Anda di halaman 1dari 39

Grand case

Fraktur Terbuka

Oleh :

Ivonne Olivia 1940312086

Melita Husna 1940312087

Dian Pertiwi Alty 1940312088

Bella Amanda Lubis 1940312089

Preseptor :

dr. Hermansyah, Sp.OT

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR MDJAMIL PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah grand case yang berjudul “Fraktur Terbuka” ini
dapat di selesaikan pada waktu yang ditentukan.

Makalah ini di buat untuk menambah wawasan dan pengetahuan


mengenai Fraktur Terbuka, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Bedah RSUP Dr.M.Djamil Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Hermansyah, SpOT
sebagai preseptor yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan saran,
perbaikan dan bimbingan. Terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan
semua pihak yang turut berpartisipasi.

Dengan demikian, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi


semua pembaca terutama dalam meningkatkan pemahaman terkait Fraktur
Terbuka.

Padang, Juni 2020

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah suatu diskontinuitas struktur tulang yang sebagian besar

disebabkan oleh trauma.1 Berdasarkan klinisnya, fraktur diklasifikasikan menjadi

fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur dikatakan tertutup (sederhana) jika

jaringan kulit di atasnya masih utuh, sehingga tidak ada kontak antara fragmen

tulang yang patah dengan lingkungan luar. Namun jika kulit atau salah satu dari

rongga tubuh tertembus yang mengakibatkan fragmen tulang fraktur terekspos ke

luar, maka disebut fraktur terbuka (compound). Fraktur terbuka cenderung untuk

mengalami kontaminasi dan infeksi dibandingkan fraktur tertutup.2 Fraktur

terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang

terstandar dan segera untuk mengurangi resiko infeksi. Utamanya adalah untuk

mencegah infeksi, penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak.3

Insiden per tahun dari patah tulang terbuka tulang panjang diperkirakan

11,5 per 100.000 penduduk dengan 40% terjadi di ekstrimitas bagian bawah.4

Fraktur terbuka terjadi dalam banyak cara, dan lokasi serta tingkat keparahan

cederanya berhubungan langsung dengan lokasi dan besarnya gaya yang mengenai

tubuh. Fraktur terbuka dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak

langsung seperti luka tembak, trauma kecelakaan lalu lintas, ataupun kecelakaan

kerja yang berhubungan dengan himpitan pada jaringan lunak.2,3 Fraktur terbuka

ini diklasifikasikan menjadi tiga grade, yaitu Grade I, II, dan III. Grade I adalah

robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot. Grade II seperti grade 1 dengan
memar kulit dan otot. Grade III luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh

darah, syaraf, kulit dan otot.5

Prinsip penanganan fraktur tidak terlepas dari primary survey untuk

menemukan dan mengatasi kondisi life threatening yang ada pada pasien,

terutama pada layanan primer. Penatalaksaan yang tepat pada pasien fraktur

menentukan outcome nya.4 Khusus penatalaksanaan fraktur terbuka harus

diperhatikan bahaya terjadinya infeksi, sehingga diperlukan antibiotik profilaksis,

debridement urgent pada luka dan fraktur, stabillisasi fraktur, penutupan luka

segera secara definitif.6 Perawatan yang baik juga perlu untuk mencegah

terjadinya komplikasi pada pasien fraktur.4

1.2 Batasan Masalah

Membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,

penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis fraktur terbuka.

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,

penatalaksanaan, dan komplikasi dan prognosis fraktur terbuka.

1.4 Metode Penulisan

Menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai literatur dan

kasus yang ditemukan.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Fraktur Terbuka

Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan

lingkungan luar akibat kerusakan jaringan lunak dan kulit sehingga dapat terjadi

kontaminasi bakteri dan timbul komplikasi berupa infeksi.7,8 Fraktur terbuka juga

banyak melibatkan kerusakan pada otot, tendon dan ligamen. Hal ini yang dapat

menyebabkan berpotensinya menimbulkan berbagai komplikasi seperti

terkontaminasi oleh mikroorganisme dari luar, kehilangan darah, Syok dll. Luka pada

kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam dan keluar menembus kulit (from

within) atau dari luar oleh karena tertembus misal oleh peluru atau trauma langsung

(from without). Fraktur terbuka merupakan suatu kondisi keadaan darurat yang

memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. 3,9

2.2 Epidemiologi

Frekuensi fraktur terbuka bervariasi tergantung faktor geografis dan

sosioekonomi, populasi penduduk, dan trauma yang terjadi. Fraktur terbuka lebih

sering terjadi pada laki-laki dari pada wanita (7:3) dengan usia ratarata 40-56 tahun di

populasi umum. Di amerika serikat setiap tahunnya terjadi insiden fraktur terbuka

tulang panjang yang di perkirakan 11,5 dari 10.000 penduduk.4 Dari data yang

diambil dari Universitas Gajah Mada didapatkan insidensi fraktur terbuka sebesar 4%
dari seluruh fraktur dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 3,64:1 dan

untuk kelompok usia mayoritas pada dekade dua atau dekade tiga, dimana mobilitas

dan aktifitas fisik tergolong tinggi.10 Sedangkan insiden fraktur terbuka di Edinburgh

Orthopaedic Trauma Unit di Skotlandia mendata sebanyak 21.3 kasus per 100.000

dala setahun. Yang terbanyak adalah fraktur diafisis pada tibia (21,6%), lalu pada

femur (12,1%), radius dan ulna (9,3%), dan humerus (5,7%). Pada tulang panjang,

fraktur terbuka diafiseal (15,3%) lebih sering terjadi disbanding metafiseal (1,2%).11

2.3 Etiologi

Faktor-faktor yang dapat memengaruhi mekanisme fraktur pada kecelakaan,

antara lain mekanisme cedera (direct, indirect force), besar kekuatan energi

(lowenergy, high-energy), tipe benda yang terlibat dalam kejadian fraktur (tajam dan

tumpul), serta kronologis tertentu dalam suatu kecelakaan. Mekanisme cedera

traumatik pada tulang bisa disebabkan karena cedera langsung atau pukulan langsung

terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan atau cedera tidak langsung yaitu

pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, dan fraktur yang disebabkan

kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.12

Pada fraktur tertutup umumnya diakibatkan oleh mekanisme cedera dan

kekuatan energi yang tidak terlalu besar, tidak terdapat perlibatan benda tajam, dan

kronologis seperti terjatuh, terkilir, dan tertimpa benda berat yang terjadi pada

kecelakaan non-lalu lintas. Sementara fraktur terbuka diakibatkan oleh mekanisme

direct force dengan kekuatan high-energy dan keterlibatan benda tajam seperti badan

kendaraan yang lebih sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas.1


2.4 KLASIFIKASI FRAKTUR

Fraktur dapat diklasifikasikan atas beberapa kelompok berdasarkan lokasi

fraktur, komplit atau fraktur tidak komplit, fraktur terbuka atau fraktur tertutup

dan bentuk garis dari fraktur.

2.4.1 Jenis Fraktur

Berdasarkan parahnya integritas kulit, lokasi, bentuk patahan dan status

kelurusan fraktur dapat dibagi kepada fraktur tertutup, fraktur terbuka, fraktur

komplit dan fraktur tidak komplit. Fraktur tertutup (simple) adalah fraktur

yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit atau tidak menyebabkan robeknya

kulit sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan. Fraktur

terbuka (complete) ialah fraktur yang mempunyai hubungan dngan dunia luar melalui

luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk dari dalam dan berpotensial

untuk terjadi infeksi. Fraktur komplit (complete) adalah garis fraktur yang melibatkan

seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat

atau mengalami pergeseran atau perpindahan posisi tulang. Fraktur tidak komplit (

Incomplete) ialah fraktur yang hanya melibatkan sebagian potongan menyilang

tulang satu sisi patah yang lain biasanya hanya bengkok (green stick).13

2.4.2 Bentuk garis patah

Menurut Mansjoer bentuk garis patah dan hubungannya dengan

mekanisme trauma ada 5 yaitu fraktur transversal,fraktur oblik,fraktur

spiral,fraktur kompresi dan fraktur avulsi. Fraktur transversal adalah fraktur yang

arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau

langsung. Fraktur oblik adalah fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga. Fraktur

spiral adalah fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di sebabkan oleh

trauma rotasi. Fraktur kompresi adalah fraktur yang terjadi karena trauma aksial

fleksi yang mendorong tulang kearah permukaan lain. Fraktur avulsi adalah

fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya

pada tulang.14

Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustilo dan Anderson

yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera, derajat kerusakan

jaringan lunak, konfigurasi fraktur, dan derajat kontaminasi. Klasifikasi Gustilo

membagi fraktur terbuka menjadi tipe I, II, dan III.15

Tabel 1. Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo & Anderson5

Tipe Luka Fraktur Resiko infeksi


(%)

I Laserasi < 1cm kerusakan Sederhana, 0-2

jaringan tidak berarti dislokasi fragmen

relative bersih minimal

II Laserasi > 1cm, tidak ada Dislokasi fragmen 2-5

kerusakan jaringan yang jelas

hebat atau avulsi, ada

Kontaminasi

III Luka lebar >10cm dan rusak Kominutif, 5-50

hebat, atau hilangnya segmental, fragmen

jaringan disekitarnya, tulang ada yang

kontaminasi hebat Hilang

Gustilo juga membagi tipe III menjadi subtipe, yaitu tipe IIIA, IIIB, IIIC:

Tabel 2. Klasifikasi subtype fraktur terbuka tipe III menurut Gustilo &
16
Anderson

Tipe Batasan Resiko Resiko

infeksi (%) amputasi (%)

IIIA Periostenum masih membungkus fragmen 5-10 0

fraktur dengan kerusakan jaringn lunak yang luas


IIIB Kehilangan jaringn lunak yang luas, kontaminasi 10-50 16

berat, periostenal striping atau terjadi bone

Expose

IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan 25-50 42

repair tanpa melihat tingkat kerusakan jaringn

lunak

Keterangan :

 Tipe IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh

jaringan lunak, walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas

dan berat.

 Tipe IIIB terjadi pada fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringn

lunak, sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose, terdapat

pelepasan periosteum, fraktur kominutif. Biasanya disertai kontaminasi

masif dan merupakan trauma high energy tanpa memandang luas luka.

 Tipe III C terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan

agar kehidupan bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang

derajat kerusakan jaringan lunak.


2.5 Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas

untuk menahan. Apabila tekanan eksternal lebih besar dari yang diserap tulang, maka

terjadi trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas

tulang. Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung, trauma tidak langsung, atau

kondisi patologis. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah seta saraf

dalam korteks, marrow dan jaringan tulang yang membungkus tulang rusak.

Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di

rongga medulla tulang. Akibat hematoma yang terjadi dapat menghambat suplai

darah atau nutrisi ke jaringan tulang yang berdekatan, sehingga jaringan tulang

mengalami nektosis dan menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai


dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan infiltrasi sel darah putih. Tahap ini

menunjukan tahap awal penyembuhan tulang. Hematoma yang terjadi juga

menyebabkan dilatasi kapiler otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian

menstimulasi histamine pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma

hilang dan masuk ke interstisial, hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang

terbentuk akan menekan ujung saraf yang dapat menyebabkan nyeri yang bila

berlangsung lama bias menyebabkan sindroma kompartemen.

Fraktur yang hebat menyebabkan diskontinuitas tulang yang dapat merubah

jaringan sekitar seperti merusak integritas kulit atau terjadi laserasi kulit hal ini

menyebabkan fraktur terbuka. Fraktur juga menyebabkan terjadinya pergeseran

fragmen tulang yang dapat mempengaruhi mobilitas fisik sehingga terjadi gangguan

pergerakan dan gangguan perfusi jaringan jika terjadi penyumbatan pembuluh darah

oleh emboli lemak dan trombosit yang terjadi akibat reaksi stress dan memicu

pelepasan katekolamin yang disbabkan oleh peningkatan tekanan sumsum tulang

dibanding tekanan kapiler.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur yaitu faktor ekstrinsik, adanya

tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu,

dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur, dan faktor intrinsik, yang

menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur, seperti kapasitas absorbs dari

tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

2.6 Gejala Klinis

Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri disekitar

fraktur yang bertambah apabila digerakkan,memar, pembengkakan di tulang yang


patah. Tanda-tanda umum seperti ada tidaknya syok atau perdarahan, kerusakan yang

berhubungan dengan otak dan medulla spinalis. Tanda-tanda lokal dapat dilihat dari

penampilan, ada pembengkakan di daerah terjadinya fraktur, memar, mati rasa,

perubahan bentuk atau deformitas mungkin terlihat jelas, kulit utuh atau tidak utuh.

Terdapat nyeri tekan setempat dan dari gerakan, ada krepitasi dan gerakan menjadi

terbatas.17

2.7 Diagnosis

Diagnosa fraktur dapat ditegakkan dari anamnesis, yaitu dari tiga keluhan

utama seperti nyeri, deformitas dan disfungsi. Dari anamnesa, ditanyakan pada

penderita apakah ada riwayat trauma ataupun riwayat dengan penyakit berhubungan

tulang.17 Penderita dilakukan pemeriksaan fisik, Pemeriksaan generalisata meliputi

pemeriksaan ABC penderita, perhatikan apakah terdapat gangguan pada Airway,

Breathing, Circulation and Cervical Injury. Setelah melakukan pemeriksaan status

generalis lanjutkan dengan pemeriksaan status lokalis.

Pemeriksaan lokalis yang harus dilakukan adalah identisifikasi luka secara

jelas dan gangguan neurovaskular bagian distal dan lesi. Pulsasi arteri bagian distal

penderita hipotensi akan melemah dan dapat menghilang sehingga dapat terjadi

kesalahan penilaian vaskular. Apabila disertai trauma kepala dan tulang belakang

maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer dari distal lesi, serta perlu dilakukan

pemeriksaan kulit untuk kemungkinan terjadinya kontaminasi.18

Pemeriksaan lokal yang dilakukan, yaitu18:

1. Look (inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan deformitas, berupa penonjolan yang abnormal, angulasi,

rotasi, ataupun pemendekan, mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah

apakah kulit itu utuh atau tidak, kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan

dengan fraktur menunjukkan bahwa fraktur tersebut merupakan fraktur terbuka

(compound).

2. Feel (palpasi)

Palpasi dilakukan untuk memeriksa temperatur setempat, nyeri tekan, krepitasi,

pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri

dorsalis pedis, arteri tibialis posterior atau sesuai anggota gerak yang terkena, refilling

atau pengisisann arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma, serta

pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya

perbedaan panjang tungkai. Palpasi juga untuk memeriksa bagian distal dari fraktur

merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Trauma pembuluh darah adalah keadaan

darurat yang memerlukan pembedahan.

3. Movement (pergerakan)

Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih pnting untuk

menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal cedera.

Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif

sendi paroksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pemeriksaan

pergerakan harus dilakukan secara hati- hati karena pada penderita dengan fraktur

setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat dan kerusakan pada jaringan lunak

seperti pembuluh darah dan saraf.


Pemerikasaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya:

1. X-Ray

Dengan pemeriksaan klinis, biasanya sudah dapat mencurigai adanya fraktur.

Walaupun demikian, pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,

lokasi serta ekstensi fraktur dengan mengingat rule of twos19:

a. Two views, minimal dua jenis proyeksi (anteroposterior dan lateral) harus

diambil.

b. Two joints, sendi yang berada di atas dan di bawah dari fraktur harus

difoto.

c. Two limbs, x-ray pada sisi anggota gerak yang tidak cidera dibutuhkan

sebagai pembanding.

d. Two injuries, trauma keras biasanya menyeabkan cidera lebih dari satu

daerah tulang. Maka dari itu, pada fraktur calcaneum atau femur, penting

untuk memfoto x-ray pada pelvis dan vertebra.

e. Two occasions, beberapa fraktur sulit kelihatan pada hasil foto x-ray

pertama sehingga pemeriksaan ulang x-ray dalam satu atau dua minggu

kemudian dapat menunjukkan lesi yang ada.

2. Pemeriksaan khusus

CT scan dan MRI memperlihatkan hasil yang lebih optimal pada cidera tulang

dan jaringan lunak, namun keduanya sering tidak diperlukan dalam

manejemen awal dari fraktur terbuka.(1) CT scan melihat lebih detail bagian

tulang sendi dengan membuat irisan foto lapis demi lapis. MRI digunakan

untuk mengidentifikasi cidera pada tendon, ligament, otot, tulang rawan, dan
tulang.

3. Pada pemeriksaan laboratorium hitung darah lengkap, hematokrit meningkat

kerana hemokonsentrasi atau menurun kerana perdarahan bermakna pada

fraktur. Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon dari stress setelah

trauma. Pemeriksaan laboratorium untuk kreatinin dapat dilakukan karena

pada trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens.18

2.8 Tatalaksana

Pasien dengan fraktur terbuka kemungkinan besar memiliki cidera multipel,

maka dari itu perlu dilakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan prinsip

penanganan trauma yaitu penilaian awal (primary survey) yang bertujuan untuk

menilai dan memberikan pengobatan sesuai dengan proritas berdasarkan trauma yang

dialami.14 Penanganan pasien terdiri dari evaluasi awal segera serta resusitasi fungsi

vital, penanganan trauma, dan identifikasi keadaan yang mengancam jiwa.

 A: Airway, penilaian terhadap patensi jalan napas. Jika terdapat obstruksi

jalan napas, maka harus segera dibebaskan. Apabila dicurigai terdapat

kelainan pada vertebra servikalis maka dilakukan pemasangan collar neck.

 B: Breathing, perlu diperhatikan dan dilihat secara menyeluruh daerah toraks

untuk menilai ventilasi pasien. Jalan napas yang bebas tidak menjadikan

pasien memiliki ventilasi yang adekuat. Jika terdapat gangguan

kardiovaskuler, respirasi atau gangguan neurologis, harus dilakukan bantuan

ventilasi menggunakan alat pernapasan berupa bag-valve-mask yang

disambung pada reservoir dan dialirkan oksigen.


 C: Circulation, kontrol perdarahan meliputi dua hal, yaitu (1) volume darah

dan output jantung; (2) perdarahan, baik dari luar maupun dalam, dengan

perdarahan luar yang harus diatasi dengan balut tekan.

 D: Disability, evaluasi neurologis secara cepat setelah satu survey awal

dengan menilai tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale, besar

dan reaksi pupil, serta refleks cahaya.

 E: Exposure, untuk melakukan pemeriksaan secara teliti dan menyeluruh

maka pakaian pasien perlu dilepas, selain itu perlu dicegah terjadinya

hipotermi.

Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif terhadap kasus

fraktur, terdapat prinsip pengobatan 4R20 pada waktu menangani fraktur, yakni

sebagai berikut:

1. Rekognisi, menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadinnya

kecelakaan dan kemudian di rumah sakit. Riwayat kecelakaan, derajat

keparahannya, jenis kekuatan yang berperan, dan deskripsi tentang

peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri menentukan apakah ada

kemungkinan fraktur, dan apakah diperlukan permeriksaan spesifik untuk

mencari adanya fraktur. Perkiraan diagnosis fraktur pada tempat kejadian

dapat dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri dan bengkak lokal,

kelainan bentuk, dan ketidakstabilan.

2. Reduksi, adalah reposisi fragmen-fragmen fraktur sedekat mungkin

dengan letak normalnya. Biasanya reduksi fraktur dilakukan sesegera


mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat

infiltrasi karena edema dan perdarahan sebelum reduksi dan imobilisasi

fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalankan prosedur. Harus

diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetik diberikan untuk

mengurangi nyeri selama tindakan. Lebih baik mengerahkan semua tenaga

pada percobaan pertama yang biasanya dengan cepat akan mencapai

reduksi yang memuaskan daripada melakukannya dengan perlahan-lahan

tetapi merusak lebih banyak jaringan kulit.

3. Retensi, menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk

mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan. Setelah

fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan

dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi

dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Sebagai aturan

umum, maka fiksasi eksterna yang dipasang untuk mempertahankan

reduksi harus melewati sendi di atas fraktur dan di bawah fraktur.

4. Rehabilitasi, direncanakan segera dan dilaksanakan bersamaan dengan

pengobatan fraktur untuk mengembalikan kekuatan otot, pergerakan sendi,

dan melatih pasien agar dapat kembali menjalankan aktivitas normal

dalam kesehariannya.

Ketika fraktur terbuka siap untuk ditangani, luka pertama kali diinspeksi secara

menyeluruh, apabila terdapat perdarahan eksternal segera di stop dan jika

terkontaminasi maka segera dibersihkan. Kemudian, luka difoto untuk dokumentasi

cidera yang baru terjadi, lalu luka ditutup dengan dressing yang dibasahi dengan
normal saline. Pasien diberikan antibiotik yang biasanya co-amoxiclav atau

cefuroxime, tapi clindamycin dipakai jika pasien alergi terhadap penicillin. Juga

diberikan profilaksis tetanus toxoid jika sebelumnya telah diimunisasi atau antiserum

jika belum diimunisasi. Bagian yang cidera lalu dibidai sampai pembedahan siap

dilakukan. Sirkulasi dan status neurologis bagian distal dari fraktur harus dicek secara

berkala, terutama setelah maneuver reduksi fraktur telah dilakukan.19

Tatalaksana ditentukan dari tipe fraktur, karakteristik dari kerusakan jaringan

lunak (termasuk ukuran luka) dan derajat kontaminasi. Biasanya banyak digunakan

klasifikasi fraktur terbuka dari Gustilo. Semua fraktur terbuka, sesimpel apapun

kelihatannya harus dianggap telah terkontaminasi. Penting bagi kita untuk mencegah

fraktur tersebut mengalami infeksi, berikut merupakan tahapan tindakan operatif

untuk fraktur terbuka.19

1. Debridement

Tujuan debridement adalah menjadikan luka bersih dari benda asing dan jaringan

mati, menyisakan daerah untuk operasi yang bersih serta jaringan yang memiliki

perdarahan yang baik. Dressing yang sebelumnya digantikan dengan sterile pad dan

kulit di sekelilingnya dibersihkan. kemudian pad dilepaskan dan luka diirigasi dengan

normal saline. Luka kemudian ditutup lagi dan operasi disiapkan.19, 21

Penanganan fraktur terbuka terdiri dari eksisi pinggir luka seperlunya

sehingga meninggalkan pinggiran jaringan sehat. Kemudian pembersihan luka secara

teliti membutuhkan eksposur luka yang adekuat, eksposur luka dapat dilakukan

melalui ekstensi luka dengan cara yang aman yakni mengikuti garis pada insisi

fasciotomy untuk menghindari kerusakan pada cabang pembuluh darah yang


menyuplai darah pada area kulit yang bisa digunakan sebagai flap untuk menutup

fraktur yang terekspos.19, 21

Lalu, penilaian permukaan fraktur tidak dapat dilakukan dengan adekuat tanpa

mengekstraksi tulang di dalam luka. Cara yang paling sederhana adalah dengan

menekuk eksremitas pada posisi dimana bagian tersebut menerima benturan saat

cidera terjadi sehingga permukaan fraktur akan terekspos melalui luka tanpa

kerusakan tambahan pada jaringan lunak.19

Selanjutnya, dilakukan pembersihan jaringan mati karena sisa jaringan mati

bertindak sebagai medium terhadap perkembangbiakan bakteri. Semua benda asing

dan debris dibersihkan dengan eksisi atau dicuci dengan menggunakan normal saline.

Jangan menginjeksikan cairan ke dalam celah luka kecil untuk membersihkan luka

karena ini hanya akan membuat kontaminan semakin terdorong ke dalam. Sekitar 6 -

12 L saline diperlukan untuk mengirigasi dan membersihkan fraktur terbuka pada


19
tulang panjang.

2. Penanganan fraktur

Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna

tulang. Stabilisasi fraktur penting dalam mengurangi terjadinya infeksi,

meminimalisir trauma yang berlangsung, dan membantu penyembuhan jaringan

lunak. Metode fiksasi bergantung pada derajat kontaminasi, lama waktu cidera terjadi

sampai operasi dilakukan dan jumlah dari kerusakan jaringan lunak. Jika tidak ada

kontaminasi yang tampak dan penutupan luka definitive dapat dilakukan saat

debridement, fraktur terbuka dalam semua grade dapat ditatalaksana seperti cidera
tertutup, dimana fiksasi internal atau eksternal dapat dilakukan tergantung dari

karakteristik individual dari fraktur dan luka. Jika penutupan luka terlambat

dilakukan, maka fiksasi eksternal lebih aman.19, 21

Fiksasi eksternal dapat diganti dengan fiksasi internal pada saat penutupan

luka definitive jika (1) penundaan penutupan luka kurang dari 7 hari; (2) kontaminasi

pada luka tidak tampak dan; (3) fiksasi internal dapat mengontrol fraktur sebaik

fiksator eksternal.19

Fiksasi internal, yakni dengan cara fragmen-fragmen tulang direposisi ke

posisi normal kemudian fiksasi dengan skrup khusus atau dengan menggunakan pelat

logam ke permukaan luar tulang. Indikasinya adalah (1) fraktur yang tidak bisa

direduksi kecuali dengan operasi; (2) fraktur yang tidak stabil dan cenderung untuk

mengalami re-displace setelah reduksi dilakukan; (3) fraktur yang penyatuannya

lambat dan sulit, contohnya fraktur kolumn femur; (4) fraktur patologis dimana

penyakit tulang menghambat penyembuhan.19

Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini digunakan

untuk menahan tulang agar tetap berada dalam satu garis lurus, dengan menggunakan

kawat atau skrup yang ditempatkan di atas dan di bawah tempat fraktur. Kemudian

fragmen tulang direposisi. Pin atau skrup dihubungkan ke sebuah lempengan logam

di luar kulit. Perangkat ini merupakan suatu kerangka stabilisasi yang menyangga

tulang dalam posisi yang tepat. Indikasinya adalah untuk penanganan fraktur yang

berkaitan dengan kerusakan jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka) atau

dengan kontaminasi yang berat; (2) fraktur disekitar sendi dimana fiksasi internal

dapat dilakukan namun jaringan lunaknya terlalu bengkak untuk bisa dilakukan
pembedahan secara aman, sehingga pemasangan fiksator eksternal memberikan

stabilitas sampai kondisi lunak membaik; (3) fraktur pada pasien tidak stabil yang

tidak bisa mentolerir kehilangan darah.19,21

3. Penutupan luka

Fraktur terbuka harus diobati dalam waktu periode emasnya (6-8 jam mulai dari

terjadinya kecelakaan). Dapat dilakukan split thickness skin-graft atau local-distant

flap(1,3) serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum

pada luka yang dalam. Pada luka yang lebih berat atau Gustilo grade yang lebih lanjut

(III), dilakukan stabilisasi fraktur segera dan penutupan luka.

Gambar 3. Penutup luka yang terbaik adalah kulit atau otot

4. Pemberian antibiotik profilaksis

Pada kebanyakan kasus, co-amoxiclav (1,2g / 8jam) atau cefuroxime(1,5g / 8jam)

(atau clindamycin (600mg / 6 jam) jika terdapat alergi penisilin) diberikan

secepatnya. Pada saat dilakukan debridement, gentamicin (1,5 mg/kgBB)

ditambahkan ke dosis kedua dari antibiotik pertama. Kedua antibiotik memberikan

profilaksis melawaan bakteri Gram positif dan Gram negative yang telah memasuki
luka saat cidera terjadi. Selanjutnya, hanya co-amoxiclav atau cefuroxime (atau

clindamycin) yang terus diberikan.19, 22

Karena luka grade I Gustilo bisa ditutup saat debridement, profilaksis

antibiotik tidak perlu diberikan lebih dari 24 jam. Pada fraktur grade II dan IIIA-C

biasanya terdapat penundaan penutupan luka, dan karena luka yang ada sekarang

telah berada pada lingkungan rumah sakit, ada data yang menyebutkan bahwa infeksi

pada fraktur terbuka banyak disebabkan oleh hospital-acquired bacteria dan tidak

tumbuh saat cidera terjadi, gentamicin dan vancomycin (1g) (atau teicoplanin

(800mg)) diberikan saat penutupan luka definitif. Total waktu penggunaan antibiotic

untuk fraktur-fraktur ini tidak boleh lebih dari 72 jam.22

Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus.

Tetanus disebabkan oleh infeksi dari Clostridium tetani yang merupakan bakteri

anaerob yang menghasilkan toksin yang dapat menjurus pada terjadinya spasme otot

yang mengancam jiwa. Pemberian vaksin tetanus pada kasus luka traumatik (1)

melakukan irigasi dan debridement sesuai indikasi (2) memperoleh riwayat imunisasi

pasien (3) pemberian tetanus toxoid jika booster terakhir diberikan lebih dari 10 tahun

atau jika riwayat vaksinasi tidak ada/jelas (4) memberikan imunoglobulin tetanus

pada pasien dengan imunisasi primer inkomplit.

5. Aftercare

Di ruang perawatan setelah operasi selesai dilakukan, ekstremitas ditinggikan dan

sirkulasi darah diobservasi.(1) Pemberian antibiotik dapat diteruskan namun

maksimal pemberiannya hanya sampai 72 jam pada tipe fraktur yang lebih berat.22
6. Amputasi

Indikasi absolut dilakukannya amputasi adalah gangguan anatomis komplit dari saraf

tibialis dan iskemia yang lebih dari 6 jam. Indikasi relatifnya adalah polytrauma

serius, trauma kaki ipsilateral berat, penanganan yang berlarut-larut untuk bisa terjadi

penutupan jaringan lunak dan rekonstruksi tulang. Jika terdapat satu indikasi absolut

atau dua dari tiga indikasi relative maka amputasi diindikasikan untuk dilakukan.16

Mangled Extremity Severity Score (MESS) merupakan sebuah sistem klasifikasi

yang banyak digunakan sebagai pertimbangan dilakukannya amputasi. Dimana skor 7

atau lebih mengarah pada kebutuhan untuk pelaksanaan amputasi.22

Gambar 10. Tabel MESS


2.9 Komplikasi

a. Umum

Syok, koagulopati difus atau gangguan fungsi pernapasan yang dapat terjadi dalam 24

jam pertama setelah trauma dan setelah beberapa hari kemudian dapat terjadi

gangguan metabolisme berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum yang lain

dapat berupa emboli lemak, thrombosis vena dalam, infeksi tetanus atau gas

gangrene.19

b. Komplikasi lokal dini (early complication)

Yakni komplikasi yang terjadi dalam 1 minggu pertama pasca trauma, komplikasi

pada waktu ini dapat mengenai tulang, otot, jaringan lunak, sendi, pembuluh darah,

saraf, organ viseral maupun timbulnya sindrom kompartemen atau nekrosis

avaskuler.19

c. Komplikasi lokal lanjut (late complication)

Yakni komplikasi yang terjadi lebih dari 1 minggu pasca trauma. Dapat berupa

komplikasi pada tulang, osteomyelitis kronis, kekakuan sendi, degenerasi sendi,

maupun nekrosis pasca trauma. Dalam penyembuhan fraktur dapat juga terjadi

komplikasi berupa infeksi, nonunion, delayed union, dan malunion.19

2.10 Prognosis

Semua fraktur terbuka merupakan kasus kegawatdaruratan. Dengan

terbukanya barier jaringan lunak, maka fraktur tersebut terancam mengalami proses

infeksi. Selama 6 jam sejak fraktur terjadi, luka masih dalam periode emas

penyembuhannya, dan setelah periode tersebut luka berubah menjadi luka infeksi.
Oleh karenanya, penanganan fraktur terbuka harus dilakukan sebelum periode emas

terlampaui agar sasaran penanganannya tercapai.


BAB III

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. B
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 54 Tahun
Alamat : Seberang Padang
Pekerjaan : Guru
Status Pernikahan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang

2. Anamnesis

Seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun rujukan dari Puskesmas Seberang


Padang datang ke UGD RSUP M.Djamil dengan:

Keluhan Utama

Pasien mengeluhkan nyeri pada kaki kanan setelah ditabrak mobil 2 jam
sebelum masuk rumah sakit.

Primary Survey

Airway : Bebas
Breathing : Frekuensi napas 20x/menit, tidak terpasang oksigen
Circulation : TD 118/80 mmHg, Nadi teraba, kuat angkat, frekuensi nadi
80x/menit
Disability : Pasien GCS 13 (E3M6V4), pupil isokor 3mm/3mm, refleks
cahaya +/+
Secondary Survey

Allergy : tidak terdapat riwayat alergi


Medication : riwayat penggunaan obat-obatan tidak ada
Past illness : riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-)
Last Meal : tidak diketahui
Event/Environment : lokasi jatuh di aspal jalan komplek rumah

Riwayat Penyakit Sekarang

 Pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan setelah ditabrak mobil saat pulang
dari mesjid 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Mekanisme trauma tidak
diketahui pasti.
 Riwayat penurunan kesadaran ada. Riwayat muntah ada. Sampai di rumah
sakit pasien gelisah dan bicara tidak jelas. Alis berkabut ada.
 Keluar darah dari telinga, hidung dan mulut tidak ada.
 Sebelumnya pasien dibawa ke puskesmas dipasang infus dan dipasang spalk
di kaki.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Hipertensi (-)
 Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat perdarahan sukar membeku (-)
 Riwayat konsumsi obat jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

 Hipertensi (-)
 Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat perdarahan sukar membeku (-)
 Riwayat konsumsi obat jantung (-)

3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik umum

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : GCS 13 (E3M6V4)

Vital Sign

Tekanan darah : 118/80 mmHg


Nadi : 80x/menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36,7oC
Nyeri : VAS 6
Status Generalisata

Kepala : Hematom (+) di temporo parietal dextra


Mata : Kunjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor
3mm/3mm, refleks cahaya +/+
Telinga : Keluar cairan (-), sekret (-), darah (-)
Hidung : Keluar cairan (-), sekret (-), darah (-)
Gigi dan mulut : Tidak ditemukan kelainan

Kulit : Turgor kulit baik


Leher : Tidak ditemukan kelainan
Thoraks :

- Paru
Inspeksi : Simetris kanan = kiri, jejas (-)
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari LMCS sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ 1 dan 2 normal, irama regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), jejas (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Palpasi : Muscle rigid (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Timpani
Status Lokalis (Regio Cruris Dextra)
Look : Luka terbuka (+) di sisi anteromedial 1/3 distal cruris dextra,
bone exposed (+), tendon exposed (+), deformity (+) angulasi dan eksternal rotasi
Feel : Tenderness (+) di area 1/3 distal, CRT < 2”, SpO2 98%,
sensorik (+)
Move : motorik
555 555
555 555

Foto Klinis
4. Pemeriksaan Penunjang

Foto Rontgen Cruris Dextra (AP/Lateral)

5. Diagnosis

 Open Fracture Right Tibia Grade IIIB


 Open Fracture Right Fibula Grade IIIB
6. Rencana Terapi

 Analgetik
 Antibiotik
 Antitetanus
 Debridement
 External Fixation Tibia
7. Prognosis

- Quo ad vitam : dubia ad bonam


- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun datang dengan keluhan nyeri pada

kaki kanan setelah ditabrak mobil 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Pada saat

pasien datang ke IGD langsung dilakukan primary survey. Hal ini untuk mengatasi

kegawatdaruratan yang ada pada pasien dan menstabilkan kondisi pasien. Pada

primary survey tindakan dilakukan berdasarkan panduan dari ATLS. Pada airway

tidak didapatkan adanya gangguan pada jalan nafas pasien. Apabila pasien disertai

cedera kepala sering terjadi penurunan kesadaran dan memerlukan intervensi pada

jalan nafas seperti pemasangan intubasi dan ventilator mekanik.2 Pada pemeriksaan

breathing didapatkan pasien bernafas spontan, dengan frekuensi nafas 20 menit dan

tidak diberikan oksigen, tidak ditemukan adanya gangguan pada pernafasan pasien.

