Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR TULANG WAJAH/ FRAKTUR MAXILLA


RSUD BRIGJEND H. HASAN BASRY KANDANGAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis
(PPKGK)

Preseptor Akademik : Hanura Aprilia, Ns., M.Kep


Preseptor Klinik : Rahmawati, S. Kep., Ns

OLEH:
FATMA DEWI, S. Kep
NPM. 2314901210100

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
TAHUN AKADEMIK 2023/2024

I. Pendahuluan
Fraktur tulang wajah sering dijumpai terutama pada cedera olahraga, kecelakaan
lalu lintas ataupun berkelahi. Pada kecelakaan lalu lintas, tujuh dari sepuluh penderita
mengalami cedera wajah, kebanyakan berupa luka tajam dan memar. Fraktur terutama
mengenai mandibula, 1/3 medial tulang wajah, tulang hidung, orbita dan zygoma.
Fraktur tulang wajah jarang menimbulkan masalah kecuali pada fraktur sepertiga medial
wajah dimana rahang bagian atas terpisah dengan tulang tengkorak dan fraktur
mandibular multipel. Kedua fraktur ini dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas atas,
kadangkala diperlukan intubasi endotrakeal ataupun krikotiroidotomi untuk melancarkan
jalan nafas. Pada banyak kasus, penundaan penanganan selama beberapa hari tidak
menyebabkan efek samping yang berbahaya.1

II. Tinjauan Pustaka

1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh adanya rudapaksa.3

2. Anatomi Tulang Wajah


Tulang-tulang tengkorak pada wajah dapat dibedakan menjadi bagian kranium dan
bagian wajah. Kranium terdiri dari sejumlah tulang yang menyatu pada sendi yang tidak
bergerak yang disebut sutura. Mandibula adalah suatu perkecualian karena menyatu
dengan kranium melalui artikulasio temporomandibularis yang mobil.
Tulang wajah terdiri atas:
- os zygomaticum (2 buah)
- maksila (2 buah)
- os nasale (2 buah)
- os lacrimale (2 buah)
- os vomer (1 buah)
- os palatinum (2 buah)
- konka nasalis inferior (2 buah)
- os mandibula (1 buah)

3. Klasifikasi7
Secara garis besar, fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan garis frakturnya,
hubungan antar fragmen tulang, jumlah fragmennya dan hubungan dengan dunia luar.
Berdasarkan garis frakturnya, dibagi menjadi:
 Transversal; tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Disebabkan oleh tekanan
tegak lurus pada tulang
 Diagonal/ oblik; disebabkan tekanan dengan arah sejajar sumbu panjang tulang
 Longitudinal; bentuknya sesuai dengan sumbu panjang tulang
 Spiral; disebabkan tenaga yang berputar

Berdasarkan hubungan satu fragmen patahan dengan yang lain dibedakan menjadi:
 Dislokasi; berpindahnya ujung tulang yang patah sehingga tidak sejajar sumbu
panjang tulang
 Angulasi; fragmen distal membentuk sudut terhadap fragmen proksimal
 Pemendekan; adanya tumpang tindih dari ujung fragmen tulang
 Rotasi

Berdasarkan jumlah fragmen tulangnya, dibedakan menjadi:


 Simpel; bila tulang terpisah menjadi dua segmen
 Kominutif; bila tulang terpisah menjadi lebih dari dua fragmen

Berdasarkan hubungan dengan dunia luar, dibedakan menjadi:


 Fraktur tertutup; bila tidak ada hubungan dengan dunia luar/ kulit utuh
 Fraktur terbuka; bila ada hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit.
Fraktur terbuka memerlukan penanganan segera karena sangat potensial untuk
mengalami infeksi.

Trauma muka dibagi atas fraktur pada organ berikut:


1. Fraktur tulang hidung
2. Fraktur tulang zygoma dan arkus zygoma
3. Fraktur tulang orbita
4. Fraktur tulang maksila (mid facial)
5. Fraktur tulang mandibula

4. Klasifikasi Fraktur Maksila


Guerin membuat deskripsi fraktur maksila 35 tahun sebelum Le Fort membuat
klasifikasi.
1. Fraktur Maksila Le Fort I
Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur bagian bawah. Fraktur ini
bisa unilateral atau bilateral. Garis fraktur berjalan sepanjang maksila bagian
bawah sampai bagian bawah rongga hidung. Seluruh rahang atas dapat
bergerak dan hanya tertahan oleh jaringan lunak mulut, antrum dan hidung.
Kerusakan yang mungkin terjadi pada fraktur ini berupa kerusakan pada
prosesus arteroralis, bagian dari sinus maksilaris, palatum durum, bagian
bawah lamina pterigoid. Gerakan tidak normal pada fraktur ini dapat
dirasakan dengan palpasi. Garis fraktur yang mengarah vertikal, membagi
muka menjadi dua bagian.
Gejala-gejala yang mungkin timbul:
 Pembengkakan pada muka dan bibir atas
 Ekimosis
 Mukosa bibir, mulut dan hidung rusak
 Oklusi gigi terganggu dan pasien tidak dapat mengunyah
 Bila rahang atas tergeser ke belakang dapat terjadi gigitan terbalik
 Bila rahang atas tergeser ke atas tampak muka menjadi pendek dan terjadi
open bite
 Ada perdarahan pada sinus maksilaris dan keluar melalui hidung, dapat
menyumbat jalan pernapasan

