Trauma Maksilofacial
Pembimbing:
Disusun oleh :
2014
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama
: Tn. S
Usia
: 45 Tahun
Alamat
PRIMARY SURVEY
D= GCS 14 (E3M6V5)
E= Suhu 36,9C
ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Perdarahan pada luka dari wajah akibat KLL
Keluhan Tambahan :
Nyeri untuk membuka mulut, pusing
Riwayat Penyakit Sekarang :
30 menit SMRS pasien mengalami keceakaan lalulintas setelah menabrak pohon. Pasien
mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 80km/jam dan tidak mengenakan helm. Pasien
datang dengan terdapat perdarahan aktif pada wajah, pasien terlihat kesulitan untuk bicara.
Pasien tidak mengeluhkan adanya riwayat pingsan, muntah proyektil ataupun gangguan
ingatan.
= -
= -
= -
= 12 jam SMRS
= Luka tertabrak
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 100/70
Laju nadi : 102x/menit
Laju napas : 28x/menit
Suhu : 36,9
PF Generalisata :
Kepala : normocephali, deformitas (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor diameter 3mm/3mm, Rc
+/+
Leher : pembesaran KGB (-)
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: suara vesikuler pada kedua lapang paru, rhonki -/-, wheezing -/-
Paru :
Abdomen:
Inspeksi
: tampak datar
Palpasi
: nyeri tekan -
Perkusi
Auskultasi
Status Lokalis : Terdapat vulnus Laseratum a/r maksilla sepanjang kurang lebih 10 cm,
memanjang hingga region mandibula, pada region mandibula sinisra 5 cm, bagian atas
orbicularis 3 cm, pada sphenofrontalis sepanjang 7 cm, ditemukan krepitasi pada region
sphenofrontalis, tepi luka tidak beraturan dan kotor, perdarahan aktif +
DIAGNOSIS
Pria 45 tahun dengan suspek fraktur a/r sphenofrontalis dan multiple vulnus laceratum a/r
facialis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
TATALAKSANA
-
Ketorolac 3 x 30 mg IV
Metronidazol 3 x 500 mg IV
Ceftriaxone 2 x 1 gram IV
Penyuntikan ATS
Pantau TTV
TINJAUAN PUSTAKA
Trauma maksilofasial
Maksila terbentuk dari dua bagian komponen piramidal iregular yang berkontribusi
terhadap pembentukan bagian tengah wajah dan bagian orbit, hidung, dan palatum. Maksila
berlubang pada aspek anteriornya untuk menyediakan celah bagi sinus maksila sehingga
bagian besar dari orbit, nasal fossa, oral cavity, dan sebagian besar palatum, nasal cavity,
serta apertura piriformis. Maksila terdiri dari badan dan empat prosesus : frontal, zygomatic,
palatina, dan alveolar. Badan maksila mengandung sinus maksila yang besar. Pada
masa anak-anak, ukuran sinus ini masih kecil, tapi pada saat dewasa ukuran akan mebesar
dan menembus sebagian besar struktur sentral pada wajah.
2.3 Defenisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi
jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang
kepala yang terdiri dari Tulang hidung, Tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang
maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus.
2.4 Etiologi
trauma pada daerah wajah banyak disebabkan oleh kecelakaan lalulintas, kekerasan
fisik, terjatuh, olahraga dan trauma akibat senjata api. kecelakaan lalulintas merupakan
penyebab utama trauma maksilofacial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada
orang dewasa. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial
paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile). Trauma maksilofasial
banyak dijumpai pada pria dan sering pada usia produktif sekitar 21-30 tahun.
2.5 Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya
disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau
dan golok pada perkelahian.
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi
dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya :
b. Prosesus kondiloideus
c. Prosesus koronoideus
f. Korpus mandibula
d. Angulus mandibula
e. Ramus mandibula
Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis
(Banks P. Fraktur mandibula
Terdapat tiga pola fraktur maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III. Selain fraktur Le Fort,
terdapat pula fraktur alveolar, dan vertikal atau sagital maupun parasagital.
subtle, ekimosis kelopak mata bilateral biasanya merupakan satu-satunya temuan fisik. Hal
ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III dimana distrupsi periosteum tidak cukup untuk
menimbulkan mobilitas maksila. Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral),
edema, dan hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan
belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior. Cerebrospinal
Rhinorrhea atau Otorrhea. Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa
kranial tengah atau anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun
telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada cedera yang
parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan radiografi.
2.6.2.2 Palpasi
Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura zygomaticomaxillary,
mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.
Manipulasi Digital. Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan
kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari lainnya, sedangkan tangan
yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan
terdengar suara krepitasi jika terjadi fraktur.
Maloklusi Gigi. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke
arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal gigi sebelumnya
akan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi
masih dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang
dan bawah akan terjadi maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama
lain.
Pemeriksaan ulang secara teliti terhadap anatomi wajah dapat dilakukan segera
setelah kondisi awal stabil, mencakup pengaturan kembali alis mata, kelopak mata dan
daerah bibir.
- Foto polos
Teknik yang dipakai pada foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex,
dan lateral view. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin
akan kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus
maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah
nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid
- CT scan ( pilihan untuk pemeriksaan diagnostic).
Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila
adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati
fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan
kecurigaan adanya fraktur maksila. Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur
maksila, membuat klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas
dalam mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan.
Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama pada foto CT scan potongan
koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir selalu mengindikasikan bahwa fraktur
maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort. Untuk terjadinya fraktur Le
Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi. Kedua, untuk mengklasifikasikan
fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur tulang yang unik untuk masing-masing tipe
yaitu; margin anterolateral nasal fossa untuk Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le Fort II,
dan zygomatic arch untuk Le Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le
Fort dimana fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ke-tiga,
jika salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe tersebut,
maka selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi fraktur-fraktur komponen
tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu.
Skema dibawah ini menunjukkan komponen unik untuk masing-masing tipe Le Fort.
Pada Le Fort I, margin anterolateral nasal fossa (tanda panah) mengalami fraktur, struktur ini
tetap utuh pada Le Fort II dan III. Sedangkan pada Le Fort II, rima orbita inferior (tanda
panah) yang mengalami fraktur, tapi utuh pada Le Fort I dan III. Pada Le Fort III, yang
mengalami fraktur adalah zygomatic arch (tanda panah) namun utuh pada Le Fort I dan II.
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan awal pada cedera yang mengancam nyawa pada trauma wajah mencakup
penanganan obstruksi pernapasan, aspirasi dan perdarahan. Fraktur wajah dicurigai pada
pasien dengan gejala kontusio, laserasi, deficit neurologis,tenderness, maloklusi,gangguan
penglihatan dan asimetri wajah. Pemeriksaan pada daerah wajah dilakukan dari superior
sampai dengan inferior atau inferior menuju superior dan mencakup(Schwartz) :
-
palpasi pada seluruh bagian craniofacial untuk mengecek irregularitas atau krepitus
pemeriksaan intraoral untuk maloklusi, fraktur atau adanya gigi yang patah
Pada trauma berat, tatalaksana dalam penanganan lebih ditekankan pada penanganan
jaln napas dan evaluasi cedera medulla spinalis, setelah itu dilakukan evaluasi pada
cedera wajah. . Pasien dengan fraktur tulang wajah yang luas memerlukan penangan
yang khusus disebabkan oleh adanya edema akibat trauma dan perdarahan intraoral
dapat dengan cepat membahayakan
Benda asing disingkirkan dan luka dilakukan irigasi, akan tetapi radikal debridement pada
kerusakan jaringan tidak disarankan disebabkan oleh jaringan lunak daerah wajah
diperdarahi oleh system pembuluh darah yang kompleks.
Luka pada wajah yang dilakukan irigasi dapat menutup dalam waktu 8 jam. Penutup
luka primer dapat tertunda sampai dengan 24 jam pada luka yang dilakukan irigasi,
penutupan dengan sterile dressing dan dengan pemberian antibiotic. Pemberian serum
antitetanus diindikasikan. Pada penangana luka akibat gigitan binatang ( anjing
dankucing) biasanya disertai pemberian antibiotik ( amoksilin atau doxycycline), akan
tetapi untuk gigitan manusia dapat diberikan juga antibiotik sekunder untuk kuman
anaerob.
Stabilisasi Plat dan Sekrup. Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih disukai. Pada
Le Fort I, plat mini ditempatkan pada tiap buttress nasomaxillary dan zygomaticomaxillary.
Pada Le Fort II, fiksasi tambahan dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital.
Pada Le Fort III, plat mini ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk stabilisasi.
Plat mini yang menggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai untuk stabilisasi buttress
maksila. Ukuran yang sedemikian kecil dipakai agar plat tidak terlihat dan teraba. Kompresi
seperti pada metode yang dijukan oleh Adam tidak dilakukan kecuali pada daerah
zygomaticofrontal. Sebagai gantinya maka dipakailah plat mini agar dapat beradaptasi secara
pasif menjadi kontur rangka yang diinginkan. Pengeboran untuk memasang sekrup dilakukan
dengan gurdi bor yang tajam dengan diameter yang tepat. Sebelumnya sekrup didinginkan
untuk menghindari terjadinya nekrosis dermal tulang serta dilakukan dengan kecepatan
pengeboran yang rendah. Fiksasi maksilomandibular dengan traksi elastis saja dapat
dilakukan pada fraktur Le Fort tanpa mobilitas. Namun, apabila dalam beberapa hari oklusi
tidak membaik, maka dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal.
Cangkok Tulang Primer. Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur harus
diganti saat rekonstruksi awal. Bila Gap yang terbentuk lebih dari 5 mm maka harus
digantikan dengan cangkok tulang. Cangkok tulang diambil dari kranium karena
aksesibilitasnya (terutama jika diakukan insisi koronal), morbiditas tempat donor diambil
minimal, dan memiliki densitas kortikal tinggi dengan volum yang berlimpah. Pemasangan
cangkokan juga dilakukan dengan plat mini dan sekrup. Penggantian defek dinding antral
lebih dari 1.5 cm bertujuan untuk mencegah prolaps soft tissue dan kelainan pada kontur pipi.
Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular. Setelah reduksi dan fiksasi semua fraktur
dilakukan, fiksasi maksilomandibular dilepaskan, oklusi diperiksa kembali. Apabila terjadi
gangguan oklusi pada saat itu, berarti fiksasi rigid harus dilepas, MMF dipasang kembali,
reduksi dan fiksasi diulang.
Resuspensi Soft tissue. Pada saat menutup luka, soft tissue yang telah terpisah dari
rangka dibawahnya ditempelkan kembali. Untuk menghindari dystopia lateral kantal,
displacement massa pipi malar ke inferior, dan kenampakan skleral yang menonjol, dilakukan
canthoplexy lateral dan penempelan kembali massa soft tissue pipi pada rima infraorbita.
Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila. Pada fraktur ini dapat terjadi rotasi pada
segmen alveolar denta, dan merubah lebar wajah. Sebagian besar terjadi mendekati garis
tengah pada palatum dan keluar di anterior diantara gigi-gigi kuspid. Fraktur sagital dan juga
tuberosity dapat distabilkan setelah fiksasi maksilomandibular dengan fiksasi sekrup dan plat
pada tiap buttress nasomaksilari dan zygomaticomaxillary.
2.8 Prognosis
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu yang
paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera mungkin setelah
terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur dapat kita eliminasi.
Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah
menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari.
Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah
mengalami penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full
open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.
2.9 Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta gangguan
pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan pembengkakan soft tissue.
Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal
luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami
fraktur. Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali
terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula
mengalami fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga
dapat terjadi akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat
berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi
sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot
ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah (memanjang,
retrusi).
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA