Anda di halaman 1dari 18

Laporan Kasus

PROPTOSIS NON AKSIAL ec SUSP. MENINGIOMA

Oleh :

Novella Treskasyma
1808436726

Pembimbing:
dr. Isfyanto , Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Proptosis adalah penonjolan bola mata ke depan yang dapat terjadi pada
satu atau kedua mata, dan merupakan tanda penyakit orbita. 1 Berdasarkan arah
pergeserannya, proptosis dapat dibagi menjadi aksial dan non aksial. Proptosis
non aksial biasanya disebabkan oleh lesi di luar konus otot mata dan
menyebabkan pergeseran bola mata ke arah vertikal atau ke samping.1,2
Proptosis pada kasus meningioma terjadi karena peningkatan volume
orbita sehingga mendorong okuli ke depan serta menyebabkan kompresi terhadap
nervus optikus dan struktur lainnya. Kompresi tersebut menyebabkan fungsi
visual akan terganggu.
Meningioma merupakan tumor yang berasal dari meningen otak dan
medula spinalis. Prevalensinya dapat mencapai 33% dari semua kasus tumor
intrakranial dengan insidensi 1–8 kasus per 100.000 orang per tahun. 3,4
Meningioma lebih banyak ditemukan pada perempuan karena adanya pengaruh
hormon dan sering muncul pada dekade ke 4–6.4,5 Manifestasi klinis meningioma
tergantung pada lokasi tumor. Umumnya tumor berada di supratentorial. Paling
sering diemukan di parasagital, sepanjang falx cerebri, sphenoid ridge,
konveksitas, sulcus olfactorius. Beberapa temuan lain seperti suprasellar, fossa
posterior, intraventrikular, dan intra orbita.6
Meningioma pada beberapa pasien dapat bersifat asimptomatik atau
simptomatik, dipengaruhi oleh lokasi dan besar tumor. Meningioma sulcus
olfactorius, parafalks, sphenoid wing, atau subfrontal dapat menimbulkan
Sindrom Foster-Kennedy, yang ditandai dengan anosmia, papilledema
kontralateral, dan atrofi diskus optikus ipsilateral.7 Menigioma parasellar, sinus
kavernosus, dan orbita dapat menimbulkan manifestasi klinis pada mata seperti
proptosis, defisit visual dan obstruksi vena.
Pada makalah ini dilaporkan kasus meningioma intrakranial pada seorang
pasien dengan gangguan pada mata.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
1. Orbita
Rongga orbita dibentuk oleh beberapa tulang orbita yang membatasi pada
sisi lateral, medial, atap, dan dasar orbita, sedangkan bagian anterior terbuka.
Dinding orbita tersusun atas 7 buah tulang; os frontale, os ethmoidale, os
lacrimale, os palatinum, maxilla, os sphenoidale, dan os zygomaticum (gambar 1).
Tinggi rima orbita berkisar 34 mm, dan lebar 40 mm, sedangkan kedalaman
rongga orbita anteroposterior adalah sekitar 45–55 mm.8,9
a. Atap orbita
Atap orbita terdiri dari os frontalis pars orbitalis, ala minor os sfenoidalis.
Atap orbita juga merupakan dasar dari fossa cranii anterior dan bagian dari
sinus frontalis.
b. Dinding lateral
Sisi lateral orbita dibentuk oleh facies orbitalis os zigomatikum dan ala
mayor os sfenoidalis. Dinding lateral merupakan dinding terkuat obita.
c. Dinding medial
Dinding medial orbita merupakan bagian yang paling tipis dan rentan
terjadi fraktur apabila ada trauma. Dinding medial dibentuk oleh os
ethmoidalis (lamina papirasea), os frontalis, os lakrimalis, dan os
sfenoidalis.
d. Dasar orbita
Dasar orbita dibentuk oleh os zigomatikum, os maksilaris, dan os palatina
proc. orbitalis. Bagian ini juga menjadi atap dari sinus maksilaris.
Volume rongga orbita sekitar 30 mL, seperlima volume orbita diisi oleh
bola mata, sisanya ditempati oleh lemak dan otot. Pada apeks orbita, terdapat
kanalis optikus yang menjadi tempat masuk semua saraf dan pembuluh darah ke
mata serta tempat origo otot-otot ekstraokuler kecuali m. obliqus inferior (gambar
2).10

2
Gambar 2.1 Anatomi Rongga Orbita8
Bola mata dewasa memiliki diameter anteroposterior sekitar 24 mm,
diameter horizontal 23,5 mm, diameter vertikal 23 mm, volume 6,5 mL, dan berat
7 gr.11 Dari total luas permukaan, hanya seperenam anterior yang terlihat, sisanya
berada dalam rongga orbita. Permukaan bola mata yang menonjol ke luar
normalnya tidak lebih dari 20 mm (12–20 mm) diukur dari tepi lateral orbita ke
apeks kornea, serta selisih antara kedua mata tidak lebih dari 2 mm.10,11

Gambar 2.2 Apeks Orbita10


3
2. Meningen
Meningen merupakan struktur membran pelindung otak dan medula
spinalis. Meningen terdiri dari 3 lapisan; duramater, arakhnoid, dan piamater.13,14
a. Dura mater
Dura mater terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan endosteal dan meningeal.
Kedua lapisan ini terpisah di satu tempat yang membentuk sinus venosus.
Lapisan endosteal merupakan lapisan terluar yang melekat pada tulang
kranium sebagai periosteum sehingga tidak bersambung dengan dura
mater medula spinalis. Lapisan meningeal merupakan lapisan yang
bersambung dengan dura mater medula spinalis. Pada bebeapa tempat
terdapat lokasi lipatan lapisan meningeal sehingga membagi rongga
kranuim menjadi 4 ruang. Lipatan tersebut adalah falks serebri, tentorium
cerebelli, falks serebelli, dan diafragma sella. Dura mater juga
mengandung banyak ujung saraf sensorik, yang apabila terjadi regangan
akan menimbulkan sensasi nyeri kepala. Dura mater diperdarahi oleh a.
carotis interna, a. maksilaris, a. pharyngea ascendens, a. occipitalis, dan a.
vertebralis.
b. Arachnoid
Archnoid merupakan membran impermeable, yang terletak diantara pia
mater dan dura mater. Pada area tertentu seperti sinus sagitalis, arachnoid
menonjol ke dalam sinus venosus membentuk villi arachnoid yang
berfungsi sebagai tempat difusi cairan serebrospinal. Kumpulan dari villi
arachnoid disebut granulationes arachnoid. Arachnoid menyatu dengan
epineureum saraf kranial. Pada nervus optikus, arachnoid membentuk
selubung saraf yang mengikuti nervus optikus ke dalam rongga orbita
melalui kanalis optikus dan menyatu dengan sklera.
c. Pia mater
Pia mater merupakan membran vaskuler yang melekat pada otak
mengikuti bentuk sulkus dan girus. Ruangan antara arachnoid dan pia
mater disebut ruang subarachnoid, yang berisi cairan serebrospinal dan
terdapat tuberkulum arachnoid yang tersusun seperti jaring.

4
Gambar 2.3 Lapisan Meningen14

2.2 Proptosis
1. Definisi
Proptosis adalah penonjolan bola mata melebihi 20 mm dan selisih pada
kedua mata lebih dari 2 cm. Proptosis dapat terjadi pada satu atau kedua mata, dan
merupakan salah satu tanda penyakit orbita.1 Secara klinis, proptosis dibagi
menjadi unilateral, bilateral, akut, intermiten, dan pulsatil.11
2. Klasifikasi
a. Unilateral.
Proptosis unilateral dapat disebabkan oleh trauma, kelainan kongenital,
inflamasi, gangguan sirkulasi dan pembuluh darah, kista orbita, tumor
orbita (primer, sekunder, metastasis), dan mukokel sinus paranasal.
b. Bilateral.
Anomali kranium, osteopati, inflamasi, eksoftalmos, tumor, dan penyakit
sistemik (histiositosis, xantomathosis) dapat menyebabkan proptosis
bilateral. Penyebab tersering pada anak-anak adalah neuroblastoma dan
leukemia.
c. Akut.
Proptosis akut dapat terjadi mendadak dan sangat cepat (sudden onset).
Penyebab paling umum yaitu emfisema orbita, fraktur dinding medial
orbita, perdarahan, atau ruptur mukokel etmoid.

5
d. Intermitten.
Proptosis dapat muncul dan hilang dengan sendirinya. Penyebab proptosis
intermiten salah satunya adalah varises orbita. Pada kondisi ini akan
muncul proptosis apabila kondisi stasis vena diinduksi dengan
menekukkan kepala ke depan, memutar kepala dengan kuat, hiperekstensi
leher, batuk, ekspirasi paksa, atau tekanan pada vena jugular.
e. Pulsatil.
Proptosis pulsatil disebabkan karena lesi vaskuler seperti fistula
caroticocavernosus dan aneurisma saccular arteri oftalmika. Pulsasi juga
dapat berasal dari otak karena atap orbita yang tipis seperti pada kasus
meningokel kongenital atau meningoensefalokel.
3. Diagnosis
a. Anamnesis.
Pasien biasanya datang dengan keluhan satu atau kedua mata menonjol,
pandangan kabur; kemungkinan terdapat kompresi nervus optikus, diplopia,
ganguan gerakan bola mata. Pada riwayat penyakit sekarang perlu ditanyakan usia
pasien saat proptosis pertama kali terlihat, sifat onset (tiba-tiba atau bertahap),
progresifitas (cepat, lambat, atau intermiten), nyeri, dan keluhan lain seperti rasa
berdenyut di mata atau sekitar mata.
Riwayat penyakit seperti keganasan, trauma, penyekit tiroid, sarkoidosis
juga perlu ditanyakan pada pasien. Riwayat operasi mata atau operasi keganasan
intraokuler memperkuat kecurigaan ke arah metastasis.
b. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan sistemik dan status lokalis pada
kedua mata. Proptosis harus dapat dibedakan dengan pseudoproptosis, yaitu
kondisi bola mata yang tampak menonjol tetapi sebenarnya tidak ada penonjolan
bola mata sehingga wajah tampak tidak simetris seperti proptosis. Status lokalis
seperti pemeriksaan mata luar, visus, tekanan intra okular, deteksi penonjolan bola
mata (metode Naffziger, worm’s eye view), arah proptosis (aksial, non
aksial/eksentrik), gerakan bola mata, dan funduskopi.
Pengukuran penonjolan bola mata dilakukan dengan eksoftalmometer.
Jenis alat yang paling umum digunakan adalah Helter’s exophthalmometer. Jenis

6
yang lain yang dapat digunakan seperti Leudde scale, Naugle exophthalmometer,
dan Gormaz exophthalmometer. Pada pengukuran dengan Helter’s
exophthalmometer, diukur jarak antara angulus okuli lateralis sampai permukaan
kornea dengan posisi mata pasien mengarah ke depan. Apabila terdapat selisih
pengukuran 2 mm, maka dapat dikatakan proptosis.
Pemeriksaan lain seperti auskultasi dilakukan untuk mencari bunyi bruit
yang dapat ditimbulkan akibat malformasi arteriovena, transiluminasi dengan
menggunakan penlight untuk mengevaluasi lesi pada orbita anterior.

Gambar 2.4 Helter’s exophthalmometer7

Gambar 2.5 Leudde scale11


c. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan atas indikasi tertentu yang
mengarah pada penyebab proptosis. Hematologi lengkap, pemeriksaan
fungsi tiroid, dan urinalisis dapat dilakukan. Pemeriksaan lain yang

7
menunjang diagnosis adalah pencitraan (foto polos kranium, CT scan
kepala, ultrasonografi, dan MRI).
2.3 Meningioma
1. Definisi
Meningioma merupakan tumor yang berasal dari arahnoid cap cell
meningen dan setidaknya terhitung 33% dari semua kasus tumor intrakranial
dengan insidensi 1–8 kasus per 100.000 orang per tahun.3,4 Istilah meningioma
pertama kali diajukan oleh Cushing pada tahun 1922 dan kemudian
dikembangkan bersama dengan muridnya Bailey.6
2. Epidemiologi
Prevalensi meningioma berbeda pada setiap populasi. Insidensi pada
populasi kulit putih Hispanik 6,53 per 100.000 populasi, Afrika-Amerika, 29,7 per
100.000 populasi, dan pada populasi kulit putih non Hispanik adalah 6,38 per
100.000, angka ini terus meningkat setiap tahun.15 Survival rate orang yang
menderita meningioma dalam 5 tahun kurang dari 70%, angka ini terus menrun
seiring dengan pertambahan usia.16 Insiden meningioma pada wanita tiga kali
lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh faktor
hormonal, terutama selama masa reproduksi.
3. Faktor Risiko
Beberapa faktor berkaitan dengan meningioma seperti obesitas, konsumsi
alkohol, paparan terhadap radiasi, radioterapi, gaya hidup dan faktor genetik,
riwayat kanker payudara, faktor hormonal seperti riwayat pemakaian KB dapat
meningkatkan risiko terjadinya meningioma.6,16 Pada 70% kasus meningioma
ditemukan reseptor progesteron pada membran, sehingga wanita menjadi lebih
berisiko mengalami meningioma dibandingkan pria.
4. Patofisiologi
Faktor predisposisi utama meningioma adalah mutasi kromosom 22.
Tumor ini mengalami kehilangan material genetik dari lengan panjang kromosom
22, pada lokus gen neurofibromatosis 2 (NF2). NF2 merupakan gen supresor
tumor, ditemukan tidak aktif pada meningioma sporadik.6 Analisis genomik
meningioma skala besar telah menjelaskan jalur potensial yang terlibat dalam
pembentukan tumor, serta target terapeutik baru dan kesadaran prognostik yang

8
lebih baik. Hilangnya heterozigositas dan inaktivasi mutasi pada gen NF2 terlihat
pada 60% kasus sporadis. Mutasi ini menyebabkan penurunan tingkat fungsional
produk gen yang penting untuk fungsi sitoskeletal, pertumbuhan sel, dan
motilitas.17
5. Klasifikasi
World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan meningioma ke
dalam 3 grade, yaitu:6
a. Grade I (jinak) : mencakup sembilan varian histologis dan ditemukan
pada 80% kasus meningioma. Varian tersebut diantaranya
meningotelial, fibrous, transisional, psammomatous, angiomatosa,
mikrokistik, secretory, lymphoplasmacyte-rich, dan subtipe
metaplastik.
b. Grade II (atipikal) : peningkatan aktivitas mitotik, atau invasi otak,
atau memiliki 3 atau lebih dari karakteristik berikut; nekrosis spontan,
sheet-like growth, inti menonjol, peningkatan seluler, atau sel kecil
dengan rasio nukleus-sitoplasma tinggi. Variasi histologis berupa
koroid, clear cell, dan atipikal.
c. Grade III (maligna/anaplastik) : lesi ganas yang mirip dengan sarkoma
derajat tinggi, karsinoma, atau melanoma dengan tingkat metastasis
jauh yang tinggi. Variasi histologis yaitu papilary, rabdoid, dan
anaplastik.
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
radiologi. Gejala klinis meningioma tergantung pada lokasi tumor. Hipertonia
atau klonus, hiperrefleks, tanda Babinski dan Hoffman positif, paresis atau
paralisis merupakan tanda meningioma intrakranial. Pasien dengan meningioma
sphenoid ridge dengan keterlibatan fisura supraorbital atau sinus kavernosus dapat
mengalami paresis nervus kranial dan kejang. Meningioma sulcus olfactorius
dapat menyebabkan sindrom Foster-Kennedy. Sindrom ini ditandai dengan
anosmia, papilledema kontralateral, dan atrofi saraf optik ipsilateral. Meningioma
parasellar, sinus kavernosus, dan orbita dapat menyebabkan gangguan penglihatan
dan proptosis.6

9
Pada pemeriksaan radiologi CT-scan dengan kontras dapat menunjukkan
gambaran hiperdens, enhancement homogen. Hiperostosis pada tulang kranium
yang berdekatan dengan tumor dan kalsifikasi intratumoral mungkin dapat
ditemukan dan tervisualisasikan pada CT-scan.
7. Penatalaksanaan
a. Observasi
Tumor dengan ukuran kecil dan asimptomatik pada umumnya hanya
dilakukan observasi ketat setiap tahun. Selama masa observasi,
dilakukan serial CT-scan atau MRI. Pada kasus sphenoid wing
meningioma biasanya hanya di obsevasi, apabila tidak menimbulkan
defisit fungsional seperti proptosis berat, neuropati optik kompresif,
gangguan motilitas, dan edema serebri.18
b. Pembedahan
Terapi bedah ditujukan untuk mengurangi efek kompresi akibat
penambahan volume massa tumor. Lesi simptomatik dan tumor yang
mengalami petumbuhan cepat, dapat dilakukan reseksi total. Beberapa
faktor yang mempengaruhi operasi pengangkatan massa tumor ini
antara lain lokasi tumor, ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan
pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat operasi
sebelumnya dan/atau radioterapi.6,17 Terapi pembedahan reseksi tumor
dilakukan dengan pendekatan intrakranial dan orbita.18 Dalam hal ini
dapat dilakukan bersama dokter bidang Neurosurgery atau bedah
saraf.
c. Radiasi
Pada kasus meningioma ganas yang rekuren, terapi radiasi bisa
menjadi pilihan. Radioterapi sinar eksternal atau brachytherapy setelah
pembedahan dapat digunakan pada meningioma grade II dan III.
Radioterapi pasca operasi dapat digunakan untuk mengurangi risiko
pertumbuhan lebih lanjut dan penyebaran tumor sisa, atau pasien dapat
diikuti secara klinis dan dengan pemeriksaan MRI serial. Stereotactic
radiosurgery (SRS) adalah metode terapi lain yang dapat digunakan
untuk pasien yang tidak bisa menjalani terapi pembedahan.6,17

10
8. Prognosis
Survival rate dalam jangka waktu 5 tahun untuk grade I adalah 95,7%,
grade II adalah 81,8%, dan grade III adalah 46,7%, sedangkan survival rate 10
tahun grade I adalah 90.4.7%, grade II adalah 69.4%. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh derajat reseksi tumor, indeks mitosis < 5%, derajat histologis, ukuran tumor
≤ 6 cm, dan lokasi tumor.6 Meningioma grade III memiliki risiko rekurensi yang
lebih tinggi dibanding grade I dan II. Survival rate juga dipengaruhi oleh
modalitas terapi yang tersedia. Reseksi tumor parsial dapat meningkatkan
Survival rate pada meningioma jinak.

11
RAHASIA

BAB III
STATUS BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. MBS Pekerjaan : IRT
Umur : 41 tahun Pendidikan : SD
Jenis kelamin : Perempuan MR : 01029206
Alamat : Wono Sari Tgl pemeriksaan : 15/02/2021
Status : Menikah

KELUHAN UTAMA:
Mata kanan menonjol sejak 3 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:


Mata kanan menonjol sejak 3 tahun yang lalu. Mata menonjol perlahan
dan semakin membesar. Mata kanan juga mulai kabur sejak 2 tahun yang lalu,
semakin memburuk, dan tidak bisa melihat sejak 1 bulan yang lalu. Mata kanan
juga tidak bisa digerakkan. Mata kiri kabur sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan lain
seperti nyeri pada mata kanan, mata berair, nyeri kepala, dan mual muntah tidak
ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit tiroid (-)
Riwayat keganasan (-)
Riwayat trauma (-)

Riwayat Pengobatan :
Riwayat penggunaan KB injeksi tiga bulan selama 18 tahun

12
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tanda – tanda vital : TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,4 0C

STATUS OFTALMOLOGI
OD OS
Visus tanpa
NLP 20/30
koreksi
Visus dengan
Tidak dikoreksi PH (-)
koreksi
Posisi Bola
Hipoforia, proptosis Ortoforia
Mata
Gerakan Bola
Tidak ada Baik ke segala arah
Mata
Tekanan Bola
16,0 mmHg 17,0 mmHg
Mata
Tidak ditemukan kelainan Palpebra Tidak ditemukan kelainan
Kemosis (+) hiperemis (+) Konjungtiva Tidak ditemukan kelainan
Jernih, erosi (-) Kornea Jernih, erosi (-)
Injeksi silier (+) Sklera Injeksi silier (-)
Dalam COA Dalam
Bulat, sentral, reguler, Bulat, sentral, reguler,
Iris/Pupil
reflek cahaya (-/+) reflek cahaya (+/-)

Jernih Lensa Jernih


Funduskopi:
Refleks (+) Refleks Refleks (+)
Jernih Vitreus Jernih
Hiperemis (+), edema papil (+),
Pucat (+), batas tidak tegas,
Papil batas tidak tegas,
CDR sulit dinilai
CDR sulit dinilai
AVR sulit dinilai Retina AVR sulit dinilai
Refleks (+) Makula Refleks (+)
13
Foto

Gambar 3.1 Mata Kanan Gambar 3.2 Mata Kiri

CT-Scan orbita dengan kontras

Interpretasi:
Massa hipodens solid batas tegas ukuran ± 8,2 x 5,4 x 7,5 cm pada retroorbita
dengan destruksi zygoaticum dan sphenoid wing dextra, massa menginfiltrasi
sebagian m. orbita dextra, n. opticus dextra, menginfiltrasi sinus maksilaris,
ethmoidalis dextra, sphenoidalis bilateral meluas ke intrakranial pada
frontotemporalis dextra. Post kontras tampak enhancement homogen. Proptosis
bulbus okuli dextra. Mastoid air cell terselubung.
Kesimpulan: Susp. Meningioma.

14
RESUME :
Perempuan 41 tahun, mata kanan menonjol sejak 3 tahun SMRS, mata
kanan kabur perlahan dan menjadi tidak bisa melihat serta tidak dapat digerakkan
sejak 1 bulan SMRS. Pada pemeriksaan oftalmologi visus tanpa koreksi
didapatkan VOD NLP dan VOS 20/30 tidak dapat dikoreksi. Posisi bola mata
hipoforia, proptosis OD. Konjungtiva kemosis, hiperemis OD. Gerakan bola mata
OD tidak ada. Injeksi silier OD. Refleks cahaya OD (-/+) OS (+/-). Pada
pemeriksaan funduskopi didapatkan papil atrofi OD, papil edema OS.
Pemeriksaan CT-scan orbita dengan kontras susp. Meningioma.

