Anda di halaman 1dari 9

Jawa Tutorial Skenario 1 Blok 10 Fraktur Maksilofasial Deinisi Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras

tubuh (Grace and Borley, 2007). Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah (gambar 2.1). Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah (Kruger, 1984). Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah. Etiologi Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan oleh hal yang bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang (Fonseca, 2005). Fraktur dapat terjadi pada semua tingkat umur, yang beresiko tinggi untuk terjadinya fraktur adalah orang yang lanjut usia, orang yang bekerja yang membutuhkan kesimbangan, masalah gerakan, pekerjaan-pekerjaan yang beresiko tinggi (tukang besi, supir, pembalap mobil, orang dengan penyakit degenerative atau neoplasma) (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).

Klasifikasi

Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah (gambar 2.2) : 1. Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal. 2. Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya tulang. 3. 4. Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan. Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak. 5. Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang dikarenakan adanya penyakit tulang. 6. Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama tidak berhubungan satu sama lain.

7. 8.

Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya. Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang, biasanya pada tulang mandibula orang tua.

9.

Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.

10. Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound. Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya (gambar 2.3): 1. 2. Midline : fraktur diantara incisal sentral. Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3). 3. 4. Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus. Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3). 5. Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis apikal pada sigmoid notch. 6. 7. 8. Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus. Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula hingga regio ramus. Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.

Fraktur Sepertiga Tengah Wajah Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur. Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort : 1. Fraktur Le Fort tipe I (Guerins) Fraktur Le Fort I (gambar 2.4) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.

2.

Fraktur Le Fort tipe II

Fraktur Le Fort tipe II (gambar 2.5) biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini.

Gambar 2.5

Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)

3.

Fraktur Le Fort III Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6) menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.

Gambar 2.6 Fraktur Sepertiga Atas Wajah

Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)

Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressedke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.

Pemeriksaaan Pemeriksaan awal terhadap pasien yang mungkin menderita fraktur tulang sama dengan pemeriksaan pada pasien yang mengalami luka pada jaringan lunak yang berhubungan dengan trauma. Perawat menilai berdasarkan pada tanda dan gejala. Setelah bagian yang retak telah di-imobilisasi dengan baik, kemudian perawat akan menilai adanya lima P yaitu Pain (rasa sakit), Paloor (kepucatan/perubahan warna), Paralysis (kelumpuhan/ketidakmampuan untuk bergerak), Paresthesia (rasa kesemutan), dan Pulselessness (tidak ada denyut) untuk menentukan status neurovaskuler dan fungsi motorik pada bagian distal fraktur (Reeves, Roux, Lockhart, 2001). Rontgen sinar-x pada bagian yang sakit merupakan parangkat diagnostik definitif yang digunakan untuk menentukan adanya fraktur. Meskipun demikian, beberapa fraktur mungkin sulit dideteksi dengan menggunakan sinar-x pada awalnya sehingga akan membutuhkan evaluasi radiografi pada hari berikutnya untuk mendeteksi bentuk callus. Jika dicurigai adanya perdarahan maka dilakukan pemeriksaan complete blood count (CBC) untuk menilai banyaknya darah yang hilang. Lebih lanjut, perawat akan menilai komplikasi yang mungkin terjadi dan menentukan beberapa faktor resiko terhadap komplikasi dimasa depan (Revees, Roux, Lockhart, 2001). Penatalaksanaan Menurut Long (1996), ada beberapa terapi yang digunakan untuk pada pasien fraktur antara lain: 1. Debridemen luka untuk membuang kotoran, benda asing, jaringan yang a. rusak dan tulang yang nekrose b. Memberikan toksoid tetanus c. Membiakkan jaringan d. Pengobatan dengan antibiotik e. Memantau gejala osteomyelitis, tetanus, gangrene gas f. Menutup luka bila tidak ada gejala infeksi g. Reduksi fraktur h. Imobilisasi fraktur i. j. Kompres dingin boleh dilaksanakan untuk mencegah perdarahan, edema, dan nyeri

k. Obat penawar nyeri.

Penatalaksanaan Pasien Fraktur Maksilofasial (Fonseca, 2005; Hupp et al., 2008) 2.4.1 Kontak Awal Pasien Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka. Advance Trauma Life Support (ATLS) yang dianjurkan oleh American College of Surgeon ialah perawatan trauma ABCDE. A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection 1. 2. Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur. Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal. 3. Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas. B: Breathing and adequate ventilation 1. Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar. C: Circulation with control of hemorrhage 1. Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan nafas dan mengontrol perdarahan. 2. 3. Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala. Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang meluas dan perdarahan kepala. D: Disability: neurologic examination 1. 2. Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi. Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung maupun tdak langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan respon yang dapat mengaburkan pemeriksaan neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh. 3. Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris (alkohol atau obat) yang tidak berhubungan dengan trauma intrakranial. E: Exposure/ enviromental control 1. 2. Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah. Menghilangkan lensa kontak.

2.4.2 Penilaian Glasgow Coma Scale (Hupp et al., 2008) Pada umumnya, Glasgow coma scale (GCS) digunakan untuk memeriksa kesadaran yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis pada saat pertama kali terjadi trauma maksilofasial. Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh berdasarkan tabel.

2.4.3

Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis (Fonseca, 2005; Hupp et al., 2008) Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien penderita fraktur maksilofasial ialah:

1. 2. 3.

Bagaimana kejadiannya? Kapan kejadiannya? Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang kemungkinan dapat menyebabkannya?

4. 5.

Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran? Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi? Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan. Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan sakit kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening. Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan infraorbital, dan obstruksi jalan nafas. Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus. Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis. Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma seperti laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama dengan

adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus kompleks dan fraktur rima orbita. Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya. Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila, stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila. Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior lateral.

2.4.4

Pemeriksaan Radiografis (Hupp et al., 2008) Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda. Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografis panoramic view, open-mouth Townes view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan periapikal. Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian radiografi. Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Waters view, lateral skull view, posteroanterior skull view , dansubmental vertex view.

2.4.5 Perawatan Fraktur Maksilofasial (Hupp et al., 2008) Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa tidak nyaman. Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar pada bedah yang harus dipersiapkan sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah : reduksi fraktur (mengembalikan segmen-segmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi segmen-segmen tulang untuk meng-imobilisasi segmen-segmen pada lokasi fraktur. Sebagai tambahan, sebelum tindakan, oklusi sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada area fraktur sebaiknya di cegah dan dihilangkan terlebih dahulu. Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih cepat merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin lama luka dibiarkan terbuka dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan malunion. Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Reduksi terbuka dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi terbuka ialah berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau pada fraktur unfavorable, seperti fraktur angulus, dimana tarikan otot masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi segmen proksimal mandibula.

Manifestasi Klinis Fraktur Menurut Smeltzer & Bare (2002), manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot. 3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). 4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat. 5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai