Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

“Fractur Dentoalveolar Mandibula”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir Kepanitraan Klinik Madya pada bagian

SMF GIGI DAN MULUT Rumah Sakit Umum Daerah Dok II Jayapura.

Disusun Oleh

1. VINNI M. WIDYAASTUTI NIM : 0120840273


2. RACHMAWAN WIJAYA NIM : 0120840217

Pembimbing

Drg. Meiske Paoki, Sp. BM

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS CENDERAWASIH FAKULTAS KEDOKTERAN

KEPANITRAAN KLINIK MADYA SMF BEDAH

JAYAPURA

2018

LEMBAR PENGESAHAN
Telah diuji dan disetujui dalam Laporan Kasus

“Fraktur Dentoalveolar Mandibula”

Oleh penguji laporan kasus Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura,


sebgai syarat untuk mengikuti ujian akhir Kepanitraan Klinik Madya pada bagian SMF
GIGI DAN MULUT Rumah Sakit umum Daerah Dok II Jayapura.

1. VINNI M. WIDYAASTUTI NIM : 0120840273


2. RACHMAWAN WIJAYA NIM : 0120840217

Pada

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Menyetujui Dosen

Penguji/Pembimbing

drg. Meiske Paoki, Sp. BM

BAB I

2
PENDAHULUAN

Wajah adalah salah satu bagian tubuh yang paling sering mengalami
trauma. Hal ini disebabkan karena tidak adanya organ lain yang melindunginya.
Trauma pada wajah antara lain disebabkan oleh perkelahian, olahraga, kecelakaan
industri maupun rumah tangga serta kecelakaan lalu lintas. Efek dari trauma selain
luka/jejas dapat juga berupa patah tulang atau fraktur seperti fraktur tulang
maksila, fraktur tulang mandibula ataupun fraktur tulang alveolar.
Fraktur tulang alveolar adalah fraktur yang mengenai tulang pendukung
gigi baik pada tulang maksila maupun mandibula. Fraktur ini biasanya
berhubungan dengan adanya jejas pada gigi. Segmen fraktur tulang alveolar
seringkali mengandung gigi yang mengalami kerusakan, seperti mahkota gigi dan
fraktur akar, serta adanya jejas pada jaringan lunak.
Untuk mendapatkan riwayat yang adekuat dari korban trauma adalah sulit,
karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik. Keadaan syok,
amnesia, tidak sadarkan diri dan intoksikasi merupakan hambatan yang paling
sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan korban trauma (pasien).
Pertimbangan utama dalam pelaksanaan fraktur adalah mengembalikan
posisi fragmen fraktur dan melakukan fiksasi sehingga penyembuhan primer
tulang bisa terjadi. Penanganan fraktur alveolar meliputi imobilisasi segmen
fraktur dengan arch bar, wire ligation serta composite supported orthodontic wire
extended pada gigi sekitarnya.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
1.1 Pengertian Trauma
Trauma secara umum merupakan luka atau jejas, baik bersifat fisik
maupun psikis. Trauma dengan kata lain injury atau wound dapat diartikan
sebagai kerusakan atau luka yang dikarenakan terputusnya kontinuitas normal
suatu struktur yang disebabkan oleh tidakan-tindakan fisik.

1.2 Anatomi Mandibula


Mandibula merupakan tulang rahang bawah pada manusia, yang
letaknya menonjol pada wajah dan berfungsi sebagai tempat menempelnya
gigi geligi. Mandibula berhubungan dengan basis cranii dengan adanya
temporo-mandibular joint dan disangga oleh otot-otot pengunyah. Secara
anatomis, mandibula tersusun atas dua bagian, yaitu komponen horizontal
yang disebut body atau korpus yang berbentuk tapal kuda dan komponen
vertikal yang disebut ramus. Kedua bagian ini terhubung pada bagian rostral
yang disebut symphysis membentuk dagu bawah. Batas alveolar merupakan
bagian dari body yang termasuk dalam akar gigi. Pada bagian dorsal,
setengah bagian ramus adalah coronoid. Foramen mandibula merupakan
sebuah canal yang akan dilewati oleh arteri, vena alveolaris dan nervus
mandibularis yang terletak di medial dari ramus.

Gambar 2.1. Anatomi Mandibula

4
Mandibula dipersarafi oleh saraf mandibular, alveolar inferior, pleksus
dental inferior dan nervus mentalis. Sistem vaskularisasi pada mandibula
dilakukan oleh arteri maksilaris interna, arteri alveolar inferior dan arteri
mentalis.

1.3 Fraktur Mandibula


Fraktur mandibula ialah terputusnya kontinuitas struktur tulang baik
antara jaringan maupun antara tilang yang berada pada mandibula.
Diagnosis fraktur dapat ditegakkan berdasarkan adanya riwayat
kerusakan mandibula dengan memperhatikan gejala-gejala berikut:
1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi
mandibula
2. Parestesi yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris
inferior
3. Maloklusi
4. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi
5. Malfungsi berupa trismus, rasa sakit waktu mengunyah
6. Ganguan jalan nafas
7. Kerusakan hebat pada mandibula dapat menyebabkan perubahan posisi
mandibula, trismus, hematoma dan edema pada jaringan lunak.

Pada umumnya fraktur mandibula disebabkan langsung pada tulang


rahang. Fraktur mandibula lebih sering terjadi daripada fraktur lain di bagian
wajah. Hal ini disebabkan karena posisi mandibula lebih menonjol sehingga
rentan terhadap benturan. Setiap tekanan yang cukup kuat pada mandibula
mungkin dapat menyebabkan fraktur. Penyebab tersering fraktur mandibula
ialah peristiwa trauma baik dikarenakan terkena kekuatan langsung maupun
tak langsung, kelelahan atau tekanan dan keadaan patologik seperti
osteomyelitis, kista dan tumor.

1.4 Fraktur Kondilus Mandibula


Fraktur kondilus mandibula merupakan fraktur mandibula yang
melibatkan sendi temporomandibula sehingga dapat menyebabkan gangguan

5
sendi temporomandibula. Penyebab tersering dari fraktur mandibula jenis ini
ialah kecelakaan lalu lintas, dan perkelahian.
Dalam mendiagnosa fraktur kodilus mandibula, perlu diketahui juga
mekanisme trauma termasuk didalamnya objek yang menyebabkan fraktur
terjadi. Pengetahuan mengenai arah kekuatan impak juga dapat membantu
menegakkan diagnosa dengan tepat. Benturan didaerah anterior yang
langsung mengenai dagu dapat menghasilkan fraktur kondilus bilateral,
sedangkan benturan ke arah parasimfisis dapat menyebabkan fraktur kondilus
kontralateral atau angle mandibula. Jika benturan terjadi saat gigi-gigi dalam
keadaaan terkunci, akan menyebabkan terjadinya suatu fraktur alveolar atau
gigi.
Semua perubahan oklusi merupakan tanda adanya fraktur kondilus
mandibula. Pada pemeriksaan klinis harus ditanyakan pada penderita apakah
gigitannya terasa berbeda. Perubahan oklusi dapat dihasilkan dari fraktur gigi,
fraktur alveolar, fraktur mandibula pada semua lokasi dan trauma pada sendi
temporomandibula serta otot-otot pengunyahan. Kontak prematur gigi
posterior atau gigitan terbuka anterior dapat disebabkan fraktur kondilus
bilateral atau angle. Oklusi retrognatik biasanya berhubungan dengan fraktur
kondilus atau angle dan oklusi prognatik dapat terjadi pada sangat menonjol
pada fraktur sendi temporomandibula. Semua contoh tersebut hanya beberapa
disharmoni oklusi multiple yang muncul akan tetapi setiap perubahan oklusi
harus dipertimbangkan sebagai tanda awal suatu fraktur kondilus mandibula.
Setiap penderita dengan fraktur kondilus mandibula mempunyai keterbatasan
pembukaan. Meskipun demikian fraktur kondilus mandibula yang
sesungguhnya atau berhubungan dengan fraktur fasial menghasilkan
pergerakan mandibula abnormal. Deviasi pada saat pembukaan ke arah sisi
fraktur kondilus mandibula merupakan contoh klasik tanda fraktur kondilus.
Deviasi terjadi karena otot pterygoideus lateralis yang berfungsi pada sisi
yang tidak terpengaruh tidak dinetralkan oleh otot pterygoideus lateralisnya
yang tidak berfungsi sisi berlawanan, maka terjadilah suatu deviasi.
Pergerakan mandibula lateral dapat dihambat oleh fraktur kondilus dan
fraktur ramus dengan pergeseran tulang.

6
Gambar 2.2 Kiri: pergerakan normal mandibula. Kanan: pergerakan
abnormal mandibula

Pada pemeriksaan klinis sebaiknya memeriksa wajah dan mandibula


dengan kontur yang abnormal, meskipun pada kontur fasial mungkin tertutupi
pembengkakan. Gambaran wajah yang memanjang diakibatkan fraktur
subkondilus, angle atau body, diikuti dengan mandibula bergeser ke bawah.
Asimetri wajah sebaiknya diperhatikan klinisi terhadap kemungkinan fraktur
kondilus mandibula.
Pemeriksaan mendalam terhadap kehilangan gigi dan tulang pendukung
dapat membantu diagnosa fraktur alveolar, body dan simfisis. Klinisi
sebaiknya melakukan palpasi dengan menggunakan kedua tangannya, dengan
cara meletakkan ibu jari pada gigi dan telunjuk pada batas bawah mandibula
secara hati-hati dan perlahan-lahan memberikan tekanan diantara kedua
tangan hingga dapat mendeteksi krepitasi fraktur.
Rasa sakit, kemerahan, pembengkakan dan panas yang terlokalisir
merupakan tanda yang awal yang sempurna suatu trauma dan meningkatkan
indeks kecurigaan adanya fraktur mandibula.
Perawatan fraktur kondilus mandibula masih kontroversial, terutama
disebabkan banyaknya modalitas yang ditawarkan oleh berbagai macam
literatur. Tujuan perawatan fraktur kondilus adalah mengembalikan fungsi
sistim pengunyahan seperti asalnya, rekonstruksi tersebut melibatkan

7
hubungan antara segmen fraktur, oklusi, keseimbangan maksilofasial.
Perawatan dan penatalaksanaan fraktur kondilus memerlukan perhatian
khusus dan dapat dilakukan dengan metode tertutup atau konservatif dan
terbuka atau bedah. Perawatan fraktur kondilus dengan cara konservatif
sangat sederhana. Pengawasan yang ketat wajib dilakukan untuk melihat
ketidakstabilan oklusi, deviasi pad saat pembukaan, peningkatan rasa nyeri,
evaluasi klinis dan radiografi. Immobilisasi melibatkan intermaxillary
fixation (IMF) dengan menggunakan arch bar, eyelet wires atau splint.
Lamanya immobilisasi rata-rata sekitar 7 hingga 21 hari. Periode ini dapat
meningkat atau menurun tergantung pada umur penderita, derajat pergeseran
dan danya fraktur tambahan. Apabila intermaxillary fixation telah dilepas
maka diikuti dengan penggunaan elastic guidance untuk mengarahkan
mandibula pada posisi maximal intercuspation. Selanjutnya bila penderita
telah mempunyai kemampuan fungsional kembali dan oklusi tetap stabil serta
rasa sakit minimal maka elastic guidance dan arch bar dilepas.
Sedangkan Perawatan dengan metode terbuka diindikasikan bila:
 Displacement kondilus ke dalam fossa cranial media
 Oklusi yang adekuat tidak mungkin didapatkan dengan metode tertutup
 Dislokasi kondilus ekstrakapsular lateral
 Fraktur kondilus bilateral pada pasien tidak bergigi
 Fraktur kondilus bilateral atau unilateral bila splinting tidak
direkomendasikan karena keadaan umum pasien atau karena fisioterapi
tidak memungkinkan.
 Fraktur kondilus bilateral akibat fraktur wajah tengah comminuted
 Ankylosis kondilus mandibula akibat trauma dan tertunda
perawatannya

Tiga teknik yang terpisah untuk fiksasi rigid pada perawatan fraktur
kondilus dengan metode terbuka, yaitu: (1) sistim bikortikal Luhr dengan
penggunaan plat vitallium, (2) sistim Arbeitgemeinschaff fur
Osteosynthesefragen/sistim Association for the Study for Internal Fixation

8
(AO/ASIF) dengan penggunaan stainless steel compression atau plat
rekonstruksi dengan bicortical screws dan (3) Teknik Champy miniplate
digunakan sepanjang” line of ideal osteosynthesis” memakai moncortical
screws.
Komplikasi fraktur kondilus mandibula saat perawatan jarang terjadi,
tetapi jika ada, maka kompilkasi yang paling sering ialah ankylosis dan
gangguan sendi temporomandibula.

1.5 Fraktur Dentoalveolar


Fraktur dentoalveolar merupakan fraktur mandibula yang terletak
dibagian dentoalveolar yang didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi
avulsi, sublukasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang
alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau disertai dengan fraktur
bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh,
benturan saat bermain, berolahraga atau iatrogenik.

Gambar 2.3 Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan loksi fraktur.


a.Dento-alveolar; b.Kondilar; c.Koronoid; d.Ramus; e.Angulus;
Epidemiologi fraktur dentoalveolar
f.Korpus; serupa dengan epidemiologi
g.Simfisis; h.Parasimfisis fraktur
maksilofasial. Pada gigi susu, puncak insidensi terjadi pada anak usia 2-3
tahun, sebagai akibat sekunder perkembangan koordinasi neuromuskuler.
Sedangkan pada gigi tetap, puncak insidensi terjadi pada anak usia 10 tahun
saat dimulainya aktivitas atletik.
Penyebab fraktur yang paling sering dilaporkan adalah akibat jatuh dan
kecelakaan olahraga. Seiring pertambahan usia, penyebab paling banyak

9
adalah kecelakaan lalu lintas dan perkelahian. Fraktur dentoalveolar menurut
WHO (1995) dapat diklasifikasikan ke dalam 4 tipe rudapaksa, yaitu:
1. Tipe 1 yaitu fraktur yang menyangkut jaringan keras gigi dan pulpa
2. Tipe 2 yaitu yang mengenai jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang
alveolar
3. Tipe 3 yaitu fraktur pada jaringan periodontal seperti luksasi dan avulsi
gigi
4. Tipe 4 yaitu fraktur yang mengenai jaringan lunak seperti abrasi dan
laserasi ginggiva atau mukosa.

Gambar 2.4. Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar

Penegakkan Diagnosa
a. Anamnesa
Dari anamnesa hal yang dicari ialah mekanisme terjadinya trauma
dimana bisa dipakai untuk mengetahui ada tidaknya fraktur dibagian tubuh
lain. Pada keadaan fraktur dentoalveolar pasien biasanya pada kesadaran
compos mentis. Bila disertai dengan cedera kepala dan fraktur serta vulnus
dibagian tubuh lain yang dapat menimbulkan gangguan pernafasan,
sirkulasi, atau neurologi maka kesadaran dapat menurun.
b. Pemeriksaan Fisik

10
(1) Pemeriksaan Ekstra Oral
Pada pemeriksaan ini ditemukan asimetri pada wajah berupa
bengkak di bibir, hematoma, abrasi, dan laserasi. Kedalaman laserasi
sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah ada struktur vital yang
terlibat, seperti duktus kelenjar parotis atau nervus fasialis.
(2) Pemeriksaan Intra Oral
Dalam pemeriksaan ini jaringan lunak dan jaringan keras menjadi
hal penting yang diperiksa. Trauma pada anterior biasanya
mengakibatkan kerusakan pada daerah bibir yang parah. Hematoma
sering ditemukan dan pada palpasi dapat teraba kepingan gigi atau
benda asing yang tertanam di jaringan lunak. Bibir bawah dapat
tergigit sehingga terjadi laserasi. Bila gigi avulsi atau lepasnya gigi
secara keseluruhan dari soketnya, pada ginggiva akan tampak luka
seperti bekas ekstraksi/pencabutan. Selain itu bisa ditemukan juga
laserasi ginggiva dan deformitas tulang alveolar. Gigi dapat goyang,
bergeser ke segala arah, ekstruksi, intrusi dan bahkan avulsi.
Perubahan tersebut dapat menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak
nampak bergeser tetapi goyang dicurigai telah mengalami fraktur akar,
baik vertikal maupun horizontal.
Kegoyahan beberapa gigi dalam satu segmen menunjukkan
fraktur tulang alveolar. Fraktur alveolar dapat terjadi dengan atau tanpa
fraktur gigi. Fraktur alveolar di mandibula lebih sering merupakan
bagian dari fraktur komplit mandibula, sedangkan di maksila lebih
sering berdiri sendiri. Fraktur tulang alveolar dapat terbuka atau
tertutup, tunggal atau multipel. Pada saat pemeriksaan awal dapat
dilakukan reposisi fragmen yang goyah, karena semakin cepat hal itu
dilakukan semakin baik prognosis gigi geliginya.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Teknik Radiografi Intra Oral
Teknik radiografi intra oral adalah pemeriksaan gigi dan jaringan
sekitar secara radiografi dan filmnya ditempatkan di dalam mulut
pasien. Untuk mendapatkan gambaran lengkap rongga mulut yang
terdiri dari 32 gigi diperlukan kurang lebih 14 sampai 19 foto. Ada
tiga pemeriksaan radiografi intra oral yaitu: pemeriksaan periapikal,
interproksimal, dan oklusal.

11
a) Teknik Radiografi Periapikal
Teknik ini digunakan untuk melihat keseluruhan mahkota
serta akar gigi dan tulang pendukungnya. Ada dua teknik
pemotretan yang digunakan untuk memperoleh foto periapikal
yaitu teknik Paraleling dan Bisekting. Teknik ini digunakan
untuk menentukan gigi yang tidak ada, apakah karena telah
dicabut, impaksi atau genesis. Untuk menentukan posisi gigi
yang belum erupsi terhadap permukaan rongga mulut berguna
untuk menetapkan waktu erupsi, untuk membandingkan ruang
yang ada dengan lebar mesiodistal gigi permanen yang belum
erupsi.
b) Teknik Bite Wing
Teknik ini digunakan untuk melihat mahkota gigi rahang
atas dan rahang bawah daerah anterior dan posterior sehingga
dapat digunakan untuk melihat permukan gigi yang berdekatan
dan puncak tulang alveolar. Teknik pemotretannya yaitu pasien
dapat menggigit sayap dari film untuk stabilisasi film di dalam
mulut.
c) Teknik Radiografi Oklusal
Teknik ini digunakan untuk melihat area yang luas baik
pada rahang atas maupun rahang bawah dalam satu film. Film
yang digunakan adalah film oklusal. Teknik pemotretannya yaitu
pasien diinstruksikan untuk mengoklusikan atau menggigit
bagian dari film tersebut.

2) Teknik Radiografi Ekstra Oral


Teknik radiografi ekstra oral digunakan untuk melihat area yang
luas pada rahang dan tengkorak, film yang digunakan diletakkan di
luar mulut. Teknik radiografi ekstra oral yang paling umum dan paling
sering digunakan adalah radiografi panoramik, sedangkan contoh
teknik radiografi ekstra oral lainnya adalah radiografi lateral,
radiografi antero posterior,
an foto rontgen yang dapat memperlihatkan gambaran
struktur fasial termasuk mandibula dan maksila beserta struktur
pendukungnya. Teknik radiografi ini dapat digunakan untuk

12
mengevaluasi gigi impaksi, pola erupsi, pertumbuhan dan
perkembangan gigi geligi, mendeteksi penyakit dan
mengevaluasi trauma. Untuk menentukan keadaan gigi dan
jaringan pendukungnya secara keseluruhan dalam satu rontgen
foto, untuk menentukan urutan erupsi gigi, dll.
a) Teknik Lateral
Teknik radiografi ini digunakan untuk melihat keadaan
sekitar lateral tulang muka, diagnosa fraktur dan keadaan
patologis tulang tengkorak dan muka.
b) Teknik Postero Anterior
Teknik radiografi ini digunakan untuk melihat keadaan
penyakit, trauma, atau kelainan pertumbuhan dan perkembangan
tengkorak. Teknik radiografi ini juga dapat memberikan
gambaran struktur wajah, antara lain sinus frontalis dan
ethmoidalis, fossa nasalis, dan orbita.
c) Teknik Antero Posterior
Teknik radiografi ini digunakan untuk melihat kelainan
pada bagian depan maksila dan mandibula, gambaran sinus
frontalis, sinus ethmoidalis, serta tulang hidung.
d) Teknik Cephalometri
Teknik radiografi ini digunakan untuk melihat tengkorak
tulang wajah akibat trauma penyakit dan kelainan pertumbuhan
perkembangan. Teknik radiografi ini juga dapat digunakan untuk
melihat jaringan lunak nasofaringeal, sinus paranasal dan
palatum keras. foto rontgen seluruh tengkorak kepala yang
diambil dari arah samping. Teknik radiografi ini bermanfaat
untuk melihat adanya permasalahan pada tulang rahang atas dan
bawah, yang mungkin menyebabkan gigi tonggos. Hal ini
dimaksudkan sebagai pertimbangan dilakukannya terapi pada
tulang rahang atas maupun bawah.
e) Proyeksi Water’s
Teknik radiografi ini digunakan untuk melihat sinus
maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis, sinus orbita, sutura
zigomatiko frontalis, dan rongga nasal.
f) Proyeksi Reverse-Towne

13
Teknik radiografi ini digunakan untuk pasien yang
kondilusnya mengalami perpindahan tempat dan juga dapat
digunakan untuk melihat dinding postero lateral pada maksila.
g) Proyeksi Submentovertex
Teknik radiografi ini bisa digunakan untuk melihat dasar
tengkorak, posisi kondilus, sinus sphenoidalis, lengkung
mandibula, dinding lateral sinus maksila, dan arcus zigomatikus.

Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat
kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi
darah termasuk penanganan syok (circulation), penanganan luka jaringan
lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan
cedera otak. Perawatan fraktur dapat dibedakan menjadi perawatan fraktur
secara tertutup (closed) atau terbuka (open). Perawatan fraktur dengan
menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi tertutup
karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara
langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah
penggunaan arch bar.
a) Closed Reduction
Pada prinsipnya, terapi fraktur konservatif dapat menggunakan
metode :
o Yang dilekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligature dental,
splint dental, arch bar)
o Splin protesa, digunakan pada rahang yang tidak bergigi, dapat
dilekatkan dengan sekrup osteosistesis ke tulang atau dengan
circumferential wiring.
o Yang bertumpu ke struktur tulang ekstra oral (head chin splint dan
gips pada fraktur hidung).
Macam-macam metode IDW (Interdental Wiring) untuk metode
tertutup :
1) Ligatur dental
Ligatur dental sering digunakan sebagai “terapi awal atau
dini”. Kelemahannya adalah kurangnya stabilitas dalam jangka

14
waktu yang lama dan sering merusak struktur periodonsium gigi.
Karena itu, penggunaan ligatur dental hanya bersifat sementara.
Pemasangan ligatur dapat dilakukan dengan menggunakan
kawat berdiameter 0,35 atau 0,4 mm. Tipe ligature dental yang
sering digunakan adalah Ivy, Stout, Essig.
2) Arch bar
Ada dua tipe Arch bar yaitu direk dan indirek.
i.Terapi direk
Arch bar langsung dipasang menggunakan bantuan kawat
0,35 atau 0,4 mm. Keuntungan arch bar jenis ini adalah dapat
langsung digunakan tanpa memerlukan proses pembuatan di
laboratorium, umumnya arch bar dipasang pada gigi-gigi di
rahang atas dan bawah, setelah proses ligasi selesai barulah
dilakukan MMF. MMF dilakukan dengan menggunakan karet
(rubber) maupun menggunakan kawat 0,4 mm.
ii. Terapi indirek
Pada pasien sebelumnya dilakukan pencetakan dari rahang
atas dan bawah dengan menggunakan alginate, kemudian
dilakukan pembuatan arch bar sesuai dengan bentuk rahang
pasien. Keuntungannya adalah bentuk arch bar sesuai dengan
bentuk rahang dan gigi pasien. Selain itu, pada model dan
articulator dapat dapat dilakukan penyesuaian oklusi.
Kerugiannya adalah diperlukan tambahan waktu dan biaya
untuk pembuatannya.
3) Splin protesa
Digunakan pada fraktur rahang tidak bergigi, jika pasien
mempunyai gigi tiruan lengkap maka sebelumnya dapat dilakukan
duplikasi dari gigi tiruan itu terlebih dahulu. Selanjutnya prinsipnya
adalah pemasangan protesa ke dalam mulut untuk digunakan
sebagai alat bantu guna mendapatkan oklusi dan artikulasi yang
baik. Selain itu, MMF juga dapat dilakukan lewat protesa ini.
Protesa dapat difiksasi di mulut menggunakan sekrup osteosintesi
(umumnya diperlukan 3-4 sekrup per rahang).

b) Open Reduction

15
Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan
pembukaan dan reduksi terhadap area fraktur secara langsung dengan
tindakan pembedahan. Terapi fraktur dengan metode open reduction
diindikasikan pada :
o Fraktur multiple dan comminuted
o Fraktur terbuka
o Fraktur pada rahang yang atrofi
o Fraktur yang terinfeksi
o Fraktur pada pasien yang tidak dapat dilakukan terapi konservatif
seperti pada pasien epilepsi, ketergantungan alcohol,
keterbelakangan mental.
Terapi fraktur sebaiknya dilakukan secepat mungkin, penundaan
perawatan akan berakibat pada kalsifikasi tulang pada posisi yang salah
dan juga meningkatkan resiko infeksi. Meskipun secara umum fraktur
oral dan maksilofasial sebaiknya dirawat secara terbuka, namun tidak
semuanya membutuhkan. Pada fraktur tanpa displacement umumnya
tidak perlu intervensi bedah. Material yang digunakan untuk fiksasi
pada terapi fraktur dengan open reduction antara lain kawat, pelat dan
sekrup, miniplat, mikroplat.
1. Terapi medis
Pasien datang dengan fraktur non-displacemend atau
minimal displace fraktur condilar dapat diobati dengan
analgesik, diet lunak, dan observasi. Pasien dengan fraktur
coronoideus sebaiknya diperlakukam sama. Selain itu, pasien-
pasien ini mungkin memerlukan latihan mandibula untuk
mencegah trismus. Jika fraktur mandibula membatasi gerak,
terapi medis merupakan kontradiksi.
Teknik dari reduksi secara tertutup dan fiksasi dari fraktur
mandibula memiliki berbagai variasi. Penempatan Ivy loop
menggunakan kawat 24-gauge antara 2 gigi yang stabil, dengan
penggunaan kawat yang lebih kecil untuk memberikan fiksasi
maxillomandibular (MMF) antara Ivy loop, telah berhasil.
Arch bar dengan kabel 24 dan 26-gauge yang fleksibel dan
sering digunakan. Pada edentulous mandibula, gigi palsu dapat
ditransfer ke rahang dengan kabel circummandibular. Gigi

16
tiruan rahang atas dapat ditempelkan ke langit-langit. Setiap
screw dari maxillofacial set dapat digunakan sebagai lag screw.
Arch bar dapat ditempatkan dan intermaxillary fixation (IMF)
dapat tercapai. Gunning Splints juga telah digunakan pada kasus
ini karena memberikan fiksasi dan dapat diberika asupan
makanan. Pada kasus fraktur kominitif, rekonstruksi mandibula
mungkin diperlukan untuk mengembalikan posisi anatomis dan
fungsi.
Luka pada dentoalveolar harus dievaluasi dan diobati
bersamaan dengan pengobatan fraktur mandibula. Gigi di garis
fraktur harus dievaluasi dan jika perlu diekstraksi. Penggunaan
antibiotik preoperatif dan postoperatif dalam pengobatan fraktur
mandibula dapat mengurangi resiko infeksi.
Fraktur yang diobati dengan fiksasi maxilomandibular
(MMF) selama 4 minggu atau dengan reduksi terbuka (open
reduction). Pada sebuah penelitian menemukan bahwa 13,7 %
dari gigi yang diekstraksi pada garis fraktur mengalami
komplikasi, sementara 16,7 % mengalami komplikasi dari gigi
yang tetap pada garis fraktur. Hal ini menyimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah
komplikasi pada gigi yang diekstraksi dan gigi ditahan pada
garis fraktur. Beberapa literatur lain menyatakan pemberian
antibiotik yang adekuat pada gigi non infeksius pada garis
fraktur dapat dipertahankan. Berikut merupakan rekomendasi
mengenai gigi di garis fraktur mandibula :
o Gigi yang utuh dalam garis fraktur, harus dibiarkan jika
tidak menunjukkan bukti melonggar atau terjadi proses
inflamasi.
o Gigi dengan akar retak harus dihilangkan.
o Lakukan ekstraksi primer ketika ada kerusakan periodontal
luas.
2. Terapi bedah
Gunakan cara paling sederhana yang paling mungkin
untuk mengurangi komplikasi dan mengenai fraktur mandibula.

17
Karena reduksi secara terbuka (open reduction) meningkatkan
resiko morbiditas, reduksi secara tertutup digunakan pada
kondisi sebgai berikut:
o Fraktur non displace.
o Fraktur kommunitive yang sangat nyata.
o Fraktur edentulous (menggunakan protesis mandibula).
o Fraktur pada anak pada masa pertumbuhan gigi.
o Fraktur coronoid dan fraktur condilar.
Indikasi untuk reduksi secara terbuka :
o Displace yang tidak baik pada angle, body, ataru fraktur
parasimfisis.
o Fraktur multipel pada wajah.
o Fraktur Condilar bilateral.
o Fraktur pada edentulous mandibula.
Secara khusus penanganan fraktur mandibula dan tulang
pada wajah mulai dikanalkan menggunakan panduan oklusi
(hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi rahang atas),
sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur mandibula. Pada
perkembangan selanjutnya oleh para klinisi menggunakan oklusi
sebgai konsep dasar penanganan fraktur mandibula dan tulang
wajah (maksilofasial) terutama dalam diagnosis dan
penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan
teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat kepala (head
bandages), pengikat rahang atas dan bawah dengan kawat
(intermaxillari fixation), serta fiksasi dan mobilisasi fragmen
fraktur dengan menggunakan plat tulang (plate and screw).
Berikut merupakan imobilisasi fraktur mandibula secara
interdental.

a) Menggunakan kawat
Kawat dibuat seperti mata, kemudian mata tadi
dipasang di sekitar dua buah gigi atau geraham di rahang
bawah maupun atas. Rahang bawah yang patah difiksasi
pada rahang atas melalui mata di kawat atas dan bawah, jika
perlu ikatan kawat ini dipasang di berbagai tempat untuk
memperoleh fiksasi yang kuat.

18
b) Imobilisasi fraktur mandibula dengan batang lengkung karet
Menggunakan batang lengkung dan karet. Batang
lengkung dipasang pada gigi maxila dan juga pada semua
gigi mandibula yang patah. Mendibula ditambatkan
seluruhnya pada maxila dengan karet pada kait di batang
lengkungan atas dan bawah.
3. Terapi pascaoperasi
Berikan analgetik pada periode pascaoperasi, serta
antibiotk spektrum luas pada apien fraktur terbuka dan
reevaluasi kebutuhan nutrisi. Pantau intermaxila fixation (IMF)
selama 4-6 minggu. Kencangkan kabel setiap 2 minggu. Setelah
wire dibuka, evaluasi foto panoramix untuk memastikan fraktur
telah union.

Komplikasi
Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur umumnya
jarang terjadi. Tetapi penggunaan splint arch bar dapat mengiritasi jaringan
periodontal disekitar tempat pemasangannya. Splint ini menyebabkan
kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi tidak akurat, yang
dapat menekan jaringan longgar gigi terhadap dinding soket. Selanjutnya,
dapat mnjadi faktor resiko peningkatan invasi bakteri ke dalam jaringan
periodontal karena dekatnya letak split dan wire terhadap margin gingival.
Sedangkan jika tidak dilakukan perbaikan komplikasi umum yang
dapat terjadi ialah infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya berujung ke
komplikasi lainnya.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami
gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union, hal
ini akan memberikan keluhan rasa sakit dan tidak nyaman yang
berkepanjangan pada sendi rahang (Temporo mandibular joint) oleh karena
perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi rahang kiri dan kanan. Hal
ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot
sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain),
terlebih jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah
dalam hubungan oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak

19
dikeluhkan oleh pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau
penanganan secara adekuat.
Ada beberapa faktor resiko yang secara spesifik berhubungan dengan
fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya malunion
ataupun non-union. Faktor resiko yang paling besar adalah infeksi,
kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur,
adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen
fratur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri
wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat
diperbaiki secara tepat untuk merekonstruksikan bentuk lengkung
mandibula.

BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. M.H.J
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 17-03-2001 (16 tahun)
Alamat : Pasir Dua
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Kristen Protestan
No. Rm : 17 60 46
Tanggal Diperiksa : 24-01-2018 (PUKUL 14.11 WIT)
II. Anamnesis

20
a. Keluhan utama
Sakit pada gigi pasca kecelakaan lalu lintas
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien merupakan rujukan dari poli bedah ke poli gigi dan mulut
dengan keluhan utama nyeri gigi pasca kecelakaan lalu lintas (KLL) ±
2 minggu lalu. Pasien mengalami KLL dengan kendaraan sepeda
motor tanpa menggunakan helm bersama seorang teman dengan
dipengaruhi oleh minuman beralkohol tanggal 13 Januari 2018 pukul
02.00 dini hari berlokasi di daerah hamadi. Diketahui pasien terjatuh
kearah kiri saat kecelakaan terjadi.
Menurut penuturan keluarga, kecelakaan terjadi dikarenakan
pasien berencana melewati sebuah mobil avanza yang berada di depan
mereka dan menabrak motor lain dari arah yang berlawanan. Sesaat
pasca kecelakaan, pasien sempat tidak sadarkan diri dan dibawa oleh
warga ke rumah sakit Angkatan Laut yang terdapat di hamadi dan
dibawa pulang ke rumah oleh keluarga sore harinya. Sesampai di
rumah, ternyata pasien tidak dapat membuka mulut dan mengerang
kesakitan bila bagian mulut disentuh sehingga pasien dibawa ke UGD
RSUD Dok 2 Jayapura (15/01/2018) pukul 01.30 dengan kondisi
mual/muntah -/-, pingsan (-), kejang (-), keluar perdarahan dari hidung
dan telinga (-), sakit kepala (+) terutama sebelah kiri, susah membuka
mulut (+), kesadaran: compos mentis, GCS 15.
Setelah pemeriksaan di UGD, pasien selanjutnya dirawat di
ruang transit RSUD Dok 2 Jayapura selama ± 5 hari dengan diagnosa
CKR dengan Intoksikasi Alkohol dan Suspek Fraktur Mandibula.
Selama perawatan pasien diberi infus NaCl 0,9% 20 tpm (makro) dan
diberi terapi obat dalam bentuk injeksi intravena, berupa analgetik
(Antrain 1gr/8jam), antibiotik (Ceftriaxone 1gr/12jam), Piracetam
1gr/8jam, Fenitoin 100mg/8jam, Ranitidin 50mg/12jam dan
Ondancetron 4mg/8jam.
Setelah 5 hari, pasien sudah dapat pulang ke rumah dengan diberi
obat oral berupa analgetik (as.mefenamat), ranitidin dan antibiotik
(cefadroxil). Pasien tetap dianjurkan untuk konsul ke poli bedah dan
poli gigi dan mulut. Saat ini, pasien telah diperiksa oleh dokter

21
spesialis bedah dan dikonsulkan ke poli gigi dan mulut dengan
diagnosa sementara Post Trauma Capitis dan Suspect Fraktur Condule
Mandibula sinistra.
c. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat diabetes melitus (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat alergi obat dan makanan (-)
 Riwayat gangguan perdarahan (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat trauma (+); pasien mengaku pernah menngalami
kecelakaan lalu lintas pada bualn desember 2017.
d. Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat diabetes melitus (-)
 Riwayat hipertensi (+)
 Riwayat alergi obat dan makanan (+)  GG, As. Mefenamat
 Riwayat gangguan perdarahan (-)
 Riwayat asma (-)
e. Riwayat sosial dan ekonomi
 Riwayat mengkonsumsi alkohol (+)
 Riwayat merokok (+)
III. Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan Umum Baik
Kesadaran Compos mentis
Tanda vital TD: 110/80 mmHg
Respirasi: 22x/menit
Nadi: 89x/menit
SB: 36,8oC
SpO2: 99%
Kepala Jejas (-), Edema (-)
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil : isokor, sekret (-)
Telinga Jejas telinga (+/-), sekret (-)
Hidung Jejas (-), sekret (-)
Leher Pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru Inspeksi: simetis, ikut gerak nafas, jejas (-)
Palpasi: vokal fremitus dextra = sinistra
Perkusi: sonor
Auskultasi: suara nafas (-/-), Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-)
Jantung Inspeksi: iktus cordis tidak terlihat, jejas (-)
Palpasi: thrill (-)
Perkusi: pekak (+)

