MAKSILOFASIAL
Raesita Soleman
M. Faridza Setyo Hadikusuma
Ulfa Rahmadanti Setiawan
Preseptor:
Hj. Tety H. Rahim dr., SpTHT-KL., M.Kes.,
MH.Kes
NEUROCRANIUM VISCEROCRANIUM
Nasal Bones ( 2 )
Maxilla ( 2 )
Zygomatic bones ( 2 )
Lacrimal bones ( 2)
Palatine bones ( 2 )
Inferior Nasal Conchae ( 2 )
Mandibulla ( 1 )
Vomer ( 1 )
ANATOMI
ANATOMI
A. Tulang
1. Tulang Nasal
Sepasang nasal bones bertemu di tengah tengah dan menbentuk
bridge of nose. Pada bagian akhir nasal bones disusun oleh
cartilage.
2. Tulang Maksila
Mmerupakan tulang yang embentuk bagian rahang atas.
Membentuk bagian dasar orbit, dinding lateral dan dasar nasal
cavity, hampir seluruh hard palate.
Masing masing maxilla mengandung :
Maxillari sinus : di drainase menuju nasal cavity
Alveolar process : mengandung socket ( alveoli ) untuk gigi atas
Palatine process
Infraorbital foramen
Inferior orbital fissure
ANATOMI
ANATOMI
3. Tulang Zigomatik
Disebut juga tulang pipi. Membentuk bagian puncak pipi, dan dinding
lateral dan dasar orbit. Berhubungan dengan maxilla, frontal bones,
sphenoid bones, dan temporal bones.
4. Tulang Palatina
Berbentuk seperti L. Membentuk bagian posterior hard palate, bagian dasar
dan dinding lateral nasal cavity, dan sebagian kecil dasar orbit.
6. Tulang Mandibula
Merupakan tulang yang Membentuk bagian rahang bawah.. Merupakan
tulang yang terkuat, dan terbesar dari facial bones. Satu satunya tulang
yang dapat bergerak pada skull bones.
ANATOMI
ANATOMI
B. OTOT
ANATOMI
C. INERVASI
CN V (TRIGEMINAL)
ANATOMI
C. INERVASI
CN VII (FACIAL)
Definisi
Kelainan berupa sumbatan jalan nafas, syok karena
perdarahan, terganggunya vertebrae, atau
gangguan fungsi saraf cranial yang dapat terjadi
jika seseorang mendapatkan trauma pada muka
(maksilofasial) yang bersifat multifaktorial.
Etiologi
Penyebab utama trauma maksilofasial bervariasi,
mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik,
terjatuh, olahraga, dan trauma akibat senjata api.
Manifestasi Klinis
Ekimosis pada jaringan
Kerusakan jaringan
di bawah konjungtiva, Epistaksis (anterior dan
lunak (edema, kontusio,
periorbita atau posterior).
abrasi dan laserasi).
intraorbita.
Adanya obstruksi
hidung yang disebabkan
Terdapat tanda infeksi
Terdapatnya fraktur gigi oleh hematom pada
jaringan lunak pada
atau giginya terlepas. septum nasi, fraktur
tempat hematoma.
septum atau dislokasi
septum.
Manifestasi Klinis
Memasukkan masing-
Deviasi pyramid masing sisi (blade) ke Pemasangan tampon
hidung karena Cunam dalam kedua rongga (ditambah antibiotik)
dislokasi tulang Asch hidung sambil di dalam rongga
hidung menekan septum hidung
dengan kedua forsep
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan
perubahan tempat dari tulang hidung tersebut
yang juga disertai laserasi pada kulit atau
mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau
kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk
diperbaiki atau di rekonstruksi pada saat tindakan.
Jika nasal pyramid rusak karena
tekanan atau pukulan dengan
beban berat akan terjadi fraktur
hebat pada tulang hidung, prosesus
frontal pasien maksila, dan prosesus
nasalis pasien frontal.
Bagian dari nasal pyramid yang
terletak antara dua bola mata akan
terdorong ke belakang. Terjadilah
fraktur nasoetmoid, fraktur
nasomaksila, dan fraktur nasoorbita.
Fraktur ini dapat menimbulkan
komplikasi atau sekuele dibelakang
hari.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya:
1. Komplikasi neurologik:
a) Robeknya duramater.
b) Keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya
meningitis.
c) Pneumosefalus.
d) Laserasi otak.
e) Avulsi dari nervus olfaktorius.
f) Hematoma epidural atau subdural.
g) Kontusio otak dan nekrosis jaringan.
2. Komplikasi pada mata
a) Telekantus traumatika.
b) Hematoma pada mata.
c) Kerusakan nervus optikus yang mungkin menyebabkan kebutaan.
d) Epifora.
e) Ptosis.
f) Kerusakan bola mata.
3. Komplikasi pada hidung
a) Perubahan bentuk hidung.
b) Obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi, atau
hematoma pada septum.
c) Gangguan penciuman (hiposmia atau anosmia).
d) Epistaksis posterior yang hebat yang disebabkan karena robeknya
arteri etmoidalis.
e) Kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontalis
atau mukokel.
Fraktur nasoetmoid ini sering kali tidak dapat
diperbaiki hanya dengan reduksi sederhana secara
terbuka disertai pemasangan tampon hidung atau
fiksasi dari luar.
Kerusakan dari duktus nasolakrimalis menyebabkan
air mata selalu keluar.
Tindakan reduksi pada kondisi seperti ini
memerlukan penangan yang lebih hati-hati dan
teliti untuk mengembalikan tulang-tulang yang
patah pada posisi semula dan mengikatnya
dengan kawat baja (stainles steel).
Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal
dari tulang temporal, frontal, sfenoid, dan tulang maksila.
Bagian-bagian dari tulang yang membentuk zigoma ini
memberikan sebuah penonjolan pada pipi di bawah mata
sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda
dengan fraktur tripod atau trimalar
Gejala fraktur Zigoma :
Pipi menjadi lebih rata Ptosis
(dibandingkan dengan bagian Terdapatnya hipestesia atau
yang kontralateral atau sebelum anestesia karena kerusakan
terjadi trauma) saraf infra-orbitalis
Diplopia dan terbatasnya Terbatasnya gerakan mandibula
gerakan bola mata Emfisema subkutis
Edema periorbita dan ekimosis Epistaksis karena perdarahan
Perdarahan subkonjungtiva yang terjadi pada antrum
Enoftalmos
Sekitar 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukkan kelainan.
Trauma dari depan yang langsung merusak pipi (tulang
zigoma) menyebabkan perubahan tempat dari tulang
zigoma tersebut kearah posterior, kearah medial atau kearah
lateral. Fraktur ini tidak merubah posisi dari rima orbita inferior
kearah atas atau kearah bawah. Perubahan posisi dari orbita
tersebut menyebabkan gangguan pada bola mata. Reduksi
dari fraktur zigoma ini difiksasi dengan kawat baja atau mini
plate.
Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan
Goldthwaite)
Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus
gingivobukalis. Dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal
dibelakang tuberositas maksila. Elevator melengkung
dimasukkan dibelakang tuberositas tersebut dan dengan
sedikit tekanan tulang zigoma yang fraktur dikembalikan
pada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan
dan memberikan hasil yang baik.
Reduksi terbuka dari tulang zigoma
Tulang zigoma yang patah tidak bisa diikat dengan
kawat baja dari Kirschner harus ditanggulangi
dengan cara reduksi terbuka dengan
menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang
timbul diatas zigoma dapat dipakai sebagai marka
untuk melakukan insisi permulaan pada reduksi
terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita
inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan
melakukan insisi dibawah palpebra inferior untuk
mencapai fraktur disekitar tulang orbita tersebut.
Tindakan ini harus dikerjakan secara hati-hati
karena dapat merusak bola mata.
Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab
pada tempat ini timbul rasa sakit pada waktu bicara
atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus.
Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak
dari arkus zigoma terhadap prosesus koronoid dan otot
temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau
terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan
palpasi.
PENATALAKSANAAN
Reduksi fraktur arkus zigoma
Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan
perubahan tempat dari arkus dapat ditanggulangi
dengan melakikan elevasi arkus zigoma tersebut. Pada
tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi
terbuka, selanjutnya dipasang kawat baja atau mini
plate pada arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi
pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus zigoma,
diteruskan kebawah sampai kebagian zigoma di
preaurikuler.
Tindakan reduksi didaerah ini dapat merusak cabang
frontalis dari nervus fasialis, sehingga harus dilakukan
tindakan proteksi.
Fraktur zigomaticomaxillary complex (ZMC)
merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling
sering terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma
yang melibatkan 1/3 bagian tengah wajah, hal ini
dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol
pada daerah sekitarnya. Fraktur ZMC biasanya
melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas
nervus alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal,
sepanjang arkus pada sutura zigomatikotemporal,
dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura
zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral
orbita, sedangkan dinding medial orbita tetap
utuh.
Jika terjadi fraktur pada ZMC maka harus
diperhatikan apakah terdapat edema faring,
perdarahan hebat yang biasanya berasa dari arteri
masksilaris interna atau arteri ethmoidal anterior.
Jika kondisi diatas tidak didapatkan dan kondisi
pasien cukup baik setelah trauma, maka dapat
dilakukan reduksi fraktur ZMC.
KLASIFIKASI
Mathog menggunakan pembagian klasifikasi
maksila Le Fort kedalam 3 kategori yaitu fratur Le
Fort I, II, III dan masih dipakai hingga saat ini.
Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu
kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur fraktur
Le Fort II dan III.
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis
fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di
atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan
meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate.
Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum
bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai
sebuah blok yang terpisah tunggal.
Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin
secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur
horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding
sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura
zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura
yang sering terkena.
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung
rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau
ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak
lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga
gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.
Fraktur Le Fort III
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan
cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-
benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis
kranii.
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera
kranioserebral, yang mana bagian yang terkena
trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa
mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat
untuk mengakibatkan trauma intrakranial.
Imobilisasi dan Penanganan Fraktur
Maksila
Fiksasi Internal
a. Direct osteosynthesis
Fraktur kominusi yang tidak parah pada bagian sepertiga tengah. Dapat
direkonstruksi dengan bantuan fiksasi internal seperti kawat transosseus dan
miniatur plat dan skrup
b. Miniplates and Screw