“ TRAUMA OROMAKSILOFASIAL
LO
1. M4 Tentang etiologi trauma oromaksilofasial
2. M4 Tentang klasifikasi dan penatalakaan fraktur dentoalveolar
3. M4 Tentang klasifikasi dan peatalaksanaan fraktur maksilofasial
4. M4 Tentang klasifikasi dan peatalaksanaan fraktur mandibula
5. M4 Tentang klasifikasi luka dan mekanisme penyembuhannya
6. M4 Tentang avulsi gigi dan prosedur replantasi
7. M4 Tentang oroantal fistula
Pembahasan LO
1. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya fraktur maksilofasial dapat digolongkan
sebagai penyebab langsung dan penyebab tidak langsung.
Langsung
Apabila gigi langsung terkena benda penyebab trauma.
Tidak langsung
Misalnya, trauma pada mandibula yang mengakibatkan trauma pada
gigi insisivus atas.
2. Faktor Predisposisi
Faktor predispoisi dari trauma maksilo fasial dapat dibagi menjadi dua,
yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain daya tahan
untuk timbulnya fraktur, elastisitas, kepadatan tulang, dan kapasitas absorpsi.
Sedangkan faktor ekstrinsik tergantung pada tekanan, besar dari tekanan,
waktu dan arah tekanan.
Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda
motor lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan (4:1) dan lebih banyak
dijumpai pada usia produktif (21-30 tahun). Fraktur mandibula merupakan fraktur yang paling
banyak terjadi (57,69%), diikuti fraktur panfasial (21,15%), fraktur maksila (13,46%), fraktur
komplek nasal (3,85%), fraktur maksilofasial yang diikuti oleh jenis fraktur lainnya (1,92%) dan
jenis fraktur maksilofasial yang paling sedikit sekali terjadi adalah fraktur komplek zigoma
(0,96%) dan fraktur dentoalveolar (0,96%).
Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau fraktur gigi yang
berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau disertai dengan fraktur
bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat bermain, berolahraga
atau iatrogenik.
Klasifikasi fraktur dentoalveolar menurut WHO tahun 1995 terdiri atas empat tipe rudapaksa yaitu:
1. Infraksi Mahkota
Fraktur sebagian atau pecahnya enamel tanpa kehilangan substansi gigi lainnya.
2. Fraktur Mahkota
Fraktur yang mengenai enamel dan dentin tanpa mengenai pulpa.
3. Komplikasi Fraktur Mahkota
Fraktur mahkota yang tidak hanya mengenai enamel dan dentin, namun juga pulpa.
4. Fraktur Mahkota-akar
Fraktur yang mengenai enamel, dentin dan sementum namun tidak mengenai pulpa.
5. Komplikasi Fraktur Mahkota-akar
Fraktur yang melibatkan kerusakan enamel, dentin, sementum dan pulpa.
6. Fraktur Akar
Fraktur yang mengenai dentin, sementum dan pulpa.
Pemeriksaan klinis
Penatalaksanaan
Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin karena penundaan perawatan
akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang
lebih serius, perawatan dapat dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum pasien terlebih
dahulu.
Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi organ pengunyahan
senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien serta
kompleksitas fraktur.
Perawatan gigi sulung yang mengalami trauma pada umumnya tidak berbeda dengan perawatan gigi tetap. Gigi
sulung yang intrusi biasanya akan erupsi secara spontan. Gigi yang tidak terlalu bergeser dan tidak
menyebabkan gangguan oklusi dapat diobservasi saja. Fraktur dentoalveolar yang kompleks pada gigi sulung
jarang terjadi karena elastisitas tulang alveolar.
Fraktur email hanya memerlukan penghalusan bagian yang tajam, atau penambalan dengan komposit.
Fraktur dentin sebaiknya ditambal sesegera mungkin, khususnya pada pasien muda karena penetrasi bakteri
melalui tubulus dentin cepat terjadi. Penambalan dengan semen kalsium hidroksida dan restorasi komposit
sudah cukup ideal. Bila patahan gigi cukup besar, fragmen mahkota dapat disemen kembali menggunakan resin
komposit. Fraktur pulpa dapat dirawat dengan pulp capping, pulpotomi, atau ekstirpasi pulpa.
2. Fraktur akar
Fraktur mahkota yang oblik dapat meluas ke subgingiva (fraktur mahkota-akar). Bila garis fraktur tidak terlalu
jauh ke apikal dan pulpa tidak terbuka, cukup ditambal dengan restorasi komposit. Bila fraktur meluas sampai
jauh ke apikal, atau bila gigi terbelah secara vertikal, umumnya ekstraksi harus dilakukan.
Fraktur akar horizontal prognosisnya tergantung pada garis fraktur. Bila garis fraktur terletak di dekat gingiva,
fragmen mahkota dapat diekstraksi dan dilakukan perawatan endodontik serta pembuatan mahkota pasak. Bila
garis fraktur terletak jauh ke apikal, gigi sebaiknya diekstraksi.
1. Malposisi
Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint untuk imobilisasi gigi selama 7-21 hari. Setelah
periode imobilisasi selesai vitalitas gigi tersebut harus diperiksa.
2. Avulsi
Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah faktor, yaitu tahap perkembangan akar,
lamanya keberadaan gigi di luar soket, lamanya penyimpanan dan media yang digunakan. Idealnya replantasi
dilakukan sesegera mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel ligamen periodontal tidak mengering, yakni tidak
lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint.
Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan anastesi lokal, dan paling baik dilakukan segera
setelah trauma. Reduksi tertutup fraktur alveolar tertutup biasanya dilakukan dengan manipulasi jari yang diikuti
dengan splinting. Imobilisasi tersebut harus menyertakan beberapa gigi yang sehat. Fiksasi intermaksilar
kadang-kadang diperlukan bila fragmen fraktur sangat besar, atau bila prosedur splinting tidak menghasilkan
imobilisasi yang adekuat, dengan memperhatikan oklusi yang benar. Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk
fraktur alveolar, kecuali bila merupakan bagian dari perawatan fraktur rahang.
Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan penutupan segera dengan flap
bukal. Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5 persen untuk membantu drainase antral, dan antibiotik
untuk mencegah timbulnya fistula oro-antral.
fraktur maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni; fraktur Le Fort I,
Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur
maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.
A. Fraktur Le Fort I
Le fort 1 :
Garis fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai dengan bawah rongga hidung.
Disebut juga dengan fraktur “guerin”. Kerusakan yang mungkin :
1. Prosesus alveolaris
2. Bagian dari sinus maksilaris
3. Palatum durum
4. Bagian bawah lamina pterigoid
B. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip
dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan
tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura
zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering
terkena.
- Le Fort II
Garis fraktur melalui os nasal dan diteruskan ke os lakrimalis, dasar
orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus
maksilaris juga ke arah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine.
Disebut juga fraktur “piramid”. Fraktur ini dapat merusak sistem lakrimalis.
Karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai
“floating maxilla” atau maksila yang melayang.
- Le Fort III
Garis fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid
junction melalui fissure orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke
orbita, sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum. Disebut
juga sebaga “cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan
secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial.
1. Pola Fraktur
A. Fraktur Unilateral
Hanya tunggal atau lebih dari satu fraktur pada satu sisi mandibula. Seperti
fraktur pada korpus mandibula unilateral paling sering terjadi.
B. Fraktur Bilateral
Sering terjadi dari satu kombinasi antara kecelakaan langsung dan tidak
langsung. Sering terjadi pada fraktur yang menyangkut angulus dan bagian
leher kondilar.
C. Fraktur Multipel
Seperti pada impak yang tepat mengenai titik tengah dagu yang
mengakibatkan fraktur pada simfisis dan kedua kondil.
Banks, Peter. 1992. Fraktur pada Mandibula menurut Killey. Yogyakarta: UGM Press.
Pemeriksaan klinis
Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort
III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut
berbeda.
1. Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.
Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
2. Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan
edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung
bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas.
3. Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra
oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah
kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes
mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian
atas wajah.
Walaupun banyak teknik wiring yang telah dilakukan, fiksasi internal rigid tetap merupakan
perawatan standar terhadap fraktur maksila. Tulang maksila distabilkan mengikuti struktur tulang
wajah lainnya yang lebih stabil.5
Fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan
suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen
fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang
pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.5
Perawatan fraktur Le Fort II sama dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu
dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan
menggunakan molding digital dan splinting. 5,12
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura
zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis. 5,12
Plat yang digunakan harus cukup rigid namun tidak memberatkan dikarenakan gaya gravitasi.
Grafting tulang dapat dilakukan untuk kasus yang melibatkan antrum maksilaris. Tujuannya
adalah untuk mencegah prolaps jaringan lunak wajah ke dalam sinus maksilaris sehingga terjadi
deformitas wajah.
horizontal dan vertikal yang dibagi menjadi favourable dan unfavourable. Kriteria favourable dan unfavourable
berdasarkan arah satu garis fraktur terhadap gaya muskulus yang bekerja pada fragmen tersebut. Disebut
favourable apabila arah fragmen memudahkan untuk mereduksi tulang waktu reposisi, sedangkan unfavourable
bila garis fraktur menyulitkan untuk reposisi.3,7
Pemeriksaan klinis
Indikasinya:
Jika gigi – gigi pada kedua rahang atas dan bawah cukup tersedia sehingga oklusi dapat dibangun
kembali, dan gigi – gigi tersebut dapat dijadikan sebagai penyangga alat fiksasi.
Pada fraktur rahang yang masih baru dengan celah antar fragmen yang tidak terlalu lebar.
Pada fraktur dengan garis fraktur yang berlawanan dengan arah tarikan otot (favorable fracture)
dengan minimal displacement.
Indikasinya:
Tidak terdapat cukup gigi untuk mendapatkan oklusi pada reduksi terttutup.
Fraktur dengan displacement fragmen yang sangat lebar.
Pada kasus - kasus: non-union, mal-union, dan fibrous fracture
Pada garis fraktur yang tidak menguntungkan (unfavorable fracture)
Jika dibutuhkan bone grafting.
4.3 Komplikasi12
1. Delayed union dan non union, disebabkan karena :
3. Ankilosis
Jarang, lebih banyak terjadi pada anak-anak dan dihubungkan dengan fraktur intrakapsular dan
imobilisasi
4. Nerve injury
Gangguan sensori permanen dari nervus alveolar inferior
Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan
yang hilang.
Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi setelah diusahakan
bertautnya tepi luka, biasanya dengan jahitan, plester, skin graft, atau flap. Hanya sedikit jaringan yang hilang
dan Luka bersih. Jaringan granulasi sangat sedikit. Re-epitelisasi sempurna dalam 10-14 hari, menyisakan
jaringan parut tipis.
Infeksi
Luka dg jaringan nekrotik.
Waktu terjadinya luka >6 jam sebelumnya, kecuali luka di area wajah.
Masih tdpt benda asing dlm luka
Perdarahan dr luka
Diperkirakan tdpt “dead space” stla dilakukan jahitan.
Tegangan dlm luka atau kulit di sekitar luka terlalu tinggi
perfusi jaringan buruk.
Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan
primer. Dikarakteristikkan oleh luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Tidak ada tindakan
aktif menutup luka, luka sembuh secara alamiah (intervensi hanya berupa pembersihan luka, dressing, dan
pemberian antibiotika bila perlu). Proses penyembuhan lebih kompleks dan lama. Luka jenis ini biasanya tetap
terbuka dan terbentuk jaringan granulasi yang cukup banyak. Luka akan ditutup oleh re-epitelisasi dan deposisi
jaringan ikat sehingga terjadi kontraksi. Jaringan parut dapat luas/ hipertrofik, terutama bila luka berada di
daerah presternal, deltoid dan leher.
Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari
setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe
penyembuhan luka yang terakhir. Delayed primary closure yang terjadi setelah mengulang debridement dan
pemberian terapi antibiotika.
Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi. Satu fase dengan fase
yang lain merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan.
Fase Inflamasi
Berlangsung segera setelah jejas terjadi dan berlanjut hingga 5 hari. Merupakan respon vaskuler dan seluler
yang terjadi akibat perlukaan jaringan lunak yang bertujuan untuk mengontrol perdarahan, mencegah koloni
bakteri, menghilangkan debris dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan. Disebut juga fase lamban
karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang lemah.
Awal fase, kerusakan jaringan menyebabkan keluarnya platelet yang akan menutupi vaskuler yang terbuka
dengan membentuk clot yang terdiri dari trombosit dengan jala fibrin dan mengeluarkan zat yang menyebabkan
vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Terjadi selama 5 – 10
menit.
Setelah itu, sel mast akan menghasilkan sitokin, serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pengumpulan sel radang, disertai vasodilatasi lokal. Tanda dan gejala
klinik radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa
nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Eksudasi mengakibatkan terjadinya pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis)
terutama neutrofil menuju luka karena daya kemotaksis mengeluarkan enzim hidrolitik berfungsi untuk
fagositosis benda asing dan bakteri selama 3 hari yang kemudian digantikan fungsinya oleh sel makrofag yang
berfungsi juga untuk
sintesa kolagen, pembentukan jaringan granulasi bersama makrofag, memproduksi Growth Factor untuk re
epitelialisasi, dan proses angiogenesis.
Fase Proliferasi
Berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Disebut juga fase fibroplasias karena fase ini didominasi
proses fibroblast yang berasal dari sel mesenkim undifferentiate, yang akan berproliferasi dan menghasilkan
kolagen, elastin, hyaluronic acid, fifbronectin, dan proteoglycans yang berperan dalam rekonstruksi jaringan
baru. Fase ini terdiri dari proses proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks, dan kontraksi luka.
Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian dengan tegangan pada luka yang
cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi
luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses
penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.
Luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri
dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel
baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar,
sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling
menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia
dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses maturasi.
Fase Maturasi
Berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang
sudah hilang. Pada fase ini terjadi proses maturasi yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih,
pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya remodelling jaringan yang baru terbentuk. Tubuh
berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel
radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih
diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut
yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada
akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini
tercapai kira – kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.
Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah faktor, yaitu tahap perkembangan akar,
lamanya keberadaan gigi di luar soket, lamanya penyimpanan dan media yang digunakan. Idealnya replantasi
dilakukan sesegera mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel ligamen periodontal tidak mengering, yakni tidak
lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint.
Tindakan pencabutan gigi merupakan bread and butter bagi seorang dokter gigi seperti halnya
penambalan gigi. Pasien biasanya mengeluhkan gigi yang rusak dan ingin dicabut saja. Dokter gigi yang bijak,
seyogyanya membuat perencanaan yang tepat meliputi pembuatan foto ronsen saat akan melakukan pencabutan
gigi di regio posterior rahang atas. Menurut kepustakaan, akar gigi molar pertama dan kedua rahang atas
memiliki kemungkinan paling tinggi terhadap hubungannya dengan sinus maksilaris.2
Komunikasi oroantral yang berdiameter < 2 mm sembuh secara spontan, sedangkan yang berdiameter
> 6 mm segera memerlukan tindakan operasi. Jika tidak, maka kemungkinan terjadinya fistula oroantral (FOA)
sangat tinggi.3
Pentingnya informed consent sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi posterior rahang atas harus
dipahami oleh dokter gigi, mengingat tingginya resiko terjadinya KOA pasca pencabutan gigi. Kemampuan
identifikasi dan pencegahan terhadap terjadinya KOA sangat diharapkan dimiliki oleh seorang dokter gigi,
sekaligus dapat melakukan tata laksana sederhana untuk menghindari komplikasi lebih lanjut. Untuk itu pada
makalah ini akan dibahas mengenai etiologi dan penanganan komunikasi oroantral.
Penatalaksanaan
Jika KOA telah terjadi, seorang dokter gigi harus mampu mengevaluasi terjadinya KOA dan menilai
seberapa jauh KOA tersebut terjadi. Pada pasien dengan keadaan umum yang baik tanpa kelainan sinus, maka
jika diameter KOA yang terjadi < 2 mm, maka tindakan yang perlu dilakukan hanya menekan soket dengan
tampon selama 1-2 jam dan memberikan instruksi pasca ekstraksi gigi dengan perlakuan khusus pada sinus
(sinus precaution), yaitu hindari meniup, menyedot-nyedot ludah, menghisap-hisap soket, minum melalui
sedotan atau merokok selama 24 jam pertama. Namun, jika KOA yang terjadi berukuran sedang (diameter 2-6
mm), maka perlu tindakan tambahan yaitu meletakkan sponge gauze serta penjahitan soket gigi secara figure of
eight (gambar 3) untuk menjaga agar bekuan darah tetap berada dalam soket. Selain itu ditambah dengan
pemberian instruksi sinus precaution selama 10- 14 hari dan pemberian obat-obatan antibiotika seperti penisilin
atau klindamisin selama 5 hari, serta dekongestan oral maupun nasal spray untuk menjaga ostium tetap paten
sehingga tidak terjadi sinusitis maksilaris. Jika ukuran KOA > 6 mm maka sebaiknya dilakukan tindakan
penutupan soket dengan flap supaya terjadi penutupan primer. Flap harus bebas dari tarikan dan posisi flap
sebaiknya terletak di atas tulang. Variasi jenis flap yang sering dilakukan untuk penutupan KOA antara lain
buccal flap, palatal flap, buccal fat pad, gold foil dan lain sebagainya.
Gambar 3. Teknik jahitan figure of eight (Sumber:
Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New Delhi: Elsevier; 2007.p.330-5).8
Pada pasien dengan riwayat sinusitis kronik, maka terjadinya KOA yang berdiameter kecil sekalipun akan sukar
sembuh dan dapat menyebabkan KOA permanen serta terepitelialisasi menjadi fistula. Sebaiknya pada pasien
dengan riwayat penyakit tersebut, segera dilakukan penjahitan secara figure of eight dan beri instruksi sinus
precaution