Anda di halaman 1dari 4

Definisi fraktur mandibula

Fraktur mandibula merupakan kondisi diskontinuitas tulang mandibula yang


diakibatkan oleh trauma wajah ataupun keadaan patologis. Benturan keras pada wajah
dapat mengakibatkan terjadinya suatu fraktur pada mandibula.

Reksodiputro MH, Aldino N. 2017. Penatalaksanaan fraktur simfisis mandibula


dengan dua perpendicular mini-plates. Indonesian Journal of Otorhinolaryngology-
Head and Neck Surgery. 47(2): 185-192.

Pemeriksaan

b.   Pemeriksaan klinis
1.   Pemeriksaan klinis pasien secara umum
Pada umumnya trauma maksilofasial dapat diketahui
keberadaannya pada pemeriksaan awal atau primary survey atau
pemeriksaan sekunder atau secondary survey. Pemeriksaan saluran
nafas merupakan suatu hal penting karena trauma dapat saja
menyebabkan gangguan jalan nafas. Penyumbatan dapat
disebabkan oleh lidah terjatuhnya lidah ke arah belakang, dapat
pula oleh tertutupnya saluran nafas akibat adanya lendir, darah,
muntahan dan benda asing.
2.   Pemeriksaan lokal fraktur mandibula
a. Pemeriksaan Klinis Ekstraoral
Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi
ekimosis dan pembengkakan. Sering pula terjadi laserasi
jaringan lunak dan bisa terlihat jelas deformasi dari
kontur mandibula yang bertulang. Jika terjadi
perpindahan tempat dari fragmen-fragmen pasien tidak
bisa menutup geligi anterior dan mulut menggantung
kendur dan terbuka. Pasien sering kelihatan menyangga
rahang bawah dengan tangan. Terlihat air ludah
bercampur darah menetes dari sudut mulut pasien.
Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan
terhadap daerah kondilus pada kedua sisi, kemudian
diteruskan kesepanjang perbatasan bawah mandibula.
Bagian-bagian melunak harus ditemukan pada daerah-
daerah fraktur, demikian pula terjadnya perubahan
kontur dan krepitasi tulang.
b.   Pemeriksaan klinis intraoral
Setiap serpihan gigi yang patah harus dikeluarkan dari
mulut. Sulkus bukal diperiksa adanya ekimosis dan
kemudian sulkus lingual. Hematoma didalam sulkus
lingual akibat trauma rahang bawah hampir selalu
patognomonik fraktur mandibula.
c. Pemeriksaan Penunjang
Fraktur mandibula dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang antara lain foto rontgen untuk mengetahui
pola fraktur yang terjadi. Setiap pemeriksaan
radiologis diharapkan menghasilkan kualitas gambar
yang meliputi area yang dicermati yaitu daerah
patologis berikut daerah normal sekitarnya.

Naeem A, Gemal H, Reed D. Imaging In Traumatic


Mandibular Fractures. Quant Imaging Med Surg. 2017
;7(4):469-479.
4. Komplikasi kasus kegawatdaruratan
Komplikasi kasus kegawatdaruratan dibidang kedokteran gigi, dapat terjadi Apabila
dokter gigi kurang menyadari akibat lanjut yang akan timbul bila kegawatdaruratan tidak
ditanggulangi dengan cepat, maka akan terjadi keadaan-keadaan yang tidak diinginkan.
Contohnya saja pada Tindakan ekstraksi gigi, Komplikasi pasca ekstraksi gigi dapat
terjadi setiap saat,diantaranya adalah perdarahan pasca ekstraksi yang merupakan
komplikasi yang paling sering dijumpai; umumnya 90% disebabkan oleh faktor lokal.
Dentofasial(2014).Jurnal Kedokteran Gigi. Volume 13;No.2;hlm 69-84

7. Epidemiologi Fraktur Mandibula


Insidensi tertinggi fraktur mandibula terjadi pada usia 21-30 tahun. Insidensi terendah
terjadi pada usia 61-70 yakni sebsar 1,4% pada usia lanjut. Lebih sering terjadi pada laki-
laki dibandingkan perempuan dengan rasio perbandingan 2:1, hal ini dikarenakan laki-
laki lebih sering melakukan aktivitas fisik yang cukup berbahaya dibandingkan
perempuan. Selain itu, fraktur mandibular juga termasuk kejadian fraktur maksilofacial
yang paling sering terjadi dengan persentase 45,92%. Hal ini disebabkan karena posisi
tulang mandibular yang terpisan dari cranium dan menonjol. (Hakim, 2016).
Hakim, A. H., & Adhani, R. (2016). Deskripsi Fraktur Mandibula pada Pasien
Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasih Periode Juli 2013 -Juli 2014. Vol I.
No 2. September 2016, 192. Christi MC. 2019. Increased Epulis Gravidarum
Prevalence in Women with Both Nasal and Oral Symptoms. Orolaryngology Open
Journal; 5(1): 18-21.

fraktur mandibula dilaporkan memiliki insiden 15,5% hingga 59% di antara trauma
wajah di seluruh dunia, dan mereka dianggap sebagai fraktur wajah paling umum kedua
yang terjadi di IGD. Insiden dan karakteristik kasus fraktur mandibula sangat berkaitan
erat dengan geografi penduduk, budaya, dan kondisi sosial ekonomi di sebuah wilayah.
Kenaikan kondisi sosial ekonomi akan meningkatkan kualitas kehidupan dan
mempengaruhi faktor etiologi dari traumanya. Menurut survey di District of Columbia
Hospital, dari 540 kasus fraktur, 69% kasus terjadi akibat kekerasan fisik (perkelahian),
27% akibat kecelakaan lalu-lintas, 12% akibat kecelakaan kerja, 2% akibat kecelakaan
saat olahraga dan 4% karena sebab patologi. Pada penelitian Sheturaja menyebutkan
bahwa berdasarkan etiologi kecelekaan lalu lintas merupakan yang sering terjadi (51%).
Diikuti oleh trauma akibat terjatuh sebanyak 27 % 
Adiantoro, S. 2021. The characteristics of mandibular fracture in Dr. Hasan Sadikin
General Hospital

11. Prognosis Fraktur Mandibula


Prognosis keseluruhan untuk pasien yang menderita fraktur mandibula adalah baik,
terutama tanpa adanya cedera terkait lainnya. Sementara tingkat komplikasi perioperatif
pada pasien yang menjalani ORIF cukup tinggi karena kerumitan perbaikan (~20%),
hasil jangka panjangnya baik, dengan hanya 7% pasien yang melaporkan komplikasi
jangka panjang, seperti abses, malunion/nonunion, dan paparan perangkat keras.
Merokok dan penggunaan alkohol, penyebab dari fraktur mandibula yang terjadi juga
mempengaruhi prognosis.
Proses penyembuhan fraktur tergantung dari umur penderita, lokasi tulang yang luka,
faktor lokal dan sistemik Penatalaksanaan fraktur yang tertunda akan menyebabkan
gangguan penyembuhan tulang. Tergantung kepararahan fraktur dan ada atau tidaknya
komplikasi pasca fraktur seperti malunion dan nonunion, serta tata laksana dari tim
medis terhadap pasien dengan korban fraktur. Jika penanganan cepat, maka prognosisnya
akan lebih baik dan sebaliknya. Usia yang lebih muda prognosisnya lebih bagus
dibandingkan usia lanjut (Hadira, 2016).
Hadira, Syamsudin E, Zulkifli BF. 2016. Penatalaksanaan Fraktur Mandibula pada
Anak dengan Cara Kepala Sedang. Journal UGM. 2(01):8-10.

 Prognosis fraktur mandibular bergantung kepararahan fraktur dan ada atau tidaknya
komplikasi pasca fraktur seperti malunion dan nonunion, serta tata laksana dari tim
medis terhadap pasien dengan korban fraktur Jika penanganan cepat, maka
prognosisnya akan lebih baik dan sebaliknya. Usia yang lebih muda prognosisnya
lebih bagus dibandingkan usia lanjut. Prognosis fraktur mandibula baik apabila
penatalaksanaan dilakukan sesuai prosedur dari tahap reduksi, fiksasi, immobilisasi
maupun rehabilitasi. Jika tidak dilakukan sesuai prosedur maka prognosis menjadi
buruk karena akan memperburuk keadaan.

GCS berentang dari 3 sampai 15. Skor rendah berindikasikan prognosis yang buruk.
Berdasarkan penelitian, mortalitas pasien dengan skor GCS 3-4 sekitar 90%. Ini
menunjukan resiko trauma kepala meningkat seiring dengan menurunnya skor GCS
(Johsi, 2018).

Joshi, U.M., Ramdurg, S., Saikar, S. et al. Brain Injuries and Facial Fractures: A
Prospective Study of Incidence of Head Injury Associated with Maxillofacial Trauma.
J. Maxillofac. Oral Surg. 2018:17; 531–537

Prognosis fraktur mandibula tergantung dari tata laksana, tingkat keparahan, serta
faktor-faktor lainnya yang terjadi pada pasien. Penanganan dari tim medis  yang lebih
cepat dapat membuat prognosisnya akan baik, tapi jika lambat maka justru sebaliknya.
Berdasarkan tingkat keparahannya, jika frakturnya ringan maka proses
penyembuhannya akan cepat. Tapi jika fraktunya berat maka proses penyembuhannya
akan lambat. Pada usia muda penyembuhan lebih cepat daripada usia yang lebih tua.
Prognosis dengan keadaan buruk jarang terjadi pada penatalaksanaan fraktur
mandibula. Namun, faktor resiko yang paling besar pada prognosis buruk pasca
perawatan fraktur mandibula antara lain Infeksi atau osteomyelitis, Aposisi yang
kurang baik, Kurangnya imobilitas segmen fraktur, Tarikan atau perbaikan otot yang
kurang sempurna.

Budiharja AS, Rahmat M, July J. 2018. Trauma Oral dan Maksilofasial. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai