Anda di halaman 1dari 15

2.

2 Fraktur Mandibula

2.2.1 Definisi
Menurut Kamus Kedokteran Gigi, fraktur adalah diskontinuitas dari

jaringan keras (tulang), biasanya disebabkan oleh adanya kecelakaan/trauma

ataupun keadaan patologis; suatu patahan jaringan keras. Trauma adalah luka

atau cedera pada jaringan. Mandibula adalah rahang bawah. Jadi, fraktur

mandibula adalah hilangnya kontinuitas tulang pada rahang bawah

(mandibula), yang diakibatkan oleh trauma wajah ataupun keadaan patologis,

dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.

2.2.2 Etiologi
Mandibula sering terkena cedera karena posisinya yang menonjol.

Kecelakaan kendaraan dan serangan kekerasan merupakan penyebab yang

utama. Penyebab fraktur mandibula dibagi menjadi dua yaitu faktor luar

dan faktor dalam. Literatur menunjukkan bahwa penyebab fraktur

mandibula yang berasal dari faktor luar yaitu 43% karena kecelakaan

kendaraan, 34% disebabkan oleh serangan kekerasan, 7% karena

kecelakaan dalam bekerja, 7% karena jatuh, dan 4% karena kecelakaan

saat olahraga.
Dental implant merupakan perawatan restoratif bagi pasien

edentulous selama dekade terakhir. Namun, fraktur mandibula dan

maxillofacial makin umum dijumpai seiring berkembangnya penggunaan

dental implant. Adanya resorpsi tulang sekunder selama penggunaan

prostesis jangka panjang dan makin tingginya abnormalitas metabolik

pada lanjut usia menyebabkan berkurangnya massa tulang. Untuk alasan


inilah pasien harus mengikuti prinsip osteografi untuk hasil yang lebih

baik.
Manson et al mengungkapkan bahwa fraktur mandibula bisa

dikarenakan faktor dari dalam, yaitu karena adanya penurunan massa

tulang, defisiensi mineral tulang akibat atrofi, tekanan selama pemakaian

implant, dan daya regang pada mandibula.


Menurut Tolman dan Keller, implant yang telah melalui osteograsi

dan terlibat dalan garis fraktur tak boleh dihilangkan, hanya implant yang

terkena infeksi saja yang harus dihilangkan. Penggunaan reduksi terbuka

dan fiksasi internal harus dihindari karena adanya pengurangan periosteum

dan berkurangnya massa tulang akibat atrofi mandibula, untuk alasan

inilah reduksi tertutup merupakan metode yang terbaik bagi fraktur

mandibula yang disebabkan karena faktor dari dalam.

2.2.3 Lokasi fraktur mandibula.

Dalam studi kasus fraktur mandibula, presentasi penyebab fraktur

terbanyak yaitu: 29,1% pada kondilus, 24,5% pada angulus, 22% pada

simfisis, 16% pada bodi, 4% pada dentoalveolar, dan 1,3% pada prosessus

koronoideus. Fraktur mandibula paling sering terjadi pada ramus,

kondilus, dan angulus mandibula.

Fraktur subkondilar sering terjadi pada anak-anak karena tulang

kondilus pada anak-anak masih mengalami pertumbuhan sedangkan

fraktur angulus lebih sering terjadi pada dewasa muda karena kondisi

anatomis angulus yang menonjol dan merupakan pertemuan antara dua

tulang (ramus dan korpus) sehingga paling rawan terjadinya fraktur .


2.2.4 Klasifikasi

Menurut Dorland’s Illustrated Medical Dictionary ada sepuluh

macam klasifikasi fraktur mandibula:

1. Simple atau tertutup, fraktur yang tidak menyebabkan luka terbuka


2. Compound atau terbuka, fraktur yang menyebabkan luka terbuka

melibatkan kulit, mukosa, atau membran periodontal.


3. Kominusi, dimana tulang yang mengalami fraktur berupa serpihan atau

segmen kecil.
4. Greenstick, fraktur yang mnyebabkan rusaknya korteks tulang.
5. Patologik, fraktur yang berasal dari luka ringan akibat luka pada tulang

sebelumnya.
6. Multiple, merupakan varian dari fraktur dimana terdapat dua atau lebih

garis fraktur dalam satu tulang yang tidak berhubungan satu sama lain.
7. Impaksi, fraktur dimana salah satu fragmen benar-benar mendorong

fragmen yang lain.


8. Atrofik, fraktur yang terjadi spontan tanpa sebab patologik dikarenakan

atrofi tulang, contoh pada edentulous mandibula.


9. Indirect atau tak langsung, fraktur yang terjadi pada titik yang jauh dari

tempat terjadinya luka.


10. Komplikasi atau kompleks, fraktur yang melibatkan jaringan lunak dan

jaringan keras.
Menurut anatomi mandibula:
1. Midline, fraktur diantara incisivus sentral.
2. Parasimfiseal, fraktur yang terjadi di daerah simfisis.
3. Simfisis, fraktur yang berupa garis vertikal di bagian distal caninus
4. Body, daerah distal simfisis hingga regio molar ke tiga
5. Angulus, daerah distal molar ke tiga
6. Ramus
7. Kondilar
8. Prosessus koronoideus
9. Prosessus alveolaris

Menurut Kazanjian dan Converse berdasarkan keterlibatan gigi

pada garis mandibula


1. Kelas I
Adanya gigi pada kedua sisi garis fraktur. Bisa dirawat dengan

berbagai teknik, bisa menggunakan monomaksillari ataupun

intermaksillari.
2. Kelas II
Adanya gigi hanya pada salah satu sisi garis fraktur. Biasanya

melibatkan fraktur pada korpus, ramus, angulus, atau pada edentulous

sehingga membutuhkan perawatan intermaksillari


3. Kelas III
Tak ada gigi yang terlibat, contoh pada pasien edentulous.

Membutuhkan perawtan dengan teknik prostetok, reduksi terbuka atau

keduanya untuk stabilisasi.


Menurut Rowe dan Killey:
1. Kelas I
Tidak melibatkan basal tulang, berupa fraktur prossus alveolaris.
2. Kelas II
Melibatkan basal tulang, dibagi menjadi single unilateral, double

unilateral, bilateral, dan multiple.


Menurut Kruger dan Schilli (paling sering dipakai):
1. Berkaitan dengan lingkungan eksternal
a. Simple atau tertutup
b. Compound atau terbuka
2. Tipe fraktur
a. Incomplete
b. Greenstick
c. Complete
d. Comminuted
3. Pertumbuhan rahang berkaitan dengan penggunaan splint
a. Adanya rahang yang cukup
b. Edentulous atau tak cukupnya rahang
c. Primer dan mixed dentition
4. Lokasi
a. Fraktur pada daerah simfisis antara kaninus.
b. Fraktur antara kaninus.
c. Fraktus pada corpus mandibula antara kaninus dan angulus

mandibula.
d. Fraktur pada angulus mandibula di regio molar ketiga.
e. Fraktur pada ramus mandibula antara angulus mandibula dan

sigmoid notch.
f. Fraktur pada prosessus koronoideus.
g. Fraktur pada prosessus kondilaris.
Klasifikasi penting dari fraktur mandibula berkaitan dengan arah

tarikan otot:
1. Vertikal favorable atau unfavorable
2. Horizontal favorable atau unfavorable
*Favorable = tak searah tarikan otot
Unfavorable = searah tarikan otot

2.2.5 Pemeriksaan klinis


Tanda dan gejala adanya fraktur mandibula yaitu:
1. Perubahan oklusi.
Perubahan oklusi sebagian besar disebabkan oleh fraktur

mandibula. Klinisi harus menanyakan pada pasien apakah gigitannya

terasa berbeda. Perubahan pada oklusi dapat disebabkan oleh fraktur gigi,

fraktur prosessus alveolaris, fraktur mandibula pada beberapa lokasi dan

trauma pada TMJ dan otot mastikasi. Open bite anterior disebabkan karena

fraktur bilateral pada kondilus atau angulus mandibula dan fraktur

maksilla dengan perpindahan inferior dari posterior maksilla. Open bite

posterior disebabkan oleh fraktur pada prosessus alveolaris atau fraktur

parasimfiseal. Open bite unilateral disebabkan oleh fraktur parasimfiseal.

Crossbite posterior disebabkan oleh fraktur kondilus dan midline

simfiseal. Oklusi retrognatik berhubungan dengan fraktur angulus atau

kondilus. Oklusi prognatik disebabkan oleh karena pergerakan berlebih

dari TMJ. Contoh di atas merupakan beberapa kelainan oklusi karena

fraktur mandibula.
2. Anesthesia, paresthesia, atau diesthesia pada bibir bawah.
Untuk memeriksa adanya perubahan sensasi pada bibir bawah dan

dagu, klinisian harus menggunakan anesthesi.


3. Pergerakan abnormal mandibula
Beberapa pasien dengan fraktur mandibula mempunyai pembukaan

mulut yang terbatas dan trismus. Contohnya deviasi pada salah satu sisi

karena fraktu kondilaris karena ketidakseimbangan kerja pada otot

pterigoideus lateralis.
Ketidakmampuan mandibula untuk membuka disebabkan karena

fraktur ramus yang mengenai prosessus koronoideus pada arkus

zygomatikus atau depresi pada fraktur arkus zygomatikus.

Ketidakmampuan rahang untuk menutup disebabkan oleh fraktur pada

prosessus alveolaris, angulus, ramus atau simfisis karena kontak prematur

gigi.
4. Perubahan pada kontur dan bentuk lengkung mandibula.
Walaupun kontur wajah tertutuoi oleh bengkak, klinisi harus

memeriksa wajah dan mandibula untuk kontur yang abnormal. Tampilan

datar pada bagian lateral wajah mungkin disebabkan oleh fraktur corpus,

angulus atau ramus. Tampilan memanjang pada muka mungkin disebabkan

oleh fraktur bilateral pada subkondilar angulus atau corpus, asimetris

wajah, merupakan tanda bagi klinisi kemungkinan adanya fraktur

mandibula. Jika ada deviasi dari bentuk U yang normal pada kurva

mandibula, adanya fraktur harus dicurigai.


5. Laserasi, hematoma, dan ekimosis.
Trauma menyebabkan hilangnya kontinuitas kulit atau mukosa

secara signifikan atau perdarahan subkutaneus-submukosal karena trauma

pada mandibula. Adanya luka harus diinspeksi secara hati-hati sebelum

penutupan. Arah dan tipe fraktur dapat dilihat melalui luka. Namun, klinisi

perlu pemeriksaan radiografi untuk mendiagnosis. Adanya kimosis pada


dasar mulut mengindikasikan terjadinya fraktur korpus mandibula atau

fraktur simfiseal.
6. Kehilangan gigi dan krepitasi saat palpasi.
Pemeriksaan pada gigi dan tulang pendukung dapat membantu

diagnosis fraktur pada prosessus alveolaris, korpus dan simfiseal. Gaya

yang kuat dapat menyebabkan fraktur gigi juga pada tulang yang

mendasarinya. Fraktur gigi multiple mengindikasikan bahwa rahang

clenching akibat trauma. Klinisi harus melakukan palpasi pada mandibula

dengan menggunakan dua tangan dengan ibu jari p[ada gigi dan jari lain

pada mandibula dengan perlahan dan hati-hati.


7. Rubor, kalor, tumor, dan dolor.
Kemerahan, panas yang terlokalisasi, bengkak, dan rasa sakit

merupakan tanda-tanda sejak jaman Yunani kuno. Jika semua hal tersebut

ditemukan merupakan tanda-tanda primer dari dugaan adanya fraktur

mandibula.
Pemeriksaan radiologis yang dapat mendiagnosis adanya fraktur

mandibula:
1) Panoramik
2) Lateral oblique
3) Posteroanterior
4) Oklusal
5) Periapikal
6) Proyeksi Towne
7) Foto TMJ
8) CT (Computed Tomography) scan

2.2.6 Penatalaksanaan Fraktur Mandibula


Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat

kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi

darah termasuk penanganan syok (circulation), penanganan luka jaringan

lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan


cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu

reduksi/reposisi fragmen fraktur (secara tertutup (close reduction) dan

secara terbuka (open reduction), fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi,

sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak

sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.

1. Terapi medis
Pasien dengan fraktur non-displaced atau minimal displaced

fraktur condilar dapat diobati dengan analgesik, diet lunak, dan observasi.

Pasien dengan fraktur coronoideus sebaiknya diperlakukan sama. Selain

itu, pasien-pasien ini mungkin memerlukan latihan mandibula untuk

mencegah trismus. Jika fraktur mandibula membatasi gerak, terapi medis

merupakan kontraindikasi.
Teknik dari reduksi secara tertutup dan fiksasi dari fraktur

mandibula memiliki berbagai variasi. Penempatan Ivy loop menggunakan

kawat 24-gauge antara 2 gigi yang stabil, dengan penggunaan kawat yang

lebih kecil untuk memberikan fiksasi maxillomandibular (MMF) antara

loop Ivy, telah berhasil. Arch bar dengan kabel 24 – dan 26-gauge yang

fleksibel dan sering digunakan. Pada edentulous mandibula, gigi palsu

dapat ditranfer ke rahang dengan kabel circummandibular. Gigi tiruan

rahang atas dapat ditempelkan ke langit- langit. (Setiap screw dari

maxillofacial set dapat digunakan sebagai lag screw.) Arch bar dapat

ditempatkan dan intermaxillary fixation (IMF) dapat tercapai. Gunning

Splints juga telah digunakan pada kasus ini karena memberikan fiksasi

dan dapat diberikan asupan makanan. Pada kasus fraktur kominitif,


rekonstruksi mandibula mungkin diperlukan untuk mengembalikan posisi

anatomis dan fungsi.


Luka pada dentoalveolar harus dievaluasi dan diobati bersamaan

dengan pengobatan fraktur mandibula. Gigi di garis fraktur harus

dievaluasi dan jika perlu diektraksi. Penggunaan antibiotik preoperatif dan

postoperatif dalam pengobatan fraktur mandibula dapat mengurangi

resiko infeksi.
Fraktur yang diobati dengan fiksasi maxillomandibular (MMF)

selama 4 minggu atau dengan reduksi terbuka (open reduction). Pada

sebuah penelitian menemukan bahwa 13,7% dari gigi yang di extraksi

pada garis fraktur mengalami komplikasi, sementara 16,1% mengalami

komplikasi dari gigi yang tetap pada garis fraktur. Hal ini menyimpulkan

bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah komplikasi

pada gigi di extraksi dan gigi di tahan pada garis fraktur. Beberapa literatur

lain menyatakan pemberian antibiotik yang adekuat pada gigi non

infeksius pada garis fraktur dapat dipertahankan. Setelah tinjauan

literature, Shetty dan Freymiller membuat rekomendasi berikut mengenai

gigi di garis fraktur mandibula:


1) Gigi yang utuh dalam garis fraktur harus dibiarkan jika tidak

menunjukkan bukti melonggar atau terjadi proses inflamasi.


2) Gigi dengan akar retak harus dihilangkan.
3) Lakukan ekstraksi primer ketika ada kerusakan period ontal luas.

2. Terapi bedah
Gunakan cara paling sederhana yang paling mungkin untuk

mengurangi komplikasi dan menangani fraktur mandibula. Karena


reduksi secara terbuka (open reduction) meningkatkan resiko morbiditas,

reduksi secara tertutup digunakan pada kondisi kondisi sebagai berikut:


a. fraktur non displace
b. fraktur kommunitive yang sangat nyata.
c. Edentulous fraktur (menggunakan prostesis mandibula)
d. fraktur pada anak dalam masa pertumbuhan gigi.
e. Fraktur coronoid dan fraktur condilar

Gambar . fraktur angular comunitiv pada mandibula kiri

Indikasi untuk reduksi secara terbuka:


a. Displace yang tidak baik pada angle, body, atau fraktur parasimfisis.
b. fraktur multiple pada wajah.
c. Fraktur Condylar Bilateral.
d. Fraktur pada edentulous mandibula
Secara khusus penanganan fraktur mandibula dan tulang pada

wajah (maksilofasial) mulai diperkenalkan olah Hipocrates (460-375 SM)

dengan menggunakan panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi

bawah dan gigi-gigi rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis

fraktur mandibula. Pada perkembangan selanjutnya oleh para klinisi

menggunakan oklusi sebagai konsep dasar penanganan fraktur mandibula

dan tulang wajah (maksilofasial) terutama dalam diagnostik dan


penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan teknik fiksasi

mulai dari penggunaan pengikat kepala (head bandages), pengikat rahang

atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari fixation), serta fiksasi dan

imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat tulang (plate and

screw).
Gambar imobilisasi fraktur mandibula secara interdental :
1) Menggunakan kawat
Kawat dibuat seperti mata, kemudian mata tadi dipasang disekitar

dua buah gigi atau geraham dirahang atas ataupun bawah. Rahang bawah

yang patah difiksasi pada rahang atas melalui mata di kawat atas dan

bawah, Jika perlu ikatan kawat ini dipasang di berbagai tempat untuk

memperoleh fiksasi yang kuat.


2) Imobilisasi fraktur mandibula dengan batang lengkung karet
Menggunakan batang lengkung dan karet : batang lengkung

dipasang pada gigi maxilla dan juga pada semua gigi mandibula yang

patah. Mandibula ditambatkan seluruhnya pada maxilla dengan karet pada

kait di batang lengkungan atas dan bawah.

Gambar. Imobilisasi fraktur melalui external fiksasi maksilamandibula

Prosedur penanganan fraktur mandibula:


1) Fraktur yang tidak ter-displace dapat ditangani dengan jalan

reduksi tertutup dan fiksasi intermaxilla. Namun pada prakteknya,

reduksi terbuka lebih disukai paada kebanyakan fraktur.


2) Fraktur dikembalikan ke posisi yang sebenarnya dengan jalan

reduksi tertutup dan arch bar dipasang ke mandibula dan maxilla.


3) Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk

menyatukan fraktur
4) Fraktur yang hanya ditangani dengan jalan reduksi tertutup

dipertahankan selama 4-6 minggu dalam posisi fraktur intermaxilla.


5) Kepada pasien dapat tidak dilakukan fiksasi intermaxilla apabila

dilakukan reduksi terbuka, kemudian dipasangkan plat and screw.

Oleh sebab itu ilmu oklusi merupakan dasar yang penting bagi

seorang Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial dalam penatalaksanan

kasus patah rahang atau fraktur maksilofasial. Dengan prinsip ini

diharapkan penyembuhan atau penyambungan fragmen fraktur dapat

kembali ke hubungan awal yang normal dan telah beradaptasi dengan

jaringan lunak termasuk otot dan pembuluh saraf disekitar rahang dan

wajah.

3. Tindak Lanjut Postaoperasi


Berikan analgetik pada periode postoperasi. Serta berikan

antibiotic spectrum luas pada pasien fraktur terbuka dan re evaluasi

kebutuhan nutrisi. pantau intermaxilla fixation (IMF) selama 4-6 minggu.

Kencangkan kabel setiap 2 minggu. Setelah wire di buka, evaluasi

dengan foto panoramik untuk memastikan fraktur telah union.

4. Komplikasi
Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur

mandibula umumnya jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi

pada fraktur mandibula adalah infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya

dapat menyebabkan berbagai kemungkinan komplikasi lainnya.


Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering

mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun

non-union, hal ini akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak

nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang (Temporo

mandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara

sendi rahang kiri dan kanan. Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi

tetapi otot-otot pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat

memberikan respon nyeri (myofascial pain) Terlebih jika pasien

mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan

oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh

pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau penangnanan

secara adekuat.
Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan

dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya

malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling besar adalah

infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen

fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada

segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan

asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan


ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat

untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.

Anda mungkin juga menyukai