0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
50 tayangan28 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang trauma maksilofasial yang meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi berbagai fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah seperti fraktur NOE, zigomatikomaksila, nasal, maksila, mandibula, diagnosa, dan tatalaksana pasien trauma maksilofasial baik di instalasi gawat darurat maupun perawatan elektif.
Dokumen tersebut membahas tentang trauma maksilofasial yang meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi berbagai fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah seperti fraktur NOE, zigomatikomaksila, nasal, maksila, mandibula, diagnosa, dan tatalaksana pasien trauma maksilofasial baik di instalasi gawat darurat maupun perawatan elektif.
Dokumen tersebut membahas tentang trauma maksilofasial yang meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi berbagai fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah seperti fraktur NOE, zigomatikomaksila, nasal, maksila, mandibula, diagnosa, dan tatalaksana pasien trauma maksilofasial baik di instalasi gawat darurat maupun perawatan elektif.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2017 Definisi
Fraktur adalah hilangnya atau putusnya
kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, dan juga tulang mandibula. Gambar 1. Klasifikasi kekuatan toleransi tulang maksilofasial dalam menahan energi trauma ( Pappachan, 2012 ) Epidemiologi • Trauma meliputi 9% dari kematian di dunia, salah satunya adalah trauma maksilofasial dan 12% dari beban penyakit di dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat trauma terjadi di negara berkembang. • Pasien pria merupakan pasien dengan trauma maksilofasial tersering yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria. Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan trauma maksilokranial. Di Indonesia, pasien trauma maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% dari jumlah kasus. Etiologi
Dalam empat dekade terakhir, kejadian
fraktur maksilofasial terus meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan. Hubungan penggunaan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur maksilofasial Klasifikasi • Fraktur Nasoorbitoetmoid (NOE) • Anatomi kompleks yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal. • Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz- Manson yang terdiri dari tiga tipe yaitu : 1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar. 2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan osteosynthesis. 3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah terlepas total. Gambar 2. Klasifikasi Markowitz-Manson (Aktop, 2013). Klasifikasi • Fraktur Zigomatikomaksila
• Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada
empat dinding penopang yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur maksilofasial setelah fraktur nasal. Klasifikasi • Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu : 1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis dan radiologi. 2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam. 3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi. 4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial. 5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral. 6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang fragmen utama. • Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 3 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 4, 5, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat. Klasifikasi • Fraktur Nasal
• Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis
dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas. Klasifikasi • Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu : 1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah. 2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah. 3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal yang utuh. 4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum. 5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan. Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Nasal (Ondik, 2009) Klasifikasi • Fraktur Maksila dan Le Fort • Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa. Klasifikasi • Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu : • Le Fort I • Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul. • Le Fort II • Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid. • Le Fort III • Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary. Gambar 4. Klasifikasi Le Fort (Gartshore, 2010) Klasifikasi • Fraktur Mandibula • Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular joint (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar. Gambar 5. Lokasi fraktur mandibula (Stewart, 2008) Diagnosis • Anamnesa 1. Bagaimana kejadiannya ? 2. Kapan kejadiannya ? 3. Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang kemungkinan dapat menyebabkannya ? 4. Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran ? 5. Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi ? Diagnosis • Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan Leher dan Kepala 2. Pemeriksaan Saraf-Saraf Kranialis 3. Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah 4. Pemeriksaan Mandibula 5. Pemeriksaan Mulut Diagnosis • Pemeriksaan Penunjang • X-ray skull AP/ Lat, water’s view • Kriteria untuk dilakukan X-ray adalah : 1. Kecurigaan cedera dengan mekanisme trauma yang tidak jelas. 2. Adanya benjolan lunak khususnya di regio parietotemporal. 3. Kecurigaan terjadi trauma penetrasi. 4. Pasien sempat pingsan atau muntah. 5. Kecurigaan terjadi fraktur compound atau adanya jejas yang jelas pada kepala. Diagnosis • Computed Tomography Scanner (CT scan) Kepala • Terdapat beberapa indikasi dilakukan CT scan kepala yaitu : 1. Trauma kepala 2. Stroke 3. Nyeri kepala 4. Lesi yang meningkatkan tekanan intrakranial 5. Kejang 6. Kecurigaan terhadap adanya hidrosefalus 7. Kecurigaan terhadap perdarahan intrakranial 8. Penyakit vaskular intrakranial Diagnosis • Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (2007), khusus pada trauma kepala, terdapat indikasi-indikasi yang mengharuskan dilakukan CT scan segera yaitu: 1. GCS kurang dari 13 pada penilaian awal di instalasi gawat darurat 2. GCS kurang dari 15 selama 2 jam sejak terjadinya trauma pada penilaian di instalasi gawat darurat 3. Kecurigaan fraktur tulang tengkorak yang terbuka atau tertekan 4. Tanda-tanda adanya fraktur basis kranial 5. Kejang post trauma 6. Defisit neurologis fokal 7. Lebih dari satu episode muntah 8. Amnesia selama lebih dari 30 menit sebelum kejadian Tatalaksana • Penatalaksanaan di Instalasi Gawat Darurat • A: airway with cervical spine control • B: breathing and ventilation • C: circulation and hemorrhage control • D: disability due to neurological deficit • E: exposure and environment control Tatalaksana • Perawatan Elektif • Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa tidak nyaman. Tatalaksana • Tahap-tahap terapi : – Reposisi : Mengembalikan letak fragmen ke posisi yang benar secara anatomi. – Imobilisasi/ Retensi : Dapat menggunakan IDW, miniplat ataupun sekrup. – Fiksasi : Tujuannya adalah agar fragmen yang telah direposisi dan mendapat retensi tidak bergerak selama masa awal penyembuhan, fiksasi ini dapat menggunakan metode fiksasi maksilomandibular. – Mobilisasi : Mobilisasi dini sehabis fraktur penting untuk mencegah ankilosis pada sendi rahang pada kasus fraktur kondilus, mengembalikan jalan nafas orofaringeal dan mengembalikan rasa percaya diri pasien sehingga dapat berkativitas dengan normal (fungsi social) Tatalaksana • Perawatan Fraktur Maksilofasial • Sebelum dilakukan debridement, diberikan antibiotik profilaks yang dilakukan di ruangan emergency. Yang terbaik adalah golongan sefalosforin. Biasanya dipakai sefalosforin golongan pertama. Pada fraktur terbuka, diberikan tambahan berupa golongan aminoglikosida, seperti tobramicin atau gentamicin. Golongan sefalosforin golongan ketiga dipertimbangkan di sini. Sedangkan pada fraktur yang dicurigai terkontaminasi kuman clostridia, diberikan penicillin. Tatalaksana
• Perawatan fraktur dapat dibedakan menjadi
perawatan fraktur secara tertutup (closed) atau terbuka (open). Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar. Tatalaksana • Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Terapi fraktur dengan metode open reduction diindikasikan pada : – Fraktur multiple dan comminuted – Fraktur terbuka – Fraktur pada rahang yang atrofi – Fraktur yang terinfeksi – Fraktur pada pasien yang tidak dapat dilakukan terapi konservatif seperti pada pasien epilepsy, ketergantungan alcohol, keterbelakangan mental.