Fraktur Maxila
4. Manifestasi Klinis
Menurut Ajike S.O tahun 2015 rahang yang patah biasanya menyebabkan rasa sakit
dan pembengkakan rahang, dan kebanyakan orang sering merasa bahwa gigi mereka sakit
biasa. Seringkali, mulut tidak dapat dibuka lebar, atau bergeser ke satu sisi saat membuka
atau menutup. Fraktur maxilla sering menyebabkan pembengkakan dan deformitas wajah.
Pembengkakan jarang menjadi cukup berat untuk menyebabkan seeorang mengalami
gangguan pada saluran pernapasan. Gejala fraktur maxilla yang dapat terjadi :
a. Mimisan;
b. Memar di sekitar mata dan hidung;
c. Bengkak pada pipi;
d. Bentuk di sekitar hidung tidak beraturan;
e. Mengalami kesulitan dalam penglihatan;
f. Memiliki penglihatan ganda;
g. Terjadi mati rasa di daerah rahang atas;
h. Mengalami kesulitan mengunyah, berbicara atau makan;
i. Saat mengunyah, berbicara, atau makan akan terasa sakit di bibir
j. Terdapat gigi yang patah
5. Patofisiologi
Gaya yang menyebabkan cidera dapat dibedakan jadi 2, yaitu high impact atau low
impact. Keduanya dibedakan apakah lebih besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi.
Setiap region pada wajah membutuhkan gaya tertentu hingga menyebabkan kerusakan pada
jaringan lunak, gigi dan tulang maksila, zygoma, nasoorbital-ethmoid ( NOE ) komplek, dan
struktur-struktur supra orbital Ajike S.O (2015)
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan
dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan
kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan
didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak
parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk
menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula
(simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan
rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma
dan tulang hidung.
a. Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior
dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat
terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
b. Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang
terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang
pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan
merusak bagianbagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi
orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi,
namun jarang menyebabkan kematian.
c. Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.
d. Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke
tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus
lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
e. Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic
dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
f. Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks ( ZMCs): ini menyebabkan patah tulang
dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal,
zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid.Garis
fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera
mata serentak yang umum.
g. Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-
rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari
lokasi trauma langsung.
h. Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi
langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang
atas atau rahang bawah
i. Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan
cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih renda
7. Penatalaksanaan
a. Perawatan elektif
Hasil yang diharapkan denga perawatan elektif adalah klien akan mendapatkan
penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi
nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase
perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada stats
nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien
merasa tidak nyaman.
Tujuan dari terapi fraktur adalah mengembalikan anatomi dan fungsi dari tulang dan
jaringan lunak dalam waktu yang singkat dengan resiko yang paling kecil. Terapi fraktur
harus dilakukan sedini mungkun untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Syarat untuk
mendapatkan hasil yang optimal :
a) Reposisi fragmen ke posisi yang benar secara anatomis
b) Kontak yang baik antara kedua fragmen selama masa penyembuhan
c) Imobilisasi dapat menggunakan miniplat ataupun sekrup
d) Fiksasi dengan tujuan agar fragmen yang telah direposisi dan mendapat retensi tidak
bergerak selama masa awal penyembuhan, fiksasi ini dapat menggunakan metode
fiksasi maksilomandibular.
e) Mobilisasi dini sehabis fraktur penting unutk mencegah ankilosis pada sendi rahang
pada kasus fraktur kondilus.
b. Perawatan fraktur maxilla
Sebelum dilakukan debredement, diberikan antibiotik profilaks dengan golongan
sefalosforin yang dilakukan di ruangan emergency. Pada fraktur terbuka, diberikan
tambahan berupa golongan aminoglikosida, seperti tobramicin atau gentamicin.
Peralatan proteksi diri yang dibutuhkan saat operasi adalah google, boot dan sarung
tangan tambahan. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pencucian pada daerah fraktur
dengan povine iodine, lalu drapping area operasi. Debridement dilakukan pertama kali
pada daerah kulit yang fraktur. Kemudian dilakukan rawat perdarahan di vena dengan
melakuan koagulasi. Membuka fascia untuk menilai otot dan tendon. Viabilitas otot
dilakukan untuk mendapatkan dengan 4C, “Color, Contractility, Circulation and
Consistency. Lakukan pengangkatan kontaminasi canal medullary dengan saw atau
rongeur. Curettage canal medulary dihindarkan dengan alasan mencegah infeksi ke arah
proksimal. Irigasi dilakukan dengan normal saline. Penggunaan normal saline adalah 6-
10 liter untuk fraktur terbuka. Tulang dipertahankan dengan reposisi. Penutupan luka
dilakukan jika memungkinkan. Pada fraktur terbuka yang tidak bisa dilakukan penutupan
luka, dilakukan rawat luka terbuka, hingga luka dapat ditutup sempurna. Perawatan
fraktur dapat dibedakan menjadi perawatan fraktur secara tertutup (closed) atau terbuka
(open) . Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation ( IMF) disebut
juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area
fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah
penggunaan arch bar.
1. Closed Reduction
Pada prinsipnya, terapi fraktur konservatif dapat menggunakan metode:
a) Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligature dental, splint dental, arch
bar);
b) Splin protesa, digunakan pada rahang yang tidak bergigi, dapat dicekatkan dengan
sekrup osteosintesis ke tulang atau dengan circumferential wiring
c) Yang bertumpu ke struktur tulang ekstra oral (head chin splint dan gips pada fraktur
hidung)
2. Open Reduction
Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi
terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Terapi fraktur
dengan metode open reduction diindikasikan pada :
a) Fraktur multiple dan comminuted
b) Fraktur terbuka
c) Fraktur pada rahang yang atrofi
d) Fraktur yang terinfeksi
e) Fraktur pada pasien yang tidak dapat dilakukan terapi konservatif seperti pada pasien
epilepsy, ketergantungan alcohol, keterbelakangan mental.
Terapi fraktur sebaiknya dilakukan secepat mungkin, penundaan perawatan akan
berakibat pada kalsifikasi tulang pada posisi yang salah dan juga meningkatkan resiko
infeksi. Meskipun secara umum fraktur oran dan maksilofasial sebaiknya dirawat secara
terbuka, namun tidak semuanya membutuhkan. Pada fraktur tanpa displacement
umumnya tidak perlu intervensi bedah. Material yang digunakan untuk fiksasi pada terapi
fraktur dengan open reduction antara lain kawat, pelat dan sekrup, miniplat, mikroplat.
8. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien fraktur maxillaris yang terjadi perdarahan jarang sekali menimbulkan
masalah yang serius, tetapi karena diperlukan untuk pembedahan maka penting untuk
dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk keperluan transfusi darah. Menurut
Risnanto tahun 2014 yang diperlukan untuk pemeriksaan laboraturiu antara lain :
a) Hemoglobin / haemoglobin (Hb) nilai normal dewasa pria 13.518.0 gram/dL, nilai
normal dewasa wanita 12-16 gram/dL, wanita hamil 10-15 gram/dL, dikatakan Hb
rendah apabila nilainya <10 gram/dL biasanya dikaitkan dengan pendarahan berat
dengan ambang bahaya apabila Hb <5 gram/dL.
b) Hematokrit (Ht) nilai normalnya 40-47%
c) Leukosit: hitung leukosit (leukocyte count) dan hitung jenis (differential count) nilai
normalnya 4300-10300 sel/mm3.
d) Hitung trombosit/ platelet count nilai normal dewasa 142.000424.000 sel/mm3
dengan nilai ambang bahaya <30.000 sel/mm3.
e) Laju endap darah (LED)/erythrocyte sedimentation rate (ESR) nilai normal dewasa
<15 mm/jam pertama sedangkan wanita <20 mm/jam pertama.
f) Eritrosit nilai normal dewasa 4.0-5.5 juta sel/mm3.
2. Pemeriksaan radiologi
Pada pasien fraktur maxilla dan tulang wajah perlu untuk dilakukan foto
radiografis untuk menguatkan diagnosa medis yang diangkat. Foto radiografis juga
digunakan untuk mengetahui letak fraktur yang terjadi pada pasien. Pemeriksaan
radioogi yang dapat dilakukan diantaranya adalah rongen, CT Scan, MRI dan
sebagainya.
6. Clinical Pathway
Fraktur
Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang
Peruh jaringan sekitar kerusakan fragmen tulang
Nyeri Akut
Susah tidur
Deformitas reaksi stress klien
Gangguan perfusi
jaringan
Ajike S.O., Adebayo E.T., Amanyiewe E.U., 2015, An epidemiologic survey of maxillofacial
fractures and concomitant injuries in kaduna, nigeria, Nigerian J of Surgical research:
251-55.
Arosarena Oneida A, MD, et al. Maxillofacial Injuries and Violence Against Women. Arch
Facial Plast Surgery. 2016; 11(1):48-25.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing Outcomes
Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Kasiati dan Rosmalawati, N. W. D. ____. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan: Kebutuhan
Dasar Manusia I. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/moduk-bahan-ajar-tenagakesehatan/.
Moorhead et. al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Oxford: Elsevier
Nanda Internasional. 2018. Diagnosis Keperawatan 2018-2020. Jakarta: EGC
Perry & Potter. 2006. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep, proses dan praktik. Edisi
4. Jakarta : EGC.
Price, S. A. 2005. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC
Risnanto dan Insani, U. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Sistem
Muskuloskaletal. Yogyakarta: Deepublish