Pada pemeriksaan circulation didapatkan nadi teraba kuat angkat, teratur, dengan

frekuensi nadi 80x/menit dan tekanan darah 118/80 mmHg. Pada pasien trauma

biasanya sering terjadi gangguan pada sirkulasi dikarenakan trauma bisa

menyebabkan perdarahan, cedera vaskular, dan syok sehingga perlu dilakukan

penilaian sirkulasi yang baik. Pada pemeriksaan disability didapatkan GCS 13

(E3M6V4) yang mengindikasikan adanya penurunan kesadaran.1 Dalam keadaan

normal, nilai GCS seseorang yaitu 15 dan mengindikasikan bahwa orang tersebut

berada dalam kesadaran penuh komposmentis. Pada pasien ini didapatkan pasien

hanya membuka mata apabila dipanggil, dan pasien mengeluarkan suara tapi dengan

tatabahasa yang kacau. GCS digunakan untuk menilai level kesadaran seseorang dan
harus selalu dilakukan pada pasien dengan trauma yang disertai cedera kepala. Nilai

tertinggi untuk penilaian ini adalah 15 (komposmentis) dan nilai terendah yaitu 3

(koma). pada pasien didapatkan pupil isokor dengan refleks cahaya positif pada

kedua mata yang mengindikasikan belum terdapat defisit neurologi pada pasien.1

Secondary survey juga dilakukan dengan panduan dari ATLS, yaitu AMPLE.

Pada pasien ini riwayat alergi disangkal, riwayat penggunaan obat-obatan disangkal,

tidak ada riwayat penyakit sebelumnya, makanan yang dikonsumsi pasien

sebelumnya tidak diketahui, dan lingkungan terakhir pasien yaitu pasien terjatuh di

jalan raya. Pasien awalnya sedang pulang dari mesjid, lalu pasien ditabrak oleh mobil

dari belakang dan terjatuh, tidak diketahui mekanisme cedera pada pasien karena

tidak ada saksi mata saat di rumah sakit. Pada saat kejadian pasien tidak sadar, ada

muntah dan tidak ada kejang pada pasien, yang apabila ada mungkin menunjukkan

adanya kelainan pada intrakranial pasien. Pada pasien juga tidak ditemukan adanya

cairan yang keluar dari hidung, telinga, mulut yang mengindikasikan adanya

fraktur dari basis cranii. Sebelumnya pasien telah dibawa ke Puskesmas dan dipasang

infus dan spalk di kaki. Pada pasien didapatkan adanya trauma di kaki kanan, tidak

ada riwayat penyakit dahulu maupun riwayat penyakit keluarga.

Pada pemeriksaan fisik, dari pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan

umum pasien sakit sedang dengan tanda vital normal. Dari pemeriksaan fisik

generalisata didapatkan adanya hematom di regio temporoparietal dekstra dan tidak

didapatkan adanya kelainan pada mata, telinga, hidung, leher, thoraks, abdomen, dan

ekstremitas. Pada status lokalis didapatkan adanya luka terbuka di sisi anteromedial
1/3 distal cruris dekstra dan ditemukan adanya bone exposed, tendon exposed,

deformitas, angulasi dan eksternal rotasi pada inspeksi. Pada palpasi ditemukan

adanya tenderness di area 1/3 distal, CRT < 2 detik, saturasi oksigen 98%, sensorik

jari-jari kaki (+), pada movement ditemukan gerak aktif dan pasif terbatas.

Dari anamnesis dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami trauma langsung

di kaki kanan yang menyebabkan terjadinya fraktur pada kaki kanan dan etiologinya

akibat high energy trauma atau trauma karena energi yang tinggi. Cedera terjadi

akibat gaya angulasi yang hebat yang menyebabkan garis fraktur transversal atau

oblik, kadang-kadang dengan fragmen komunitif. Tenaga rotasi dapat juga terjadi

pada olah ragawan seperti pemain bola. Jenis kecelakaan yang menyebabkan

terjadinya fraktur jenis ini antara lain adalah trauma kecelakaan bermotor (kecelakaan

sepeda motor, kecelakaan mobil, pesawat jatuh, dsb), olahraga yang berkaitan dengan

kecepatan (sepeda balap, naik gunung, jatuh dari tempat tinggi).11 Pada pasien ini

didapatkan etiologi fraktur tibia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Fraktur pada

shaft (batang) tibia sering disebut fraktur kruris merupakan fraktur yang sering terjadi

dibandingkan dengan fraktur pada tulang panjang lainnya. Periosteum yang melapisi

tibia agak tipis terutama path daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang

ini mudah patah dan biasanya fragmen frakturnya bergeser karena berada langsung

dibawah kulit sehingga sering juga ditemukan fraktur terbuka.12 Nyeri pada pasien ini

terjadi karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat karena

penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.15 Pada pasien ditemukan

luka terbuka di sisi anteromedial 1/3 distal cruris dekstra dan ditemukan adanya bone

exposed, tendon exposed, deformitas, angulasi dan eksternal rotasi yang artinya
merupakan fraktur terbuka.7 Pada pemeriksaan rontgen cruris dextra, tampak fraktir

pada 1/3 distal cruris dextra.

Pada pemeriksaan rontgen cruris dextra, tampak diskontinuitas tulang pada

1/3 distal tibia dan fibula dextra. Dari hasil keseluruhan pemeriksaan, pasien

didiagnosis open fracture tibia dextra grade IIIB, open fracture fibula dextra grade

IIIB, dan tendon rupture dikarenakan pada grade IIIB telah terdapat fragmen fraktur

tidak dibungkus oleh jaringan lunak, sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose,

terdapat pelepasan periosteum, fraktur kominutif. Ruptur tendon dapat dilihat pada

tendon exposed.

Prinsip tatalaksana pada trauma adalah live saving dan limb saving. Live

saving merupakan prioritas utama dimana kita melakukan primary survey berupa A,

B, C, D, E: Airway and C-spine control, Breathing and ventilation, Circulation with

hemmorage control, Disability dan Environment. Setelah live saving sudah aman,

lakukan limb saving berupa penanganan nyeri, mengembalikan fungsi, tindakan non

operatif atau operatif.6

Prinsip penanganan fraktur disebut dengan 4R, terdiri atas Recognizing yaitu

mendiagnosis trauma, Reduction yaitu mengembalikan posisi fraktur ke posisi

sebelum fraktur (reposisi), Retaining yaitu mempertahankan hasil reposisi sampai

tulang menyambung (immobilisasi), Rehabilitation yaitu mengembalikan fungsi

organ fraktur kembali normal.8

Pada pasien dilakukan pemasangan spalk sebelumnya dengan tujuan untuk

meluruskan ekstremitas yang cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah

gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. Pemasangan spalk secara benar akan
membantu menghentikan perdarahan, mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan

jaringan lunak lebih lanjut. Tatalaksana yang diberikan berupa infus NaCl 0,9%

sebagai terapi cairan pada pasien. Selanjutnya pasien juga diberikan anti nyeri yaitu

paracetamol. Nyeri pada pasien ini disebabkan karena kerusakan jaringan yang

mengakibatkan sel melepaskan zat yang bernama arachidonic acid sebagai bahan

penghasil prostaglandin. Namun, prostaglandin juga memiliki fungsi lain sebagai

pelindung lambung dan berperan dalam respon inflamasi. Akibatnya, pemberian

paracetamol ini dapat menyebabkan iritasi pada lambung, ulserasi, dan perdarahan

akibat efek samping obat. Oleh karena itu, diberikanlah ranitidin sebagai obat untuk

melindungi lambung dari efek yang akan ditimbulkan oleh ketorolac16. Pasien

diberikan antitetanus intramuskular sebagai profilaks. Selain itu, pasien juga

diberikan ceftriaxone 2x1 gram sebagai antibiotik.

Pada pasien dilakukan debridement dan external fixation tibia. Debridement

bertujuan untuk menjadikan luka bersih dari benda asing dan jaringan mati,

menyisakan daerah untuk operasi yang bersih serta jaringan yang memiliki

perdarahan yang baik. Fiksasi external diindikasikan pada fraktur terbuka dengan

kerusakan jaringan lunak yang berat serta terdapat kontaminasi yang berat.19
BAB V
KESIMPULAN

Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan


penanganan yang terstandar dan segera untuk mengurangi resiko infeksi, dimana
terdapat hubungan fragmen fraktur dengan lingkungan luar. Kejadian fraktur terbuka
lebih sering terjadi di karenakan energi yang tinggi dari trauma. Berdasarkan
klasifikasinya, fraktur terbuka dikelompokkan menjadi tiga yaitu Grade I, Grade II
dan Grade III dimana Grade III di bagi lagi menjadi Grade IIIA, Grade IIIB, dan Grade
III C.
Diagnosa pada fraktur terbuka dapat ditegakkan dari anamnesis, yaitu dari
tiga keluhan utama seperti nyeri, deformitas dan disfungsi. Umumnya penanganan
awal kondisi fraktur terbuka itu sendiri harus di tangani sebagai keadaan emergensi
kemudian di lanjutkan dengan melakukan evaluasi awal untuk mendiagnosis cidera
lainnya serta di lakukan debridasi dan irigrasi luka secara adekuat, setelah
melakukan tahap-tahapan itu barulah di lakukan operasi. Berbagai komplikasi pun
biasanya muncul setelah beberapa hari hingga beberapa bulan setelah operasi,
komplikasi sendiri di bagi menjadi dua menurut waktu yaitu early complication dan
late complication. Early complication muncul sebagai bagian dari cedera primer atau
timbul hanya setelah beberapa hari atau minggu, sedangkan late complication
merupakan komplikasi yang timbul dalam waktu lama.
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley AG, Solomon Luis. Apley‟s System of Orthopaedics and


fracture.7thEdition. Jakarta: Widya Medika.
2. Bailey and Love‟s short practice of surgery 26th edition. 2013.
3. Sloane E. Sistem Rangka. Veldman J editor. Anatomi dan Fisiologi untuk
Pemula. Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2003.
4. Norvell J G, Kulkarni R. Tibial and Fibular Fracture. Diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/826304-overview .
5. Gustilo RB, Anderson JT. Prevention of infection in the treatment of one
thousand and twenty-five open fractures of long bones; retrospective and
prospective analyses. J Bone Joint Surg Am 1976;58:453-8.
6. Sjamsuhidayat, de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH EDISI 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG. 2011. p959-1083
7. Corwin EJ. Kontrol Terintegrasi dan Disfungsi. Subekti EB editor. Buku Saku
Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC. 2009.
8. Cameron JR, Skofronick JG, Grant RM. Fisika Tulang : Komposisi Tulang.
Chairunnisa editor. Fisikia Tubuh Manusia. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2006.
9. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi: Struktur dan Fungsi Tulang. 3rd ed.
Jakarta: Yarsif. 2008; 317-478
10. Jonathan C. Open Fracture. Orthopedics (Update 2012 May, 27). Available from
http://orthopedics.about.com/cs/brokenbones/g/openfracture.htm.
11. Court-Brown CM, Brewster N (1996) Epidemiology of Open Fracture. Court-
Brown CM, McQueen MM, Quaba AA (eds), Management of Open
Fractures. London: Martin Dunitz, 25-35.
12. López-Arquillos A, Rubio-Romero JC. Analysis of workplace accidents in
automotive repair workshops in Spain. Saf Health Work. 2016 Sep;7(3):231–6
13. Price, Sylvia A, dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta:EGC
14. Reeves CJ, Roux G and Lockhart R, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, Buku I,
(Penerjemah Joko Setyono), Jakarta : Salemba Medika
15. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
(Ed.8). Jakarta: EGC.
16. Sloane E. Sistem Rangka. Veldman J editor. Anatomi dan Fisiologi untuk
Pemula. Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2003.
17. Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius.

18. Chapman MW. Open fractures in Chapman’s orthopaedic surgery. 3rd ed.
Lippincott Williams & Wilkins;2001
19. Nayagam S. Principles of fractures. In: Warwick D and Nayagam S (eds) Apley’s
System of Orthopaedics and Fractures, 9th edition. London: Hodder Arnold; 2010.
p. 687-732.
20. Carter, A. Michael. Fraktur dan Dislokasi. Dalam: Price and Wilson, Patofisiologi
Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC; 2006. p. 1187-91.
21. Marshall ST, Browner BD. Emergency Care of Musculoskeletal Injuries. In:
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers B, Mattox K (eds) Sabiston textbook of
surgery : the biological basis of modern surgical practice, 19th ed. Canada:
Elsevier Sauders; 2012. p. 482-504.
22. Nanchahal J, Nayagam S, Khan U, Moran C, Barrett S, Sanderson F, et al.
Standards for the Management of Open Fractures of the Lower Limb. British
Orthopaedic Association and British Association of Plastic, Reconstructive and
Aesthetic Surgeons, 2009.

Anda mungkin juga menyukai