Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma wajah merupakan kasus yang sering terjadi, menimbulkan masalah

pada medis dan kehidupan sosial. Meningkatnya kejadian tersebut disebabkan

bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan terjadinya

kecelakaan lalu lintas.1 Trauma tumpul yang cukup keras merupakan etiologi dari

trauma tersebut. Trauma merupakan urutan keempat penyebab kematian, dapat

terjadi pada semua usia terutama 1-37 tahun. Hampir 50% di Amerika Serikat

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Pramesthi dan Yusuf, 2008).

kejadian persen hingga 85% fraktur mandibula terjadi pada laki-laki, dengan

mayoritas terjadi pada individu di usia dua puluhan dan tiga puluhan. Penyebab

paling umum adalah serangan yang diperparah dan tabrakan kendaraan bermotor

(MVC) pada pria, dan jatuh dan MVC pada wanita. Penyebab umum lainnya

termasuk kegiatan olahraga dan luka tembak. Mekanisme cedera penting untuk

dipertimbangkan karena menyediakan dokter dengan indeks kecurigaan untuk

cedera bersamaan, yang dapat menunda perbaikan atau memerlukan modalitas

pengobatan yang berbeda. MVC dan luka tembak, misalnya, karena sifat kekuatan

yang diciptakan, cenderung menjadi yang paling merusak pada kerangka

kraniofasial(Koshi, dk, 2010)

Fraktur mandibula adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang pada

mandibular. Gold standar untuk mendiagnosis fraktur mandibula adalah

pemeriksaan klinis. Pemeriksaan dan palpasi dilakukan dengan hati-hati pada

1
derah yang dicurigai ada patah. Pemeriksaan klinis dilengkapi dengan radiografi

untuk diagnosis dan perencanaan terapi. Panoramik x-ray merupakan modalitas

utama untuk evaluasi fraktur mandibularPertumbuhan mandibula terjadi dalam

arah lateral dan anterior, pelebaran dan pemanjangan wajah. Pusat pertumbuhan

kondilar adalah koordinator utama dari pertumbuhan mandibula, karena itu setiap

trauma yang terjadi pada daerah ini dapat menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan mandibula, asimetri wajah, deviasi mandibula, dan maloklusi. Dari

semua tulang wajah, mandibula adalah yang paling terakhir dalam menyelesaikan

pertumbuhannya(Hadira dkk, 2016).

Penatalaksanaan cedera kepala sedang mempunyai prinsip penatalaksanaan

yaitu sesuai ATLS (Advenced trauma Life Support), dimulai dengan primary

survey, resusitasi dan penatalaksanaan, secondary survey dan stabilisasi,

kemudian craniectomy debridemet karena adanya depress fraktur terbuka pada

tulang kepala.3 Prinsip penatalksanaan fraktur mandibula dengan Recognition,

reduction, stabilization, & fixation. Fiksasi maksilomandibular dapat dilakukan

dengan pemasangan erich arch bar. Pada umur antara 5-12 tahun, dapat dilakukan

pemasangan circummandibular wires atau fiksasi skeletal (Hadira dkk, 2016).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan fiksasi internal pada rahang?

2. Bagaimana parawatan fiksasi internal pada rahang?

3.

2
1.3 Tujuan

Pembaca dapat mengetahui pengertian, tata cara serta komplikasi perawatan

dari fiksasi internal pada rahang.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Diagnosa Trauma Maksilofacial

Seorang ahli bedah mulut dan maksilofasial pada milenium ini harus

mampu mengevaluasi dan merawat cedera jaringan lunak dan jaringan keras di

kepala dan leher dengan kompetensi yang sama. Untuk mencapai standar tinggi

ini, pendekatan yang logis dan terdokumentasi baik harus dimulai segera setelah

ahli bedah melihat pasien(Peterson , 1988).

Mendapatkan riwayat yang adekuat dari korban trauma adalah sulit karena

biasanya mereka tidak mampu memberi respon dengan baik. Keadaan tidak sadar

(koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi

dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat

dipergunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, PPPK, polisi,

pekerja pada UGD. Tanggal, waktu, tempat kejadian, dan peristiwa khusus

dicatat(Peterson , 1988).

Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit

pasien penderita fraktur maksilofasial ialah:

 Bagaimana kejadiannya?

 Kapan kejadiannya?

 Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat

yang kemungkinan dapat menyebabkannya?

 Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?

4
 Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri,

sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi?

Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan,

imunisasi tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang

pernah dilakukan. Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya

menimbulkan keluhan sakit kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran,dan

mati rasa di daerah kening. Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan

keluhan perubahan ketajaman penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus,

mati rasa di daerah paranasal dan infraorbital, dan obstruksi jalan nafas. Jejas pada

sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada

rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus(Saleh, 2016).

Sebelum memulai pemeriksaan klinik pada daerah mulut dan maksilofasial

harus dipastikan bahwa cedera sistemik lain telah dievaluasi misalnya cedera

spina servikal atau trauma dada. Pemeriksaan neurologi sesuai dengan Glasgow

Coma Scale (GCS) untuk mengetahui status neurologi pasien. Jika pasien

menderita cedera multipel, konsultasi dan pemeriksaan yang adekuat harus

dilakukan sebelum pasien menjalani operasi bedah mulut dan maksilofasial.

Indikasi untuk melakukan konsultasi pada trauma mulut dan maksilofasial adalah

sesuai (Saleh, 2016).

Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah,

terjadi pergeseran lateral atau inferior. Pergerakan mandibula juga dievaluasi

dengan cara memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan

apabila ada penyimpangan dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan

jarah interinsisal dicatat. Apabila ada meatus acusticus externus penuh dengan

5
darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak mengarah ke

bawah dan kedepan untuk melakukan palpasi terhadap caput condylus pada saat

istirahat dan bergerak (Saleh, 2016).

Pada fraktur subcondylus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang

amat sangat atau caput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior

mandibula dipalpasi mulai dari processus condylaris sampai ke symphisis

mandibula. Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area

inferior dan lateral mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi

untuk melihat adanya laserasi pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi.

Untuk menilai mobilisasi maksila, stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan

menahan kening pasien menggunakan salah satu tangan. Kemudian ibu jari dan

telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila(Saleh,

2016).

2.2 Tanda-tanda Fraktur

Tanda-tanda atau gejala fraktur yang dapat dibedakan menjadi tanda fraktur yang

pasti (definitif) dan tanda yang tidak pasti. Tanda fraktur yang pasti menunjukkan

bahwa memang pasti terdapat fraktur, sedangkan tanda fraktur yang tidak pasti

menunjukkan bahwa ada kemungkinan terdapat fraktur, namun harus dilakukan

pemeriksaan lanjutan lagi (Saleh, 2016).

Tanda-tanda fraktur yang pasti (Saleh, 2016).:

 Dislokasi, misalnya pada fraktur zigomatik terlihat perubahan kontur

muka. Kontur muka pada bagian yang mengalami fraktur terlihat lebih

6
cekung. Pada fraktur hidung juga terlihat displacement dengan jelas berupa

perubahan kontur dari hidung.

 Pergerakan yang tidak normal dari hidung

 Krepitasi

· Tampak fragmen patahan dari tulang. Tanda-tanda fraktur yang tidak pasti:

 Rasa sakit

 Pembengkakan, hematoma.

 Gangguan fungsi (function laesa), misalnya trismus, gangguan saat

menelan, ataupun bicara

 Maloklusi

 Parastesi, misalnya pada daerah persyarafan n.alveolaris inferior pada

fraktur mandibula dan pada daerah persyarafan n.orbitalis pada fraktur

wajah.

2.3 Klasikikasi fraktur

Pembagian pola trauma wajah pertama kali diungkapkan oleh Rene Le

Fort pada 1901, melaporkan penelitian pada jenazah yang mengalami trauma

tumpul. Disimpulkan terdapat pola prediksi fraktur berdasarkan kekuatan dan arah

trauma. Terdapat tiga predominan tipe yaitu Le Fort I –III (Paramesti & yusuf,

2008).

1. Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin, transversal )

Garis fraktur pada maksila bagian bawah dapat memisahkan palatum dari

korpus maksila. Bila komplit garis fraktur dapat meliputi septum nasi bagian

7
bawah, dasar hidung, bagian lateral apertura piriformis, fosa kanina, dasar sinus

maksilaris dan dinding anterolateral maksila(Paramesti & yusuf, 2008).

2. Fraktur Le Fort II (piramidal)

Merupakan 35-55% dari fraktur maksilofasial, arah dapat juga dari

horizontal. Bila komplit garis fraktur pada tulang nasal, prosesus frontalis

maksila, tulang lakrimal, daerah infra orbita (mendekati garis sutura zygomatiko

maksilaris) dan lateral inferior dinding sinus maksilaris(Paramesti & yusuf, 2008).

3. Le Fort III (craniofacial disjunction)

Merupakan tipe terberat karena dapat memisahkan bagian bawah maksila

dengan basis kepala, namun tipe ini jarang dijumpai sekitar 5-15%. Arah trauma

dapat oblik maupun horizontal. Bila komplit garis fraktur terletak pada sisi atas

hidung (sutura fronto nasal) yaitu fraktur tulang nasal, prosesus frontal maksila,

tulang lakrimal, lamina papirasea, sinus ethmoid dan fisura orbitalis inferior.

Pembagian bentuk fraktur dapat juga disebut sebagai komplit, inkomplit,

hemi Le Fort atau hanya berdasar lokasi spesifik seperti fraktur maksila secara

khusus disebut fraktur maksila medial, sagital atau para sagital fraktur palatum

durum.Trauma wajah jarang muncul hanya dalam satu klasifikasi saja namun

dapat berupa kombinasi tipe fraktur, tapi penggolongan menurut Le Fort ini masih

dapat digunakan sebagai pertimbangan dan komunikasi(Paramesti & yusuf, 2008).

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya (Saleh, 2016).:

1. Midline : fraktur diantara incisal sentral.

8
2. Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis

alveolar yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi

molar 3).

3. Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.

4. Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter

hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi

molar 3).

5. Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua

garis apikal pada sigmoid notch.

6. Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio

ramus.

7. Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior

mandibula hingga regio ramus.

8. 8. Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.

Gambar 1

9
2.4 Perawatan fraktur

Penatalaksanaan cedera kepala sedang sesuai ATLS (Advenced trauma Life

Support), dimulai dengan primary survey, resusitasi dan penatalaksanaan,

secondary survey dan stabilisasi, kemudian craniectomy dan debridement karena

ditemukan luka robek disertai fraktur terbuka pada tulang kepala lebih dari satu

tabula. Fraktur depress lebih dari satu tabula merupakan indikasi cnaiectomy. Hal

ini untuk mencegah infeksi dan mencegah terjadinya defisit neurologis fokal yang

disebabkan kerusakan korteks otak akibat penekanan fragmen tulang. sumber

infeksi intrakranial terutama jika disertai dengan fraktur depress tulang kepala dan

robeknya duramater. infeksi ini bisa berkembang menjadi meningitis dan abses

otak. Luka penetrasi yang menembus tulang kepala seperti benda tajam yang

menancap dikepala, luka tembak, dan fraktur depress membutuhkan tindakan

craniectomy debridement(Hadira dkk : 2016).

Sebelum dilakukan debridement, diberikan antibiotik profilaks yang

dilakukan di ruangan emergency. Yang terbaik adalah golongan sefalosforin.

Biasanya dipakai sefalosforin golongan pertama. Pada fraktur terbuka, diberikan

tambahan berupa golongan aminoglikosida, seperti tobramicin atau gentamicin.

Golongan sefalosforin golongan ketiga dipertimbangkan di sini. Sedangkan pada

fraktur yang dicurigai terkontaminasi kuman clostridia, diberikan penicillin

(Saleh, 2016).

Peralatan proteksi diri yang dibutuhkan saat operasi adalah google, boot

dan sarung tangan tambahan. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pencucian

dengan povine iodine, lalu drapping area operasi. Debridement dilakukan pertama

10
kali pada daerah kulit. Kemudian rawat perdarahan di vena dengan melakuan

koagulasi. Buka fascia untuk menilai otot dan tendon. Viabilitas otot dinilai

dengan 4C, “Color, Contractility, Circulation and Consistency. Lakukan

pengangkatan kontaminasi canal medullary dengan saw atau rongeur. Curettage

canal medulary dihindarkan dengan alasan mencegah infeksi ke arah proksimal.

Irigasi dilakukan dengan normal saline. Penggunaan normal saline adalah 6-10

liter untuk fraktur terbuka. Tulang dipertahankan dengan reposisi. Penutupan luka

dilakukan jika memungkinkan. Pada fraktur terbuka yang tidak bisa dilakukan

penutupan luka, dilakukan rawat luka terbuka, hingga luka dapat ditutup

sempurna. Perawatan fraktur dapat dibedakan menjadi perawatan fraktur secara

tertutup (closed) atau terbuka (open) (Saleh, 2016).

Salah satu konsep dasar dari perawatan fraktur mandibula adalah bahwa

oklusi dapat dijadikan patokan untuk mereduksi fraktur oleh sebab itu MMF

adalah komponen yang penting dari terapi fraktur maksilofasial. Penatalaksaan

awal dari pasien ini adalah aplikasi arch bar dan MMF untuk mendapatkan oklusi

sebelum terjadi trauma, kesimetrisan, keseimbangan dan bentuk wajah. Fragmen

yang terpisah harus dikembalikan pada posisi benar sebelum dilakukan

pemasangan fiksasi rigid, hal ini dapat dilakukan dengan pemasangan wire

terlebih dahulu pada fragmen yang terpisah jauh(Ronal dkk, 2016).

Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF)

disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi

terhadap area fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak

digunakan ialah penggunaan arch bar (Saleh, 2016).

11
Dengan pengecualian pada hidung, fraktur mandibula terjadi dua kali lebih

sering daripada fraktur tulang wajah lainnya. Pentingnya mandibula tidak hanya

kosmetik; itu juga berfungsi dalam menggigit, mengunyah, dan berbicara. Tujuan

pengobatan fraktur mandibula adalah untuk mengembalikan oklusi gigi yang tepat

dan gerakan sendi temporomandibular stabil (TMJ) serta pengurangan

fraktur(Anwar dkk, 2015).

Kemampuan untuk mengobati fraktur dengan reduksi terbuka (OR) dan

fiksasi internal (IF) telah secara dramatis merevolusi pendekatan terhadap fraktur

mandibula. Secara tradisional, OR / IF telah membutuhkan periode imobilisasi

mandibular pasca operasi dengan fiksasi maksilomandibular rigid (MMF) hingga

6 minggu untuk penyembuhan yang memuaskan. Kesulitan yang terkait dengan

periode imobilisasi ini termasuk masalah saluran napas, nutrisi yang buruk,

penurunan berat badan, kebersihan mulut yang buruk, kesulitan fonasi, insomnia,

ketidaknyamanan sosial, ketidaknyamanan pasien, kehilangan pekerjaan, dan sulit

dalam memulihkan fungsi rahang rentang normal. Fiksasi rigid fraktur mandibula

memungkinkan mobilisasi awal dan pemulihan fungsi rahang dan kontrol saluran

napas; meningkatkan status gizi, berbicara, kebersihan mulut, dan kenyamanan

pasien; dan memungkinkan kembalinya lebih awal ke tempat kerja (Anwar dkk,

2015).

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pelepasan segera pasca operasi dari

rigid MMF setelah OR / IF menggunakan plat titanium mini sama efektif dan

aman dengan mempertahankan MMF pasca operasi. Oleh karena itu, peran pasca

operasi dari rigid MMF telah menurun, tetapi penting untuk mempertahankan

oklusi yang tepat. sampai fiksasi internal dari fraktur(Anwar dkk, 2015).

12
Gambar 2 : bahan untuk fiksasi

Temuan klinis berkorelasi dengan pencitraan radiografi diagnostik termasuk

pandangan panoramik dari mandibula, computed tomography (CT) scan (koronal,

pemotongan aksial, dan mungkin CT tiga dimensi). Gambaran panoramic

mandibula diperoleh pasca operasi untuk tindak lanjut. Operasi ini dilakukan di

bawah anestesi umum menggunakan intubasi endotrakeal nasal. Rigid MMF

menggunakan arch bar dan kabel dilakukan pertama kali pada kelompok kontrol.

Pengurangan terbuka fraktur (s) dilakukan melalui insisi sublabial yang lebih

rendah. Dalam kelompok studi, paparan, diseksi, dan disimpaksi fraktur dilakukan

saat mandibula dibuka, maka 3MF intraoperatif sementara dilakukan oleh asisten

13
(ahli bedah maksilofasial) untuk mendapatkan dan mempertahankan oklusi gigi

yang tepat selama IF(Anwar dkk, 2015).

Fase bedah (Elhussein dkk, 2017):

 Anastesi umum diberikan kepada semua pasien.

 Rongga mulut swab dengan larutan povidone iodine kemudian di sekitar

lokasi bedah dan ekstra oral diikuti dibersihkan dengan handuk steril.

 Fiksasi maxillo-mandibular (MMF) diaplikasikan untuk menyejajarkan

gigi pada oklusi normal.

 Pendekatan intraoral mandibula vestibular degloving menjadi pendekatan

yang paling disukai digunakan dengan membuat insisi kurvilinear 3mm

apikal kebatas mucogingival. Paparan dari lokasi fraktur diperoleh dengan

diseksi standar melalui mukosa, otot mentalis, dan periosteum. Fragmen

dikurangi dan disimpan dalam aposisi dan dikonfirmasi secara visual

dengan memverifikasi keselarasan korteks buccal dan batas inferior.

Dua titanium miniplates (ketebalan 1,5 mm) dengan setidaknya dua lubang

di kedua sisi masing-masing garis fraktur dan sekrup bikortikal digunakan.

Perawatan diambil selama insisi, diseksi, dan IF untuk menghindari cedera saraf

mental. Insisi sublabial kemudian ditutup, dan pada pasien dalam kelompok

kontrol, rigid MMF dihilangkan, dengan mobilisasi langsung mandibula. Pasien

diberi diet lunak selama 1 bulan. Antibiotik profilaksis dan analgesik diresepkan

untuk semua pasien. Neurotonik diresepkan untuk kasus mati rasa pada dagu, dan

pasien dipulangkan dari rumah sakit pada hari kedua setelah operasi(Anwar dkk,

2015).

14
Gambar 3 : intraoral pada fraktur

Gambar 4: dari CBCT terlihar fraktur parasimpisis

15
Gambar 5: intraoperative fraktur mandibula

Gambar 6: wire interdental dan lempengan mikro berbentuk lubang-4

dengan 4 sekrup ditempatkan pada sisi rahang rahang bawah.

16
Gambar 7: bila fraktur pada angulus dapat ditempatkan a sagittal split

osteotomy plate

Ada kelebihan dan kekurangan untuk kedua metode fiksasi.tertutuReduksi

tertutup tidak menyebabkan trauma pada vaskular dan lebih murah untuk pasien;

Namun, hal ini terkait dengan periode imobilisasi dan penutupan rongga mulut

yang signifikan, dan membutuhkan gigi yang utuh atau beberapa bentuk catatan

gigi. Pengurangan terbuka dan fiksasi internal (ORIF), sebaliknya,

memungkinkan untuk visualisasi langsung dan pengurangan segmen tulang retak

dan pemulihan oklusi preinjury pasien tanpa fiksasi lengkap mandibula dan

maksila. Hal ini memungkinkan penyembuhan tulang dalam waktu yang lebih

singkat, yang menyebabkan kembalinya pasien ke fungsi rahang normal dan

nutrisi serta kebersihan mulut yang lebih baik. Penting untuk dicatat,

bagaimanapun, bahwa potensi infeksi benda asing lebih mungkin dengan teknik

ini. Selain itu, penelitian yang telah memeriksa komplikasi dengan kedua teknik

telah menunjukkan bahwa ORIF(Open reduksi dan fiksasi internal) dikaitkan

dengan peningkatan morbiditas, dan meskipun ini dapat dijelaskan dengan

vaskularisasi. perubahan yang disebabkan oleh intervensi, karena belum ada

penelitian acak yang membandingkan keduanya. Ini juga bisa karena ORIF (Open

reduksi dan fiksasi internal) biasanya digunakan dalam cedera yang lebih

parah( Hollier, 2015).

Faktor lain yang penting untuk dipertimbangkan adalah kepatuhan pasien.

Satu studi mencatat bahwa hingga 60% pasien yang dirawat karena fraktur wajah

17
bisa tidak sesuai dalam beberapa bentuk. Menentukan bentuk yang tidak sesuai

adalah penting ketika memutuskan antara IMF / MMF atau ORIF, karena pasien

ini paling baik diobati dengan ORIF untuk mengurangi risiko pelepasan dini IMF

/ MMF dan komplikasi berikutnya( Hollier, 2015).

IMF / MMF juga merupakan pilihan yang masuk akal bagi mereka yang

berisiko tinggi mengalami komplikasi dengan ORIF . namun, ada banyak

tumpang tindih antara kelompok berisiko ini untuk komplikasi dan kelompok

berisiko untuk ketidakpatuhan, dan IMF / MMF mungkin bukan pilihan terbaik

untuk hasil jangka panjang. Pada titik ini, penilaian menyeluruh harus dilakukan

dan diskusi menyeluruh yang diadakan dengan pasien untuk menentukan metode

pengobatan terbaik. Keputusan mengenai kepatuhan dan pilihan rekonstruksi

sangat penting karena penyebab banyak fraktur wajah (serangan berat,

perkelahian, alkohol / obat-obatan, dll.) Sudah menunjukkan kemungkinan besar

ketidakpatuhan( Hollier, 2015).

Pada prinsipnya perawatan definitif trauma oromaksilofasial terdiri atas

tindakan reduksi/reposisi, fiksasi, dan imobilisasi.

1. Reduksi atau Reposisi

Reduksi atau reposisi dari fraktur rahang adalah mengembalikan fragmen

– fragmen tulang yang mengalami farktur ke posisi anatomi semula. Pedoman

yang paling baik dalam tindakan reduksi adalah oklusi dari gigi geligi. Secara

umum terdapat dua metode dalam tindakan reduksi rahang, yaitu reduksi

18
tertutup (closed reduction) dan reduksi terbuka (open reduction)(Anwar dkk,

2015).

 Reduksi Tertutup

Adalah suatu tindakan reduksi fraktur tanpa melakukan pembedahan atau

operasi, fiksasi dan imobilisasi biasanya menggunakan alat yang sama.

 Reduksi Terbuka

Adalah tindakan reduksi fraktur dengan cara pembedahan atau operasi.

Pada reduksi terbuka tindakan reposisi, fiksasi, dan imobilisasi biasanya

menggunakan alat yang berbeda. Reposisi dapat menggunakan alat berupa

suatu interosseus wiring, bone plate with screw, intramedullary wire, pin

dan rods. Reduksi terbuka merupakan metode paling akurat dalam

tindakan reposisi segmen – segmen fraktur, karena dengan metode ini

dapat diperoleh pandangan langsung terhadap lokasi tulang yang

mengalami fraktur( Hollier, 2015).

2. Fiksasi dan Immobilisasi

Tindakan utama perawatan trauma oromaksilofasial adalah pada tahap

perawatan definitif yang dimaksudkan untuk mereposisi dan merekontruksi

tulang – tulang oromaksilofasial sedapat mungkin seperti keadaan sebelum

terjadi trauma. Namun tentu saja perawatan definitif ini harus dilakukan setelah

keadaan umum pasien stabil, terkontrol, dan telah melewati masa kritis. Seperti

telahdisebutkan diatas bahwa perawatan definitif trauma oromamaksilofasial

meliputi tiga tindakan, yaitu: reposisi/reduksi, fiksasi, dan imobilisasi( Hollier,

2015).

19
Untuk mendapatkan hasil penyembuhan fraktur yang baik, fragmen -

fragmen tulang harus terikat dengan kuat pada posisi anatomi semula. Adanya

pergerakan antar fragmen tulang dapat mengganggu proses penyembuhan dan

meningkatkan resiko terjadinya fibrous union. Fiksasi yang baik menghsilkan

terbentuknya kalus pada proses penyembuhan fraktur dimana terjadi

remodeling tulang secara perlahan sehingga terbentuk kontur tulang yang

normal. Pada prinsipnya fiksasi dapat berupa alat yang rigd, semi-rigid, atau

non-rigid dimana penempatannya dapat internal maupun eksternal. Posisi yang

akurat, oklusi dan angulasi yang baik, tidak adanya interposisi jaringan lunak

serta reduksi yang benar sangat penting untuk memastikan terjadinya

penyembuhan tulang yang baik. Penutupan jaringan lunak baik itu mukosa

maupun kulit sangat penting khususnya dalam kasus – kasus penggunaan

fiksasi internal( Hollier, 2015).

Secara umum fiksasi pada trauma oromaksilofasial dapat dibagi menjadi

tiga jenis:

 Fiksasi Intramaksila

Yaitu suatu cara fiksasi dengan jalan pengikatan gigi geligi hanya pada

rahang atas atau rahang bawah saja. Misalnya metode wiring eyelet,

Essig, rigid arch bar pada satu rahang, dan lain – lain.

20
Gambar 7 : Tahap – tahap pembuatan eyelet

 Fiksasi Intermaksila

Adalah suatu cara fiksasi fraktur rahang dengan cara mengunci gigi geligi

rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi dengan menggunakan

kawat atau rubber elastic band. Misalnya metode Gilmer, Ivy’s loop, Stout

continous, arch bar dari Jelenko, Winter, Erich, Austin, dan penggunaan

splint dari logam atau akrilik. Untuk perawatan kasus fraktur rahang

edentulous dapat digunakan denture atau Gunning splint yang

dikombinasikan dengan kawat atau rubber elastic band( Hollier, 2015).

Gambar 8 : screw and wire

Gambar 9 : Gunning splint untuk rahang edentulous

21
Gambar 10 : Erich bar & rubber elastic

 Fiksasi Ekstramaksila

Adalah suatu cara fiksasi yang dilakukan dari luar rongga mulut, dapat

dibagi menurut penempatannya: cranial, fasial, oksipital, frontal, dan

servikal. Sedangkan alat yang digunakan dapat berupa: bandage, head cap

strips, adhesive tape, head gear, head frame, dll( Hollier, 2015).

Gambar 11: Fiksasi Ekstramaksila

2.5 Reduksi Terbuka dan Fiksasi Internal

22
Pelat dan sekrup berfungsi untuk memfiksasi secara kaku dan mencegah

setiap gerakan segmen fraktur dengan menyerap semua atau sebagian beban

fungsional yang ada di lokasi fraktur. Selanjutnya, beberapa prinsip mendasari

proses pengambilan keputusan untuk perbaikan fraktur mandibula. Pilihan harus

dibuat mengenai panjang dan ketebalan pelat yang tepat yang diperlukan, dan

jenis dan ukuran sekrup yang digunakan( Hollier, 2015).

Pertama, panjang pelat umumnya ditentukan untuk memungkinkan

penempatan lebih dari satu sekrup di kedua sisi fraktur untuk membatalkan

kekuatan dinamis yang bekerja pada mandibula. Dalam kondisi yang ideal, tiga

sekrup ditempatkan di kedua sisi segmen fraktur untuk memungkinkan jaminan

terhadap stabilisasi yang tidak memadai, dengan sekrup ditempatkan setidaknya

beberapa milimeter dari lokasi fraktur( Hollier, 2015).

Selanjutnya, ketebalan plat yang tepat ditentukan oleh kekuatan yang

diperlukan untuk menstabilkan segmen tulang yang retak. Pilihan untuk stabilisasi

dapat dibagi menjadi fiksasi berbagi-beban (miniplates, profil 1,0 mm;

penguncian fraktur universal / pelat tanpa kunci, profil 1,5-mm; sekrup lag) atau

fiksasi beban-bearing (pelat penguncian dan non-aktif rekonstruksi) Profil 1.5-,

2.0-, 2.5-, atau 2.8-mm). Pilihan-pilihan ini berbeda dalam diameter sekrup

internal, ketebalan, luas permukaan dari tulang yang bersentuhan (jejak), tingkat

titanium, kelenturan, dan dalam kemampuan mereka untuk menstabilkan segmen

tulang melawan gaya intrinsik pada mandibula. Karakteristik ini, secara umum,

meningkat ketika seseorang berkembang dari miniplates, ke plat rekah / locking

plate , ke recon plat( Hollier, 2015).

23
Menentukan antara bentuk-bentuk fiksasi kaku ini didasarkan pada kualitas

tulang dari segmen yang retak dan gaya intrinsik pada mandibula. Jika kualitas

tulang buruk, seperti dengan kominusi yang signifikan, cacat, atau atrofi, maka

fiksasi beban-bantalan akan diperlukan untuk stabilisasi. Untuk situasi lain,

seperti dengan pasien laki-laki muda yang sehat, plate yang lebih kuat dan sekrup

ekstra akan diperlukan karena kekuatan gigitan yang lebih besar yang ditempatkan

pada mandibula. Miniplates, dengan ketebalan yang menurun, footprint, grade

titanium, dan peningkatan kelenturan, paling baik digunakan di sepanjang area

mandibula yang mengalami tingkat kekuatan yang lebih kecil. Pada tahun 1978,

Champy et al mendefinisikan lebih lanjut daerah-daerah mandibula yang hanya

membutuhkan pelat monokortikal untuk memungkinkan fiksasi stabil sepanjang

simfisis, parasfisis, dan sudut mandibula. Daerah-daerah ini kemudian telah

disebut garis ketegangan Champy, dengan bagian superior dari garis juga disebut

sebagai pita ketegangan mandibula( Hollier, 2015).

Baru-baru ini, pelat pengunci telah diperkenalkan yang memungkinkan kepala

sekrup untuk "terkunci" ke plate , sehingga memutar pelat dan sekrup alat ke

fixator internal-eksternal. Ada keuntungan teoritis dan biomekanik pada teknik

ini, termasuk risiko maloklusi yang lebih rendah akibat kontur pelat yang tidak

tepat, frekuensi pelonggaran sekrup yang lebih rendah, kemudahan penggunaan,

dan berkurangnya waktu untuk aplikasi. Selain itu, penelitian telah menunjukkan

penggunaan dan klinisnya. Namun, manfaat yang jelas atas pelat dan sekrup

nonlocking belum terbukti secara definitif. Meskipun teknik fiksasi kaku ini telah

menjadi status quo untuk fiksasi fraktur, perlu dicatat bahwa satu kelemahan

adalah bahwa ahli bedah mungkin mendapatkan masukan sensorik yang menurun

24
mengenai tulang yang adekuat. membeli karena desain plate dan sekrup( Hollier,

2015).

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sebelum pembersihan lengkap

ORIF dari lokasi fraktur merupakan langkah pertama yang penting dan sering

diabaikan. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan fraktur setelah menarik

kembali jaringan lunak dan membuka periosteum dengan elevator, rongeurs

sinovial, atau hemostat melengkung sederhana. Beberapa menit menghabiskan

penghilangan kotoran, jaringan lunak, hematoma, dan fraktur tidak mencegah

tidak adanya tekanan pada fraktur dan masalah memperoleh oklusi / pengurangan

tulang anatomi, akhirnya menghasilkan hasil yang lebih baik( Hollier, 2015).

Gambar 12: 4 titik screw fiksasi yang digunakan untuk stabilisasi IMF/MMF

25
Selama penempatan plat, menahan pengurangan, atau lebih penting oklusi,

sementara pengeboran dan penempatan sekrup, adalah yang paling penting. Jika

rencana termasuk pemeliharaan pasca operasi IMF / MMF, maka batangan

lengkung harus ditempatkan sebelum mencoba ORIF dan IMF / MMF dapat

menahan oklusi saat plating. Namun, salah satu manfaat dari fiksasi pelat adalah

untuk mengesampingkan kebutuhan untuk IMF / MMF, karena menghabiskan

waktu ruang operasi yang berharga dengan menempatkan lengkungan bar hanya

untuk membuangnya dan memakan waktu. Dalam kasus ini, di mana pasca

operasi IMF / MMF tidak diindikasikan, dimungkinkan untuk menggunakan

pengurangan oklusal manual, sementara 4 atau 6-titik IMF / MMF dengan sekrup,

forceps pengurangan tulang, atau, paling umum, kombinasi dari ini. Teknik-teknik

ini tidak hanya menghemat waktu tetapi juga memungkinkan untuk ppembuangan

secaracepat dan pemeriksaan oklusi setelah penempatan masing-masing sekrup

untuk memastikan peningkatan bertahap dan stabilitas yang berurutan dan

inkremental. Sebuah sistem potensial dapat muncul jika pengurangan manual atau

fiksasi 4-titik terlalu dekat dengan garis tengah / terfokus pada batas inferior dari

wilayah parasymphyseal, karena vektor ini cenderung membuka batas inferior

dari tubuh posterior atau fraktur sudut mandibula. Ini dapat dihindari dengan

tekanan manual bilateral yang didistribusikan ke seluruh tubuh dan simfisis atau

dengan jarak yang tepat (antara canine dan bicuspid) 4-point IMF / MMF. Namun,

penempatan IMF / MMF dengan arch bar dan wire akan selalu menjadi cara

terbaik untuk menjamin integritas oklusional selama pelapisan fraktur( Hollier,

2015 ; Pederson, 1988).

26
Pilihan sekrup juga membutuhkan beberapa pemikiran. Sekrup dapat

bervariasi berdasarkan jumlah pembelian tulang kortikal mereka, dan disebut

sekrup monokortikal dan bicortical. Sekrup monokortikal hanya berjalan melalui

salah satu korteks tulang karena panjangnya yang menurun. Selanjutnya, sekrup

membantu di daerah dengan struktur dasar yang penting, seperti akar gigi, atau

bundel neurovaskular alveolar inferior; Namun, tulang terbatas hanya

menghasilkan fiksasi fungsional yang stabil, dan dengan demikian harus

ditempatkan di sepanjang area dengan ketegangan yang kurang dinamis, seperti

garis Champy ( Hollier, 2015).

Gambar 13: Garis tegangan Champy sesuai dengan daerah mandibula yang

secara biomekanik menguntungkan di kurangnya stabilitas di daerah ini akan

diperlukan untuk memungkinkan penyembuhan fraktur.

Sekrup juga dapat bervariasi berdasarkan diameternya. Secara umum, ketika

diameter sekrup meningkat, begitu juga stabilitas terhadap gaya pada mandibula.

Selanjutnya, sekrup yang lebih kecil (2,0 mm) efektif untuk fraktur sederhana, dan

27
sekrup dengan diameter yang lebih besar (2,3 mm) lebih cocok untuk fraktur

comminuted atau multiple. Sistem pelapisan mandibula Stryker memiliki sekrup

2,0-, 2,3-, dan 2,7-mm yang dapat digunakan di salah satu pelat (miniplates, pelat

pengeras suara, dll.). Namun, secara umum, semakin berat pelat yang digunakan,

semakin tebal sekrupnya( Hollier, 2015).

Ketika menempatkan sekrup, penting untuk bekerja dari lubang sekrup

terdekat fraktur keluar untuk menghindari splaying lokasi fraktur, seperti yang

bisa terjadi ketika bekerja di arah yang berlawanan. Menggunakan panduan bor

berulir penting ketika menggunakan pelat pengunci, karena memastikan bahwa

berada dalam toleransi angulasi dari threading di plate , dan oklusi tidak akan

berubah ketika mengencangkan sekrup. Jika Anda membebaskan sebuah lubang

yang lebih besar dari pelat sehingga dapat di tolerir, sekrup dapat dipaksa

menyesuaikan dalam toleransi dari lubang pelat setelah oklusi( Hollier, 2015).

Sekrup juga bisa diterapkan tanpa menggunakan pelat. Sekrup lengkung

adalah sekrup khusus yang dapat menstabilkan fraktur sederhana, dan

ditempatkan pada sudut 90 derajat ke fraktur pada bidang yang sejajar dengan

sumbu panjang tulang. Untuk mencegah rotasi dan kekuatan lain dari

mengganggu fiksasi kaku dari lokasi fraktur, setidaknya dua sekrup diperlukan

untuk stabilisasi. Penggunaan sekrup lag yang tepat, dan banyak metode fiksasi

lain yang disebutkan sebelumnya, tergantung pada lokasi dan jenis

fraktur( Hollier, 2015).

28
Algoritma untuk manajemen fraktur subkondilaris berdasarkan stabilitas

rahang atas, status oklusi, dan lateralitas cedera.

2.6 Perawatan Postoperatif

Manajemen pasca operasi fraktur mandibula umumnya melibatkan beberapa

langkah kunci. Pada awalnya, semua pasien yang telah menjalani ORIF harus

ditempatkan pada diet makanan lunak pasca operasi. Ini akan berfungsi untuk

mengurangi kekuatan gigitan pada penyembuhan mandibula dan mengontrol

gerakan fraktur. Pasien yang ditempatkan di IMF / MMF untuk waktu yang lama

perlu diberi konseling mengenai risiko signifikan untuk masalah gizi. Pasien perlu

diinstruksikan untuk memperhatikan berat badan mereka dan diberikan

suplementasi kalori seperlunya. Pasien juga perlu diinstruksikan pada kebersihan

mulut, dan penggunaan larutan kumur mulut Peridex (3M, St. Paul, MN) sangat

penting untuk tujuan ini. Pencitraan pasca operasi harus dilakukan untuk menilai

pembentukan kalus dan penyembuhan fraktur, keselarasan segmen fraktur, dan

status oklusi. Ini dapat dilakukan dengan Panorex (dapat dilakukan di klinik) atau

melalui CT scan (menawarkan visualisasi yang lebih baik) (Gopinath dkk, 2016).

29
Tindak lanjut pasca operasi dilakukan setiap minggu selama 1 bulan,

kemudian pada 3 bulan dan 6 bulan pasca operasi, dengan pemantauan komplikasi

dan hasil fungsional. Hasil dinilai oleh ahli bedah yang tidak mengetahui jenis

perbaikan yang digunakan sesuai dengan kriteria berikut(Anwar dkk, 2015):

1. Menurut klasifikasi Angle oklusi gigi

2. Menurut rata-rata pembukaan mulut vertikal intrinsik (antara insisivus

sentralis atas dan bawah) 10

• Normal: pembukaan mulut vertikal intrinsik berukuran 40 hingga 50

mm

• Fungsional: pembukaan mulut vertikal intrinsik berukuran 25 hingga

35 mm

• Terbatas: pembukaan mulut vertikal intrinsik mengukur 10 hingga 24

mm

Evaluasi Klinis:

Para pasien dinilai pada interval satu, dua, empat, enam dan dua belas

minggu pasca operasi untuk(Elhussein, 2017):

a- Nyeri: Ini diukur menggunakan skala analog visual. Para pasien

diinstruksikan untuk menggambar garis vertikal pada titik antara 0 tanpa

rasa sakit dan 10 rasa sakit yang tak tertahankan.

b-Edema: Edema dievaluasi oleh kemampuannya untuk mengadu. Jari

pemeriksa ditekan menjadi bengkak selama 5 detik. Jari-jari tenggelam ke

30
dalam pembengkakan membengkak dan akan menghilang ketika jari

diangkat. Yang dinilai pada skala +1 hingga +4 sebagai berikut;

+1 (sedikit): sedikit indentasi, cepat kembali ke normal.

+2 (Ringan): 4 mm indentasi, kembali dalam beberapa detik.

+3 (Sedang): 6 mm indentasi, kembali setelah 10-20 detik

+4 (berat): 8 mm indentasi dan kebutuhan> 30 detik untuk kembali

normal.

c- Luka operasi: Luka diperiksa untuk tanda dan gejala infeksi termasuk

kemerahan, bengkak, dan keluarnya cairan.

d- Keadaan oklusi.

e-Kondisi gigi.

f-Fungsi saraf: Penilaian fungsi sensorik saraf mental adalah dengan

menanyakan pasien tentang perubahan dalam sensasi, dan menggunakan

probe gigi untuk menilai perubahan sensorik sepanjang distribusi saraf

mental dibandingkan dengan sisi kontra lateral.

B- Evaluasi radiografi:

BIla ditindaklanjuti secara radiografi pada periode pasca operasi segera

dan setelah 3 bulan oleh orthopantomographs (OPG) dan setelah 6 bulan oleh

cone beam compute-rized tomography (CBCT). Untuk mengevaluasi (Elhussein,

2017):

31
 Kepadatan tulang.

 Perkembangan penyembuhan fraktur.

 Kecukupan pengurangan segmen yang retak.

2.7 Komplikasi

Komplikasi setelah perawatan fraktur mandibula tidak jarang dengan bentuk

yang paling umum adalah infeksi dan malunion / nonunion. Penelitian telah

menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti usia pasien, jenis kelamin, lokasi,

penyebab fraktur, cedera wajah terkait, waktu untuk memperbaiki, dan lama rawat

inap tidak terkait dengan perkembangan komplikasi. Namun, beberapa faktor lain

memainkan peran penting. Merokok dan penyalahgunaan zat memainkan peran

penting dalam hasil sebagai studi telah menunjukkan bahwa tingkat komplikasi

meningkat secara signifikan untuk kelompok-kelompok ini ketika menggunakan

ORIF dengan mayoritas ini (60-72%) yang bersifat infeksius (Kim dkk, 2013 ;

Hollier, 2015).

Antibiotik memainkan peran penting dalam manajemen infeksi pasca operasi;

Namun, penyebab yang mendasari dalam banyak kasus adalah fiksasi yang tidak

memadai, dan jika ada kekhawatiran, reoperation dan baik IMF / MMF, fiksasi

eksternal, atau pelat pengulangan harus diterapkan untuk fiksasi kaku. Infeksi

yang terjadi dalam 2 minggu (infeksi awal) cenderung menjadi masalah jaringan

lunak yang dapat diobati dengan drainase, asalkan plat di tempatnya stabil. Jika

ada plat keras yang longgar, bagaimanapun, itu harus diganti. Infeksi yang terjadi

setelah 2 minggu (infeksi lanjut) lebih mungkin disebabkan oleh fiksasi yang

tidak memadai atau patologi gigi. Ini memerlukan pemindahan plat dan fiksasi

32
yang lebih besar (lempengan yang lebih besar). Peran antibiotik perioperatif dan

pasca operasi untuk mencegah komplikasi ini saat ini tidak jelas, karena ada data

untuk mendukung baik manfaat dan kurangnya manfaat dari penggunaannya.

namun, mengingat tingkat eklet, standar perawatan dengan antibiotik harus

dilakukan sampai ada bukti yang lebih pasti(Bouchard dan Mansori, 2013 ;

Hollier, 2015 ).

Komplikasi lain yang dikhawatirkan dari perawatan fraktur mandibula adalah

malunions / nonunions. Faktor risiko telah diidentifikasi, karena penelitian

menunjukkan bahwa fraktur kompleks hampir menggandakan risiko memiliki

ununion mandibula. Faktor lain yang mempengaruhi risiko nonunion termasuk

fiksasi yang buruk, osteomielitis, dan faktor risiko pasien, antara lain. Komplikasi

yang paling penting untuk mengidentifikasi dan mengobati maloklusi. Ini

umumnya dikelola dengan terlebih dahulu mengevaluasi status fiksasi dengan

Panoramik atau CT scan dan kemudian melakukan re-plating atau menempatkan

pasien di IMF / MMF(Bouchard dan Mansori, 2013 ; Hollier, 2015 ).

33
BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Fraktur mandibula adalah cedera kraniofasial umum. Pendekatan yang

tepat tergantung pada karakteristik fraktur dan pasien. Sedangkan daerah tertentu

dari mandibula memiliki pilihan yang jelas dan solusi dalam kasus cedera, banyak

cedera telah sangat memperdebatkan rencana manajemen, dan bahkan bertahun-

tahun penelitian belum dapat menggambarkan jawaban berbasis bukti yang jelas,

dan sebenarnya, mungkin ada tidak menjadi jawaban yang pasti, tetapi ada hal

yang perlu dipertimbangkan keahlian dan kemampuan ahli bedah bersama dengan

pro dan kontra yang terkait dengan masing-masing rencana manajemen.

34

Anda mungkin juga menyukai