I. Latar Belakang
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa atau cedera yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah
adalah tulang kepala yang terdiri dari :
1. Tulang hidung
3. Tulang mandibula
4. Tulang maksila
7. Tulang alveolus
Cedera maksilofasial merupakan bentuk trauma yang biasa terjadi setiap hari, jadi
penting bagi kita untuk tahu layanan primer dan manajemen definitif dari cedera ini.
Cedera maksilofasial bisa simpel ataupun kompleks dengan kehilangan jaringan.
Perawatan dini terhadap cedera ini membantu untuk mengembalikan bentuk dan fungsi
dengan rehabilitasi awal.
Trauma yang parah bisa menyebabkan kematian. Kematian akibat trauma memiliki
distribusi trimodal dan mengikuti pola. Puncak pertama saat cedera adalah saat menit
awal terjadinya insiden karena cedera pada otak, batang otak, spinal cord atas jantung
dan pembuluh darah besar. Kemungkinan bertahan sangat tipis.
Puncak kedua muncul bbeberapa menit sampai jam setelah insiden. Waktu kritis dari
cedera samapi mendapatkan perawatan definitif disebut golden hour dari trauma.
Kematian pada kelompok ini bisa dicegah dengan pengobatan yang benar dan digunakan
untuk kondisi seperti hematoma sub atau apidural dan haemopneumothorax. Waktu emas
ini bisa ditingkatkan dengan pertolongan pertama prehospital, pertolongan personil
paramedis di daerah lokasi insiden korban trauma.
III.Etiologi
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma maksilofasial. Bagi pasien
dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di
rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling
banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas ( automobile).Sebab lainnya yaitu:
Serangan
Jatuh
Cedera olahraga
Sebab lainnya
A. Sebab ekstrinsik
Kekerasan tidak langsung (fraktur terjadi akibat transmisi dari impact, contohnya
frakture counter coup)
Akibat kontraktur otot yang meluas (fraktur koronoid karena reflek tiba tiba pada
kontaktur otot temporal)
B. Sebab intrinsik
Fraktur ini terjadi karena kelemahan intrinsik dari tulang dan bukan karena
gaya atau impak.fraktur patologis muncul karena underlying bony atau penyakit
sistemik.
1. Jaringan Keras
a. Fraktur maksila
Le Fort Fracture
i. Le Fort I (Low Level or Guerin Fractures/Floating Maxilla)
- Merupakan fraktur horizontal diatas tingkat nasal floor termasuk komponen
dental
- Fracture line :
- Garis fraktur terjadi diatas prosesus alveolaris maksila secara horizontal
diantara processus alveolaris dan lubang hidung dan sering dijumpai floating
maksila.
- Force : disebabkan dari aplikasi horizontal force di atas puncak gigi maksila
(apeks). Dapat juga dikarenakan transmisi dari pukulan pada rahang yang
berlawanan.
2. Fraktur Nasal
Berhubungan dengan fungsi jalan nafas dan sekaligus aspek kosmetis, sering terjadi
akibat benturan langsung dari depan atau dari samping akibat tindak kekerasan.
Depressed fracture, terjadi akibat trauma dari arah depan, bias terjadi pada salah satu
sisi atau keduanya. Apabila terdapat hematoma yang hebat, kadang sulit untuk
dilakukan inspeksi atau palpasi. Lateral fracture, salah satu sisi tulang nasal terdorong
kedalam atau tergeser keluar, bias disertai fraktur septum nasi. Apabila dijumpai
cairan jernih yang lebih encer daripada darah, hal ini menunjukkan adanya fraktur
pada lamina kribosa tulang etmoid dengan kebocoran cairan serebrospinal.
