Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur nasal adalah fraktur yang paling sering terjadi pada fraktur kepala
leher dan menempati urutan ketiga dari seluruh fraktur tubuh manusia. Fraktur nasal
umumnya tidak mengancam jiwa, tetapi apabila penanganannya tidak tepat dapat
menimbulkan gangguan fungsi hidung dan kosmetik. Fraktur nasal sering berupa
fraktur sederhana, tetapi komunitif dan dapat disertai dengan luka terbuka pada kulit
luar hidung. Hidung merupakan unsur estetika wajah karena terletak pada pusat wajah
dan menonjol pada bidang sagital wajah serta sedikit mengandung tulang. Akibatnya
hidung menjadi struktur wajah yang paling lemah dan paling rentan terhadap cedera.
Fraktur nasal merupakan 40% dari seluruh kejadian fraktur dibagian wajah
dan lebih dari 50% fraktur nasal yang tidak ditangani secara adekuat atau terlambat di
dalam penanganannya akan memerlukan tindakan rinoplasti atau septorinoplasti.
Trauma langsung dapat menyebabkan fraktur pada tulang, kartilago dan septum
sehingga menyebabkan hilangnya struktur penyangga. Trauma kraniofasial dapat
menyebabkan hidung depresi disebut saddle nose. Trauma tumpul seperti yang terjadi
pada kegiatan olah raga, kecelakaan lalu lintas, perkelahian adalah merupakan
penyebab tersering fraktur nasal. Kecelakaan motor cenderung menyebabkan fraktur
nasal yang berat dan sering disertai dengan trauma maksilofasial. Insidens fraktur
nasal sangat tinggi, dan meningkat seiring bertambahnya usia. Jarang terjadi pada
pada anak usia kurang dari 5 tahun. Kasus yang dilaporkan pada dewasa sekitar 39-
45% sedangkan pada remaja sekitar 45%. Insidens fraktur nasal pada pria 2-3 kali
lebih banyak dibandingkan pada wanita. Puncak insidens fraktur nasal terjadi pada
usia dekade kedua sampai tiga. Penyebab fraktur nasal pada anak kurang lebih sama
dengan dewasa, tetapi banyak kasus fraktur nasal pada anak disebabkan karena
terjatuh saat bermain atau kasus penyiksaan anak.
Diperkirakan rata-rata sebesar 51 200 fraktur nasal per tahun terjadi di
Amerika. Namun angka ini dapat jauh lebih besar karena banyak penderita tidak
datang untuk berobat atau kasusnya tidak dilaporkan. Fraktur nasal jarang
menimbulkan komplikasi yang berat, tetapi apabila dalam menegakkan diagnosis dan
penanganannya tidak adekuat maka dalam jangka panjang dapat menimbulkan
masalah yang serius. Komplikasi jangka panjang dapat berupa deformitas hidung,
obstruksi hidung, perforasi septum dan komplikasi lain seperti sinusitis kronis. Hal
tersebut dapat menetap atau makin memburuk dalam beberapa bulan atau tahun
setelah terjadinya trauma. Fraktur nasal pada bayi dan anak sering kali diabaikan
tetapi dampaknya baru dirasakan ketika anak tersebut berusia remaja atau dewasa
yaitu dapat menimbulkan gangguan deformitas hidung dan wajah. Diagnosis dan
penanganan yang tepat pada fraktur nasal akan menurunkan insidens gejala sisa
fraktur nasal dan juga mengurangi tindakan rinoplasti atau septorinoplasti akibat
keterlambatan diagnosis dan penanganan fraktur nasal yang tidak tepat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi perumusan masalah adalah
“Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur nasal di bangsal Al
Insan III-2 RS PKU Muhammadiyah Bantul?”.

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Memperoleh pengalaman dan mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara
komprehensif baik biologi, psikologi, sosial dan spiritual dengan pendekatan
proses keperawatan pada klien dengan fraktur nasal di bangsal Al Insan III-2 RS
PKU Muhammadiyah Bantul.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pada klien dengan fraktur nasal di bangsal Al Insan III-
2 RS PKU Muhammadiyah Bantul.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur nasal di bangsal
Al Insan III-2 RS PKU Muhammadiyah Bantul.
c. Membuat rencana asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur nasal di
bangsal Al Insan III-2 RS PKU Muhammadiyah Bantul.
d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan perencanaan yang
telah ditentukan pada klien dengan fraktur nasal di bangsal Al Insan III-2 RS
PKU Muhammadiyah Bantul.
e. Mengevaluasi hasil keperawatan yang telah dilaksanakan pada klien dengan
fraktur nasal di bangsal Al Insan III-2 RS PKU Muhammadiyah Bantul.
f. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada klien
dengan fraktur nasal di bangsal Al Insan III-2 RS PKU Muhammadiyah
Bantul.