2. Fraktur Maksila Le Fort II


Disebut juga floating maksila karena fraktur ini sangat mudah digerakkan.
Garis fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan
diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan
menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga ke arah lamina
pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina cribiformis
dan atap sel ethmoid dapat merusak sistim lakrimalis.
Gejala-gejala yang mungkin timbul:
o Tampak hidung masuk atau melesak ke dalam
o Perdarahan melalui hidung lebih banyak karena foramen infraorbitalis
terlibat dan arteri infraorbitalis terluka
o Keluarnya cairan serebrospinal bila lamina cribiformis patah

3. Fraktur Maksila Le Fort III


Disebut juga craniofacial dysjunction, merupakan fraktur yang memisahkan
secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan
melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui
fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura
zygomatiko frontal dan sutura temporozigomatik. Fraktur Le Fort III ini
biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan Dishface. Komplikasi
yang sering timbul yaitu pengeluaran cairan serebrospinal melalui atap sel
ethmoid dan lamina cribiformis. Penanggulangan dengan menggunakan
fiksasi intermaksiler sehingga oklusi gigi menjadi sempurna dengan
menggunakan kawat baja atau mini plate sesuai garis fraktur.

Gejala-gejala yang mungkin timbul:


o Seluruh bagian middle third dari muka terdorong ke belakang sehingga muka
menjadi melesak (dish-shaped)
o Perdarahan mengalir ke palatum, faring dan hidung.
o Hematoma kacamata (brill hematoma) karena konjungtiva terisi darah dan
pembengkakan bola mata karena ekimosis
o Bila n. Facialis kena, timbul facial paralysis
o Akibat dari brill’s hematoma dapat terjadi penekanan saraf-saraf optik dan
motorik dari mata dapat mengakibatkan kebutaan, diplopia dan paralisa bola
mata.

Gejala Klinis
Secara garis besar, patah tulang wajah akan menimbulkan gejala:
- Nyeri tekan lokal
- Hematom lokal
- Gangguan oklusi rahang
- Gangguan faal rahang bawah
- Gangguan sensibilitas n. Supraorbitalis, n. Infraorbitalis, n. Mandibularis
- Mata juling disertai bengkak atau hematom orbita
- Arkus zigomatikus kiri kanan tidak simetris
- Perubahan bentuk hidung

Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosa pada fraktur tulang wajah, diperlukan:
1. Anamnesis
Anamnesis penting artinya untuk mengetahui riwayat kelainan atau trauma
sebelumnya. Mekanisme trauma perlu diketahui untuk mengetahui bagian tubuh
yang kemungkinan mengalami perlukaan. Lokasi nyeri untuk mencari kemungkinan
adanya kerusakan pada organ bagian dalam.
2. Pemeriksaan klinik
Jika ada trauma wajah, kontur dari tulang wajah harus dipalpasi dengan hati-hati
sebelum terjadi edema. Palpasi harus dilakukan secara serentak (kanan kiri bersama-
sama), seksama (hati-hati), dan sistematis. Perlekatan otot ekstraokular bisa terlepas
oleh fraktur dinding orbital, oleh karena itu gerakan mata harus diperiksa dan
tanyakan bila timbul diplopia. Juga ditanyakan apakah pasien merasa gigitannya
normal dan mulut harus diperiksa untuk melihat gigi yang lepas atau oklusi gigi.
Gangguan oklusi merupakan tanda yang umum dan sensitif dari fraktur rahang.
Gerakan mandibular harus diperiksa untuk menyingkirkan fraktur atau dislokasi
condilus mandibula.
3. Plain Radiografi
Jika diduga ada fraktur wajah, X-Ray dilakukan dengan membandingkan kontur sisi
sebelahnya. Opasitas dan level cairan pada sinus maksilaris menunjukkan adanya
hematoma. Foto rontgen yang sering digunakan adalah proyeksi Waters sehingga
bayangan bagian wajah tidak terganggu atau disamarkan oleh struktur tulang dasar
tengkorak dan tulang servikal.

Pemeriksaan penunjang
Selain plain radiografi, pemeriksaan yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis adalah:2
1) CT Scan
Dapat melihat fragmen tulang yang terpisah, adanya perdarahan dan fraktur basis
kranii dengan lebih jelas.
2) MRI
Tidak digunakan sebagai alat primer untuk mendeteksi fraktur fasial.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi:
- Perdarahan sekunder; karena pengikatan atau penjahitan vena/ arteri yang putus
tidak baik
- Infeksi; karena kurang steril dalam bekerja atau adanya gigi gangren pada garis
fraktur atau oral higiene penderita yang buruk
- Trismus; karena fiksasi dan imobilisasi menyebabkan otot mulut menjadi kaku
- Malunion; waktu dilakukan reposisi, oklusi gigi tidak diperhatikan atau penderita
banyak bergerak, alat fiksasi dan imobilisasi kendor
- Delayed union; penyebabnya reposisi, fiksasi dan imobilisasi yang tidak baik, daya
penyembuhan penderita yang tidak baik, dan kondisi penderita tidak baik/ menderita
penyakit kronis
- Ununion; penyebabnya reposisi tidak baik, fiksasi dan imobilisasi tidak baik, kondisi
penderita tidak baik, ada oto atau fragmen tulang yang terjepit di antara dua fragmen
fraktur tulang, space atau jarak terlalu jauh antara dua fragmen tulang, atau
perawatan fraktur tulang terlalu lama ditangguhkan.

Penatalaksanaan8
 Pertama-tama perhatikan A (Airway), B (Breathing), C (Circulation), D (Disability),
E (Exposure), F (Facility). Jika terdapat patah tulang dengan atau tanpa perdarahan,
jalan nafas bagian atas mudah tersumbat akibat dislokasi, udem, atau perdarahan.
Harus selalu diingat bahaya aspirasi atau regurgitasi lambung.
 Periksa ada/ tidak cedera pada saraf sensorik maupun motorik, kelenjar dan saluran
liur.
 Kontrol fraktur atau fragmen fraktur dengan tindakan reposisi atau reduksi, fiksasi,
imobilisasi dan rehabilitasi. Reposisi bisa secara tertutup, pada fraktur rahang yang
baru terjadi dan tidak ada interlocking dari bagian-bagian tulang yang patah.
Sedangkan reposisi terbuka dilakukan bila ada interlock yang hebat pada bagian-
bagian tulang yang patah. Imobilisasi dengan menggunakan fiksasi ekstraoral (head
bandage, head cap, pin), intraoral (wiring, splint, arch bar) ataupun fiksasi internal
(wiring, plat dan sekrup). Yang sering digunakan adalah mini plate.
 Bila fraktur rahang dilakukan preliminary Measures yaitu:
- Pada gigi patah atau rusak, sisa akar harus dicabut
- Pengambilan patahan tulang-tulang kecil yang lepas atau berserakan
- Kebersihan mulut penderita harus diperhatikan
- Pencabutan gigi yang berada pada garis fraktur
- Jaringan yang luka didesinfeksi dulu dengan larutan antiseptik
- Penjahitan jaringan lunak yang rusak
 Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan setelah fiksasi dan imobilisasi:
- Memelihara oral higiene yang baik
- Meningkatkan kesehatan umum
- Mengontrol alat-alat fiksasi dan imobilisasi

VII. Kesimpulan
Insiden fraktur tulang wajah paling banyak terjadi antara usia 19 – 39 tahun.
Angka kejadian pada laki-laki daripada perempuan oleh karena kecelakaan,
minuman keras dan perkelahian. Fraktur mandibula menempati urutan pertama dari
seluruh fraktur tulang wajah (44,2 – 67,6 %). Diikuti berturut-turut oleh fraktur
zygoma dan maksila.

DAFTAR PUSTAKA
1. Burkitt HG, Quick CRG. Head and Maxillofacial Injuries. Dalam Essential
Surgery Problems, Diagnosis and Management. Spanyol: Churchill Livingstone,
2002
2. Snell RS. Kepala dan Leher. Dalam Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran. Bagian 3. Edisi 3. Jakarta: EGC, 1997: 83-89
3. De Palma, AF. Fractures and Dislocations of the Ribs. Dalam The management
of fractures and dislocations an atlas. Volume 1, 2nd edition. USA: WB
Saunders, 1970: 460-470
4. Munir M, Widiarni D, M. Thamrin. Trauma Muka dan Leher. Dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima. Jakarta:
FKUI, 2001:161-169
5. Sjamjuhidajat R, de Jong W. Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC,1997
6. Sjamjuhidajat R, de Jong W. Kepala dan Leher. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi Revisi. Jakarta: EGC,1997
7. www. Learningradiology. com
8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Fraktur. Dalam Kapita
Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius, 2000
9. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal System.
Third edition. USA: Williams & Wilkins, 1999: 608
10. N. Tanaka et al 1994, Hill et al 1984, Shepard 1989, Thorn et al 1986

Kandangan, Februari 2024


Ners Muda

(Fatma Dewi, S.Kep)

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(Hanura Aprilia, Ns., M. Kep) (Rahmawati, S. Kep., Ns)

Anda mungkin juga menyukai