Diagnosis Kerja:
Proptosis non aksial OD e.c susp. Meningioma
Sindroma Foster Kennedy

Penatalaksanaan
Farmakologi
- C. Lyteers ED 4 gtt 1 OD
- Chloramphenicol EO 3 x 1 OD
Non farmakoterapi
- Konsul bedah saraf

Prognosis
OD OS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Malam Quo ad functionam : Bonam
Quo ad kosmetikum : Malam Quo ad kosmetikum : Bonam

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Andrisa RS, Mutmainah. Proptosis. Dalam: Sitorus RS, Sitompul R,


Widyawati S, Bani AP, editor. Buku Ajar Oftalmologi. edisi pertama. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2017. P. 345–351.

2. Vagevi MR. Orbit. In: Riordan-Eva P, Augsburger JJ, editors. Vaughan &
Asbury’s General Ophthamology. 19th edition. New York: McGraw-Hill;
2018. P. 271–283.

3. Anaya-Delgadillo G, de Juambelz-Cisneros PP, Fernández-Alvarado B,


Pazos-Gómez F, Velasco-Torre A, Revuelta-Gutiérrez R. Prevalence of
central nervous system tumours and histological identification in the operated
patient: 20 years of experience. Cir Cir. 2016;84:447–453.

4. Baldi I, Engelhardt J, Bonnet C, Bauchet L, Berteaud E, Grüber A, Loiseau


H. Epidemiology of meningiomas. Neurochirurgie. 2018 Mar;64(1):5-14.

5. Mubeen B, Makhdoomi R, Nayil K, Rafiq D, Kirmani A, Salim O, et al.


Clinicopathological characteristics of meningiomas: experience from a
tertiary care hospital in the Kashmir Valley. Asian J Neurosurg. 2019;14:41-
6.

6. Alruwaili AA, De Jesus O. Meningioma [Bookshelf on internet]. In:


StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan.
[Updated 2020 Nov 14; cited 2021 Jan 18]  Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560538/?report=classic

7. Rodríguez-Porcel F, Hughes I, Anderson D, Lee J, Biller J. Foster Kennedy


Syndrome Due to Meningioma Growth during Pregnancy. Front Neurol. 2013
Nov 11;4:183.

8. Salmon JF. Kanski’s Clinical Ophthalmology a Systematic Aprroach. 9th


edition. New York: Elsevier; 2020.

16
9. Suharko H. Palpebra dan rongga orbita. Dalam: Sitorus RS, Sitompul R,
Widyawati S, Bani AP, editor. Buku Ajar Oftalmologi edisi pertama. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2017. P. 3–9.

10. Riordan-Eva P. Anatomy and embryology of the eye. In: Riordan-Eva P,


Augsburger JJ, editors. Vaughan & Asbury’s General Ophthamology. 19th
edition. New York: McGraw-Hill; 2018. P. 1–26.

11. Khurana AK, Khurana BP. Comprehensive ophthalmology. 6th edition. New
Delhi: Jp Medical; 2015.

12. Splittgelber R. Snell’s Clinical Neuroanatomy. 8th edition. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins; 2018.

13. Paulsen F, Waschke J. Sobotta atlas of human anatomy Vol 3 (English/Latin


ver.). 16th ed. Munich: Elsevier; 2018.

14. Agur AMR, Dalley AF. Moore’s Essential Clinical Anatomy. 6th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2019.

15. Khoshnevisan A, Barzi SMH, Shahi S, Jatta FFN. Demographic, Clinical and
Therapeutic Effects of Intracranial Meningioma. Biomed J Sci & Tech Res.
2019; 23(1).

16. Baldi I, Engelhardt J, Bonnet C, Bauchet L, Berteaud E, Grüber A, Loiseau


H. Epidemiology of meningiomas. Neurochirurgie. 2018 Mar;64(1):5-14.

17. Wang N, Osswald M. Meningiomas: Overview and New Directions in


Therapy. Semin Neurol. 2018;38(1):112-120.

18. American Academy of Ophthalmology. 2019–2020 Basic and Clinical


Science Course: Section 7 Oculofacial Plastic and Orbital Surgery. San
Francisco, CA: 2020.

17

Anda mungkin juga menyukai