis, kemosis, dan injeksi
epibulbar. Selain itu dapat juga terjadi perubahan fundus seperti pembengkakan cakram optik,
atrofi optik, kolateral optikosiliaris, dan lipatan koroid 2.
Selulitis orbita adalah peradangan supuratif jaringan ikat jarang intraorbita dibelakang
septum orbita.1 Selulitis orbita sering mengenai anak-anak dengan rentang umur 2-10 tahun.
Meskipun banyak pada anak-anak, selulitis orbita juga dapat terjadi pada orang dewasa
maupun lanjut usia yang mengalami gangguan kekebalan.2 Selulitis orbita pada bayi sering
disebabkan oleh sinusitis etmoidal yang merupakan penyebab eksoftalmus monookular pada
bayi. 1
6
Kuman penyebab selulitis orbita biasanya adalah pneumococcus, streptococcus, dan
1
staphylococcus. Beberapa keadaan yang bisa menjadi sumber masuknya kuman kedalam
rongga orbita adalah sinusitis, trauma, sepsis, dan lain-lain. 3 90% dari seluruh kasus selulitis
orbita merupakan kasus sekunder akibat adanya sinusitis bakterial akut maupun kronis.
Berikut ini beberapa penyebab selulitis orbita :
2. 4 Patofisiologi
Beberapa mekanisme masuknya kuman kedalam ruang orbita bisa disebabkan oleh
beberapa mekanisme seperti trauma dan adanya riwayat infeksi sebelumnya seperti gigi
berlubang dan sinusitis.1 Rongga orbita dikelilingi oleh sinus-sinus paranasal dan sebagian
besar drainase vena sinus-sinus tersebut berjalan melalui orbita, sehingga apabila terjadi
sinusitis terutama sinusitis maksilaris, bakteri yang berasal dari sinus akan dengan mudah
masuk kedalam rongga orbita dan menyebabkan peradangan pada jaringan ikat longgar di
intraorbita. 3
Trauma kotor pada mata, terutama yang mengakibatkan perdarahan pada mata juga
bisa menjadi dasar terjadinya selulitis orbita. Pada trauma yang mengakibatkan perdarahan
pada mata, endotel pembuluh darah di mata menjadi tidak intak sehingga bakteri-bakteri yang
secara tidak disengaja masuk ke dalam mata melalui trauma akan mudah mencapai pembuluh
darah dan akhirnya mencapai ruang intraorbita dan meyebabkan terjadinya infeksi. 1 Infeksi
pada gigi juga memiliki prinsip patofisilogis yang sama dengan trauma. Infeksi pada gigi
yang sampai ke pembuluh darah akan memudahkan bakteri untuk masuk kedalam aliran
darah dan terjadilah bakteremia yang pada akhirnya bisa mencapai jaringan ikat intraorbita. 1
7
Penyakit yang mengenai fisura orbitalis superior menimbulkan kombinasi diplopia
khas, yang terjadi , yang terjadi akibat gangguan nervus oculomotorius, troclearis, dan
abducen, anestesi kornea dan wajah (nervus trigeminus divisi oftalmicus) dan mungkin
proptosis, yang dikenal dengan sindrom fisura orbita. Lesi di apeks orbita juga menimbulkan
disfungsi nervus opticus, (sindroma apeks orbita). Pada sindrom sinus cavernosus , terdapat
diplopia dan disfungsi trigeminus, kemungkinan besar mengenai ketiga divisinya. Proptosis
dapat terjadi jika terdapat bendungan vena, tetapi tidak terdapat disfungsi nervus opticus 2.
1. Karena tidak terdapat sistem limfatik, agen protektif terbatas pada elemen fagositik
dari jaringan retikular orbital
2. Karena ruang terbatas, tekanan intraorbital meningkat sehingga mengaugmentasi
virulensi infeksi menyebabkan nekrosis dini dan ekstensif terhadap jaringan
3. Umumnya, infeksi menyebar sebagai tromboflebitis dari struktur sekitar
8
4. Apeks orbita adalah tempat masuk semua saraf dan pembuluh darah ke mata dan
tempat asal semua otot ekstraokular, kecuali oblique inferior.
Menurut klasifikasi Chandler, secara klinis selulitis orbita dibagi dalam 5 stadium, yaitu 7
8
:
9
1. Stadium 1 : Edem inflamasi.
Kelopak mata membengkak dengan adanya edema orbital. Pembengkakan disebabkan
terganggunya drainase melalui pembuluh darah etmoid. Kongesti vena melalui vena
tidak berkatup menuju kelopak mata dan melalui vena oftalmik superior ke orbital.
2. Stadium 2 : Selulitis orbita.
Adanya infiltrasi difus pada jaringan orbita dengan adanya sel inflamasi. Kelopak
mata membengkak dan adanya kemosis konjungtiva dengan derajat proptosis dan
penurunan penglihatan.
3. Stadium 3 : Abses periosteal.
Material purulen yang terkumpul di periorbital dan pada dinding orbital. Edema
kelopak mata, kemosis konjungtiva, penurunan gerakan otot mata, proptosis,
penurunan penglihatan yang tergantung pada ukuran dan lokasi abses.
4. Stadium 4 : Abses orbita.
Terkumpulnya pus didalam otot mata. Proptosis, kemosis konjungtiva, penurunan
gerakan otot mata, hilangnya penglihatan pada kasus berat.
5. Stadium 5 : Trombosis sinus kavernosus.
Perluasan infeksi ke sinus kavernosus yang bisa sebabkan edema pada kedua kelopak
mata dan keterlibatan saraf karnial ketiga,kelima, dan keenam.
Sedangkan secara radiologis selulitis orbita diklasifikasikan kedalam 3 kategori utama
yaitu infiltrasi difus jaringan lemak, abses subperiosteal, dan abses orbita.
2.6 Diagnosis
10
Dalam anamnesis harus ditanyakan faktor-faktor yang berisiko untuk terjadinya
selulitis orbita, diantaranya 2 10
:
Pemeriksaan Penunjang
1. Kultur Bakteri dilakukan dengan melakukan swab pada nasal dan konjungtiva, serta
mengambil sampel darah
2. Pemeriksaan rutin darah dengan hasil leukositosis
3. X-Ray untuk mengidentifikasi sinusitis
4. USG orbital untuk mendeteksi abses intraorbita
5. CT Scan dan MRI berguna untuk
a. Membedakan selulitis preseptal da postseptal
b. Mendeteksi perluasan ke intrakranial
c. Untuk menentukan kapan dan dimana akan dilakukan drainase abses orbita 5
11
Gambar 2. 4 CT scan selulitis orbita(kiri) dan selulitis preseptal (kanan)
2.7 Tatalaksana
Selulitis preseptal
12
o Pada selulitis preseptal, pembengkakan kelopak mata dapat meluas melampaui
orbital superior rim hingga alis
o Pada selulitis orbital, pembengkakan kelopak mata terbatas pada margin
inferior orbital superior rim, karena adanya penghalang struktural berupa
septum orbital.
o Gerakan otot mata tidak terpengaruh pada preseptal selulitis, tapi berpengaruh
pada orbital selulitis
Abses Subperiosteal
Abses Orbita
Reaksi alergi : sering bilateral dan berespon dengan anti histamin.
Periorbital udem : karena hipoalbuminemia, bilateral, tidak merah dan nyeri, dan
disertai udem dibagian tubuh lain.
Pseudotumor orbital : inflamasi idiopatic pada orbital dengan tampilan proptosis,
nyeri mata, bengkak, injeksi konjungtiva dan oftalmoplegi.
Tumor pada mata : Rhabdomyosarcoma, retinoblastoma, dan neuroblastoma yang
juga dengan tampilan proptosis.
Orbital trauma
Thyroid-associated ophthalmopathy
Orbital myositis 10 11
2.9 Komplikasi
13
2.10 Prognosis
Dengan pengenalan dan penanganan yang tepat, prognosis untuk sembuh total tanpa
komplikasi sangat baik. Morbiditas terjadi dari penyebaran patogen ke orbita yang dapat
mengancam penglihatan dan berlanjut ke penyebaran CNS. Selulitis orbital dapat berlanjut
menjadi abses orbital dan menyebar secara posterior menyebabkan trombosis sinus
kavernosus. Penyebaran sistemik dapat menyebabkan meningitis dan sepsis. Pasien yang
mengalami imunokompromais atau diabetes memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk
mengalami infeksi fungal. Manajemen agresif dengan foto polos otak dan terapi IV
diindikasikan pada pasien ini 10.
14
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki berusia 47 tahun dirawat di Bangsal Mata RS. Dr. M. Djamil
Padang tanggal 19 April 2017 dengan:
Keluhan Utama:
Mata kanan bengkak dan menonjol sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
- Mata kanan bengkak dan menonjol sejak 2 hari yang lalu disertai dengan penglihatan
mata kanan kabur.
- Mata bengkak dan menonjol dirasakan setelah pasien pulang dari beraktifitas, pasien
seorang petani.
- Sakit kepala (+)
- Muntah (+), 1 hari sebelum masuk rumah sakit, muntah sebanyak 1 x
- Keluhan sering bersin-bersin dan hidung tersumbat pagi hari (-)
- Gatal (-)
- Demam (-)
- Pasien kiriman dari dr. Sp.M di Solok
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
15
Kesadaran : CMC
Nadi : 84x/menit
Nafas : 16x/menit
Suhu : 36,7 0C
Berat badan : 64 kg
Torak :
16
Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+)
Status Oftalmikus
STATUS
OD OS
OFTALMIKUS
Refleks fundus + +
Hiperemis (+)
(+)
17
Anterior
Bulat, RP (+/+),
Pupil diameter 5-6 mm, Bulat RP (+/+) diameter 2-3 mm
RAPD (+)
Fundus :
Perdarahan (-),
- Retina Perdarahan (-), eksudat (-)
eksudat (+)
Gambar
Pemeriksaan Penunjang
Hb : 13,5 g/dl
Leukosit : 7.770 /mm3
Hematokrit : 40%
18
Trombosit : 217.000 /mm3
PT : 13,0 detik
APTT : 53,6 detik
Ur / Cr : 17 / 0,9 mg/dl
Na / K / Cl : 135 / 3,7 / 101 mmol/L
Diagnosis Kerja
Selulitis orbita OD
Diagnosis banding
Abses subperiosteal OD
Abses orbita OD
Terapi :
Prognosis :
19
Injeksi konjungtiva (+), Injeksi konjungtiva (-),
Konjungtiva Bulbi
injeksi siliar (+) injeksi siliar (-)
Sklera Hiperemis Putih
Kornea Bening Bening
Kamera Okuli Anterior Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Bulat, Reflek +/+, 4-5 Bulat, reflek +/+, 3
Pupil
mm, RAPD (+) mm
Lensa Keruh Bening
Funduskopi
Media Bening Bening
Bulat,batas kabur, c/d Bulat, batas tegas, c/d
Papil Optikus
sulit dinilai 0,3-0,4
Aa: vv. Retina 2:3 2:3
Retina Perdarahan (-), eksudat (-) Perdaahan (-), eksudat (-)
Makula Refleks fovea (+) Reflek fovea (+)
Tekanan Bulbus Okuli
Gerakan Bulbus Okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Posisi Bulbus Okuli Eksotropia Ortho
A/ selulitis orbita OD + edem papil OD
P/ Ceftriaxone vial gr 2 x 1 gr (IV)
20
BAB IV
ANALISIS KASUS
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 47 tahun dirawat di bangsal mata
RSUP Dr. M Djamil Padang tanggal 19 April 2017 dengan diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada mata, serta dibantu dengan pemeriksaan
penunjang.
Melalui autoanamnesa didapatkan keluhan utama pasien adalah mata kanan
membengkak dan menonjol sejak dua hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan pandangan
kabur pada mata kanan dan sakit kepala. Keluhan hidung berair dan tersumbat dipagi hari
disangkal, riwayat trauma pada mata disangkal, riwayat diabetes melitus dan hipertensi
disangkal. Pasien memiliki riwayat cabut gigi pada tahun 1990, dan pasien memiliki
riwayat sakit gigi 3 hari sebelum mengeluhkan mata bengkak, pasien sudah diketahui
memiliki beberapa lubang pada giginya namun tidak diobati karena dianggap tidak
mengganggu. Sebelumnya pasien berobat ke Sp. M di Solok pasien kemudian dirujuk ke
RSUP. Dr. M. Djamil Padang.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada mata kanan diperoleh V=0, edema palpebra
superior dan inferior, hiperemis pada konjungtiva bulbi, tarsalis dan fornik, kemosis pada
bagian inferior, sedangkan pada mata kiri melalui pemeriksaan visus dan inspeksi tidak
ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan pupil kedua mata, didapatkan pupil bulat, refleks
pupil mata kanan + / + dan mata kiri + / +, diameter pupil kanan 5-6 mm dan diameter
pupil kiri 2-3 mm. Iris berwarna coklat..
Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada korban didapatkan nilai PT dan
APTT melebihi nilai rujukan dan neutrofilia relatif. Pada pemeriksaan CT scan orbita
diperoleh hasil sesuai gambaran selulitis orbita kanan dengan keterlibatan lemak
retrobulbar dan otot rektus lateral dan superior. Untuk menilai faktor risiko selulitis orbita
pada pasien, dilakukan konsul ke bagian THT-KL namun tidak ditemukan kelainan di
bidang THT-KL.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada kasus ini diperoleh diagnosis
21
kerja selulitis orbita kanan dengan dignosa banding selulitis preseptal. Diagnosa selulitis
preseptal dapat disingkirkan melalui pemeriksaan fisik gerak bola mata dan tajam
penglihatan dimana pada kasus selulitis preseptal, tidak terdapat gangguan gerak bola mata
dan penurunan tajam visus, sedangkan pada pasien ini telah terjadi penurunan gerak bola
mata dan penurunan tajam visus 12. Diagnosa selulitis orbita juga diperkuat dengan hasil CT
scan orbita yang menunjukkan hasil sesuai gambaran selulitis orbita kanan.
Selulitis orbita pada kasus ini ditemukan pada laki-laki berusia 47 tahun. Hal ini tidak
sejalan dengan Ilyas dkk yang menemukan insiden selulitis orbita pada umumnya, lebih
sering terjadi pada anak-anak daripada usia dewasa (kisaran tersering usia 7-12 tahun),
sedangkan dari segi jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan frekuensi antara jenis kelamin
pria dan wanita pada pasien selulitis orbita dewasa, namun pada anak-anak selulitis orbita
dilaporkan dua kali lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan 12.
(1) perluasan infeksi dari stuktur periorbital, dimana sinus paranasal merupakan penyebab
tersering.
(2) inokulasi langsung orbita setelah adanya trauma, operasi, atau infeksi kulit
(3) penyebaran hematogen dari bakteremia, misalnya dari fokus- fokus seperti otitis media
dan pneumonia (1). Pada pasien ini beberapa faktor risiko utama telah disingkirkan melalui
berbagai pemeriksaan dan anamnesis yang dilakukan. Faktor risiko terkuat yang dapat
digunakan untuk menjelaskan kondisi pasien saat ini adalah adanya riwayat sakit gigi dan
ekstraksi gigi pada pasien.
22
mungkin saja infeksi disebabkan oleh bakteri dan mencegah terjadinya infeksi
sekunder. Pasien juga memperoleh terapi parasetamol untuk mengurangi sakit kepala.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta ; 2010. p: 102.
2. Vaughan, D.G, Asbury,T., Eva PR. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika,
Jakarta ; 2000. p : 255-6
3. American Academy of Opthalmology. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System. American
Academy of Opthalmology . Singapore : 2011. p: 41-4
4. Guthof, RF, Katowitz, JA. Essentials in Opthalmology: Oculoplastic and Orbit.
Springer Berlin Heidenberg. New York : 2007.
5. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New age international; 2007.
6. Kwitko GM. Preseptal cellulitis. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/121 8009-overview. 2012. April 2017
7. Heni Riyanto, Balgis Desy, Hendrian Dwi Kaloso, Soebagyo. Orbital Cellulitis and
Endophthalmitis Associated with Odontogenic Paranasal Sinusitis. Jurnal Oftalmologi
Indonesia (7) 1 ; 2009.
8. Imtiaz A. Chaudhry. The Hot Orbit: Orbital Cellulitis. Middle East African Journal of
Ophthalmology (19) 1 ; 2012.
9. Alan Ehrlich, MD. Orbital cellulitis. Diakses dari
https://www.dynamed.com/topics/dmp~AN~T115737#Overview-and-
Recommendations. April 2017.
10. Seongmu Lee, MD, Michael T. Yen, MD . Management of preseptal and orbital
cellulitis.
11. Peds Stanford. Periorbital and orbital cellulitis. Diakses dari
(http://peds.stanford.edu/Rotations/blue_team/documents/Periorbital_and_Orbital_Cel
lulitis_Summary.pdf) ; April 2017.
12. The infectious disease manual. David wilks. Masschushette : blackwell sciece Ltd.
Page 109-110
23