D. Waktu dan Tempat


Waktu : Senin, 22 Maret 2021
Tempat : Bangsal Al Insan RS PKU Muhammadiyah Bantul

Dapus :
Chandra, A. A., & Santoso, B. S. PENATALAKSANAAN FRAKTUR NASAL.

Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia
: WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.

Cumming, W Charles. Otolaryngology – Head and Neck Surgery. 3rd edition. 1999. Mosby.


Chapter : 45. Page : 852-64

Arif,Mansjoer, et al, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1, Media Aesculapius,


Jakarta..

Balai Penerbit. FK. UI. 1998. Buku Ajar Penyakit THT. Gaya Baru. Jakarta

(Sarwandi.2014.Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia.Jakarta Timur:Dunia


Cerdas)
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Teori
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smelzter, 2002).
Fraktur merupakan gangguan sistem muskuluskeletal, dimana terjadi
pemisahan atau patahnya tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
(Doenges E Marilyn, 2000).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang,fraktur patologis terjadi
tanpa trauma pada tulang yang lemah karena dimineralisasi yang berlebihan ( Linda
Juall C, 2002 ).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia
luar. Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana
potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999).
Fraktur nassal adalah terhalangnya jalan pernafasan dan deformitas pada
tulang, jenis dan kerusakan yang timbul tergantung kekuatan arah mekanismenya
(Robinstein,2000)
2. Klasifikasi
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera, sedangkan
fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan
dapat sangat luas pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black
dan Hawks, 2014) :
a) Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
b) Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
c) Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak,
saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3 harus sedera
ditangani karena resiko infeksi.

Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:
a) Fraktur tertutup Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan
luka pada bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak
berhubungan dengan bagian luar.
b) Fraktur terbuka Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan
adanya luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan
udara luar, biasanya juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang yang
patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur
terbuka membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan
pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya.
c) Fraktur kompleksitas Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian
ekstermitas terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.

Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:

a) Fraktur transversal Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak
lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang yang
patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen
ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai gips.
b) Fraktur kuminutif Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang
terdiri dari dua fragmen tulang.
c) Fraktur oblik Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut
terhadap tulang.
d) Fraktur segmental Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu
tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya,
fraktur jenis ini biasanya sulit ditangani.
e) Fraktur impaksi Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.
f) Fraktur spiral Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini
menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh
dengan imobilisasi.
3. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
a) Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang
dan kerusakan pada kulit di atasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat.
b) Fraktur Patologik Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
berbagai keadaan berikut :
a. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit
nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin
D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan
kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat
yang rendah.
c) Secara Spontan Disesbabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran
4. Anatomi Fisiologi
Hidung adalah organ penting pada wajah yang berguna untuk mengidentifikasi
seseorang dan estetika wajah karena merupakan hal pertama yang terlihat oleh mata.
Hidung memiliki peran penting sebagai organ pernapasan dan penghidu (AlJulaih &
Lasrado, 2019).
Hidung bagian luar tersusun atas dasar, puncak hidung, collumela. Sedangkan
hidung lainnya tersusun atas ala nasi, alar sulcus, dan nostril. Semuanya disusun oleh
tulang, kartilago, otot, dan subcutaneous fat (AlJulaih & Lasrado, 2019).
Bagian septum nasi mendapatkan vaskularisasi dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina posterior, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior, dan arteri
palatina mayor. Bagian lateral hidung mendapatkan vaskularisasi dari arteri etmoid
anterior, dan arteri sfenopalatina (AlJulaih & Lasrado, 2019).
Persarafan sensorik mendapatkan inervasi dari n.oftalmikus dan n.maxilaris
yang merupakan cabang dari n.trigeminus (AlJulaih & Lasrado, 2019)

a) Rongga hidung : Pada rongga hidung ada selaput lendir dan rambut rambut tipis
(bulu hidung) atau yang sering disebut Silia. Rongga hidung bekerja dengan
bantuan tulang hidung dan tengkorak. Rongga hidung menyebarkan udara
terutama oksigen dari luar tubuh ketenggorokan menuju jaringan paru paru.

b) Lubang dan bulu hidung : Didalam lubang hidup selalu ada bulu hidung dan
selaput lendir yang mempunyai kegunaan menyaring dan merlindungi rongga
hidung dari masuknya benda asing berupa debu debu atau hasil dari reaksi radikal
bebas seperti asap kendaraan, asap pembakaran saampah atau asap rokok.

c) Selaput lendir (mukus) : Sebagai media untuk melekatnya kotoran yang terbawa
dari udara yang gunanaya untuk menghadang jangan sampai masuk keronga
hidung.Kotoran akan berhenti dan mengering karena proses panas yang dihasilkan
uap ketika kita bernafas.

d) Saraf penditeksi bau : Saraf ini sangat peka dengan kotoran yang sangat tipis dan
tidak terlihat oleh mata, bahkan bisa mencium bau dengan kadar bau yang sangat
rendah, sedang sampai yang baunya menyengat.

e) Tulang rawan (tulang lunak) : yang ada pada hidung adalah tulang yang lentur dan
mudah retak ketika terkena benturan yang sangat keras, Tulang rawan terdiri dari
kartilaogo septum atau ( lamina kuadran gularis) dan Kolumela, Septum dilapisi
oleh perikondrium yang ada pada jarinagn tulang lunak dan periosteum yang adaa
pada tulang keras, sedangkan bagian luarnya dilapisi dengan kuat oleh Mukus
hidung.
5. Fisiologi

a) Alat Penghidu

Nervus olfaktorius atau saraf kranial melayani ujung organ pencium. Serabut-
serabut saraf ini timbul pada bagian atas selaput lender hidung, yang dikenal sebagai
bagian olfaktorik hidung. Nervus olfaktorius dilapisi sel-sel yang sangat khusus, yang
mengeluarkan fibril-fibril halus untuk berjalin dengan serabut-serabut dari bulbus
olfaktorius. Bulbus olfaktorius pada hakekatnya merupakan bagian dari otak yang
terpencil, adalah bagian yang berbentuk bulbus (membesar) dari saraf olfaktorius
yang terletak di atas lempeng kribiformis tulang ethmoid. Dari bulbus olfaktorius,
perasaan bergerak melalui traktus olfaktorius dengan perantaraan beberapa stasiun
penghubung, hingga mencapai daerah penerimaan akhir dalam pusat olfaktori pada
lobus temporalis otak, dimana perasaan itu ditafsirkan (Pearce, 2002).

b) Saluran Pernapasan

Rongga hidung dilapisi selaput lender yang sangat kaya akan pembuluh darah,
dan bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lender semua sinus yang
mempunyai lubang masuk ke rongga hidung. Daerah pernapasan dilapisi dengan
epithelium silinder dan sel epitel berambut yang mengandung sel cangkir atau sel
lender. Sekresi dari sel itu membuat permukaan nares basah dan berlendir. Diatas
septum nasalis dan konka selaput lender ini paling tebal, yang diuraikan di bawah.
Adanya tiga tulang kerang (konkhae) yang diselaputi epithelium pernapasan dan
menjorok dari dinding lateral hidung ke dalam rongga, sangat memperbesar
permukaan selaput lendir tersebut.  Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring
oleh bulu-bulu yang terdapat di dalam vestibulum, dan arena kontak dengan
permukaan lender yang dilaluinya maka udara menjadi hangat, dan oleh penguapan
air dari permukaan selaput lender menjadi lembab (Pearce, 2002).

c) Resonator
Ruang atas rongga untuk resonansi suara yang dihasilkan laring, agar
memenuhi keinginan menjadi suara hidung yang diperlukan. Bila ada gangguan
resonansi, maka udara menjadi sengau yang disebut nasolalia (Bambang, 1991).

d) Regulator atau Pengatur

Konka adalah bangunan di rongga hidung yang berfungsi untuk mengatur


udara yang masuk, suhu udara dan kelembaban udara.

e) Protektor Atau Perlindungan

Hidung untuk perlindungan dan pencegahan (terutama partikel debu)


ditangkap oleh rambut untuk pertikel yang lebih kecil, bakteri dan lain-lain melekat
pada mukosa. Silia selanjutnya membawa kebelakang nasofaring, kemudian ditelan
(Bambang, 1991).

6. Patofisiologi
Gangguan traumatik os dan kartilago nasal dapat menyebabkan deformitas
eksternal dan obstruksi jalan napas yang bermakna. Jenis dan beratnya fraktur nasal
tergantung pada kekuatan, arah, dan mekanisme cedera. Sebuah benda kecil dengan
kecepatan tinggi dapat memberikan kerusakan yang sama dengan benda yang lebih
besar pada kecepatan yang lebih rendah. Trauma nasal bagian lateral yang paling
umum dan dapat mengakibatkan fraktur salah satu atau kedua os nasal. Hal ini sering
disertai dengan dislokasi septum nasal di luar krista maxillaris Dislokasi septal dapat
mengakibatkan dorsum nasi berbentuk S, asimetri apex, dan obstruksi jalan napas.
Trauma frontal secara langsung pada hidung sering menyebabkan depresi dan
pelebaran dorsum nasi dengan obstruksi nasal yang terkait. Cedera yang lebih parah
dapat mengakibatkan kominusi pecah menjadi kecil-kecil seluruh piramida 12 nasal.
Jika cedera ini tidak didiagnosis dan diperbaiki dengan tepat, pasien akan memiliki
hasil kosmetik dan fungsional yang jelek.
Diagnosis fraktur nasal yang akurat tergantung pada riwayat dan pemeriksaan
fisik yang menyeluruh. Riwayat yang lengkap meliputi penilaian terhadap kekuatan,
arah, dan mekanisme cedera munculnya epistaksis atau rhinorea cairan
serebrospinalis, riwayat fraktur atau operasi nasal sebelumnya, dan obstruksi nasal
atau deformitas nasal eksterna setelah cedera. Pemeriksaan fisik yang paling akurat
jika dilakukan sebelum timbulnya edema pasca trauma. Pemeriksaan ini memerlukan
pencahayaan yang cukup lampu kepala atau otoskop, instrumentasi spekulum hidung,
dan suction sebaiknya tipe Frasier. Inspeksi pada bagian dalam hidung sangat penting.
(Rubinstein Brian, 2011)
7. Manifestasi Klinis
a) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah bukannya tetap rigid seperti normalnya, pergeseran fragmen
pada fraktur menyebabkan deformitas.
c) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera ( Smelzter, 2002)
8. Komplikasi

a) Komplikasi neurologik

a. Robeknya duramater.

b. Keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya meningitis

c. Pneumosefalus

d. Laserasi otak

e. Avulsi dari nervus olfaktorius

f. Hematoma epidural atau subdural

g. Kontusio otak dan nekrosis jaringan otak

b) Komplikasi pada mata:

a. Telekantus traumatika.

b. Hematoma pada mata

c. Kerusakan nervus optikus yang mungkin menyebabkan kebutaan


d. Epifora

e. Ptosis

f. Kerusakan bola mata

c) Komplikasi pada hidung:

a. Perubahan bentuk hidung

b. Obstruksi rongga hidungyang disebabkan oleh fraktur, dislokasi atau


hematoma pada septum.

c. Gangguan penciuman ( hiposmia atau anosmia )

d. Epistaksis posterior yang disebabkan oleh robeknya arteri ethmoidalis.

e. Kerusakan duktus nasofrontalis yang disebabkan oleh sinusitis frontalis atau


mukokel.

9. Pemeriksaan Penunjang
a) Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
b) Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur lebih
jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c) Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
10. Penatalaksanaan Medis
a) Terapi non farmakologi, terdiri dari :
a. Mengelevasikan kepala dan kompres dingin, kemudian dilakukan
pembedahan dengan reposisi os.nasal teknik reduksi tertutup dengan
sebelumnya
b. Elevasi dari kepala dan penggunaan kompres air dingin pada daerah
periorbital dan regio nasal sendiri dapat membantu untuk mengurangi
edema yang terjadi. Untuk teknik pembedahannya sendiri tergantung dari
fraktur hidung yang terjadi.
b) Terapi farmakologi, terdiri dari :
a. Reposisi terbuka, membutuhkan sedasi yang lebih dalam atau anestesia
umum. Indikasinya antara lain fraktur luas-dislokasi dari tulang nasal dan
septum, dislokasi fraktur dari septum kaudal, fraktur septum terbuka,
deformitas persisten setelah reduksi tertutup, untuk indikasi relatifnya
seperti hematom septum, reduksi tulang yang inadekuat terkait dengan
deformitas pada septum, deformitas kartilagenus, pembedahan intranasal
baru-baru ini.
b. Reduksi tertutup, elevasi dari kepala dan penggunaan kompres air dingin
pada daerah periorbital dan regio nasal sendiri dapat membantu untuk
mengurangi edema yang terjadi. Untuk teknik pembedahannya sendiri
tergantung dari fraktur hidung yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai