Anda di halaman 1dari 16

MODUL 2 BLOK 18

“ TRAUMA OROMAKSILOFASIAL

LO
1. M4 Tentang etiologi trauma oromaksilofasial
2. M4 Tentang klasifikasi dan penatalakaan fraktur dentoalveolar
3. M4 Tentang klasifikasi dan peatalaksanaan fraktur maksilofasial
4. M4 Tentang klasifikasi dan peatalaksanaan fraktur mandibula
5. M4 Tentang klasifikasi luka dan mekanisme penyembuhannya
6. M4 Tentang avulsi gigi dan prosedur replantasi
7. M4 Tentang oroantal fistula

Pembahasan LO

M4 Tentang etiologi trauma oromaksilofasial

1. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya fraktur maksilofasial dapat digolongkan
sebagai penyebab langsung dan penyebab tidak langsung.

 Langsung
Apabila gigi langsung terkena benda penyebab trauma.
 Tidak langsung
Misalnya, trauma pada mandibula yang mengakibatkan trauma pada
gigi insisivus atas.

2. Faktor Predisposisi

Faktor predispoisi dari trauma maksilo fasial dapat dibagi menjadi dua,
yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain daya tahan
untuk timbulnya fraktur, elastisitas, kepadatan tulang, dan kapasitas absorpsi.
Sedangkan faktor ekstrinsik tergantung pada tekanan, besar dari tekanan,
waktu dan arah tekanan.

Kelainan-kelainan atau penyakit tertentu dapat menyebabkan tulang


menjadi rapuh dan dapat menyebabkan fraktur spontan seperti saat
mengunyah ataupun berbicara, misalnya kista atau tumor jinak pada rahang,
osteomyelitis, osteopororsis, osteogenesis imperfekta, atrofi tulang, metabolic
bone disease. Selain itu post normal oklusi, overjet yang melebihi 4mm,
anatomi gigi serta riwayat medis juga dapat mempengaruhi tulang untuk
mudah terjadi fraktur

Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda
motor lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan (4:1) dan lebih banyak
dijumpai pada usia produktif (21-30 tahun). Fraktur mandibula merupakan fraktur yang paling
banyak terjadi (57,69%), diikuti fraktur panfasial (21,15%), fraktur maksila (13,46%), fraktur
komplek nasal (3,85%), fraktur maksilofasial yang diikuti oleh jenis fraktur lainnya (1,92%) dan
jenis fraktur maksilofasial yang paling sedikit sekali terjadi adalah fraktur komplek zigoma
(0,96%) dan fraktur dentoalveolar (0,96%).

M4 Tentang klasifikasi dan penatalakaan fraktur dentoalveolar

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau fraktur gigi yang
berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau disertai dengan fraktur
bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat bermain, berolahraga
atau iatrogenik.

Klasifikasi fraktur dentoalveolar menurut WHO tahun 1995 terdiri atas empat tipe rudapaksa yaitu:

 tipe 1 yang menyangkut jaringan keras gigi dan pulpa


 tipe 2 yang mengenai jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar
 tipe 3 fraktur pada jaringan periodontal, seperti luksasi dan avulsi gigi
 tipe 4 pada jaringan lunak, seperti abrasi dan laserasi gingiva atau mukosa.

Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar Menurut WHO:

1. Infraksi Mahkota
Fraktur sebagian atau pecahnya enamel tanpa kehilangan substansi gigi lainnya.
2. Fraktur Mahkota
Fraktur yang mengenai enamel dan dentin tanpa mengenai pulpa.
3. Komplikasi Fraktur Mahkota
Fraktur mahkota yang tidak hanya mengenai enamel dan dentin, namun juga pulpa.
4. Fraktur Mahkota-akar
Fraktur yang mengenai enamel, dentin dan sementum namun tidak mengenai pulpa.
5. Komplikasi Fraktur Mahkota-akar
Fraktur yang melibatkan kerusakan enamel, dentin, sementum dan pulpa.
6. Fraktur Akar
Fraktur yang mengenai dentin, sementum dan pulpa.

Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan dalam dua


pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra
oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah bibir.
Sedangkan secara palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi pada permukaan lidah dan
sulkus labial, avulsi dan subluksasi. Sedangkan secara palpasi terdapat
deformitas tulang, krepitus.

