Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

GAWAT DARURAT DAN KRITIS PADA NN. L


DENGAN TRAUMA MAKSILOFACIAL DI RUANG INSTALASI GAWAT
DARURAT (IGD) RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen


Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis yang dibimbing oleh :
Ns. Mangsur M. Nur., M. Kep

Disusun Oleh :

DWI FEBRIYANTI
2314314901006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG

2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

PROFESI NERS

DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS

Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Dan


Kritis Pada Nn. L Dengan Trauma Maksilofacial Di Ruang Instalasi Gawat
Darurat (IGD) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Periode 6 November - 11 November 2023

Oleh :
DWI FEBRIYANTI
2314314901006

Laporan ini telah disetujui oleh Pembimbing Profesi Ners pada :

Hari/tanggal : November 2023

Malang, 6 November 2023

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(Ns. Mangsur M Nur., M. Kep) (Ns. Yuliati, S.Kep)

NIK. 07314322120 NIP. 197507042005012013


LAPORAN PENDAHULUAN

I. KONSEP TRAUMA MAKSILOFACIAL


A. ANATOMI FISIOLOGI MAKSILOFACIAL
Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara
baik dalam membentuk wajah manusia. Tulang pembentuk wajah pada
manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang
wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum
oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita).
Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian:
1. Bagian hidung terdiri atas:
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan
pangkal hidung di sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang
membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang
karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya
berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan
dari tulang tapis yang tegak.
2. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang
pipi yang terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau
tulang langit-langit, terdiri dari dua buah tulang kiri dan kanan. Os
Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu
bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu.
Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoid tempat
melekatnya otot.
Maksilofasial juga dibagi menjadi tiga bagian :
1. Sepertiga atas wajah : tulang frontalis, regio supra orbita, rima
orbita, sinus frontalis
2. Sepertiga tengah wajah : maksila, zigomatikus, lakrimal, nasak,
palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vormer
3. Sepertiga bawah wajah : mandibula

B. DEFINISI TRAUMA MAKSILOFACIAL


Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat
mengenai jaringan keras dan jaringan lunak wajah. Trauma maksilofasial
adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah, yang dimaksud trauma jaringan lunak
seperti abrasi kulit, tusukan laserasi, cedera saraf, cedera kelenjar
paratiroid, cedera kelopak mata, cidera telinga, dan cedera hidung.
Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang
kepala, yang terdiri dari tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang
mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus
(Wati, 2022).
Fraktur maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai
wajah dan jareingan sekitarnya yang menyebabkan hilangnya kontinuitas
tulang-tulang wajah. Penyebab trauma maksilofasial berfariasi mencakup
kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, dan trauma
senjata api.

C. KLASIFIKASI TRAUMA MAKSILOFACIAL


Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah (Fahmi,
2022)
1. Trauma Jaringan Lunak Wajah
Trauma Jaringan Lunak Wajah Luka adalah kerusakan anatomi,
diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada
jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Fahmi, 2022):
a) Berdasarkan jenis luka dan penyeba
- Ekskoriasi
- Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum),
luka tusuk (vulnus punctum)
- Luka bakar (combustio)
- Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
b) Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan Skin Avulsion
& Skin Loss
c) Dikaitkan dengan unit estetik. Menguntungkan atau tidak
menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.
d) Berdasarkan Derajat Kontaminasi
- Luka Bersih : Luka sayat elektif, steril potensial terinfeksi.
Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius,
traktur elementarius, dan traktur genitourinarius.
- Luka Bersih Tercemar : Luka sayat elektif. Potensial
terinfeksi: Spillage minimal, Flora normal. Kontak dengan
orofaring, traktus respiratorius, traktus elementarius, dan
traktur digestifus. Proses penyembuhan lebih lama.
- Luka Tercemar : Potensi terinfeksi Spillage traktus
elementarius. Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka dan
luka penetrasi.
- Luka Kotor : Akibat pembedahan yang sangat
terkontaminasi. Perforasi viscera, abses dan trauma lama.
e) Klasifikasi Lain.
- Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).
- Luka Tusukan (puncture).
- Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara
langsung.
2. Trauma Jaringan Keras Wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur
tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg
definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada
jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Fahmi,
2022) :
a) Berdasarkan lokasi anatomic dan estetika
- Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum,
maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus
- Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal
dan fraktur kompleks mandibular
b) Berdasarkan kekhususan :
- Fraktur dinding orbita
Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas antara
jaringan-jaringan pada dinding orbital dengan atau tanpa
keterlibatan tulang-tulang di daerah sekitarnya. Secara
umum, fraktur orbita dibagi kepada dua kategori yang luas.
Yang pertama merupakan fraktur yang secara relatif eksternal
dan melibatkan orbita rim serta tulang-tulang yang
berdekatan. Yang kedua adalah fraktur yang melibatkan
tulang secara internal di dalam kavitas orbita.
- Fraktur zygoma
1. Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)
Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling
sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya prosesus
alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan
rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating
jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi
akibat dari adanya edema.
2. Fraktur Le Fort tipe II
Biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi
dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai
juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign..
Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada
saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal.
Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat
ditemukan pada kasus ini.
3. Fraktur Le Fort III
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort
III menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda
yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah
serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks,
disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema,
dan ekimosis periorbital

c) Berdasarkan Tipe fraktur :


- Fraktur simple
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup
misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula
yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang
atau rongga mulut. Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan
retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
- Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan
dengan jaringan lunak. Biasanya pada fraktur korpus
mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe
fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke
rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat
meluas dengan sobekan pada kulit.
- Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan
objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang
menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas
atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun
dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
- Fraktur patologis
Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya
penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas,
kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.

D. ETIOLOGI TRAUMA MAKSILOFACIAL


Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan
lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata
api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial
yang dapat membawa kematian dan kecacatan. Para zygoma dan rahang
adalah tulang yang paling umum patah selama serangan Kecelakaan
kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan
midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman.
Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial (Gunawan, 2019) :

Penyebab pada orang dewasa Presentase %


Kecelakaan lalu lintas 40-45
Penganiayaan/berkelahi 10-15
Olahraga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-10

Penyebab pada anak Presentase %


Kecelakaan lalu lintas 10-15
Penganiayaan/berkelahi 5-10
Olahraga (termasuk naik sepeda) 50=65
Jatuh 5-10

E. MANIFESTASI KLINIS TRAUMA MAKSILOFACIAL


Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa
(Gunawan, 2019) :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi
terutama pada fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran
napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat
menentukan lokasi daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari
ujung tulang yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah
sekitar fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat
pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur
terjadi di bawah nervus alveolaris.
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,
penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus

F. PATOFOSIOLOGI
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari
massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik
saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera.
Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai
besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak
parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang
dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda
regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang
frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah
dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak
zygoma dan tulang hidung.
Patah tulang frontal ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi.
Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat.
Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus
frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu. Fraktur dasar orbital
cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau
dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang
pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini
kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding
medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah
mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang
menyebabkan kematian. Patah tulang hidung adalah hasil dari kekuatan
diakibatkan oleh trauma langsung. Fraktur nasoethmoidal (noes) akibat
perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat
mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau
saluran nasofrontal. Patah tulang lengkung zygomatic sebuah pukulan
langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi
melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
Patah tulang zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs) ini
menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan
memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan
zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis
fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai
orbit. Cedera mata serentak yang umum. Fraktur mandibula ini dapat
terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher
condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari
lokasi trauma langsung. Patah tulang alveolar ini dapat terjadi dalam
isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat hasil dari
perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau
rahang bawah. Fraktur panfacial Ini biasanya sekunder mekanisme
kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan
wajah yang lebih rendah

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG TRAUMA MAKSILOFACIAL


1. Pemeriksaan Radiografis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis
diperlukan untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk
mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat
memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda
(Petrus, 2023).
a) Foto dental : Trauma dan fraktur dental
b) Foto oklusa :
- Fraktur sagital rahang atas
- Luksasi benda asing (pecahan gigi, bahan tambalan dan gigi
palsu) ke jaringan lunak
c) Ortopantomogram/OPG :
- Trauma dental
- Fraktur dentoalveolar
- Fraktur rahang bawah, termasuk fraktur kondilus
- Fraktur rahang atas.
d) Subokzipitofrontal dengan mulut terbuka (Clementschitsch)
- Fraktur rahang bawah
- Fraktur kondilus
- Pada dugaan terdapat fraktur rahang bawah dan atau atau
Mandibula PA fraktur kondilus, maka pembuatan foto clemi
wajib dilakukan
e) Waters/sinus maksilaris oksipitonasal
- Fraktur wajah
- Fraktur orbita
f) Submentobregmatikal (Henkeltopf) : Fraktur arkus zigomatikus
g) Tomografi Komputer (scan CT), termasuk Cranial Computer
Tomografi (CCT) dan juga scan CT dengan rekonstruksi 3D
- Politrauma
- Fraktur wajah
- Fraktur orbita (potongan koronal)
- Fraktur rahang atas kompleks
- Fraktur rahang bawah kompleks
- Fraktur dasar tengkorak, sinus frontalis
- Trauma cranium
h) MRI
- Politrauma
- Trauma saraf dan jaringan lunak (misalnya n.opticus diskus
artikularis)
2. Pemeriksaan Laboratorium
Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan
masalah yang serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah
pada waktu selanjutnya, maka sebagian besar trauma
MAKSILOfasial mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan
darah untuk keperluan transfusi. Namun selain itu juga diperlukan
pemeriksaan darah rutin yang meliputi (Petrus, 2023):
a) Hemoglobin / Haemoglobin (Hb)
Nilai normal dewasa pria 13.5-18.0 gram/dL, wanita 12-16
gram/dL, wanita hamil 10-15 gram/dL Hb yang rendah (<10
gram/dL) biasanya dikaitkan dengan pendarahan berat. Ambang
bahaya adalah Hb < 5 gram/dL.
b) Hematokrit (Ht)
c) Leukosit
Hitung leukosit (leukocyte count) dan hitung jenis (differential
count). Nilai normal 4500-10000 sel/mm3. Segala macam infeksi
menyebabkan leukosit naik; baik infeksi bakteri, virus, parasit,
dan sebagainya.
d) Hitung trombosit / platelet count
Nilai normal dewasa 150.000-400.000 sel/mm3. Nilai ambang
bahaya pada <30.000 sel/mm3. Biasanya trombositosis tidak
berbahaya, kecuali jika >1.000.000 sel/mm3.
e) Laju endap darah (LED) / erythrocyte sedimentation rate (ESR)
Nilai normal dewasa pria <15 mm/jam pertama, wanita <20
mm/jam pertama. LED yang meningkat menandakan adanya
infeksi atau inflamasi, penyakit imunologis, gangguan nyeri,
anemia hemolitik, dan penyakit keganasan.
f) Hitung eritrosit
Nilai normal dewasa wanita 4.0-5.5 juta sel/mm3, pria 4.5-6.2
juta sel/mm3.
H. PENATALAKSANAAN TRAUMA MAKSILOFACIAL
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah
selain dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing,
circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka
factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri
yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan
glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah. Selain itu perlu pula
dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi disebabkan
oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan
dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi
asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral.
Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi
yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial (Oktora,
2021).
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma
maksilofasial yaitu meliputi :
a. Periksa kesadaran pasien.
b. Perhatikan secara cermat wajah pasien : Apakah asimetris atau
tidak. Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
c. Apakah ada hematoma :
- Fraktur zigomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara
cepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.
Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas
apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding
zigomatikus.
- Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke
arah medial.
- Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah. Apakah
sejajar atau bergeser. Apakah pasien bisa melihat. Apakah
dijumpai diplopia Hal ini karena : o Pergeseran orbita o
Pergeseran bola mata o Paralisis saraf ke VI o Edema
- Fraktur pada wajah dan tulang kepala.
Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri
tekan, deformitas, iregularitas, dan krepitasi. Raba tulang
zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada
fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub
cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak
menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi
fraktur.
- Cedera saraf.
Uji anestesi pada wajah (saraf infra orbita) dan geraham atas
(saraf gigi atas).
- Cedera gigi.
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak
abnormal dan juga disekitar
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
- Bedrest total
- Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
- Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai
pengobatan antiedema
- Serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
- Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
- Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol
20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
- Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
- Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%,
aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),
2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
- Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan
elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan
dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran
rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300
TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

A. KOMPLIKASI TRAUMA MAKSILOFACIAL


Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan
ekstensif serta gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen
fraktur, edema, dan pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka
maksilari lebih jarang dibandingkan pada luka fraktur mandibula.
Padahal luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen gigi dan
sinus yang juga mengalami fraktur.
Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan
terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III,
daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga terjadi
rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi
akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi
akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur,
penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia
infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot ekstraokuler,
diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah
(memanjang, retrusi).
Komplikasi lain yang dapat terjadi :
1. Perdarahan ulang
2. Kebocoran cairan otak
3. Infeksi pada luka atau sepsis
4. Timbulnya edema serebri
5. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
6. Nyeri kepala setelah penderita sadar
7. Konvulsi

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas
Inisial nama, No. RM, umur, Alamat, Jenis Kelamin, status
perkawinan, sumber informasi
2. Keluhan utama
nyeri, bengak pada wajah, fraktur pada tulang-tulang wajah
3. Primary Survey
a) Airway dan Cervical Spine
jalan napas, penggunaan jalan napas buatan, obstruksi, suara napas,
kestabilan tulang cervikal
b) Breathing
napas spontan, penggunaan ventilator, gerakan dinding dada, irama
napas, pola napas, jenis napas, suara napas, sesak, pernapasan
cuping hidung, retraksi otot bantu napas, ripe napas, respiratory
rate
c) Circulation
nadi karotis, frekuensi nadi, pola nadi, amplitudo nadi, akral, CRT,
warna kulit, turgor kulit, mukosa mulut
d) Disability
kesadaran, GCS, pupil, reaksi cahaya, ukuran pupil
e) Exposure
edema, luka terbuka, lokasi luka, ukuran luka, warna luka
4. Secondary Survey
a) Full Set Of Vital Sign
Tekanan darah, nadi, suhu respiratory rate, saturasi O2
b) Focus Adjuncts
monitor jantung dan oksigen, pemasangan NGT, pemasangan
kateter, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi,
c) Give Comfort Measures
nyeri, skala nyeri, pengkajian nyeri
d) History
riwayat SAMPLE atau mekanisme terjadinya cedera
e) Head To Toe Examination
keadaan umum, kepala, mata, hidung, bibir dan mulut, telinga,
leher, dada, abdomen, genetalia, ektremitas, punggung
f) Hasil Pemeriksaan Penunjang
hasil pemeriksaan laboratorium, hasil pemeriksaan radiologi (CT
Scan, Foto thorax)
g) Medikasi
obat-obatan yandi diberikan

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial yang berhubungan dengan
peningkatan TIK
2. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak
3. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan
penumpukan cairan, mis. darah
4. Gangguan rasa nyaman: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
5. Perfusi jaringan serebral tidakefektif berhubungan dengan
penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ;
penurunan TD sistemik / hipoksia.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA SLKI SIKI


1 Penurunan Setelah dilakukan 1. Kaji faktor penyebab dari
kapasitas tindakan keperawatan situasi/keadaan
adaptif selama 6 jam tidak individu/penyebab
intrakranial terjadi peningkatan TIK koma/penurunan perfusi
pada klien dengan jaringan dan kemungkinan
kriteria hasil : penyebab peningkatan TIK.
1. klien tidak gelisah 2. Monitor tanda-tanda vital tiap
2. klien tidak 4 jam
mengeluh nyeri 3. Evaluasi pupil, amati ukuran,
kepala ketajaman, dan reaksi
3. mual terhadap cahaya.
4. muntah, 4. Monitor temperatur dan
5. GCS 4, 5, 6 pengaturan suhu lingkungan.
6. tidak terdapat 5. Pertahankan kepala/ leher
papiledema. pada posisi yang netral,
7. TTV dalam batas 6. Berikan periode istirahat
normal. antara tindakan perawatan dan
batasi lamanya prosedur.
7. Observasi tingkat kesadaran
dengan GCS.
8. Pemberian O2 sesuai indikasi.
9. Berikan cairan intravena
sesuai indikasi.
10. Berikan steroid contohnya :
dexamethason, methyl
prenidsolon.
2 Pola napas Setelah dilakukan 1. Monitor pola napas (frekuensi,
tidak efektif tindakan keperawatan kedalan, usaha napas)
selama 6 jam pola napas 2. Monitor tanda-tanda
membaik dengan kriteria hipoventilasi
hasil: 3. Monitor efektifitas tetapi
1. dispnea menurun oksigen (mis. oksimetri,
2. penggunaan otot analisa gas darah)
bantu napas 4. Berikan oksigen
menurun 5. Pertahankan kepatenan jalan
3. pernapasan cuping napas
hidung menurun 6. Tetap berikan oksigen saat
4. frekuensi napas pasien ditransportasi
membaik 7. Siapkan dan atur peralatan
5. kedalaman napas pemberian oksigen
membaik
3 Bersihan Setelah dilakukan 1. Monitor pola napas
jalan napas tindakan keperawatan 2. Monitor sputum
tidak efektif selama 6 jam bersihan 3. Terapeutik
jalan napas meningkat 4. Posisikan semifowler
dengan kriteria hasil: 5. Lakukan fisioterapi dada
1. Batuk efektif 6. Kolaborasi
meningkat 7. Kolaborasi pemberian
2. Produksi sputum bronkodilator, ekspetoran,
menurun mukolitik
3. Sulit bicara menurun
4. Frekuensi napas
membaik
4 Gangguan Setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi,
rasa nyaman tindakan keperawatan karakteristik, durasi, frekuensi,
selama 6 jam nyeri kualitas, intensitas nyeri
berkurang dengan 2. Identifikasi skala nyeri
kriteria hasil : 3. Berikan terapi non-
1. Keluhan nyeri farmakologisuntuk
menurun mengurangi rasa nyeri :
2. Eskpresi meringis Kompres hangat
menurun 4. Kontrol lingkungan yang
3. Gelisah menurun memperberat rasa nyeri
4. Frekuensi nadi 5. Jelaskan strategi meredakan
membaik nyeri
Melaporkan nyeri 6. Anjurkan teknik
terkontrol nonfarmakologis untuk
meningkat mengurangi nyeri
5. Kemampuan 7. Kolaborasi pemberian
menggunakan teknik analgetik
non-farmakologis
meningkat
6. Keluhan nyeri
menurun
5 Perfusi Setelah dilakukan 1. Kaji ulang tanda-tanda vital
jaringan tindakan keperawatan 2. Monitor tekanan darah, catat
serebral selama 6 jam fungsi adanya hipertensi sistolik
tidakefektif serebral membaik, secara teratur dan tekanan nadi
dengan kriteria hasil : yang makin berat, obs, ht, pada
1. mempertahankan klien yang mengalami trauma
tingkat kesadaran multiple.
membaik 3. Monitor Heart Rate, catat
2. fungsi kognitif adanya bradikardi, takikardi
dan atau bentuk disritmia lainya.
motorik/sensorik, 4. Monitor pernafasan meliputi
3. vital sign yang pola dan ritme, seperti periode
stabil apnea setelah hiperventilasi
4. tidak ada tanda- (pernafasan cheyne – stokes).
tanda peningktan 5. Kaji perubahan pada
TIK penglihatan ( penglihatan
kabur, ganda, lap. Pandang
menyempit dan kedalaman
persepsi.
6. Pertahankan kepala / leher
pada posisi tengah/ pada posisi
netral.
7. Kolaborasi Tinggikan kepala
pasien 15 – 45° sesuai indikasi
8. Kolaborasi pemberian O2
tambahan sesuai indikasi
9. Kolaborasi pemberian obat
sesuai indikasi

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan (intervensi). Proses pelaksanaan
implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan dan kegiatan komunikasi. Tujuan implementasi adalah
melaksanakan hasil dari rencana keperawatan untuk selanjutnya di
evaluasi untuk mengetahui kondisi kesehatan pasien dalam periode yang
singkat, mempertahankan daya tahan tubuh, mencegah komplikasi, dan
menemukan perubahan sistem tubuh.

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi sebagai sesuatu yang direncanakan dan perbandingan
yang sistematik pada status kesehatan klien. Evaluasi adalah proses
penilaian, pencapaian, tujuan serta pengkajian ulang rencana
keperawatan. Evaluasi keperawata meliputi data subjek, data objek,
assesmment, dan planing.
DAFTAR PUSTAKA

Fahmi, R. H. (2022). KARAKTERISTIK PENDERITA TRAUMA WAJAH DI


RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR PERIODE JANUARI
SAMPAI DESEMBER 2019 (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).
Goh, E. Z., Beech, N., & Johnson, N. R. (2021). Traumatic maxillofacial and
brain injuries: a systematic review. International journal of oral and
maxillofacial surgery, 50(8), 1027-1033.
Oktora, S., Oli'i, E. M., & Sjamsudin, E. (2021). Penatalaksanaan
kegawatdaruratan medis trauma maksilofasial pada anak disertai cedera
kepala Emergency management of maxillofacial trauma in children with a
head injury. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, 32(3), 173-
181.
Petrus, A., & Zansen, J. (2023). Penetrating Facial Trauma Resulting in Loss of
Sense. SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, 4(2), 83-87.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Wati, D. E., Mustikasari, M., & Panjaitan, R. U. (2020). Post traumatic stress
disorder description in victims of natural post eruption of Merapi one
decade. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(2), 101-112.

Anda mungkin juga menyukai