22
Auskultasi: murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi: datar, jejas (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Palpasi: perbesaran hepar/lien (ttb/ttb), nyeri tekan
(-), shifting dullness (-)
Perkusi: timpani
Ekstremitas Akral teraba hangat (+), edema (-/-) CRT < 2”,

sianosis(-) jejas ( ), kekuatan otot ( )

Regio Facialis
1. Ekstra oral
Bibir asimetris (+), bengkak simfisis (+) terutama simfisis dekstra,
nyeri tekan (+) hanya pada area bengkak, jejas (-), bibir tampak
kehitaman

Gambar 2. Tampak depan pasien

23
Gambar 3.1 Tampak samping kiri pasien

Gambar 3.2 Tampak samping kanan pasien


2. Intra oral
Buka mulut (+) ± 2 jari, rahang dapat digerakkan (+), trismus (-),
nyeri kunyah (+) jika makanan sangat keras, nyeri gigit (+), maloklusi
(+), lidah tampak normal, gigi 31,33,42 goyang, gigi
11,12,21,26,27,32,35,36,41 hilang, mukosa bibir tampak luka.

24
Gambar 3.3 Tampak ketika pasien melakukan oklusi

Gambar 3.4 Rahang atas pasien

25
Gambar 3.5. Rahang bawah pasien

IV. Pemeriksaan Penunjang


Radiologi (25-01-2018)
Foto panoramic

Gambar 3.6 Foto Panoramic

Dari foto panoramik tampak gigi 11 dan 12 missing, gigi 21 dan 26


caries, patah pada gigi 31 dan 41, impaksi pada gigi 35, kemudian
terdapat sisa patahan gigi pada songket gigi 46. Pada foto panoramik ini,
condylus mandibula tidak dapat terlihat.

CT-Scan

26
Gambar3.7 CT-Scan kepala bagian kanan
Dari hasil CT-scan didapatkan condilus mandibula kanan dalam keadaan
intak.

Gambar 3.8 CT-Scan kepala bagian kiri

27
Dari hasil CT-scan didapatkan condilus mandibula kiri dalam keadaan
intak.
V. Diagnosa
Fraktur Dentoalveolar Mandibula
VI. Penatalaksanaan
Pemasangan splinting (Arch Bar)

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Apa diagnosa kasus di atas?


Pada kasus ini pasien didiagnosa suspect fraktur mandibula, fraktur
kondilus dan fraktur dentoalveolar
 Fraktur mandibula

28
Fraktur mandibula ialah terputusnya kontinuitas struktur tulang
baik antara jaringan maupun antara tilang yang berada pada
mandibula.
Diagnosis fraktur dapat ditegakkan berdasarkan adanya riwayat
kerusakan mandibula dengan memperhatikan gejala-gejala berikut:
1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang
meliputi mandibula
2. Parestesi yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris
inferior
3. Maloklusi
4. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi
5. Malfungsi berupa trismus, rasa sakit waktu mengunyah
6. Ganguan jalan nafas
7. Kerusakan hebat pada mandibula dapat menyebabkan perubahan
posisi mandibula, trismus, hematoma dan edema pada jaringan
lunak.
 Fraktur kondilus
Fraktur kondilus mandibula merupakan fraktur mandibula yang
melibatkan sendi temporomandibula sehingga dapat menyebabkan
gangguan sendi temporomandibula.
Benturan didaerah anterior yang langsung mengenai dagu dapat
menghasilkan fraktur kondilus bilateral, sedangkan benturan ke arah
parasimfisis dapat menyebabkan fraktur kondilus kontralateral atau
angle mandibula. Jika benturan terjadi saat gigi-gigi dalam keadaaan
terkunci, akan menyebabkan terjadinya suatu fraktur alveolar atau
gigi.
Semua perubahan oklusi merupakan tanda adanya fraktur kondilus
mandibula. Pada pemeriksaan klinis harus ditanyakan pada penderita
apakah gigitannya terasa berbeda. Perubahan oklusi dapat dihasilkan
dari fraktur gigi, fraktur alveolar, fraktur mandibula pada semua lokasi
dan trauma pada sendi temporomandibula serta otot-otot
pengunyahan. Kontak prematur gigi posterior atau gigitan terbuka
anterior dapat disebabkan fraktur kondilus bilateral atau angle. Oklusi
retrognatik biasanya berhubungan dengan fraktur kondilus atau angle
dan oklusi prognatik dapat terjadi pada sangat menonjol pada fraktur
sendi temporomandibula. Semua contoh tersebut hanya beberapa

29
disharmoni oklusi multiple yang muncul akan tetapi setiap perubahan
oklusi harus dipertimbangkan sebagai tanda awal suatu fraktur
kondilus mandibula. Setiap penderita dengan fraktur kondilus
mandibula mempunyai keterbatasan pembukaan. Meskipun demikian
fraktur kondilus mandibula yang sesungguhnya atau berhubungan
dengan fraktur fasial menghasilkan pergerakan mandibula abnormal.
Deviasi pada saat pembukaan ke arah sisi fraktur kondilus mandibula
merupakan contoh klasik tanda fraktur kondilus. Deviasi terjadi
karena otot pterygoideus lateralis yang berfungsi pada sisi yang tidak
terpengaruh tidak dinetralkan oleh otot pterygoideus lateralisnya yang
tidak berfungsi sisi berlawanan, maka terjadilah suatu deviasi.
Pergerakan mandibula lateral dapat dihambat oleh fraktur kondilus
dan fraktur ramus dengan pergeseran tulang.
Pada pemeriksaan fisik, klinis sebaiknya memeriksa wajah dan
mandibula dengan kontur yang abnormal, meskipun pada kontur fasial
mungkin tertutupi pembengkakan. Gambaran wajah yang memanjang
diakibatkan fraktur subkondilus, angle atau body, diikuti dengan
mandibula bergeser ke bawah. Asimetri wajah sebaiknya diperhatikan
klinisi terhadap kemungkinan fraktur kondilus mandibula.

 Fraktur dentoalveolar
Fraktur dentoalveolar merupakan fraktur mandibula yang terletak
dibagian dentoalveolar yang didefinisikan sebagai fraktur yang
meliputi avulsi, sublukasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan
fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau
disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat
kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat bermain, berolahraga
atau iatrogenik.
Dari anamnesa hal yang dicari ialah mekanisme terjadinya trauma
dimana bisa dipakai untuk mengetahui ada tidaknya fraktur dibagian
tubuh lain. Pada keadaan fraktur dentoalveolar pasien biasanya pada
kesadaran compos mentis. Bila disertai dengan cedera kepala dan
fraktur serta vulnus dibagian tubuh lain yang dapat menimbulkan

30
gangguan pernafasan, sirkulasi, atau neurologi maka kesadaran dapat
menurun.
Pemeriksaan Fisik didapatkan:
Pemeriksaan Ekstra Oral
Pada pemeriksaan ini ditemukan asimetri pada wajah berupa
bengkak di bibir, hematoma, abrasi, dan laserasi. Kedalaman laserasi
sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah ada struktur vital yang
terlibat, seperti duktus kelenjar parotis atau nervus fasialis.
Pemeriksaan Intra Oral
Dalam pemeriksaan ini jaringan lunak dan jaringan keras menjadi
hal penting yang diperiksa. Trauma pada anterior biasanya
mengakibatkan kerusakan pada daerah bibir yang parah. Hematoma
sering ditemukan dan pada palpasi dapat teraba kepingan gigi atau
benda asing yang tertanam di jaringan lunak. Bibir bawah dapat
tergigit sehingga terjadi laserasi. Bila gigi avulsi atau lepasnya gigi
secara keseluruhan dari soketnya, pada ginggiva akan tampak luka
seperti bekas ekstraksi/pencabutan. Selain itu bisa ditemukan juga
laserasi ginggiva dan deformitas tulang alveolar. Gigi dapat goyang,
bergeser ke segala arah, ekstruksi, intrusi dan bahkan avulsi.
Perubahan tersebut dapat menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak
nampak bergeser tetapi goyang dicurigai telah mengalami fraktur akar,
baik vertikal maupun horizontal.
Kegoyahan beberapa gigi dalam satu segmen menunjukkan fraktur
tulang alveolar. Fraktur alveolar dapat terjadi dengan atau tanpa
fraktur gigi. Fraktur alveolar di mandibula lebih sering merupakan
bagian dari fraktur komplit mandibula, sedangkan di maksila lebih
sering berdiri sendiri. Fraktur tulang alveolar dapat terbuka atau
tertutup, tunggal atau multipel. Pada saat pemeriksaan awal dapat
dilakukan reposisi fragmen yang goyah, karena semakin cepat hal itu
dilakukan semakin baik prognosis gigi geliginya.

Dalam kasus ini pasien memiliki gejala yang condong kearah fraktur
dentoalveolar sehingga pasien lebih condong didiagnosa sebagai Fraktur
Dentoalveolar.

31
4.2. Tata Laksana Penanganan Fraktur Dentoalveolar
Penatalaksaan awal ialah menstabilkan keadaan umum penderita, lalu
lakukan perawatan fraktur bisa dengan open reduction maupun close
reduction. Umumnya penanganan menggunakan IMF yakni arch bar.
Selanjutanya penderita diberi antibiotik spectrum luas dan anti nyeri.

4.3. Prognosis Fraktur Dentoalveolar


Prognosis penderita dengan fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh
keadaan umum dan usia serta kompleksifitas fraktur.

4.4 Komplikasi Fraktur Dentoalveolar


Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur umumnya jarang
terjadi. Tetapi penggunaan splint arch bar dapat mengiritasi jaringan
periodontal disekitar tempat pemasangannya. Splint ini menyebabkan
kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi tidak akurat, yang
dapat menekan jaringan longgar gigi terhadap dinding soket. Selanjutnya,
dapat mnjadi faktor resiko peningkatan invasi bakteri ke dalam jaringan
periodontal karena dekatnya letak split dan wire terhadap margin gingival.

32
BAB V
Kesimpulan
5.1 Apa diagnosa kasus di atas?
Dalam kasus ini pasien memiliki gejala yang condong kearah fraktur
dentoalveolar sehingga pasien lebih condong didiagnosa sebagai Fraktur
Dentoalveolar.

5.2 Tata Laksana Penanganan Fraktur Dentoalveolar


Penatalaksaan awal ialah menstabilkan keadaan umum penderita, lalu
lakukan perawatan fraktur bisa dengan open reduction maupun close
reduction. Umumnya penanganan menggunakan IMF yakni arch bar.
Selanjutanya penderita diberi antibiotik spectrum luas dan anti nyeri.

5.3 Prognosis Fraktur Dentoalveolar


Prognosis penderita dengan fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh
keadaan umum dan usia serta kompleksifitas fraktur.

5.4 Komplikasi Fraktur Dentoalveolar


Penggunaan splint arch bar dapat mengiritasi jaringan periodontal disekitar
tempat pemasangannya, tetapi dalam pengamatan selama 2 hari, tidak
didapatkan tanda-tanda iritasi jaringan periodontal. Dalam 2 hari pengamatan
hanya didapatkan kesan bahwa pasien masih belum terlalu nyaman dengan
pemasangan splint arch bar.

33
DAFTAR PUSTAKA

Laub, D.R. 2016. Mandibular Fractures. [13 Februari 2018]. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1283150-overview
Selvi, A.S., Zakiyah, A.D., Fajarwati, I.S. 2014. Fraktur Dentoalveolar. [12
Februari 2018]. Diunduh dari
http://www.academia.edu/6260547/DSP_Fraktur_Dentoalveolar_Unpad.
Sinulingga, H.R. 2008. Penatalaksanaan Fraktur Mandibula dengan Fiksasi
Internal. Medan: Universitas Sumatera Utara. 15-32
Tanti, I., & Susanti, L. 2006. Penatalaksanaan Keterbatasan Gerak Mandibula
Akibat Fraktur Kondilus dengan Splin Reposisi. Indonesian Journal of
Denistry, Edisi khusus KPPIKG XIV, 159-63
Thapliyal, C.G.K., Sinha, C.R., & Menon, C.P.S. 2008. Management of
Mandibular Fractures. MJAFI, 64(3), 218-20

34

Anda mungkin juga menyukai