Penatalaksanaan

Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin karena penundaan perawatan
akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang
lebih serius, perawatan dapat dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum pasien terlebih
dahulu.
Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi organ pengunyahan
senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien serta
kompleksitas fraktur.

Trauma pada Gigi Sulung

Perawatan gigi sulung yang mengalami trauma pada umumnya tidak berbeda dengan perawatan gigi tetap. Gigi
sulung yang intrusi biasanya akan erupsi secara spontan. Gigi yang tidak terlalu bergeser dan tidak
menyebabkan gangguan oklusi dapat diobservasi saja. Fraktur dentoalveolar yang kompleks pada gigi sulung
jarang terjadi karena elastisitas tulang alveolar.

Trauma pada Gigi Tetap

A.Trauma yang mengenai jaringan keras gigi


1.Fraktur mahkota

Fraktur email hanya memerlukan penghalusan bagian yang tajam, atau penambalan dengan komposit.
Fraktur dentin sebaiknya ditambal sesegera mungkin, khususnya pada pasien muda karena penetrasi bakteri
melalui tubulus dentin cepat terjadi. Penambalan dengan semen kalsium hidroksida dan restorasi komposit
sudah cukup ideal. Bila patahan gigi cukup besar, fragmen mahkota dapat disemen kembali menggunakan resin
komposit. Fraktur pulpa dapat dirawat dengan pulp capping, pulpotomi, atau ekstirpasi pulpa.

2. Fraktur akar

Fraktur mahkota yang oblik dapat meluas ke subgingiva (fraktur mahkota-akar). Bila garis fraktur tidak terlalu
jauh ke apikal dan pulpa tidak terbuka, cukup ditambal dengan restorasi komposit. Bila fraktur meluas sampai
jauh ke apikal, atau bila gigi terbelah secara vertikal, umumnya ekstraksi harus dilakukan.

Fraktur akar horizontal prognosisnya tergantung pada garis fraktur. Bila garis fraktur terletak di dekat gingiva,
fragmen mahkota dapat diekstraksi dan dilakukan perawatan endodontik serta pembuatan mahkota pasak. Bila
garis fraktur terletak jauh ke apikal, gigi sebaiknya diekstraksi.

B.Trauma yang mengenai jaringan periodontal

1. Malposisi

Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint untuk imobilisasi gigi selama 7-21 hari. Setelah
periode imobilisasi selesai vitalitas gigi tersebut harus diperiksa.

2. Avulsi

Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah faktor, yaitu tahap perkembangan akar,
lamanya keberadaan gigi di luar soket, lamanya penyimpanan dan media yang digunakan. Idealnya replantasi
dilakukan sesegera mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel ligamen periodontal tidak mengering, yakni tidak
lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint.

C. Trauma yang mengenai tulang alveolar

Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan anastesi lokal, dan paling baik dilakukan segera
setelah trauma. Reduksi tertutup fraktur alveolar tertutup biasanya dilakukan dengan manipulasi jari yang diikuti
dengan splinting. Imobilisasi tersebut harus menyertakan beberapa gigi yang sehat. Fiksasi intermaksilar
kadang-kadang diperlukan bila fragmen fraktur sangat besar, atau bila prosedur splinting tidak menghasilkan
imobilisasi yang adekuat, dengan memperhatikan oklusi yang benar. Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk
fraktur alveolar, kecuali bila merupakan bagian dari perawatan fraktur rahang.

Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan penutupan segera dengan flap
bukal. Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5 persen untuk membantu drainase antral, dan antibiotik
untuk mencegah timbulnya fistula oro-antral.

D. Trauma yang mengenai jaringan lunak mulut


Fraktur dentoalveolar hampir selalu disertai vulnus. Prinsip perawatannya terdiri atas pembersihan, pembuangan
jaringan nekrotik (debridement), penghentian perdarahan dan penjahitan. 6 Pada bagian dalam laserasi degloving
sering ditemukan debris atau kotoran tanah, sehingga debridement perlu diikuti dengan irigasi yang cermat.
Fraktur dentoalveolar sering mengakibatkan luka terbuka, sehingga perlu diberikan antibiotik profilaksis dan
obat kumur antiseptik.

M4 Tentang klasifikasi dan peatalaksanaan fraktur maksilofasial

fraktur maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni; fraktur Le Fort I,
Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur
maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.
A. Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau


bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III.

Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses


rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai
sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate.
Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara
terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal.
Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.

Le fort 1 :

Garis fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai dengan bawah rongga hidung.
Disebut juga dengan fraktur “guerin”. Kerusakan yang mungkin :

1. Prosesus alveolaris
2. Bagian dari sinus maksilaris
3. Palatum durum
4. Bagian bawah lamina pterigoid

B. Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip
dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan
tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura
zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering
terkena.

Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bisa


merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat
gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga
gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.

- Le Fort II
Garis fraktur melalui os nasal dan diteruskan ke os lakrimalis, dasar
orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus
maksilaris juga ke arah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine.
Disebut juga fraktur “piramid”. Fraktur ini dapat merusak sistem lakrimalis.
Karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai
“floating maxilla” atau maksila yang melayang.

C. Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian


tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis
kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang
mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang
bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan
trauma intrakranial.

- Le Fort III
Garis fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid
junction melalui fissure orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke
orbita, sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum. Disebut
juga sebaga “cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan
secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial.
1. Pola Fraktur

A. Fraktur Unilateral
Hanya tunggal atau lebih dari satu fraktur pada satu sisi mandibula. Seperti
fraktur pada korpus mandibula unilateral paling sering terjadi.
B. Fraktur Bilateral
Sering terjadi dari satu kombinasi antara kecelakaan langsung dan tidak
langsung. Sering terjadi pada fraktur yang menyangkut angulus dan bagian
leher kondilar.
C. Fraktur Multipel

Seperti pada impak yang tepat mengenai titik tengah dagu yang
mengakibatkan fraktur pada simfisis dan kedua kondil.

Banks, Peter. 1992. Fraktur pada Mandibula menurut Killey. Yogyakarta: UGM Press.

Pemeriksaan klinis
Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort
III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut
berbeda.

1. Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.
Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
2. Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan
edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung
bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas.
3. Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra
oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah
kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes
mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian
atas wajah.

4.2.1 Perawatan Fraktur Maksila

Walaupun banyak teknik wiring yang telah dilakukan, fiksasi internal rigid tetap merupakan
perawatan standar terhadap fraktur maksila. Tulang maksila distabilkan mengikuti struktur tulang
wajah lainnya yang lebih stabil.5
Fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan
suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen
fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang
pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.5
Perawatan fraktur Le Fort II sama dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu
dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan
menggunakan molding digital dan splinting. 5,12

Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura
zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis. 5,12

Plat yang digunakan harus cukup rigid namun tidak memberatkan dikarenakan gaya gravitasi.
Grafting tulang dapat dilakukan untuk kasus yang melibatkan antrum maksilaris. Tujuannya
adalah untuk mencegah prolaps jaringan lunak wajah ke dalam sinus maksilaris sehingga terjadi
deformitas wajah.

M4 Tentang klasifikasi dan peatalaksanaan fraktur mandibula


Fraktur mandibula lebih sering terjadi dibandingkan dengan fraktur lainnya pada daerah wajah. Hal
ini disebabkan oleh karena bentuknya lebih prominen dan relatif kurang dukungan dari tulang wajah
lainnya
Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi, yaitu kondilar, ramus, angle,
body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus koronoid
Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya :

A. Simple atau Closed: merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka


terbuka keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran
periodontal.
B. Compound atau Open: merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar
termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal, yang berhubungan
dengan patahnya tulang.
C. Comminuted: merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.
D. Greenstick: merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu
sisi lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
E. Pathologic: merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius
yang dikarenakan adanya penyakit tulang.
F. Multiple: sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada
tulang yang sama tidak berhubungan satu sama lain.

3. Berdasar arah fraktur dan kemudahan untuk direposisi dibedakan:

horizontal dan vertikal yang dibagi menjadi favourable dan unfavourable. Kriteria favourable dan unfavourable
berdasarkan arah satu garis fraktur terhadap gaya muskulus yang bekerja pada fragmen tersebut. Disebut
favourable apabila arah fragmen memudahkan untuk mereduksi tulang waktu reposisi, sedangkan unfavourable
bila garis fraktur menyulitkan untuk reposisi.3,7
Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua


pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra
oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang mengalami
fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara palpasi terdapat step
deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya gigi yang satu sama
lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat, terputusnya kontinuitas
dataran oklusal pada bagian yang mengalami fraktur. Sedangkan secara
palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak pada garis fraktur serta
pergeseran.

4.2.2 Perawatan Fraktur Mandibula


Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup / konservatif dan terbuka /
pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan
jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. 10
Pada prosedur terbuka , bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen direduksi
dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat . Reposisi dapat menggunakan alat
berupa suatu interosseus wiring, bone plate with screw, intramedullary wire, pin dan rods . Terkadang teknik
terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan. 10

Indikasi untuk metode reduksi tertutup adalah 12:

- Fraktur menguntungkan tanpa adanya pergeseran tempat (nondisplaced favorable fracture)


- Fraktur kominuted yang luas
- Fraktur pada mandibula oedentolous
- Fraktur mandibula pada anak
- Fraktur processus koronoid dan kondilus

Indikasinya:

 Jika gigi – gigi pada kedua rahang atas dan bawah cukup tersedia sehingga oklusi dapat dibangun
kembali, dan gigi – gigi tersebut dapat dijadikan sebagai penyangga alat fiksasi.
 Pada fraktur rahang yang masih baru dengan celah antar fragmen yang tidak terlalu lebar.
 Pada fraktur dengan garis fraktur yang berlawanan dengan arah tarikan otot (favorable fracture)
dengan minimal displacement.

Indikasi untuk metode reduksi terbuka

- Fraktur yang tidak menguntungkan pada sudut mandibula


- Fraktur yang tidak menguntungkan pada bodi mandibula atau daerah parasymphisis mandibula
- Terjadinya kegagalan pada metode tertutup
- Fraktur yang membutuhkan tindakan osteotomy
- Fraktur yang membutuhkan grafting tulang

Indikasinya:

 Tidak terdapat cukup gigi untuk mendapatkan oklusi pada reduksi terttutup.
 Fraktur dengan displacement fragmen yang sangat lebar.
 Pada kasus - kasus: non-union, mal-union, dan fibrous fracture
 Pada garis fraktur yang tidak menguntungkan (unfavorable fracture)
 Jika dibutuhkan bone grafting.

4.3 Komplikasi12
1. Delayed union dan non union, disebabkan karena :

- reduksi dan imobilisasi yang tidak adekuat


- infeksi
- kurangnya suplai darah
- defisiensi metabolik dan alkoholisme
2. Infeksi, disebabkan karena :
- reduksi dan imobilisasi yang tidak adekuat
- kurangnya suplai darah
- defisiensi metabolik dan alkoholisme
- fraktur gigi digaris fraktur
- fraktur kominuted
- pemberian antibiotik yang tidak tepat
- fraktur kompound

3. Ankilosis
Jarang, lebih banyak terjadi pada anak-anak dan dihubungkan dengan fraktur intrakapsular dan
imobilisasi

4. Nerve injury
Gangguan sensori permanen dari nervus alveolar inferior

M4 Tentang klasifikasi luka dan mekanisme penyembuhannya


Tipe Penyembuhan luka

Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan
yang hilang.

Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi setelah diusahakan
bertautnya tepi luka, biasanya dengan jahitan, plester, skin graft, atau flap. Hanya sedikit jaringan yang hilang
dan Luka bersih. Jaringan granulasi sangat sedikit. Re-epitelisasi sempurna dalam 10-14 hari, menyisakan
jaringan parut tipis.

Kontraindikasi Penutupan Luka Sec Primer:

 Infeksi
 Luka dg jaringan nekrotik.
 Waktu terjadinya luka >6 jam sebelumnya, kecuali luka di area wajah.
 Masih tdpt benda asing dlm luka
 Perdarahan dr luka
 Diperkirakan tdpt “dead space” stla dilakukan jahitan.
 Tegangan dlm luka atau kulit di sekitar luka terlalu tinggi
 perfusi jaringan buruk.

Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan
primer. Dikarakteristikkan oleh luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Tidak ada tindakan
aktif menutup luka, luka sembuh secara alamiah (intervensi hanya berupa pembersihan luka, dressing, dan
pemberian antibiotika bila perlu). Proses penyembuhan lebih kompleks dan lama. Luka jenis ini biasanya tetap
terbuka dan terbentuk jaringan granulasi yang cukup banyak. Luka akan ditutup oleh re-epitelisasi dan deposisi
jaringan ikat sehingga terjadi kontraksi. Jaringan parut dapat luas/ hipertrofik, terutama bila luka berada di
daerah presternal, deltoid dan leher.

Indikasi Penutupan luka secara sekunder:

 Luka kecil (<1.5 cm)


 Struktur penting di bawah kulit tidak terpapar
 Luka tidak terletak di area persendian & area yg penting secara kosmetik
 Luka bakar derajat 2.
 Waktu terjadinya luka >6 jam sebelumnya, kecuali bila luka di area wajah.
 Luka terkontaminasi (highly contaminated wounds)
 Diperkirakan terdapat “dead space” setelah dilakukan jahitan
 Darah terkumpul dlm dead space
 Kulit yg hilang cukup luas
 Oedema jaringan yg hebat sehingga jahitan terlalu kencang dan mengganggu vaskularisasi yang dapat
menyebabkan iskemia & nekrosis.

Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari
setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe
penyembuhan luka yang terakhir. Delayed primary closure yang terjadi setelah mengulang debridement dan
pemberian terapi antibiotika.

Fase Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi. Satu fase dengan fase
yang lain merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan.

Fase Inflamasi

Berlangsung segera setelah jejas terjadi dan berlanjut hingga 5 hari. Merupakan respon vaskuler dan seluler
yang terjadi akibat perlukaan jaringan lunak yang bertujuan untuk mengontrol perdarahan, mencegah koloni
bakteri, menghilangkan debris dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan. Disebut juga fase lamban
karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang lemah.

Awal fase, kerusakan jaringan menyebabkan keluarnya platelet yang akan menutupi vaskuler yang terbuka
dengan membentuk clot yang terdiri dari trombosit dengan jala fibrin dan mengeluarkan zat yang menyebabkan
vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Terjadi selama 5 – 10
menit.

Setelah itu, sel mast akan menghasilkan sitokin, serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pengumpulan sel radang, disertai vasodilatasi lokal. Tanda dan gejala
klinik radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa
nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).

Eksudasi mengakibatkan terjadinya pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis)
terutama neutrofil menuju luka karena daya kemotaksis mengeluarkan enzim hidrolitik berfungsi untuk
fagositosis benda asing dan bakteri selama 3 hari yang kemudian digantikan fungsinya oleh sel makrofag yang
berfungsi juga untuk

sintesa kolagen, pembentukan jaringan granulasi bersama makrofag, memproduksi Growth Factor untuk re
epitelialisasi, dan proses angiogenesis.

Fase Proliferasi

Berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Disebut juga fase fibroplasias karena fase ini didominasi
proses fibroblast yang berasal dari sel mesenkim undifferentiate, yang akan berproliferasi dan menghasilkan
kolagen, elastin, hyaluronic acid, fifbronectin, dan proteoglycans yang berperan dalam rekonstruksi jaringan
baru. Fase ini terdiri dari proses proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks, dan kontraksi luka.

Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian dengan tegangan pada luka yang
cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi
luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses
penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.

Luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri
dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel
baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar,
sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling
menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia
dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses maturasi.

Fase Maturasi
Berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang
sudah hilang. Pada fase ini terjadi proses maturasi yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih,
pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya remodelling jaringan yang baru terbentuk. Tubuh
berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan sel
radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih
diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut
yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada
akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini
tercapai kira – kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.

M4 Tentang avulsi gigi dan prosedur replantasi


Avulsi

Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah faktor, yaitu tahap perkembangan akar,
lamanya keberadaan gigi di luar soket, lamanya penyimpanan dan media yang digunakan. Idealnya replantasi
dilakukan sesegera mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel ligamen periodontal tidak mengering, yakni tidak
lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan splint.

M4 Tentang oroantal fistula


Oroantral communication (OAC) yang selanjutnya disebut sebagai komunikasi oroantral (KOA)
adalah suatu keadaan patologis terjadinya hubungan antara rongga hidung/antrum dengan rongga mulut.
Keadaan ini merupakan komplikasi pasca pencabutan gigi posterior rahang atas yang insidennya berkisar
0,31%-3,8% dan sering menyebabkan ketidaknyamanan karena dapat menjadi masalah sistemik yang lebih
serius.

Tindakan pencabutan gigi merupakan bread and butter bagi seorang dokter gigi seperti halnya
penambalan gigi. Pasien biasanya mengeluhkan gigi yang rusak dan ingin dicabut saja. Dokter gigi yang bijak,
seyogyanya membuat perencanaan yang tepat meliputi pembuatan foto ronsen saat akan melakukan pencabutan
gigi di regio posterior rahang atas. Menurut kepustakaan, akar gigi molar pertama dan kedua rahang atas
memiliki kemungkinan paling tinggi terhadap hubungannya dengan sinus maksilaris.2

Komunikasi oroantral yang berdiameter < 2 mm sembuh secara spontan, sedangkan yang berdiameter
> 6 mm segera memerlukan tindakan operasi. Jika tidak, maka kemungkinan terjadinya fistula oroantral (FOA)
sangat tinggi.3

Pentingnya informed consent sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi posterior rahang atas harus
dipahami oleh dokter gigi, mengingat tingginya resiko terjadinya KOA pasca pencabutan gigi. Kemampuan
identifikasi dan pencegahan terhadap terjadinya KOA sangat diharapkan dimiliki oleh seorang dokter gigi,
sekaligus dapat melakukan tata laksana sederhana untuk menghindari komplikasi lebih lanjut. Untuk itu pada
makalah ini akan dibahas mengenai etiologi dan penanganan komunikasi oroantral.

Penatalaksanaan

Jika KOA telah terjadi, seorang dokter gigi harus mampu mengevaluasi terjadinya KOA dan menilai
seberapa jauh KOA tersebut terjadi. Pada pasien dengan keadaan umum yang baik tanpa kelainan sinus, maka
jika diameter KOA yang terjadi < 2 mm, maka tindakan yang perlu dilakukan hanya menekan soket dengan
tampon selama 1-2 jam dan memberikan instruksi pasca ekstraksi gigi dengan perlakuan khusus pada sinus
(sinus precaution), yaitu hindari meniup, menyedot-nyedot ludah, menghisap-hisap soket, minum melalui
sedotan atau merokok selama 24 jam pertama. Namun, jika KOA yang terjadi berukuran sedang (diameter 2-6
mm), maka perlu tindakan tambahan yaitu meletakkan sponge gauze serta penjahitan soket gigi secara figure of
eight (gambar 3) untuk menjaga agar bekuan darah tetap berada dalam soket. Selain itu ditambah dengan
pemberian instruksi sinus precaution selama 10- 14 hari dan pemberian obat-obatan antibiotika seperti penisilin
atau klindamisin selama 5 hari, serta dekongestan oral maupun nasal spray untuk menjaga ostium tetap paten
sehingga tidak terjadi sinusitis maksilaris. Jika ukuran KOA > 6 mm maka sebaiknya dilakukan tindakan
penutupan soket dengan flap supaya terjadi penutupan primer. Flap harus bebas dari tarikan dan posisi flap
sebaiknya terletak di atas tulang. Variasi jenis flap yang sering dilakukan untuk penutupan KOA antara lain
buccal flap, palatal flap, buccal fat pad, gold foil dan lain sebagainya.
Gambar 3. Teknik jahitan figure of eight (Sumber:
Balaji SM. Textbook of oral and maxillofacial surgery. New Delhi: Elsevier; 2007.p.330-5).8
Pada pasien dengan riwayat sinusitis kronik, maka terjadinya KOA yang berdiameter kecil sekalipun akan sukar
sembuh dan dapat menyebabkan KOA permanen serta terepitelialisasi menjadi fistula. Sebaiknya pada pasien
dengan riwayat penyakit tersebut, segera dilakukan penjahitan secara figure of eight dan beri instruksi sinus
precaution

Anda mungkin juga menyukai