3. Fraktur dentoalveolar
Klasifikasi :
Hard dental tissues and pulp
i. Infraction/fracture of enamel
- Adanya microcrack atau incomplete fracture line pada enamel tanpa
kehilangan struktur crown
- Craze lines yang berjalan paralel dengan arah enamel rods dan berakhir di
dentinoenamel junction
- Bisa terjadi sendiri atau merupakan tanda adanya concomitant attachment
injury yang tekanannya besar
ii. Uncomplicated crown fracture
- Fraktur hanya pada enamel atau enamel dan dentin tanpa melibatkan pulpa
iii. Complicated crown fracture
- Fraktur pada kedua enamel dan dentin dengan melibatkan pulpa
iv. Uncomplicated crown-root fracture
- Fraktur melibatkan enamel, dentin, dan sementum tanpa melibatkan pulpa
v. Complicated crown-root fracture
- Fraktur melibatkan enamel, dentin, dan sementum dengan melibatkan pulpa
vi. Root fracture
- Fraktur melibatkan dentin, sementum, dan pulpa
Periodontal tissues
Gambar 5. A. Concussion, B, Subluxation. C Intrusive Luxation. D. Extrusive Luxation. E.
Lateral Luxation. G. Retained root-crown fracture. H. Exarticulation.
i. Concussion
- Injuri pada struktur pendukung gigi tanpa ada mobilitas atau
kehilangan gigi, namun sakit saat perkusi
ii. Subluxation (Loosening)
- Injuri pada struktur pendukung gigi dimana terjadi mobilitas
gigi namun tidak kehilangan gigi
iii. Intrusive luxation (Central dislocation)
- Pergerakan gigi ke dalam alveolar bone dengan fraktur
alveolar socket
iv. Extrusive luxation (Peripheral dislocation partial avulsion)
- Partial atau incomplete dislokasi gigi keluar dari alveolar
socket
v. Lateral luxation
- Pergerakan gigi ke segala arah kecuali mengikuti vertical axis,
disertai fraktur alveolar socket atau comminution
vi. Retained root fracture
- Fraktur dengan retensi segmen akar namun kehilangan
segmen crown keluar dari socket
vii. Exarticulation (Complete avulsion)
- Terjadi ketika seluruh gigi keluar dari alveolar socket
Supporting bones
Gambar 6. A. Comminication of the alveolar socket, B.C. Fracture of the alveolar socket
wall, D,E. Fracture of the alveolar process. F,G. Fracture of the mandible and maxilla.
Grup A: fraktur stabil: tidak atau minimal menunjukkan pergeseran tulang dan
tidak membutuhkan perawatan.
Grup B: Fraktur tidak stabil: pergeseran dan gangguan berat dari sutura
frontozygomatic dan fraktur comminuted, membutuhkan reduksi dan fiksasi.
Grup C: Fraktur stabil: tipe dari fraktur zygomatik yang tidak membutuhkan
reduksi tanpa fiksasi.
Supportive therapy :
1) Pain control
- Hindari pemberian analgesik kuat mempengaruhi kesadaran dan
respirasi
- Hindari penggunaan morphine mempengaruhi pernafasan (cough
reflex) dan kontriksi pupil
- Bila memerlukan sedasi : Diazepam (5-10 mg) atau Pentazocine (15-
30 mg)
- Sebaiknya menggunakan NSAID
2) Tetanus prophylaxis
- Diberikan sebagai profilaksis melawan Clostridium tetani
- Tetanus care (by American College of Surgeons committe) :
a. Previously immunised individuals
i. Fully immunised individuals
Berikan 0.5 ml absorbed toxoid
ii. Partially immunised individuals
Berikan 0.5 ml toxoid untuk tetanus prone dan
nontetanus prone wounds
b. Individuals not adequately immunised
Apabila pasien hanya menerima satu atau tidak sama sekali
injeksi toxoid atau imunisasi, maka :
i. Nontetanus prone wounds
Berikan 0.5 ml absorbed toxoid
Surgical dressing
Merupakan balutan antibiotik untuk mencegah kontaminasi luka,
pembentukan dead space, dan haematoma
Drains
Membantu drainase pus atau eksudat lainnya dalam luka dalam.
Biasanya diambil setelah 48 jam, lalu dapat diganti dengan yang baru
bila diperlukan.
Kerangka wajah tersusun dari tulang, sinus, paranasalis, dan gigi geligi yang rentan
terhadap trauma. Adanya garis-garis sutura, foramina, dan dinding yang tipis pada sinus
serta perkembangan erupsi gigi geligi menyebabkan mudah mengalami fraktur jika
terjadi trauma.
Daerah-daerah yang lemah dan rentan fraktur meliputi sutura zygomaticofrontalis,
sutura zygomaticotemporalis, sutura zygomaticomaxillaris, dan sutura frontonasalis.
Dinding sinus sifatnya unilokular dan tipis khususnya pada maksilla dan os. Etmoid.
Apabila terkena benturan baik langsung atau tidak langsung dapat terjadi fraktur dan
menjadi fragmen-fragmen kecil ( fraktur kominasi )
Adanya gigi geligi dapat memudahkan terjadinya fraktur. Sebelum gigi permanen
erupsi mandibula terisis penuh dengan gigi geligi sehingga tulangnya menjadi tipis dan
hanya sedikit yang dapat digunakan untuk menahan tekanan. akan tetapi oklusi gigi
dapat digunakan sebagai pedoman reduksi fragmen atau untuk fiksasi maksila dan
mandibula.
Apabila terjadi suatu tekanan yang besar maka dapat menyebabkan fraktur pada
daerah yang lemah. Akibat langsungnya meliputi :
a. Pergeseran fragmen atau elemen fraktur
Hilangnya kekontinuan memudahkan perpindahan fragmen akibat tekanan
atau ketidakseimbangan muscular.
Perpindahan tulang pada fraktur dipengaruhi oleh arah gaya fraktur dan orientasi
spasial garis fraktur , serta tekanan otot.
b. Cedera pada saraf
Terputusnya atau terganggunya elemen neurovascular dari tulang
menyebabkan cedera saraf
Neuropraksia cedera saraf ringan tetapi mati rasa
Aksonotmosis cedera sedang kareana tergores atau hancur
Neurotmosis terputusnya batang saraf
c. Perdarahan
Trauma dapat menyebabkan kehilangan banyak darah atau hanya perdarahan ringan,
d. Fraktur terbuka dan tertutup
Fraktur terbuka terjadi jika penyebab fraktur juga mengakibatkan sobeknya
mukosa dan kulit. Hal tersebut terjadi karena pergeseran fragmen yang sangat kuat
sehingga dapat menyobek kulit.
Fraktur tertutup terjadi jika penyebab fraktur tidak sampai mengakibatkan sobeknya
mukosa dan kulit.
e. Cedera karena energy tinggi
Cedera karena energy yang besar dapat menyebabkan kerusakan jaringan
lunak yang besar misalnya karena trauma akibat pengereman mendadak. Trauma
karena pengereman mendadak dapat menyebabkan kerusakan tulang bersifat remuk
dan pergeseran yang luas sehingga terjadi edema hebat.
Respon neuroendokrin
Gangguan metabolisme yang terjadi sesudah trauma yaitu peningkatan kecepatan
metabolisme, peningkatan pemecahan protein dan perubahan pada biokimia karbohdirat
dan lipid. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam waktu yang dapat diprediksi,
sehingga bisa dibagi dalam 2 fase yang berbeda:
Ebb phase
Fase ini merupakan periode singkat yang terjadi segera setelah cedera dimana pada
fase ini terjadi aktivasi simpatetik dan mobilisasi cairan dan glukosa yang cepat yang
dibutuhkan untuk mempertahankan penyampaian oksigen dan energi yang adekuat ke
organ vital.
Respon yang terjadi pada fase ini adalah aktivasi sympathoadrenal axis yang
menyebabkan konsentrasi epinefrin, norepinefrin, vasopressin dan dopamine dalam
darah menjadi tinggi, yang sepadan dengan keparahan cedera. Konsekuensi dari respon
tersebut adalah:
Vasokonstriksi, preservasi volume darah dan meningkatnya denyut jantung, tekanan
darah dan respirasi (semuanya ditujukuan untuk memaksimalkan penyampaian oksigen
ke otak).
Secara metabolik menyebabkan hiperglikemia akut yang dipertahankan sekitar 24 jam.
Hal-hal yang menyebabkan hiperglikemia tersebut adalah:
Pemecahan simpanan glikogen pada otot dan hati.
Konversi laktat dalam sirkulasi menjadi glukosa.
Stimulasi simpatetik pada jaringan adiposa menyebabkan lipolisis yang menghasilkan
asam lemak dan gliserol yang dikonversikan menjadi glukosa oleh hati.
Seiring dengan terjadinya respon simpatetik terhadap cedera, terjadi juga aktivasi
hypothalamic-pituitary axis. Saat stress, kelenjar pituitari (hipofisis) mengeluarkan
adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang beraksi pada korteks adrenal untuk
mensekresi hormon glukokortikoid seperti kortisol dan aldosteron.
Surgical Airway
Ketidak mampuan untuuk mengintubasi trakea dengan alasan apapun adalah indikasi
untuk membuat surgical airway ketika metode yang lebih tidak invasif gagal untuk
mengembalikan jalur udara yang adekuat. Pemasukan 12-14-gauge, 8,5 cm, over-the-
needle catheter melewati membran ccricothyroid atau ke dalam trakea adalah teknik
yang berguna dalam situasi darurat untuk menyediakan dukungan oksigen sementara
hingga jalur udara yang lebih permanen dapat ditetapkan. Anak di bawah 12 tahun pada
umumnya tidak menjadi kandidat untuk cricothyroidotomy.
a. Reduksi
Ada 2 teknik yaitu :
1. reduksi tertutup => bertujuan untuk mereduksi fragmen tulang ke posisi
anatomi dan fungsional semula dengan manipulasi tanpa adanya visualisasi
fraktur.Reduksi tertutup sering diikuti dengan fiksasi tertutup.Penyembuhan
tulang yang terjadi
2. 2.reduksi terbuka
b. Fiksasi
c. Immobilisasi
d. Pengembalian fungsi tahap awal.
I.Reduksi
Ada 2 teknik reduksi yaitu :
1. reduksi tertutup => bertujuan untuk mereduksi fragmen tulang ke posisi anatomi dan
fungsional semula dengan manipulasi tanpa adanya visualisasi fraktur.Reduksi
tertutup sering diikuti dengan fiksasi tertutup.Penyembuhan tulang yang terjadi adalah
penyembuhan primer tanpa adanya formasi kalus. Segmen yang fraktur terutama pada
mandibula dapat direduksi dengan manipulasi tertutup kecuali ada displacement yang
parah dari tekanan muskular. Segmen tersebut dipindahkan sesuai oklusi yang benar.
Dalam reduksi tertutup terdapat 2 cara yaitu :
a. External reduction device adalah reduksi tertutup yang dilakukan dengan
menggunakan instrumen untuk mengembalikan segmen fraktur ke oklusi.
Indikasinya digunakan ketika segmen frakturnya tidak terlalu parah/ tidak
terlalu override. contohnya :
Penggunaan forcep rowe => untuk menggeser maksila yang fraktur dan
mengembalikannya ke oklusi.
Penggunaaan hayton william forcep => untuk merdeuksi midpalatal
split maksila.
Penggunaan Walsham forcep => untuk manipulasi fraktur nasal
Penggunaan Asch forcep => reduksi fraktur septal
i.
b. Intraoral or extraoral traction adalah teknik reduksi tertutup yang digunakan
pada kasus jika reduksi tertunda atau adanya tekanan muskular yang
menghalangi reduksi fragmen fraktur yang efektif. Intraoral traction terdiri
dari 2 tindakan yaitu tindakan fiksasi dengan menggunakan arch bar
prefabricated ke maksila & mandibula dan tindakan traction segmen ke oklusi
normal dengan menggunakan elastik. Sedankan extraoral traction meliputi
tindakan penjangkaran ( anchorage ) dari tengkorak yang masih intact untuk
traction nya dan proses traction(penarikan) nya harus dilakukan dengan sangat
lambat dengan pasien diintruksikan membuka dan menutup mulut untuk
memfasilitasi penempatan elastik. Setelah oklusi yang diinginkan telah
didapatkan melalui intraoral traction atau ectraoral traction , elastic dilepas dan
diaplikasikan IMF/Intermaxillary Fixation dengan kawat.
2. reduksi terbuka => bertujuan untuk mereduksi fragmen tulang ke posisi anatomi dan
fungsional semula melalui intervensi bedah yang digunaka untuk medapatkan hasil
fungsi dan estetis yang optimal. Penyembuhan tulang yang terjadi primer tanpa
adanya formasi kalkulus.Biasanya setelah reduksi terbuka sering dilakukan fiksasi
langsung dengan internal fixators.
II Fiksasi
Prinsip kedua dari manajemen fraktur yaitu fiksasi segmen fraktur yang sudah direduksi pada
posisi yang diingikan. Fiksasi terdapat 2 cara yaitu :
A. Indirect Fixation , terdiri dari :
a. IMF/MMF ( intermaxillary fixation/maksilamandibula fixation) => merupakan
immobilisasi maksila dan mandibula pada posisi interkuspal dengan bantuan
wiring dalam posisi tertutup. wiring ini dapat dilakukan dengan menggunakan
kawat, arch bar dan splint. Prosedur ini dilakukan pada kasus fraktur dengan
elemen gigi masih terfiksasi pada oklusi yang benar dan didukung oleh
fragmen tulang. Prosedur ini tidak dapat dilakukan pada kasus dimana gigi
memiliki kekurangan dalam jumlah, bentuk dan kualitas. Oleh karena itu,
wiring diindikasikan pada pasien dengan jumlah gigi yang bentuknya baik
adekuat. Kawat diregangkan 10% sebelum digunakan. Peregangan kawat tidak
boleh melebihi batasnya karena dapat menyebabkan kawar menjadi mengeras.
IMF terdiri dari :
Keuntungan IMF:
Kerugian IMF :
2. Arch Bar
Terdapat 2 tipe yaitu : Prefabricated dan custom made
Indikasi Arch bar:
1. Ketika gigi tersisa tidak dapat dilakukan eyelet wiring
2. Ketika distribusi gigi pada rahang tidak dapat dilakukan dengan
IMF
3. Pada kasus fraktur dentoalveolar yang sederhana atau fragmen
multipel penyangga gigi membutuhkan reduksi ke bentuk
rahang sebelum IMF diaplikasikan
4. Bagian dari perawatan dengan suspensi skeletal internal pada
kasus fraktur 1/3 tengah tulang fasial.
5. Pada kasus fiksasi skeletal eskternal
6. Ketika fasilitas laboratoris dan teknis tidak adekuat atau tidak
ada.
Teknik operatif : Pertama kali fraktur di reduksi dan gigi pada bagian
fragmen utama diikat dengan bar metal yang beradaptasi dengan
lengkungan rahang. Ada beberapa tipe arch bar yaitu tipe erich, tipe
german silver dan tipe jelenko. Untuk penambahan retentif, kawat
diikatkan ke bar pada bagian bawah titik kontak, jika mungkin pada
bagian leher gigi.Setiap arch bar memiliki hooks/kait untuk
memelihara IMF. Notches kecil dibuat pada bar bertujuan untuk
mencegah kawat slipping. Hook pada rahang atas memiliki arah ke
atas sedangkan hook pada rahang bawah memiliki arah ke bawah.
Arch bar di adaptasikan pada permukaan bukal rahang atas dan
rahang bawah dengan cara membengkokan di bagian permukaan
bukal gigi terakhir di satu sisi kemudian melintasi midline gigi dan
menuju ke sisi sebelahanya. Sekarang ini,arch bar dieratkan ke
masing-masing gigi dengan kawat stainless stell berdiamter 0,35 mm,
masing2 kawat tersebut dibagian mesial melewati arch bar dan
dibagian distal dibawah arch bar. Kemudian kedua ujung di putar
bersama di bagian bukal. Untuk mempermudah koreksi kesalahan
perpindahan secara vertikal , disarankan untuk semua ligatur kawat
jangan terlalu kencang sampai semua kawat di masukan sehingga cara
perbaikan perpindahan secara vertikal dengan mengartikulasi rahang.
IMF didapat dengan cara melewatkan tie wire sekitar rahang bawah
dan memasukannya ke dalam hook dan sekitra rahang atas. Fiksasi
yang lebih rigid didapatkan dengan cara melewtkan tie wire ke dalam
wire loop. Tie wire kemudian ditarik dan diikat serta dipotong dan
dibengkokan di atas arch bar ke dalam ruang interdental spaces
sehingga tidak melukai jaringan lunak.
3. Cap splint
digunakan untuk immobilisasi yang signifikan
Indikasi cap splint:
1. sebagai fiksasi jangka panjang pada gigi mandibula dengan
segmen fraktur tooth-bearing mandibula dan fraktur bilateral
dari leher condilus.
2. Pada kasus adanya bagian mandibula hilang dengan kehilangan
jaringan lunak yang cukup banyak. Caps splint membantu
menjaga hubunga segmen tooth-bearing sampai rekontruksi
sempurna.
3. Pada kasus penyakit perioodontal yang parah dimana retensi
temporer dibutuhkan untuk penyembuhan yang tepat => caps
splint berguna untuk mem-splint gigi yang longgar secara
bersamaan dan memfasilitasi aplikasi IMF.
4. digunakan sebagai fiksasi ekstenal pada kasus fraktur midface
yang komplesk terutama jika melibatkan mandibula
Prosedur kontruksi cap splint : bersihkan mulut terlebih dahulu,
kemudian lakukan pencetakan dengan alginat setelah itu di kirim ke
lab untuk dibuatkan cap splint. Pencetakan dapat juga dibuat
persegmen. Cap splint dapat dibuat dari bahan akrilik atau logam
perak dengan hook kecil untuk tempat melekatkan intermaxillary
elastic traction.Jika dibuat persegmen, setelah reduksi harus dibuat
locking bar pada splint shingga memberikan kontinuitas splint di
seluruh mandibula. Locking bar disolder ke plate individual
kemudian di berikan screw sesuai dengan segmen splint.
kekurangan dari cap splint adalah membutuhkan waktu yang
banyak
4. Bonded modified orthodontic bracket => digunakan untuk
fraktur dengan displacement yang minimum. caranya yaitu dengan
melekatkan bracket orthodontik ke gigi dan IMF diaplikasikan dengan
bantuan band elastik. Braket orthdontic dapat dimodifikasi dengan
penambahan hook kecil untuk tempat pengaplikasian band elastik.
5. Circumferential wiring => digunakan setelah reduksi terbuka
dan berguna untuk melakukan perawatan fraktur pada sudut mandibula
dan fraktur sedikit oblik pada body mandibula. Prosedurnya yaitu
menggunakan kawat diamater 0,45 mm yang dibuat melingkari
mandibula . Tekniknya sama kaya gunning splint.Variasi lain untuk
fiksasi fraktur oblik mandibula yaitu kawat dilewatkan ke border atas
dari segmen proksimal,setelah pengangkatan molar tiga kemudian
sekitar bagian distal border bawa dari mandibula
b. Suspension wire
Suspensi internal wire pertama kali dikenalkan oleh adam tahun 1943. Pada
teknik ini, rahang bawah dihubungkan dengan kawat stainless stell lembut
berdiamater 0,5 mm ke area tulang fasial di atas garis fraktur,kemudian
lakukan pelapisan bagian fraktur diantara mandibula dan bagian yang tidak
fraktur dari tulang skeleton. Keuntungan metode fiksasi ini yaitu
membutuhkan alat yang sedikit. Kerugian nya yaitu:
1. fiksasi segmen fraktur yang kurang sempurna
2. Visualisasi fraktur yang kurang baik karena closed reduction
3. Kompresi terhadap cranial base
4. Kurangnya kompensasi gaya dislocating yang mengarah ke
posterior => tidak dapat memastikan proyeksi fasial.
5. Tooth-borne appliance hanya memberikan kontrol langsung
pada fraktur level oklusal.
6. Tidak merekonstruksi buttress dari wajah bagian tengah secara
anatomi
7. Stabilitias 3 dimensinya tidak didapat
8. Pasien tidak nyaman
Komplikasi dari teknik suspension wire yaitu biasanya terjadi pemendekan
wajah bagian tengah dan pelebaran retrusion area paranasal. Adapun jenis-
jenis teknik suspension wire yaitu:
d. Zygomatic butress => buat insisi 3 cm pada area molar dan premolar,
kemudian dilakukan diseksi tumpul untuk mengekspos border
inferior dari zaygomatic buttress. Lalu gunakan bur , buat sebuah
lubang pada zygomatic buttress tersebut dan kawat stainless steel
berdiameter 0,5 mm dilewatkan ke lubang tersebut kemudian kedua
ujung bebas kawat di dilekatkan ke loop yang ada di arch bar.
e. Infraorbital => insisi vertibular 3 mm dibuat di area kaninus dan
lakukan diseksi subperiosteal untuk mengekspos margin lateral
inferior orbital pada formaen infraorbital. Dengan bur buat lubang ke
arah atas dan posterior kemudian kawat stainless steel berdiameter
0,5 mm dilewatkan ke lubang tersebut dan ditarik ke arah mulut
kemudian dilekatkan pada loop yang ada di arch bar.Hati- hati dalam
melakukan teknik ini jangan sampai melukai orbital globe saat
pengeboran lubang dan pemasukan kawat.
b. Haloframe
b. Fiksasi rigid
teknik ini mirip dengan fiksasi rigid , bedanya hanya fiksasi rigid ini dapat
bertahan terhadap tekanan mastikasi.Penggunan fiksasi rigid biasanya untuk
menghindari penggunaan immobilisasi dengan MMF. Teknik ini juga tidak
memungkinkan adanya pergeseran mikro dari segmen fraktur selama fungsi
normal.
Tujuan dari penggunaan fiksasi rigid adalah
1. reduksi segmen fraktur secara anatomis
2. Fiksasi fragmen stabil secara fungsional
3. Menjaga supplai darah ke fragmen melalui prosedur bedah
atraumatik
Terdiri dari :
1. compression ostesynthesis, meliputi :
a. DCP/ Dynamic Compression Plates
c. Lag screw
2. fixation osteosynthesis
indikasinya :
terdiri dari :
a. Plate rekontruksi => tebal, rigid, umumnya berguna
untuk rekontruksi mandibula setelah reseksi. Plate
rekontruksi ini juga dapat digunakan untuk fraktur
mandibula yang terbagi menjadi beberapa segmen.
a. Delayed union
Kondisi temporer di mana reduksi dan immobilisasi tidak adekuat untuk
menciptakan penyatuan tulang, sehingga membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk sembuh. Ciri-cirinya antara lain nyeri saat ditekan pada patahan,
ada pembengkakan, tulang membengkok, terdapat gerakan abnormal pada
daerah patahan. Biasanya dokter akan menunggu selama 1 sampai 2 bulan
untuk melihat ada tidaknya perkembangan sambil terus diberi asupan nutrisi
tambahan. Tulang yang mengalami delayed union akan membentuk union
normal apabila mobilisasi ditingkatkan sehingga adekuat.
b. Non-union
Fraktur yang setelah 9 bulan tidak sembuh dan tidak menunjukkan
perkembangan secara radiograf selama 3 bulan walaupun sudah dilakukan
tindakan bedah. Merupakan kelanjutan dari delayed union. Ciri-cirnya antara
lain nyeri dan mobilitas abnormal.
c. Malunion
Fraktur yang menyatu atau sembuh dalam waktu yang tepat tetapi
susunannya tidak sesuai. Hal ini dapat menyebabkan maloklusi, asimetri
fasial, enopthalmos dan ocular dystopia. Perawatannya adalah dengan
orthodontic atau osteotomi setelah penyatuan tulang selesai terbentuk.
2. Infeksi
Dipengaruhi oleh:
Sistemik: konsumsi alkohol, pasien immunocompromised dan kekurangan
penggunaan antibiotik
Lokal: reduksi dan fiksasi tidak baik, fraktur gigi pada garis fraktur
3. Ankilosis
Komplikasi yang jarang terjadi pada fraktur mandibula. Sering terjadi pada anak-
anak dan berhubungan dengan fraktur intracapsular, dan immobilisasi mandiubla.
Menyebabkan gangguan pertumbuhan pada daerah yang mengalami ankilosis
pada anak-anak
4. Nerve Injury
Inferior alveolar nerve dan cabang-cabangnya merupakan syaraf yang paling
sering mengalami injuri. Penyebab utamanya adalah trauma pada region kondil,
ramus, sudut mandibula, dan luka sobek. Fungsi sensorik dan motorik akan
kembali normal seiring waktu
5. CSF leaks
Tidak biasa terjadi. Biasanya terjadi setelah perawatan fraktur midface dan naso-
ethmoid, Le Fort II dan Le Fort III fraktur. Dapat menajdi faktor predisposisi dari
meningitis dan dilaporkan terjadi 12 tahun setelah injury
6. Epiphora
Epiphora adalah keadaan dimana terjadi pengeluaran air mata secara terus
menerus. Biasa disebabkan karena fraktur menyebabkan luka pada sistem
lacrimal, secondary to open reduction dan fiksasi internal, post-traumatic
ectropian. Perawatannya dengan dacryocystorhinostomy (lacrimal injury) dan
prosedur lid lightening ( ectropian ) dengan dirujuk ke spesialis mata
7. Globe Injury
Merupakan injuri yang disebabkan oleh fraktur sehingga mengurangi integritas
dinding orbital. Injuri yang umum terjadi adalah injuri pada kornea, penetrasi
injuri dari scalpels, wire/drill bits. Evaluasi terhadap gangguan fungsi mata dan
rujuk ke spesialis mata.
8. Diplopia
Diplopia adalah kelainan yang menyebabkan seseorang memiliki dua visi atau
presepsi terhadap objek atau benda yang sama. Selama reduksi fraktur midface,
fraktur lantai orbital yang baru saja terjadi dapat menyebabkan herniation atau
entrapment pada rektus inferior. Orbital floor exploration dan rekonstruksi
sebaiknya dilakukan setelah fraktur yang berhubungan disembuhkan terlebih
dahulu untuk mencegah diplopia post-operative
BAB III
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
1. Balaji, SM. 2013. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd . Elsevier.
2. Marciani, Hendler. 2000. FonsecaOral and Maxillofacial Surgery Vol. 3 Ed. 1.
Saunders
3. Whaites, Eric. 2003. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 3rd ed.
Livingstone: Elsevier Science
4. Tae Lee, Hun. Management of Lefort 1 Fracture. Archives of Craniofacial Surgery
Vol 18, No. 1, 5-8. 2017. Pohang.
5. Adiantoro, Seto. Kasim, Alwin. Faturrahman. Management of Le Fort 2 Fracture
Accompanied with Blow Out Fracture of Orbital Base (case report). Journal of
Dentomaxillofacial Science, Vol-2, No. 2, 143-146. 2017. Bandung
6. Ebenezer, Vijay. Balakrishnan, R. Padmanabhan, Anatha. Management of Le Fort
Fractures. Biomedical & Pharmacology Journal, Vol. 7 (1), 179-182. 2014. Chennai
7. Banks, P. Brown, A. Fractures of the Facial Skeleton. Wright. 40-2, 72-9. 2001.
8. Killey HC. Fractures of The Middle Third of the facial Skeleton, 3 rd ed. Bristol. John
Wright & Sons ltd. 1977.
9. Maurer, P. Eckert, AW. Kriwalsky, MS. Schubert, J. Scope and Limitations of
Methods of Mandibular Reconstruction; A Long-term Follow Up. Journal Oral
Maxillofacial Surgery, 48;100-104. 2010.
10.