Anda di halaman 1dari 44

Fraktur Maksilofasial

Syarief Mahmud Makka

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS INDONESIA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Kraniomaksilofasial merupakan bagian penting penting dalam kehidupan manusia.


Seiring kemajuan industri dan meningkatknya mobilitas manusia maka meningkat pula angka
kecelakaan lalu lintas. Sekitar 70 persen kecelakaan lalu lintas disertai dengan trauma pada
kepala dan leher, dan yang paling sering mengalami cidera bagian maksilofasial, terutama
tulang rahang bawah.1
Trauma maksilofasial mengakibatkan jejas dan kegawatan dengan varisi yang sangat luas,
mulai memar; ekskoriasi; berbagai vulnus pada jaringan lunak; sampai fraktur. Fraktur pada
maksilofasial bisa terjadi hanya satu tempat ataupun kompleks, akibat benturan dengan
kekuatan rendah atau kekuatan tinggi (>50 kekuatan gravitasi). Problema yang ditimbulkan
selain aspek fungsi juga perlu dipikirkan aspek estetik karena meninggalkan kecacatan.1
Tujuan perawatan penderita trauma maksilofasial adalah mempertahankan kehidupan,
fungsi organ/pancaindera, penglihatan, bicara dan mastikasi, mengembalikan fungsi dari
bagian yang terganggu, dan mengurangi deformitas serta kecacatan dengan cara
mengembalikan seanatomis mungkin dalam waktu yang cepat.1

II. Definisi Trauma OMF

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa atau cedera yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah
adalah tulang kepala yang terdiri dari :

1. Tulang hidung

2. Tulang arkus zigomatikus

3. Tulang mandibula

4. Tulang maksila

5. Tulang rongga mata


6. Gigi

7. Tulang alveolus

Cedera maksilofasial merupakan bentuk trauma yang biasa terjadi setiap hari, jadi
penting bagi kita untuk tahu layanan primer dan manajemen definitif dari cedera ini.
Cedera maksilofasial bisa simpel ataupun kompleks dengan kehilangan jaringan.
Perawatan dini terhadap cedera ini membantu untuk mengembalikan bentuk dan fungsi
dengan rehabilitasi awal.

Trauma yang parah bisa menyebabkan kematian. Kematian akibat trauma memiliki
distribusi trimodal dan mengikuti pola. Puncak pertama saat cedera adalah saat menit
awal terjadinya insiden karena cedera pada otak, batang otak, spinal cord atas jantung
dan pembuluh darah besar. Kemungkinan bertahan sangat tipis.

Puncak kedua muncul bbeberapa menit sampai jam setelah insiden. Waktu kritis dari
cedera samapi mendapatkan perawatan definitif disebut golden hour dari trauma.
Kematian pada kelompok ini bisa dicegah dengan pengobatan yang benar dan digunakan
untuk kondisi seperti hematoma sub atau apidural dan haemopneumothorax. Waktu emas
ini bisa ditingkatkan dengan pertolongan pertama prehospital, pertolongan personil
paramedis di daerah lokasi insiden korban trauma.

III.Etiologi

Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma maksilofasial. Bagi pasien
dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di
rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling
banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas ( automobile).Sebab lainnya yaitu:

 Serangan

 Jatuh

 Cedera olahraga

 Tertembak, cedera perang


 Kecelakaan kerja seperti dibidang industri

 Sebab lainnya

Fraktur maksilofasial bisa diklasifikasikan menurut sebabnya yaitu sebab ekstrinsik


dan sebab intrinsik:

A. Sebab ekstrinsik

 Kekerasan langsung (fraktur terjadi pada sisi yang terjadi impak)

 Kekerasan tidak langsung (fraktur terjadi akibat transmisi dari impact, contohnya
frakture counter coup)

 Akibat kontraktur otot yang meluas (fraktur koronoid karena reflek tiba tiba pada
kontaktur otot temporal)

B. Sebab intrinsik

Fraktur ini terjadi karena kelemahan intrinsik dari tulang dan bukan karena
gaya atau impak.fraktur patologis muncul karena underlying bony atau penyakit
sistemik.

Fraktur patologis merupakan fraktur sekunder dari kelainan tulang dan


penyakit sistemik. Perubahan yang tiba –tiba karena gaya normal seperti bending,
torsional, compressive atau shearing. Kebanyakan kasus, berat dari korban
sendiri cukup untuk mengakibatkan fraktur, terutama pada mandibula, gaya
karena mengunyah bahkan bisa mengakibatkan fraktur tanpa adanya gejala
trauma. Kelainan tulang yang bisa mengakibatkan fraktur antara lain neoplasia,
kista tulang yang besar, tulang yang osteoporosis, osteoradionecrosis dikarenakan
kekurangan nutrisi, hiperparatiroid infeksi kronis tulang lokal (osteomyelitis),
osteoporosis tulang akibat kesalahan penggunaan fiksasi ekstraoral, atau
perangkat intraoral yang kaku.
IV. Klasifikasi

1. Jaringan Keras
a. Fraktur maksila
 Le Fort Fracture
i. Le Fort I (Low Level or Guerin Fractures/Floating Maxilla)
- Merupakan fraktur horizontal diatas tingkat nasal floor termasuk komponen
dental
- Fracture line :
- Garis fraktur terjadi diatas prosesus alveolaris maksila secara horizontal
diantara processus alveolaris dan lubang hidung dan sering dijumpai floating
maksila.
- Force : disebabkan dari aplikasi horizontal force di atas puncak gigi maksila
(apeks). Dapat juga dikarenakan transmisi dari pukulan pada rahang yang
berlawanan.

Gambar 1. Fraktur Le Fort 1

ii. Le Fort II (Pyramidal Fractures)


- Merupakan fraktur berbentuk pyramid, ketika melibatkan kedua maksila
- Fracture line :
- Garis fraktur membentuk pyramid, pada sutura zigomatiko-maksilaris kearah
nasofrontalis kemudian turun lagi ke zigomatiko-maksilaris kontralateral.
Sering terjadi raccoon sign, hipoestesi daerah nervus infraorbitalis,
maloklusi, step deformity pada intra orbita sutura nasofrontal.
- Force : disebabkan oleh force yang diberikan dekat level pada nasal bones

Gambar 2. Fraktur Le Fort 2

iii. Le Fort III (Suprazygomatic Fracture or Craniofacial Dysjunction)


- Biasanya merupakan sebuah komponen dari trauma facial yang disebabkan
oleh trauma kecepatan tinggi
- Fracture line :
- Garis fraktur horizontal diatas, melewati dinding lateral orbita pada prosesus
frontalis zigoma kemedial, sutura nasofrontalis terus ke kontra lateral,
frakturnya bias meluas ke os kribiformis pada fossa kranii anterior dan
menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal.
- Force : force mengenai level pada orbit, umumnya melalui lateral orbit yang
bertentangan dengan La Fort II.
Gambar 3. Fraktur Le Fort 3

2. Fraktur Nasal
Berhubungan dengan fungsi jalan nafas dan sekaligus aspek kosmetis, sering terjadi
akibat benturan langsung dari depan atau dari samping akibat tindak kekerasan.
Depressed fracture, terjadi akibat trauma dari arah depan, bias terjadi pada salah satu
sisi atau keduanya. Apabila terdapat hematoma yang hebat, kadang sulit untuk
dilakukan inspeksi atau palpasi. Lateral fracture, salah satu sisi tulang nasal terdorong
kedalam atau tergeser keluar, bias disertai fraktur septum nasi. Apabila dijumpai
cairan jernih yang lebih encer daripada darah, hal ini menunjukkan adanya fraktur
pada lamina kribosa tulang etmoid dengan kebocoran cairan serebrospinal.

3. Fraktur dentoalveolar
 Klasifikasi :
Hard dental tissues and pulp
i. Infraction/fracture of enamel
- Adanya microcrack atau incomplete fracture line pada enamel tanpa
kehilangan struktur crown
- Craze lines yang berjalan paralel dengan arah enamel rods dan berakhir di
dentinoenamel junction
- Bisa terjadi sendiri atau merupakan tanda adanya concomitant attachment
injury yang tekanannya besar
ii. Uncomplicated crown fracture
- Fraktur hanya pada enamel atau enamel dan dentin tanpa melibatkan pulpa
iii. Complicated crown fracture
- Fraktur pada kedua enamel dan dentin dengan melibatkan pulpa
iv. Uncomplicated crown-root fracture
- Fraktur melibatkan enamel, dentin, dan sementum tanpa melibatkan pulpa
v. Complicated crown-root fracture
- Fraktur melibatkan enamel, dentin, dan sementum dengan melibatkan pulpa
vi. Root fracture
- Fraktur melibatkan dentin, sementum, dan pulpa

Gambar 4. A. Crown Infraction. B,C. Uncomplicated crown fracture, D. Complicated crown


fracture. E. Uncomplicated crown root fracture. F. Complicated root fracture, G. Root
Fracture.

Periodontal tissues
Gambar 5. A. Concussion, B, Subluxation. C Intrusive Luxation. D. Extrusive Luxation. E.
Lateral Luxation. G. Retained root-crown fracture. H. Exarticulation.

i. Concussion
- Injuri pada struktur pendukung gigi tanpa ada mobilitas atau
kehilangan gigi, namun sakit saat perkusi
ii. Subluxation (Loosening)
- Injuri pada struktur pendukung gigi dimana terjadi mobilitas
gigi namun tidak kehilangan gigi
iii. Intrusive luxation (Central dislocation)
- Pergerakan gigi ke dalam alveolar bone dengan fraktur
alveolar socket
iv. Extrusive luxation (Peripheral dislocation partial avulsion)
- Partial atau incomplete dislokasi gigi keluar dari alveolar
socket
v. Lateral luxation
- Pergerakan gigi ke segala arah kecuali mengikuti vertical axis,
disertai fraktur alveolar socket atau comminution
vi. Retained root fracture
- Fraktur dengan retensi segmen akar namun kehilangan
segmen crown keluar dari socket
vii. Exarticulation (Complete avulsion)
- Terjadi ketika seluruh gigi keluar dari alveolar socket

Supporting bones

Gambar 6. A. Comminication of the alveolar socket, B.C. Fracture of the alveolar socket
wall, D,E. Fracture of the alveolar process. F,G. Fracture of the mandible and maxilla.

i. Comminution of the tooth socket


- Dapat terjadi disertai dengan intrusive dan lateral luxation
ii. Alveolar socket wall fracture
- Fraktur alveolar socket terbatas pada buccal/labial atau lingual/palatal
wall dari socket
iii. Fracture of the alveolar process
- Fraktur alveolar process yang atau tanpa melibatkan tooth socket
iv. Fractures of the mandible or maxilla
- Fraktur melibatkan dasar mandibula atau maksila dan terkadang
alveolar process, dengan atau tanpa melibatkan alveolar socket

Gingiva or oral mucosa


i. Laceration of gingiva or oral mucosa
- Trauma oleh sharp object yang menyebabkan luka sobek (dangkal atau
dalam) pada mukosa mulut
ii. Contusion of gingiva or mucosa
- Trauma oleh benturan/impact dari blunt object menyebabkan memar
dan terjadinya submucosal haemorrhage tanpa merusak mukosa
iii. Abrasion of gingiva or oral mucosa

iv. Fraktur zygomatic

Klasifikasi Fraktur Zygoma menurut Larsen dan Thomsen:

Grup A: fraktur stabil: tidak atau minimal menunjukkan pergeseran tulang dan
tidak membutuhkan perawatan.

Grup B: Fraktur tidak stabil: pergeseran dan gangguan berat dari sutura
frontozygomatic dan fraktur comminuted, membutuhkan reduksi dan fiksasi.

Grup C: Fraktur stabil: tipe dari fraktur zygomatik yang tidak membutuhkan
reduksi tanpa fiksasi.

Gambar 8. A. Undisplaced Zygomatic Fracture, B. Comminuted Fracture,

Supportive therapy :
1) Pain control
- Hindari pemberian analgesik kuat  mempengaruhi kesadaran dan
respirasi
- Hindari penggunaan morphine  mempengaruhi pernafasan (cough
reflex) dan kontriksi pupil
- Bila memerlukan sedasi : Diazepam (5-10 mg) atau Pentazocine (15-
30 mg)
- Sebaiknya menggunakan NSAID
2) Tetanus prophylaxis
- Diberikan sebagai profilaksis melawan Clostridium tetani
- Tetanus care (by American College of Surgeons committe) :
a. Previously immunised individuals
i. Fully immunised individuals
 Berikan 0.5 ml absorbed toxoid
ii. Partially immunised individuals
 Berikan 0.5 ml toxoid  untuk tetanus prone dan
nontetanus prone wounds
b. Individuals not adequately immunised
Apabila pasien hanya menerima satu atau tidak sama sekali
injeksi toxoid atau imunisasi, maka :
i. Nontetanus prone wounds
 Berikan 0.5 ml absorbed toxoid

ii. Tetanus prone wounds


 Berikan 0.5 ml absorbed toxoid
 Berikan 250 unit antitetaum serum (ATS)/tetanus
immunoglobin (TIG)
3) Control of infection
Antibiotik biasanya diberikan untuk fraktur dimana terekspos terhadap
saliva atau lingkungan eksternal. Kombinasi pennicillin dan
metronidazole.

Surgical dressing
Merupakan balutan antibiotik untuk mencegah kontaminasi luka,
pembentukan dead space, dan haematoma
Drains
Membantu drainase pus atau eksudat lainnya dalam luka dalam.
Biasanya diambil setelah 48 jam, lalu dapat diganti dengan yang baru
bila diperlukan.

V. Patofisiologi Fraktur Orofasial

Kerangka wajah tersusun dari tulang, sinus, paranasalis, dan gigi geligi yang rentan
terhadap trauma. Adanya garis-garis sutura, foramina, dan dinding yang tipis pada sinus
serta perkembangan erupsi gigi geligi menyebabkan mudah mengalami fraktur jika
terjadi trauma.
Daerah-daerah yang lemah dan rentan fraktur meliputi sutura zygomaticofrontalis,
sutura zygomaticotemporalis, sutura zygomaticomaxillaris, dan sutura frontonasalis.
Dinding sinus sifatnya unilokular dan tipis khususnya pada maksilla dan os. Etmoid.
Apabila terkena benturan baik langsung atau tidak langsung dapat terjadi fraktur dan
menjadi fragmen-fragmen kecil ( fraktur kominasi )
Adanya gigi geligi dapat memudahkan terjadinya fraktur. Sebelum gigi permanen
erupsi mandibula terisis penuh dengan gigi geligi sehingga tulangnya menjadi tipis dan
hanya sedikit yang dapat digunakan untuk menahan tekanan. akan tetapi oklusi gigi
dapat digunakan sebagai pedoman reduksi fragmen atau untuk fiksasi maksila dan
mandibula.
Apabila terjadi suatu tekanan yang besar maka dapat menyebabkan fraktur pada
daerah yang lemah. Akibat langsungnya meliputi :
a. Pergeseran fragmen atau elemen fraktur
Hilangnya kekontinuan memudahkan perpindahan fragmen akibat tekanan
atau ketidakseimbangan muscular.
Perpindahan tulang pada fraktur dipengaruhi oleh arah gaya fraktur dan orientasi
spasial garis fraktur , serta tekanan otot.
b. Cedera pada saraf
Terputusnya atau terganggunya elemen neurovascular dari tulang
menyebabkan cedera saraf
 Neuropraksia  cedera saraf ringan tetapi mati rasa
 Aksonotmosis  cedera sedang kareana tergores atau hancur
 Neurotmosis  terputusnya batang saraf
c. Perdarahan
Trauma dapat menyebabkan kehilangan banyak darah atau hanya perdarahan ringan,
d. Fraktur terbuka dan tertutup
Fraktur terbuka terjadi jika penyebab fraktur juga mengakibatkan sobeknya
mukosa dan kulit. Hal tersebut terjadi karena pergeseran fragmen yang sangat kuat
sehingga dapat menyobek kulit.
Fraktur tertutup terjadi jika penyebab fraktur tidak sampai mengakibatkan sobeknya
mukosa dan kulit.
e. Cedera karena energy tinggi
Cedera karena energy yang besar dapat menyebabkan kerusakan jaringan
lunak yang besar misalnya karena trauma akibat pengereman mendadak. Trauma
karena pengereman mendadak dapat menyebabkan kerusakan tulang bersifat remuk
dan pergeseran yang luas sehingga terjadi edema hebat.

Respon metabolic terhadap trauma


Trauma dapat menyebabkan perubahan fisilogis tubuh berupa respon
inflamasi, gangguan metabolism, kelainan imun, dan gangguan fungsi organ.
Respon inflamasi pasca trauma
Respon inflamasi pasca trauma melibatkan 3 respon yaitu respon syaraf, imun,
dan endokrin yang melibatkan sitokin, hormon, neurotransmitter, dan neuropeptida.
Respon infalamasi terjadi dalam 3 fase
 Fase awal  fase nervous / fase cepat , terjadi vasokonstriksi, vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas endotel yang mengakibatkan pembengkakan.
 Fase kedua  fase imun / intermediate , diapedisis atau migrasi sel leukosit , dan
dihubungkan dengan koagulasi dan fagositosis.
 Fase ketiga  fase endokrin / fase akhir ditandai dengan angiogenesis dengan
pembentukan endothelium dan dinding vascular, pada penyembuhan melibatkan
regenerasi jaringan dan perbaikan luka.
Mediator inflamasi yang berperan dalam proses inflamasi
a. Limfokin
Dihasilkan oleh limfosit dan sel lain sebagai respon cedera dan mengeluarkan efek
spesifik seperti untuk fungsi imun
 Interleukin 1  berperan untuk aktivasi limfosit T, makrofag, kemotaksis neutrofil,
stimulasi limfokin lain, serta kolagen dan kolagenase. Selain itu juga berperan untuk
menginduksi sintesis prostaglandin pada hipotalamus yang mengakibatkan demam.
 Interleukin 2  diproduksi sel limfosit T teraktivasi sebagai respon cedera.
Menyebabkan demam, takikardia, dan respon neurohormonal.
 Tumor Necrosis Factor  memiliki aksi mirip IL-1 tetapi tidak memiliki efek langsung
terhadap aktivasi limfosit dan respon demamnya hanya pada perifer.
b. Produk Metabolit Asam Arachidonic
Berperan menginisiasi , memperkuat, dan memodulasi respon inflamasi. Dibebaskan
ke sitoplasma sel melalui aktivasi membran fosfolipase sebagai respon dari trauma,
kontak dengan limfokin atau eksposur langsung ke enzim lisosom.
 Prostaglandin
Jika ada enzim COX, arachidonic acid dikonversikan menjadi prostaglandin
endoperoxide, yang, bergantung pada tipe sel, dikonversikan menjadi produk akhir
prostaglandin seperti :
Tromboksan vasokonstriktor kuat, berperan dalam agregasi platelet
Prostasiklin  vasodilatasi dan mencegah agregasi platelet
PGE2 memiliki efek metabolik paling signifikan. PGE2 memiliki efek inflamasi lokal
yang menyebabkan edema dan supresi degranulasi neutrofil, efek metaboliknya adalah :
demam, hipermetabolisme dan meningkatkan kebutuhan protein dan kalori karena
trauma.
 Leukotrienes
Berpengaruh dalam kemotaksis sel imun, edema, inflamasi, asma, shock. Efeknya
pada sistem cardiovaskular adalah vasokonstriksi koroner, depresi kontraktilitas
miokardial, vasodilatasi pembuluh darah pulmonary, dan konstriksi mikrovaskulatur
sistemik.
Pasien trauma yang tetap bertahan pada periode awal setelah trauma akan membangun
sindrom kompensasi respon antiinflamasi dengan menekan imun dan resiko signifikan
dengan terbentuknya infeksi. Infeksi dapat menyebabkan multiple organ dysfunction
syndrome dan kematian.

Respon neuroendokrin
Gangguan metabolisme yang terjadi sesudah trauma yaitu peningkatan kecepatan
metabolisme, peningkatan pemecahan protein dan perubahan pada biokimia karbohdirat
dan lipid. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam waktu yang dapat diprediksi,
sehingga bisa dibagi dalam 2 fase yang berbeda:
 Ebb phase
Fase ini merupakan periode singkat yang terjadi segera setelah cedera dimana pada
fase ini terjadi aktivasi simpatetik dan mobilisasi cairan dan glukosa yang cepat yang
dibutuhkan untuk mempertahankan penyampaian oksigen dan energi yang adekuat ke
organ vital.
Respon yang terjadi pada fase ini adalah aktivasi sympathoadrenal axis yang
menyebabkan konsentrasi epinefrin, norepinefrin, vasopressin dan dopamine dalam
darah menjadi tinggi, yang sepadan dengan keparahan cedera. Konsekuensi dari respon
tersebut adalah:
 Vasokonstriksi, preservasi volume darah dan meningkatnya denyut jantung, tekanan
darah dan respirasi (semuanya ditujukuan untuk memaksimalkan penyampaian oksigen
ke otak).
 Secara metabolik menyebabkan hiperglikemia akut yang dipertahankan sekitar 24 jam.
Hal-hal yang menyebabkan hiperglikemia tersebut adalah:
 Pemecahan simpanan glikogen pada otot dan hati.
 Konversi laktat dalam sirkulasi menjadi glukosa.
 Stimulasi simpatetik pada jaringan adiposa menyebabkan lipolisis yang menghasilkan
asam lemak dan gliserol yang dikonversikan menjadi glukosa oleh hati.
Seiring dengan terjadinya respon simpatetik terhadap cedera, terjadi juga aktivasi
hypothalamic-pituitary axis. Saat stress, kelenjar pituitari (hipofisis) mengeluarkan
adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang beraksi pada korteks adrenal untuk
mensekresi hormon glukokortikoid seperti kortisol dan aldosteron.
Surgical Airway
Ketidak mampuan untuuk mengintubasi trakea dengan alasan apapun adalah indikasi
untuk membuat surgical airway ketika metode yang lebih tidak invasif gagal untuk
mengembalikan jalur udara yang adekuat. Pemasukan 12-14-gauge, 8,5 cm, over-the-
needle catheter melewati membran ccricothyroid atau ke dalam trakea adalah teknik
yang berguna dalam situasi darurat untuk menyediakan dukungan oksigen sementara
hingga jalur udara yang lebih permanen dapat ditetapkan. Anak di bawah 12 tahun pada
umumnya tidak menjadi kandidat untuk cricothyroidotomy.

Trakeostomi diindikasikan bila:


1 Kontrol jalur udara darurat atau segera dan metode yang kurang invasif telah gagal
atau dikontraindikasikan.
2 Diperlukan manajemen intraoperatif pada cedera facial kompleks
3 Manajement postoperatif atau jangka panjang jalur udara memerlukan ventilasi
mekanis lebih lama.

VI. Prinsip Manajemen Trauma OMF

Prinsip repair dari fraktur adalah

a. Reduksi
Ada 2 teknik yaitu :
1. reduksi tertutup => bertujuan untuk mereduksi fragmen tulang ke posisi
anatomi dan fungsional semula dengan manipulasi tanpa adanya visualisasi
fraktur.Reduksi tertutup sering diikuti dengan fiksasi tertutup.Penyembuhan
tulang yang terjadi
2. 2.reduksi terbuka
b. Fiksasi
c. Immobilisasi
d. Pengembalian fungsi tahap awal.
I.Reduksi
Ada 2 teknik reduksi yaitu :
1. reduksi tertutup => bertujuan untuk mereduksi fragmen tulang ke posisi anatomi dan
fungsional semula dengan manipulasi tanpa adanya visualisasi fraktur.Reduksi
tertutup sering diikuti dengan fiksasi tertutup.Penyembuhan tulang yang terjadi adalah
penyembuhan primer tanpa adanya formasi kalus. Segmen yang fraktur terutama pada
mandibula dapat direduksi dengan manipulasi tertutup kecuali ada displacement yang
parah dari tekanan muskular. Segmen tersebut dipindahkan sesuai oklusi yang benar.
Dalam reduksi tertutup terdapat 2 cara yaitu :
a. External reduction device adalah reduksi tertutup yang dilakukan dengan
menggunakan instrumen untuk mengembalikan segmen fraktur ke oklusi.
Indikasinya digunakan ketika segmen frakturnya tidak terlalu parah/ tidak
terlalu override. contohnya :
 Penggunaan forcep rowe => untuk menggeser maksila yang fraktur dan
mengembalikannya ke oklusi.


 Penggunaaan hayton william forcep => untuk merdeuksi midpalatal
split maksila.
 Penggunaan Walsham forcep => untuk manipulasi fraktur nasal


 Penggunaan Asch forcep => reduksi fraktur septal

i.
b. Intraoral or extraoral traction adalah teknik reduksi tertutup yang digunakan
pada kasus jika reduksi tertunda atau adanya tekanan muskular yang
menghalangi reduksi fragmen fraktur yang efektif. Intraoral traction terdiri
dari 2 tindakan yaitu tindakan fiksasi dengan menggunakan arch bar
prefabricated ke maksila & mandibula dan tindakan traction segmen ke oklusi
normal dengan menggunakan elastik. Sedankan extraoral traction meliputi
tindakan penjangkaran ( anchorage ) dari tengkorak yang masih intact untuk
traction nya dan proses traction(penarikan) nya harus dilakukan dengan sangat
lambat dengan pasien diintruksikan membuka dan menutup mulut untuk
memfasilitasi penempatan elastik. Setelah oklusi yang diinginkan telah
didapatkan melalui intraoral traction atau ectraoral traction , elastic dilepas dan
diaplikasikan IMF/Intermaxillary Fixation dengan kawat.
2. reduksi terbuka => bertujuan untuk mereduksi fragmen tulang ke posisi anatomi dan
fungsional semula melalui intervensi bedah yang digunaka untuk medapatkan hasil
fungsi dan estetis yang optimal. Penyembuhan tulang yang terjadi primer tanpa
adanya formasi kalkulus.Biasanya setelah reduksi terbuka sering dilakukan fiksasi
langsung dengan internal fixators.

II Fiksasi
Prinsip kedua dari manajemen fraktur yaitu fiksasi segmen fraktur yang sudah direduksi pada
posisi yang diingikan. Fiksasi terdapat 2 cara yaitu :
A. Indirect Fixation , terdiri dari :
a. IMF/MMF ( intermaxillary fixation/maksilamandibula fixation) => merupakan
immobilisasi maksila dan mandibula pada posisi interkuspal dengan bantuan
wiring dalam posisi tertutup. wiring ini dapat dilakukan dengan menggunakan
kawat, arch bar dan splint. Prosedur ini dilakukan pada kasus fraktur dengan
elemen gigi masih terfiksasi pada oklusi yang benar dan didukung oleh
fragmen tulang. Prosedur ini tidak dapat dilakukan pada kasus dimana gigi
memiliki kekurangan dalam jumlah, bentuk dan kualitas. Oleh karena itu,
wiring diindikasikan pada pasien dengan jumlah gigi yang bentuknya baik
adekuat. Kawat diregangkan 10% sebelum digunakan. Peregangan kawat tidak
boleh melebihi batasnya karena dapat menyebabkan kawar menjadi mengeras.
IMF terdiri dari :
Keuntungan IMF:

Kerugian IMF :

Indikasi dan kontraindikasi IMF yaitu :

1. Direct dental wiring


1. Direct interdental wiring
o merupakan metode singkat dan cepat untuk
immobilisasi rahang.
o teknik => kawat dengan diameter 0,35 mm dan panjang
15 cm yang sebelumnya diregangkan kemudian
dibagian tengah kawat diputar di sekitar gigi. Ujung
bebas kawat di putar secara bersamaan membentuk
plaited tail/ ekor anyaman dengan panjang 3 cm.
kemudian dilakukan ke gigi berikutnya. IMF efektif
dilakukan setelah reduksi fraktur dan memutar/twist
ekor kawat yang terpisah bersama pada rahang atas dan
rahang bawah. Untuk mencegah trauma terhadap
jaringan lunak, cut end kawat di bengkokan jauh dari
jaringan atau dapat di tutup dengan guta percha.Teknik
ini hanya metode pertolongan pertama untuk
mendapatkan immobilisasi sementara dari segmen
fraktur.
-

o keuntungannya metodenya sederhana dan cepat


o kerugiannya kawat cenderung break/patah dan kawat
yang dirusak tidak dapat diganti kecuali semua
kawatnya diganti. Oleh karena itu, lebih seing
digunakan eyelet.
2. Eyelet wiring/Ivy loop wiring
tahap persiapan : kawat dengan diameter 0,35mm dan panjang
3 m kemudian dibagi menjadi beberapa segmen ( per segmen
panjangnya 15 cm). Pada bagian tengah setiap segmen diputar
hingga membentuk tangkai dengan rod berdiameter 3
mm.Putaran diakukan 3-4 kali kemudian ujung kawat eyewire
nya dipotong secara oblik untuk menyamakan panjangnya dan
membentuk sharp point yang akan memudahkan saat
dimasukan ke ruang interdental.
teknik: tarik eyelet wire ke dalam ruang interdental dan diputar
erat, hati-hati kawat bisa displaced dan menjadi longgar saat
mendorong wire ke lingual atau palatal( dibutukan instrumen
yang tepat). Kawat akan terlihat seperti bentuk W jika dilihat
dari arah lingual atau palatal. Masing-masing ujung kawat
dimasukan ke aspek distal dan aspek mesial gigi yang
berdekatan. Bagian distal melewati eyelet dan diputar dengan
ujung mesial. prosedur ini bisa dilakukan dengan anastesi
ataupun tidak bergantung keparahan fraktur yang alami.
Idealnya diperlukan 5 kawat di masing-masing rahang. Fraktur
direduksi dengan melewatkan kawat melalui eyelet rahang atas
ke rahang bawah. Posisi eyelet harus memberikan efek cross
bracing yang mencegah terjadinya pergeseran mandibula yang
bisa muncul sesaat setelah eyelet diletakkan di atasnya.
Kemudian dilakukan pengikatan/pengecangan antar eyelet
rahang atas dan rahang bawah yang dilakukan pad area molar
disisi satu kemudian disisi lainnya .Hal ini untuk mencegah
terjadinya crossbite. Pada awalnya kawat diikat longgar.
Pengikatan akhir baru dilakukan setelah penyesuaian oklusi.
Ujung kawat yang tajam di bengkokan atau dilapisi gutta
percha untuk menghindari terjadinya ulserasi.
3. Continous/multiple loop wiring
Merupakan teknik yang ditemukan oleh shout ini menggunakan
kawat dan penarik elastik untuk mereduksi fraktur.
teknik : kawat stainless steel dengan panjang 30cm diletakan
sepanjang permukaan bukal,kemudian bagian tengah kawat
diarahkan ke bagian lingual atau palatal dengan cara
melewatkan kawat ke bawah titik kontak dari gigi terakhir
( space interdental aspek distal) dan kawat dimunculkan
kembali ke permukaan bukal melalui ruang interdental aspek
mesial dari gigi yang terakhir. Kemudian kawat tersebut dibuat
loop dengan cara memasukkan kembali kawat ke ruang
interdental mesial sehingga terbentuk rod berdiameter 3 mm
dan memiliki panjang 5 mm.Ujung kawat yang berada
dipermukaan bukal bersama traction elastik dimasukan ke
dalam loop yang terbentuk tersebut.Traction elastik dapat
digunakan atau tidak tergantung operator. Kemudian teknik
diulangi dengan cara pembuatan loop kembali di gigi-gigi
sebelahnya. Setelah semua elemen gigi telah terikat biasanya 4
kuadran, kawat ditarik dan diputar secara bersama. Jika
menggunakan traction elastic, ujung kawat dibengkokan ke
sulkus gingiva sedangkan jika menggunakan tie wires
dibengkokan ke permukaan oklusal.
4. Risdon’s wiring
teknik : kawat dengan panjang 25 cm diputar/di-twist pada leher
gigi molar dua pada masing-masing regio dan di putar bersama
dan kemudian kedua ujung kawat dari kedua regio di satukan
pada midline gigi. Setelah itu, twisting terakhir stelah gigi
diadaptasinya pada leher gigi di permukaan bukal sehingga
terbentuk base wire.Kemudian kawat tambahan interdental
diaplikasikan. Kawat tambahan ini diarahkan ke lingual/palatal
melalui aspek distal melwati ruang dibawah base wire dan
dibawa ke bukal melalui aspek mesial melewati ruang diatas
base wire. Kemudian kedua ujung diputar dan diikat bersama.

2. Arch Bar
Terdapat 2 tipe yaitu : Prefabricated dan custom made
Indikasi Arch bar:
1. Ketika gigi tersisa tidak dapat dilakukan eyelet wiring
2. Ketika distribusi gigi pada rahang tidak dapat dilakukan dengan
IMF
3. Pada kasus fraktur dentoalveolar yang sederhana atau fragmen
multipel penyangga gigi membutuhkan reduksi ke bentuk
rahang sebelum IMF diaplikasikan
4. Bagian dari perawatan dengan suspensi skeletal internal pada
kasus fraktur 1/3 tengah tulang fasial.
5. Pada kasus fiksasi skeletal eskternal
6. Ketika fasilitas laboratoris dan teknis tidak adekuat atau tidak
ada.
Teknik operatif : Pertama kali fraktur di reduksi dan gigi pada bagian
fragmen utama diikat dengan bar metal yang beradaptasi dengan
lengkungan rahang. Ada beberapa tipe arch bar yaitu tipe erich, tipe
german silver dan tipe jelenko. Untuk penambahan retentif, kawat
diikatkan ke bar pada bagian bawah titik kontak, jika mungkin pada
bagian leher gigi.Setiap arch bar memiliki hooks/kait untuk
memelihara IMF. Notches kecil dibuat pada bar bertujuan untuk
mencegah kawat slipping. Hook pada rahang atas memiliki arah ke
atas sedangkan hook pada rahang bawah memiliki arah ke bawah.
Arch bar di adaptasikan pada permukaan bukal rahang atas dan
rahang bawah dengan cara membengkokan di bagian permukaan
bukal gigi terakhir di satu sisi kemudian melintasi midline gigi dan
menuju ke sisi sebelahanya. Sekarang ini,arch bar dieratkan ke
masing-masing gigi dengan kawat stainless stell berdiamter 0,35 mm,
masing2 kawat tersebut dibagian mesial melewati arch bar dan
dibagian distal dibawah arch bar. Kemudian kedua ujung di putar
bersama di bagian bukal. Untuk mempermudah koreksi kesalahan
perpindahan secara vertikal , disarankan untuk semua ligatur kawat
jangan terlalu kencang sampai semua kawat di masukan sehingga cara
perbaikan perpindahan secara vertikal dengan mengartikulasi rahang.
IMF didapat dengan cara melewatkan tie wire sekitar rahang bawah
dan memasukannya ke dalam hook dan sekitra rahang atas. Fiksasi
yang lebih rigid didapatkan dengan cara melewtkan tie wire ke dalam
wire loop. Tie wire kemudian ditarik dan diikat serta dipotong dan
dibengkokan di atas arch bar ke dalam ruang interdental spaces
sehingga tidak melukai jaringan lunak.
3. Cap splint
digunakan untuk immobilisasi yang signifikan
Indikasi cap splint:
1. sebagai fiksasi jangka panjang pada gigi mandibula dengan
segmen fraktur tooth-bearing mandibula dan fraktur bilateral
dari leher condilus.
2. Pada kasus adanya bagian mandibula hilang dengan kehilangan
jaringan lunak yang cukup banyak. Caps splint membantu
menjaga hubunga segmen tooth-bearing sampai rekontruksi
sempurna.
3. Pada kasus penyakit perioodontal yang parah dimana retensi
temporer dibutuhkan untuk penyembuhan yang tepat => caps
splint berguna untuk mem-splint gigi yang longgar secara
bersamaan dan memfasilitasi aplikasi IMF.
4. digunakan sebagai fiksasi ekstenal pada kasus fraktur midface
yang komplesk terutama jika melibatkan mandibula
Prosedur kontruksi cap splint : bersihkan mulut terlebih dahulu,
kemudian lakukan pencetakan dengan alginat setelah itu di kirim ke
lab untuk dibuatkan cap splint. Pencetakan dapat juga dibuat
persegmen. Cap splint dapat dibuat dari bahan akrilik atau logam
perak dengan hook kecil untuk tempat melekatkan intermaxillary
elastic traction.Jika dibuat persegmen, setelah reduksi harus dibuat
locking bar pada splint shingga memberikan kontinuitas splint di
seluruh mandibula. Locking bar disolder ke plate individual
kemudian di berikan screw sesuai dengan segmen splint.
kekurangan dari cap splint adalah membutuhkan waktu yang
banyak
4. Bonded modified orthodontic bracket => digunakan untuk
fraktur dengan displacement yang minimum. caranya yaitu dengan
melekatkan bracket orthodontik ke gigi dan IMF diaplikasikan dengan
bantuan band elastik. Braket orthdontic dapat dimodifikasi dengan
penambahan hook kecil untuk tempat pengaplikasian band elastik.
5. Circumferential wiring => digunakan setelah reduksi terbuka
dan berguna untuk melakukan perawatan fraktur pada sudut mandibula
dan fraktur sedikit oblik pada body mandibula. Prosedurnya yaitu
menggunakan kawat diamater 0,45 mm yang dibuat melingkari
mandibula . Tekniknya sama kaya gunning splint.Variasi lain untuk
fiksasi fraktur oblik mandibula yaitu kawat dilewatkan ke border atas
dari segmen proksimal,setelah pengangkatan molar tiga kemudian
sekitar bagian distal border bawa dari mandibula

6. Intermaxillary fixation screw


Penggunaan arch bar dan wire memiliki kemungkinan terjadinya luka
tusuk dan berisiko tinggi memfasilitasi transmisi HIV atau hepatitis.
Oleh karena itu, untuk pertama kali karlis menggunakan fiksasi screw
tulang kortikal untuk merawat mandibula.
Keuntungan : pengaplikasian yang mudah, mengurangi waktu operasi,
mengurangi biaya perawatan dan mengurangi risik transmisi penyakit.
Kerugian: efek tension yang kurang dari band, dapat menggangu
fiksasi plate internal sehingga hanya dapat untuk fraktur dengan
diplacement yang minimal.
Alat yang dibutuhkan yaitu anastesi lokal, 24 g wire, IMF screw, dan
screwdriver.
Teknik :
1. lakukan anastesi lokal di medial caninus
2. Masukan screw dengan self tapping dengan panjang 8-14 mm
ke dalam transmukosal/mukosa yang sebelumnya diinsisi no
15.
3. Hati-hati merusak cabang saraf
4. gunakan 24 g wire untuk MMF

b. Suspension wire
Suspensi internal wire pertama kali dikenalkan oleh adam tahun 1943. Pada
teknik ini, rahang bawah dihubungkan dengan kawat stainless stell lembut
berdiamater 0,5 mm ke area tulang fasial di atas garis fraktur,kemudian
lakukan pelapisan bagian fraktur diantara mandibula dan bagian yang tidak
fraktur dari tulang skeleton. Keuntungan metode fiksasi ini yaitu
membutuhkan alat yang sedikit. Kerugian nya yaitu:
1. fiksasi segmen fraktur yang kurang sempurna
2. Visualisasi fraktur yang kurang baik karena closed reduction
3. Kompresi terhadap cranial base
4. Kurangnya kompensasi gaya dislocating yang mengarah ke
posterior => tidak dapat memastikan proyeksi fasial.
5. Tooth-borne appliance hanya memberikan kontrol langsung
pada fraktur level oklusal.
6. Tidak merekonstruksi buttress dari wajah bagian tengah secara
anatomi
7. Stabilitias 3 dimensinya tidak didapat
8. Pasien tidak nyaman
Komplikasi dari teknik suspension wire yaitu biasanya terjadi pemendekan
wajah bagian tengah dan pelebaran retrusion area paranasal. Adapun jenis-
jenis teknik suspension wire yaitu:

Semua teknik diatas kecuali circumzygomatic membutuhkan eksposur


suspension point. Pengencangan suspension wire dilakukan setelah
penyesuaian oklusi dan MMF diaplikasikan selaam 6 minggu.
a. Lateral( Adam)=> prosesus zygomatik dari tulang frontal di ekspos
melalui insisi yang dibuat di 1/3 lateral dari alis mata diatas sutura
fronto zygomatik. Sebuah lubang dibuat 5 mm diatas sutura tersebut
ke arah posterior menuju are infratemporal. kawat stainless steel
berdiameter 0,5 mm dilewatkan ke lubang yang dibuat sebelumnya.
Penggunaan awl /penusuk , kawat dilewatkan ke bagian bawah
lengkung zygomatik untuk masuk ke sulkus bukal secara intraoraly
yang akan di secure/ditahan oleh arch bar.

b. Central ( frontal suspension) => teknik ini diperkenalkan oleh kufner.


c. Circumzygomatic suspension => digunakan untuk menstabilkan
tulang. Kawat dilewatkan seperti ayunan/sling disekitar rahang
menggunaan awl/penusuk. Ujung bebas kawat keluar melalui
vestibular bukal dari gigi molar yang berlawanan dan kemudian
diikat ke arch bar mandibula atau arch bar maksila. Awl secara ekstra
oral berada pada pertemuan antara tulang temporal medial dan tulang
zygoma dengan arch zygomatik dalam arah ke bawah dan kedepan
sehingga memasuki sulkus bukal intraoral di area molar dua. Kawat
berdiamter 0,5 mm di letakkan di ujung/ tip dari awl dan instrumen
ditarik ke atas arch zygomatik tanpa keluar dari kulit. Dewasa ini,
instrumen dilewatkan pada aspek lateral arch zygomatik pada arah
yang sama seperti yang disebutkan sebelumnya.Ujung kawat bebas
kemudian diikatkan ke arch bar.

d. Zygomatic butress => buat insisi 3 cm pada area molar dan premolar,
kemudian dilakukan diseksi tumpul untuk mengekspos border
inferior dari zaygomatic buttress. Lalu gunakan bur , buat sebuah
lubang pada zygomatic buttress tersebut dan kawat stainless steel
berdiameter 0,5 mm dilewatkan ke lubang tersebut kemudian kedua
ujung bebas kawat di dilekatkan ke loop yang ada di arch bar.
e. Infraorbital => insisi vertibular 3 mm dibuat di area kaninus dan
lakukan diseksi subperiosteal untuk mengekspos margin lateral
inferior orbital pada formaen infraorbital. Dengan bur buat lubang ke
arah atas dan posterior kemudian kawat stainless steel berdiameter
0,5 mm dilewatkan ke lubang tersebut dan ditarik ke arah mulut
kemudian dilekatkan pada loop yang ada di arch bar.Hati- hati dalam
melakukan teknik ini jangan sampai melukai orbital globe saat
pengeboran lubang dan pemasukan kawat.

f. Pyiform apertue => buat insisi tranversal 2 cm di sulkus upper diatas


gigi insisif dua dan pyiform apertue dari nasal diekspos dengan
elevasi periosteum. Mukosal nasal di elevasi dan dilindungi
menggunakan elevator periosteal.lalu buat lubang diameter 1 cm
menjauh dari margin bebas pyieform apertue dari sisi medial ke
lateral. Kemudian kawat 0,5 mm dlewatkan ke lubang tersebut dan di
tarik serta dilekatkan ke loop dari IMF

g. Perialveolar => menggunakan splint tipe gunning dan posisi lubang


terletak di aspek palatal dari splint. Perialveolar awl dilewatkan
melalui alevolus pada sulkus bukal , menembus palatal pada posisi
yang ditandai. lalu kawat 0,5 mm dimasukan ke lubang dan ditarik ke
sulkus bukal dan kedua ujung bebas kawat diikat dengan tipe
gunning splint. Lalu prosedur diulang pada sisi sebelahnya.
c. External pin fixation
Terdapat 2 jenis fiksasi eksternal yaitu :
1. Craniomaxillary fixation => setelah penyesuaian oklusi, rahang
atas di lekatkan dengan rod dan joint universal ke cranial vault.
2. Craniomandibular fixation => mandibula di fiksasi ke cranial
vault dengan rod dan joint universal.
Teknik fiksasi pin eksternal ini berperan penting dalam manajemen fraktur
wajah dan ekstrimitas. Sistem plating tulang yang modern dan teknik
perkembangan lain mereduksi indikasi alat eksternal. Alat fiksasi eksternal
seperti pin hoffmans dan aparatus morris biphase berguna pada beberapa
kasus.
Indikasi fiksasi pin eksternal :
a.Kehilangan tulang traumatik yang parah
b. Atropik mandibula yang parah yang mencegah penggunaan
plate
c.Fraktur dengan komplikasi osteomyelitis.
d. Fraktur yang infeksi dan nonunited
e.Fraktur mandibula edentulous yang sebelumnya di rawat dengan
reduksi tertutup
Fiksasi pin eksternal sinonimnya Joe-hall-morris appliance.
Teknik Joe Hall Morris, atau biphase pin fixation, adalah apparatus pin
eksternal dan acrylic bar yang digunakan untuk reduksi tertutup fraktur
mandibula. Teknik ini lebih unggul untuk fraktur comminuted mandibula
parah di mana fiksasi internal memerlukan pembuangan periosteum dan
kompromisasi suplasi darah fragmen tulang multipel. Fraktur terinfeksi juga
dapat diuntungkan dengan alat ini karena tidak diperlukan kawat atau plates
pada area terinfeksi. Secara umum, 2 pin dibutuhkan pada setiap sisi segmen
fraktur untuk mencegah rotasi segmen.
Prosedur : fiksasi pin eksternal terdiri dari pin titanium atau stainless steel
yang panjangnya 3 cm. Pin-pin tersebut divergen satu sama lain dan terkoneksi
dengan rod melalui pin joint universal. Rod tersebut juga memiliki perlekatan
lower cap splint. Pin ini tidak kaku dan sering dilengkapi dengan IMF. Pin
fiksasi ini paling sering digunakan untuk immobilisasi fraktur 1/3 tengah.
Insisi kulit dilakukan pada pertemuan 2/3 tengah dan 1/3 lateral dari alis mata,
1 cm diatas supraorbital arch. Kemudian buat sebuah lubang dengan cara
mengebur ke arah bola mata sampai plate tulang kortikal dicapai. Pin dengan
pola wood screw dimasukan ke dalam lubang sampai terasa padat dan
kedalaman insersi tidak lebih dari 5 mm. Prosedur diulangi sisi yang
berlawanan.
Ada 4 jenis fiksasi pin eksternal yaitu :
a.Kirschner wire => teknik ini jarang digunakan untuk fiksasi temporer
pada fraktur mandibula.

b. Haloframe

c.Plaster of paris head cap


d. Box frame
a.
B. Direct Fixation
Fiksasi internal atau direct segmen fraktir merujuk ke metode fiksasi bedah dengan
adanya visualisasi secara langsung menggunakan perangkat keras berupa stainless
stell wire atau plate dan screw ( Ti atau SS).
Ada 2 tipe yaitu :
a. Fiksasi semirigid => fiksasi fragmen fraktur dengan kawat atau minipate
nonkompresi yang memberikan derajat rigiditas namun tidak cukup sufisien
bagi tulang rahang untuk menahan tekanan mastikasi. Fiksasi ini memerlukan
durasi pendek MMF suportif untuk immobilisasi. Terdiri dari 2 teknik yaitu :
1. Transosseus wiring
merupakan direct wiring menyebrang garis fraktur. Teknik ini
murah, mudah digunakan , dapat ditolerir secara biologi oleh
pasien. Paling sering digunakan dengan IMF jika terjadi
perubahan oklusal dan merupakan teknik fiksasi dan
immobilisasi efektif untuk mandibula dan sudut mandibula.
Pada fraktur midfasial , wiring umumnya digunakan pada area
sutura frontonasal, sutura zygomaticofrontal, orbital rim, sutura
zygomaticomaxillary, tulang alveolar dan tulang zygomatik.
Teknik :
Kekurangan nya yaitu tidak menjaga stabilitas tiga dimensi dan
adanya perpindahan mikro pada sisi fraktur menghasilkan
penyembuhan yang tertunda.
2. Miniplate nonkompresi
Peletakan miniplate yang tepat yaitu diletakan di zona transisi antara
area tension dan area kompresi yang ada pada garis champy line.

miniplate yang sering digunakan berbahan dasar stainless steel dan


titanium. Miniplate ini ada yang tersedia dengan screw monokortikal
self tapping.Screw tersebut memiliki panjang 7 mm dan diameter 1,5
mm yang diaplikasi pada plate tulang kortikal terluar setelah reduksi.
Plate tersedia berbagai ukuran dan bentuk.Plate dan screw
menyediakan stabilitas tiga dimensi dan penempatan plate dengan
2screw dapat menahan perpindahan anteroposterior dan perpindahan
rotary dari segmen fraktur.

b. Fiksasi rigid
teknik ini mirip dengan fiksasi rigid , bedanya hanya fiksasi rigid ini dapat
bertahan terhadap tekanan mastikasi.Penggunan fiksasi rigid biasanya untuk
menghindari penggunaan immobilisasi dengan MMF. Teknik ini juga tidak
memungkinkan adanya pergeseran mikro dari segmen fraktur selama fungsi
normal.
Tujuan dari penggunaan fiksasi rigid adalah
1. reduksi segmen fraktur secara anatomis
2. Fiksasi fragmen stabil secara fungsional
3. Menjaga supplai darah ke fragmen melalui prosedur bedah
atraumatik
Terdiri dari :
1. compression ostesynthesis, meliputi :
a. DCP/ Dynamic Compression Plates

b. EDCP/ Eccentrics Dynamic


Compression Plate

c. Lag screw

2. fixation osteosynthesis
indikasinya :
terdiri dari :
a. Plate rekontruksi => tebal, rigid, umumnya berguna
untuk rekontruksi mandibula setelah reseksi. Plate
rekontruksi ini juga dapat digunakan untuk fraktur
mandibula yang terbagi menjadi beberapa segmen.

b. THORP/ Titanium Hollowscrew Osseointergrated


Recontructions Plate => merupakan modifikasi dari
plate rekontruksi. Pada sistem ini, ketebalan plate 3 mm
dan diamater 4 mm.kegunaan THORP yaitu
menyediakan stabilitas untuk segmen fraktur tulang
tanpa penerapakan tekanan terhadap tulang dibawahnya
sehingga mencegah iskemik,nekrosis tulang,
pelonggaran screw dan mobilitas plate => mengurangi
resiko infeksi dan malunion. THORP terdiri dari plate
rekontruksi dan anchor screw. kekurangan dari THORP
yaitu screw dan plate teintegrasi pad tulang sehingga
sulit diangkat/diambil dari tulang. Mekanisme kerja dari
THORP yaitu :

c. .Locking plate => memiliki ketebalan 2,5 mm dan


diameter 2,4-3 mm. Gambaran locking plate
membentuk plate screw unit bertindak sebagai satu
kesatuan unit sehingga mengurangi mobilitas plate
screw. Hal ini dapat mengurangi resiko infeksi dan
nonunion. Pada locking plate, screw yang bengkok
diinsersikan secara sementara sehingga lubang plate
tidak terbentuk. Kekurangan THORP ditutupi dengan
penggunaan locking plate

VII. Komplikasi Trauma OMF

1. Delayed union, Non-union dan Malunion


Etiologi:
 Sistemik: malnutrisi, diabetes, merokok, konsumsi alkohol
 Lokal: karakteristik fraktur (open, infected, segmental, comminuted), lokasi
anatomis fraktur, perawatan (fiksasi dan immobilisasi yang tidak memadai)

a. Delayed union
Kondisi temporer di mana reduksi dan immobilisasi tidak adekuat untuk
menciptakan penyatuan tulang, sehingga membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk sembuh. Ciri-cirinya antara lain nyeri saat ditekan pada patahan,
ada pembengkakan, tulang membengkok, terdapat gerakan abnormal pada
daerah patahan. Biasanya dokter akan menunggu selama 1 sampai 2 bulan
untuk melihat ada tidaknya perkembangan sambil terus diberi asupan nutrisi
tambahan. Tulang yang mengalami delayed union akan membentuk union
normal apabila mobilisasi ditingkatkan sehingga adekuat.

b. Non-union
Fraktur yang setelah 9 bulan tidak sembuh dan tidak menunjukkan
perkembangan secara radiograf selama 3 bulan walaupun sudah dilakukan
tindakan bedah. Merupakan kelanjutan dari delayed union. Ciri-cirnya antara
lain nyeri dan mobilitas abnormal.

c. Malunion
Fraktur yang menyatu atau sembuh dalam waktu yang tepat tetapi
susunannya tidak sesuai. Hal ini dapat menyebabkan maloklusi, asimetri
fasial, enopthalmos dan ocular dystopia. Perawatannya adalah dengan
orthodontic atau osteotomi setelah penyatuan tulang selesai terbentuk.
2. Infeksi
Dipengaruhi oleh:
 Sistemik: konsumsi alkohol, pasien immunocompromised dan kekurangan
penggunaan antibiotik
 Lokal: reduksi dan fiksasi tidak baik, fraktur gigi pada garis fraktur

Perawatannya dengan debridement benda asing, drainage, penggunaan


antibiotik. Penggunaan rigid fixation dengan atau tanpa IMF, jika gap terjadi
antara tulang yang fraktur, lakukan bone graft.

3. Ankilosis
Komplikasi yang jarang terjadi pada fraktur mandibula. Sering terjadi pada anak-
anak dan berhubungan dengan fraktur intracapsular, dan immobilisasi mandiubla.
Menyebabkan gangguan pertumbuhan pada daerah yang mengalami ankilosis
pada anak-anak

4. Nerve Injury
Inferior alveolar nerve dan cabang-cabangnya merupakan syaraf yang paling
sering mengalami injuri. Penyebab utamanya adalah trauma pada region kondil,
ramus, sudut mandibula, dan luka sobek. Fungsi sensorik dan motorik akan
kembali normal seiring waktu

5. CSF leaks
Tidak biasa terjadi. Biasanya terjadi setelah perawatan fraktur midface dan naso-
ethmoid, Le Fort II dan Le Fort III fraktur. Dapat menajdi faktor predisposisi dari
meningitis dan dilaporkan terjadi 12 tahun setelah injury

6. Epiphora
Epiphora adalah keadaan dimana terjadi pengeluaran air mata secara terus
menerus. Biasa disebabkan karena fraktur menyebabkan luka pada sistem
lacrimal, secondary to open reduction dan fiksasi internal, post-traumatic
ectropian. Perawatannya dengan dacryocystorhinostomy (lacrimal injury) dan
prosedur lid lightening ( ectropian ) dengan dirujuk ke spesialis mata
7. Globe Injury
Merupakan injuri yang disebabkan oleh fraktur sehingga mengurangi integritas
dinding orbital. Injuri yang umum terjadi adalah injuri pada kornea, penetrasi
injuri dari scalpels, wire/drill bits. Evaluasi terhadap gangguan fungsi mata dan
rujuk ke spesialis mata.
8. Diplopia
Diplopia adalah kelainan yang menyebabkan seseorang memiliki dua visi atau
presepsi terhadap objek atau benda yang sama. Selama reduksi fraktur midface,
fraktur lantai orbital yang baru saja terjadi dapat menyebabkan herniation atau
entrapment pada rektus inferior. Orbital floor exploration dan rekonstruksi
sebaiknya dilakukan setelah fraktur yang berhubungan disembuhkan terlebih
dahulu untuk mencegah diplopia post-operative

BAB III

KESIMPULAN
Daftar Pustaka

1. Balaji, SM. 2013. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd . Elsevier.
2. Marciani, Hendler. 2000. FonsecaOral and Maxillofacial Surgery Vol. 3 Ed. 1.
Saunders
3. Whaites, Eric. 2003. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 3rd ed.
Livingstone: Elsevier Science
4. Tae Lee, Hun. Management of Lefort 1 Fracture. Archives of Craniofacial Surgery
Vol 18, No. 1, 5-8. 2017. Pohang.
5. Adiantoro, Seto. Kasim, Alwin. Faturrahman. Management of Le Fort 2 Fracture
Accompanied with Blow Out Fracture of Orbital Base (case report). Journal of
Dentomaxillofacial Science, Vol-2, No. 2, 143-146. 2017. Bandung
6. Ebenezer, Vijay. Balakrishnan, R. Padmanabhan, Anatha. Management of Le Fort
Fractures. Biomedical & Pharmacology Journal, Vol. 7 (1), 179-182. 2014. Chennai
7. Banks, P. Brown, A. Fractures of the Facial Skeleton. Wright. 40-2, 72-9. 2001.
8. Killey HC. Fractures of The Middle Third of the facial Skeleton, 3 rd ed. Bristol. John
Wright & Sons ltd. 1977.
9. Maurer, P. Eckert, AW. Kriwalsky, MS. Schubert, J. Scope and Limitations of
Methods of Mandibular Reconstruction; A Long-term Follow Up. Journal Oral
Maxillofacial Surgery, 48;100-104. 2010.
10.

Anda mungkin juga menyukai