Anda di halaman 1dari 39

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KASUS FRAKTUR RADIUS ULNA

DOSEN PEMBIMBING:
Ns. ESTER INUNG SYLVIA, M.Kep.,Sp.MB

OLEH :

SUTRIAN

NIM : PO 62.20.1.19.434

POLTEKKES PALANGKARAYA
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2022/2023

1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian. Fraktur dikenal dengan patah tulang.
Biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga,
keadaan tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila
seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan
seluruh ketebalan tulang. Pada beberapa keadaan trauma muskuloskletal,
sering fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan. Dislokasi atau luksasio adalah
kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi secara
lengkap.
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2016 terdapat lebih
dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2
juta orang mengalami kecatatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari
insiden kecelakaan yang terjadi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun
2017 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara
lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/tumpul.
Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775
orang(3.8%) dan 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami
fraktur sebanyak 1.770 orang (8.5%) dari 14.127 trauma benda tajam
tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%).
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah
dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi
fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi. Penanganan tersebut
dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya
oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan
dan infeksi.
Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan
keperawatan langsung kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai
pendidik memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi,
serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan
keperawatan kepada klien fraktur melalui metode ilmiah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka penulis
mengambil rumusan masalah bagaimana cara memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Fraktur Radius Ulna.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan umum
Agar penulis mampu berpikir secara logis dan ilmiah dalam
memberikan asuhan keperawatan pada Fraktur Radius Ulna dengan
menggunakan pendekatan manajemen keperawatan secara benar, tepat dan
sesuai dengan standart keperawatan secara professional
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian pada pasien dengan Menganalisa kasus dan
merumuskan masalah keperawatan pada pasien dengan Fraktur Radius
Ulna.
2. Menganalisa Kasus dan merumuskan masalah keperawatan pada
pasien Fraktur Radius Ulna.
3. Menyusun asuhan keperawatan yang mencakup intervensi pada pasien
dengan Fraktur Radius Ulna.
4. Melakukan implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan pada
pasien dengan Fraktur Radius Ulna.
5. Mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan yang diberikan kepada
pasien dengan Fraktur Radius Ulna.
1.4 Manfaat Penulisan
Agar dapat menambah wawasan serta pengetahuan bagi para pembaca
tentang Fraktur Radius Ulna.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Keperawatan Gawat Darurat


Keperawatan gawat darurat (Emergency Nursing) merupakan pelayanan
keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau
sakit yang mengancam kehidupan. Sebagai seorang spesialis, perawat gawat darurat
menghubungkan pengetahuan dan keterampilan untuk menangani respon
pasien pada resusitasi, syok, trauma, ketidakstabilan multisistem, keracunan dan
kegawatan yang mengancam jiwa lainnya.
Keperawatan gawat darurat adalah pelayanan profesional keperawatan yang
di berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik
kedaruratan sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Kemudian filosofi
tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di
alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan (Yulis,
2011).

2.2 Konsep Penyakit


2.2.1 Definisi
Fraktur atau sering disebut patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dan atau tulang rawan yang penyebabnya dapat dikarenakan
penyakit pengeroposan tulang diantaranya penyakit yang sering disebut
osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa. Dan dapat juga disebabkan
karena kecelakaan yang tidak terduga.
Fraktur merupakan kontinuitas tulang atau kesatuan struktur tulang
terputus yang dapat merupakan retak, remah, atau bagian korteks pecah.
Fraktur Radius Ulna adalah terjadinya trauma, akibat pukulan langsung jatuh
dengan tangan dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras.
Jadi, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, yang dapat disebabkan
oleh trauma maupun penyakit atau patologis.
6

2.2.2 Anatomi Fisiologi


Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk
pada tubuh. Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan
melindungi organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Tulang
membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang juga
merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fosfat.
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan
tempat untuk melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tulang
juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan
fhosfat. Tulang rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah
jaringan hidup yang akan suplai syaraf dan darah. Tulang banyak mengandung
bahan kristalin anorganik (terutama garam- garam kalsium ) yang membuat
tulang keras dan kaku., tetapi sepertiga dari bahan tersebut adalah fibrosa yang
membuatnya kuat dan elastis.

1) Tulang mengupil atau radius adalah tulang lengan bawah yang


menyambungkan bagian siku dengan tangan di sisi ibu jari. Tulang
pengupil terletak di sisi lateral tulang hasta (ulna). Agar lebih jelas berikut
gambar anatomis os radius dan ulna :
7

2.2.3 Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan
suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan.
Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan
hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa
memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang
tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang
terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap
(Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat
dibedakan menjadi:
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan
8

2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus

2.2.4 Klasifikasi
1) Fraktur Tertutup (Simple Fracture). Fraktur tertutup adalah fraktur yang
fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan / tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar
2) Fraktur Terbuka (Compound Fracture). Fraktur terbuka adalah fraktur yang
mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam), atau from without
(dari luar), fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat,yaitu:
1. Derajat I
1) Luka kurang dari 1 cm
2) kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
3) fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
Kontaminasi ringan.
2. Derajat II
1) Leserasi lebih dari 1cm
2) Kerusakan jaringan lunak,tidak luas, avulse, fraktur kontaminasi
sedang.
9

3. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot
dan neurovaskuler serta kontaminasi tinggi.
3) Fraktur dengan komplikasi (Complicated Fracture). Fraktur dengan
komplikasi tindakan reduksi terbuka dapat dibagi menjadi komplikasi dini
dan komplikasi lambat atau jangka panjang. Contoh komplikasi dini adalah
perdarahan, gangguan saraf, atau arteri. Sedangkan contoh komplikasi
lambat atau jangka panjang adalah tromboemboli atau infeksi, misalnya
mal-union, delayed union, non-union, dan infeksi tulang.
2.2.5 Patofisiologi (Patway)
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat
terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas
fisik terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan
lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara
luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas
kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan metabolic, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
imobilitas yang bertujuan untuk mempertahanakan fragmen yang telah
dihubungkan, tetap pada tempatnya sampai sembuh.
akibat yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya
pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan.
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai
contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena
10

ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah
peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung,
pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan
pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan
mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu
peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif
juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk
histamin, bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan
sitokin-sitokin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan
permeabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini,
mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous
return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena sistemik.
Cara yang paling efektif untuk memulihkan kardiak pada tingkat seluler, sel
dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat
esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan
produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah
ke metabolisme anaerobik, mengakibatkan pembentukan asam laktat dan
berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan
penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphat)
tidak memadai, maka membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan
integritasnya dan gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan
reticulum endoplasmic merupakan tanda ultra struktural pertama dari
hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan cedera mitokondrial.
Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra-
seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel . juga
terjadi penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus,
terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan
kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
11

hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah
terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk
melakukan aktivitas astoeblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila
tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoreksia jaringan yang
mengakibatkan rusaknya serabut saraf meupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & Suddarth, 2015).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2011).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen
tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2016).
12

WOC FRAKTUR RADIUS ULNA

Trauma langsung Mengenai tulang radius ulna Trauma tidak langsung

Tulang tidak dapat menahan tahanan

Deformitas tulang radius dan ulna

FRAKTUR RADIUS ULNA

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Kerusakan Pelepasan mediator Pergeseran fragmen Hipoksia Sel Otak Perubahan jaringan
Hipoksia Sel Otak
pembuluh darah inflamasi tulang sekitar

Peningkatan aliran Iskemik Lobus Otak Iskemik Lobus Otak


Pendarahan Merusak jaringan Pergeseran fragmen
darah (Frontal) (Frontal)
sekitar tulang
Volume darah Defisit Neurologi Defisit Neurologi
menurun Peningkatan Pelepasan mediator
Deformitas
permeabilitas kapiler nyeri
Disfungsi Kandung Disfungsi Saluran
Volume darah ke paru Pencernaan Gangguan fungsi
menurun Kebocoran cairan ke Ditangkap oleh reseftor Kemih
intertisiel nyeri ekstremitas
menyebababkan edema Impuls ke otak MK : Gangguan MK : Gangguan
MK: Pola nafas Eliminasi Urine Eliminasi Fekal MK :
tidak efektif Presepsi nyeri  Hambatan Mobilitas
Menekan pembuluh darah Fisik
perifer  Risiko infeksi
MK: Nyeri akut  Risiko gangguan
MK: Perfusi perifer integritas
tidak efektif kulit/jaringan

Brunner & Suddarth, 2011, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, ECG, Jakarta.
13

2.2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi Klinis menurut Black dan Hawks (2014)
Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat,
pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Tanda dan gejala terjadinya fraktur
antara lain:
1. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada
lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai,
deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi
fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan
serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
4. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-
masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur
dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
6. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
7. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena.
Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
14

8. Gerakan abnormal dan krepitasi


Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar fragmen fraktur.
9. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur
vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan
atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
10. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.
Lokalisasi Waktu penyembuhan
Falang/metacarpal/metatarsal/costa 3-6 Minggu
Distal radius 6 Minggu
Diafisis ulna dan radius 12 Minggu
Humerus 10-12 Minggu
Klavikula 6 Minggu
Panggul 10-12 Minggu
Femur 12-16 Minggu
Kondilus femur/tibia 8-10 Minggu
Tibia/fibula 12-16 Minggu
Vertebra 12 Minggu

2.2.7 Komplikasi
1. Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan
darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan
penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang
rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
2. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien
15

akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak


pada aliran darah.
3. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang
menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema atau
perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan
cidera remuk).
4. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
5. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh
dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring
6. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal
7. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
8. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang
berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada
suatu tempat.
9. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:
1. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur
lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
16

3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.


4. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun
pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai
respon terhadap peradangan.
1) Radiologi :
X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.
Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk
mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
2) Laboratorium :
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P
mengikat di dalam darah.
2.2.9 Penatalaksanaan Medis
1. Tatalaksana Kegawatdaruratan pada Fraktur Radius Ulna
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk
mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan
baik anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1)
survey primer yang meliputi survey primer yang meliputi Circulation,
Breathing, Airway, Disability, Exposure (2) meminimalisir rasa nyeri (3)
mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah
sumber- sumber potensial kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah
tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi sehingga dapat
mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses persambungan tulang dan
meminimilisasi komplikasi lebih lanjut
1) Pengkajian Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip CBADE (Circulation,
Breathing, Airway, Disability, Exposure) :
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus
diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output.
17

Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang,


terutama patah tulang terbuka. Patah tulang radius ulna dapat menyebabkan
kehilangan darah dalam tangan 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III.
Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan
langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami
pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat
menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan
meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang
terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting
disamping usaha menghentikan pendarahan.
B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita
harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari
paru paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber
mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan
sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask
dengan reservoir bag.
A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan
nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu
teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau
GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitive.
D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi
singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat
cedera spinal
E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan
cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian
dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
18

Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti


fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.
a. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam
posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada
daerah fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk
meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian
bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi
nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut.
b. Pemeriksaan Radiologi
Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian
dari survey sekunder.
2) Pengkajian Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita
harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past
Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan).
Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan
memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih
curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey, Selain riwayat
AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum
pasien sampai di rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi
adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2)
fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan
tulang. Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada
Look, kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan
memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan
pendarahan eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian
19

distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan
vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan
adanya crush injury dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada
pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri
tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi.
Pada periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan
abnormal.Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian
distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat
mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang
normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya
gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang
membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan
adanya trauma arterial.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara
sistematik.
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber –
sumber yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara
yang dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti
luka fraktur dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada
ghas. Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi.
Antibiotik yang dapat diberikan adalah :
1) Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4 kali
sehari)
2) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo
3) Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg
dosis
4) 2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.
20

5) Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk mengatasi


kuman anaerob.
Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup.
Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca
trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca trauma. Reduksi, Reposisi dan
imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu hingga pasien siap untuk
dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam pemeriksaan. Apabila
terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular, maka sebaiknya
reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan teknik analgesia yang memadai.
Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien fraktur
ekstrimitas bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia atau
ankle fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna
untuk manipulasi, splintage dan transfer pasien.
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah
tulang digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri
akut, sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat. Dosis
pemberian morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15
menit secara titrasi sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru
di mana pada tahun terakhir ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen
analgesia pada dosis rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk
mencapai respon optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek
menguntungkan dari ketamine adalah ketamine tidak menimbulkan depresi
pernafasan, hipotensi, dan menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah.
Kerugian ketamine adalah dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah
dengan memasukkan benzodiazepine sebelumnya (0.5 – 2 mg midazolam
intravena). Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal
maupun kombinasi dengan analgesik intravena.
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi
semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang.
Cara pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau imobilisasi,
misalnya menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur
klavikula pada anak. Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya
21

dilakukan pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah
reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, biasanya
dilakukan pada patah tulang radius distal. Cara keempat adalah reposisi dengan
traksi secara terus-menerus selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah
tulang yang apabila direposisi akan terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa
reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa
reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara
operatif. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi
interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Cara
yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan prostesis
(Sjamsuhidayat dkk, 2010).
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
1. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
2. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis
tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka.
Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk
menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi untuk mengembalikan
kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau kurang memuaskan,
maka bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka dilakukan dengan
menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi sampai
penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain
pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam
fraktur melalui pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation).
Pembedahan terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang
yang patah dapat tersambung kembali.
3. Retensi
22

Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan


mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan plat
atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang
mengalami fraktur.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.
Setelah pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi tiga
kategori yaitu :
1) Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien
mempertahankan rentang gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan
atau kontraktur jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot
yang diperbaiki post bedah.
2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang
sehat, katrol atau tongkat
3) Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat
otot. Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah
pulih, 4-6 minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang
mengalami gangguan ekstremitas atas.
2. TRIAGE
1) Definis Triage
Adalah perawatan terhadap pasien yang didasarkan pada prioritas
pasien ( atau korban selama bencana) bersumber pada penyakit/ tingkat
cedera, tingkat keparahan, prognosis dan ketersediaan sumber daya.
2) Prinsip Triage
Triage seharusnya segera dan tepat waktu, penanganan yang segera dan
tepat waktu akan segera mengatasi masalah pasien dan mengurangi terjadi
kecacatan akibat kerusakan organ. Pengkajian seharusnya adekuat dan
akurat, data yang didapatkan dengan adekuat dan akurat menghasilkan
diagnosa masalah yang tepat. Keputusan didasarkan dari pengkajian,
23

penegakan diagnose dan keputusan tindakan yang diberikan sesuai kondisi


pasien.
Intervensi dilakukan sesuai kondisi korban, penanganan atau tindakan
yang diberikan sesuai dengan masalah/keluhan pasien. Kepuasan korban
harus dicapai, kepuasan korban menunjukkan teratasinya masalah.
Dokumentasi dengan benar, dokumentasi yang benar merupakan sarana
komunikasi antar tim gawat darurat dan merupakan aspek legal.
3) Tujuan
a. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam
nyawa. Tujuan triageselanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau
derajat kegawatan yang memerlukanpertolongan kedaruratan.
b. Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
a) Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat
kepada pasien
b) Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan
pengobatan lanjutan
c) Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat.
WARNA KLASIFIKASI KETERANGAN
PRIORITAS
IMMEDIATE Pasien mengalami cedera mengancam jiwa
(Merah) yang kemungkinan besar dapat hidup bila
ditolong segera. Misalnya : Tension
pneumothorax, distress pernafasan (RR<
30x/mnt), perdarahan internal vasa besar dsb
DELAYED Pasien memerlukan tindakan defintif tetapi
(Kuning) tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya :
Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup
pada ekstrimitas dengan perdarahan
terkontrol, luka bakar <25% luas
MINIMAL Pasien mendapat cedera minimal, dapat
(Hijau) berjalan dan menolong diri sendiri atau
24

mencari pertolongan. Misalnya : Laserasi


minor, memar dan lecet, luka bakar
superfisial
EXPEXTANT Pasien menglami cedera mematikan dan akan
(Hitam) meninggal meski mendapat pertolongan.
Misalnya : Luka bakar derajat 3 hampir
diseluruh tubuh, kerusakan organ vital

2.2.10 Diagnosis Fraktur pada Ekstrimitas


Untuk mendiagnosis fraktur, pertama tama dapat dilakukan
anamnesis baik dari pasien maupun pengantar pasien. Informasi yang
digali adalah mekanisme cedera, apakah pasien mengalami cedera atau
fraktur sebelumnya. Pasien dengan fraktur tibia mungkin akan mengeluh
rasa sakit, bengkak dan ketidakmampuan untuk berjalan atau
bergerak, sedangkan pada fraktur fibula pasien kemungkinan mengeluhkan
hal yang sama kecuali pasien mungkin masih mampu bergerak.
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga tidak kalah pentingnya.
Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu look, feel, move. Yang pertama look atau inspeksi di mana kita
memperhatikan penampakan dari cedera, apakah ada fraktur terbuka
(tulang terlihat kontak dengan udara luar). Apakah terlihat deformitas dari
ekstremitas tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-lain. Hal kedua
yang harus diperhatikan adalah feel atau palpasi. Kita harus mempalpasi
seluruh ekstremitis dari proksimal hingga distal termasuk sendi di
proksimal maupun distal dari cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi,
maupun krepitasi. Seringkali akan ditemukan cedera lain yang terjadi
bersamaan dengan cedera utama. Poin ketiga yang harus dinilai adalah
move.
Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (Range of Motion).
Seringkali pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit yang
dirasakan oleh pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan.
Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi vaskularitas dari
25

ekstrimitas termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary


return (normalnya < 3 detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan neurologi
yang detail juga harus mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris.
Tegantung dari kondisi pasien, pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan.
Dalam pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan rule of
two yaitu:
a. Dua sudut pandang
b. Dua Sendi
c. Dua ekstrimitas
d. Dua waktu

2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.3.1 Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
 digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
 Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
26

 Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan


klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
 Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
2. Pengkajian Primer dan Sekunder
1) Pengkajian Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan
adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip CBADE
(Circulation, Breathing, Airway, Disability, Exposure) :
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus
diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac
output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus
patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat
menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan
membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi
atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh.
Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara
nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh
tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka,
penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting
disamping usaha menghentikan pendarahan.
B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya
kita harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi dari paru paru yang baik, dinding dada dan diafragma.
Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah
yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-
rebreathing mask dengan reservoir bag.
A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai
adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya
27

obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian
wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus memproteksi
tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien
dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitive.
D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan
evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal
E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring
dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien.
setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien
tidak hipotermia.
2) Pengkajian Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal
adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder
adalah mencari cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien
sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien
sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical
History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan).
Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui
dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama
jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat
primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari
informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah
sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk
dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan
cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4)
integritas ligamentum dan tulang. Cara pemeriksaannya dapat
dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai warna
28

dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian


inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan
eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal
tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan
vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot
menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma
kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi
untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi.
Pada periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan
gerakan abnormal.Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara
meraba pulsasi bagian distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary
refill pada ujung jari kemudian membandingkan sisi yang sakit
dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan
pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran
darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal,
perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya
gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu
hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar dari luka
terbuka menunjukkan adanya trauma arterial.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat
cedera muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf
dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja
sama pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan
sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik.
3. Riwayat Keperawatan Sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang
menyebabkan terjadi keluhan/gangguan dalam mobilitas dan imobilitas,
seperti adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat mobilitas dan
imobilitas, daerah terganggunya mobilitas dan imobilitas, dan lama
terjadinya gangguan mobilitas.
4. Riwayat Keperawatan Penyakit yang pernah Diderita
29

Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan


pemenuhan kebutuhan mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit
sistem neurologis (kecelakaan cerebrovaskular, trauma kepala,
peningkatan tekanan intrakranial, miastenia gravis, guillain barre, cedera
medulla spenalis, dan lain-lain), riwayat penyakit sistem kardiovaskular
(infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit sistem
muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat penyakit sistem
pernapasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan lain-lain),
riwayat pemakaian obat, seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem saraf
pusat, laksansia, dll.
5. Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breathing)
Pada pemeriksaan sistem pernafasan, didapatkan bahwa pasien
fraktur tibia-fibula tidak mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi
toraks, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada
auskultasi, tidak ditemukan suaranafas tambahan (Muttaqin, 2018).
2) B2 (Blood)
Inspeksi : tidak ada iktus jantung. Palpasi : nadi meningkat, iktus
tidak teraba. Auskultasi : suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur
(Muttaqin, 2018)
3) B3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran biasanya kompos mentis
b) Kepala
Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris, tidak ada
penonjolan, dan tidak ada sakit kepala (Muttaqin, 2018)
c) Leher
Tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada penonjolan, dan
reflex menelan ada (Muttaqin, 2018)
d) Wajah
Terlihat menahan sakit dan bagian wajah yang lain tidak ada
perubahan fungsi dan bentuk. Wajah simetris, tidak ada lesi
dan edema (Muttaqin, 2018).
30

e) Mata
Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (pada fraktur
tertutup karena tidak terjadi perdarahan). Pasien fraktur
terbuka dengan banyaknya perdarahan yang keluar biasanya
mengalami konjungtiva anemis (Muttaqin, 2018).
f) Telinga
Tes bisik atauWeber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan (Muttaqin, 2018).
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung
(Muttaqin, 2018)
h) Mulut dan Faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat (Muttaqin, 2018).
i) Status mental : observasi penampilan dan tingkah laku pasien.
Biasanya status mental tidak mengalami perubahan (Muttaqin,
2018).
j) Pemeriksaan Sistem Saraf Kranial
 Saraf I : pada pasien fraktur tibia-fibula, fungsi saraf I
tidak ada kelainan
 Saraf II : tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
 Saraf III, IV, dan VI : biasanya tidak mengalami
gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor
 Saraf V : pada pasien meningitis umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan reflex kornea tidak ada kelainan
 Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris
 Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
 Saraf IX dan X : kemampuan menelan baik
 Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius
31

 Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi (Muttaqin, 2018)
4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urin, termasuk berat jenis urine. Biasanya pasien fraktur tibia-fibula
tidak mengalami kelainan pada sistem ini (Muttaqin, 2018).
5) B5 (Bowel)
Inspeksi abdomen : bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi
: turgor baik, tidak ada defans muscular dan hepar tidak teraba.
Perkusi : suara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi :
peristaltic usus normal ± 20 kali/menit. Inguinal-genitalia-anus : tidak
ada hernia, tidak ada pembesaran limfe dan tidak ada kesulitan BAB
(Muttaqin, 2018)
6) B6 (Bone)
Adanya fraktur pada tibia-fibula akan menggangu secara local,
baik fungsi motorik, sensorik, maupun peredaran darah (Muttaqin,
2008). satu dampak dari fraktur yang ditimbulkan diantaranya
terbatasnya aktivitas terutama pada pasien post operasi fraktur. Post
operasi yang tidak mendapatkan perawatan maksimal setelah pasca
bedah dapat memperlambat penyembuhan dan menimbulkan
komplikasi. Pasien post operasi sering kali dihadapkan pada
permasalahan adanya proses peradangan akut dan nyeri yang
mengakibatkan keterbatasan gerak. Rasa nyeri post operasi yang
dialami pasien, membuat pasien takut untuk menggerakkan
ekstremitas yang cedera (Permana, 2015). Setelah pembedahan nyeri
mungkin sangat berat, adanya edema, hematom dan spasme otot
sehingga hal ini dapat berdampak terjadinya gangguan pada kontraksi
dan relaksasi otot (Potter&Perry, 2005 dalam Gusty, 2014). Kolagen
dan elastin sebagai protein pendukung utama pada kulit, tulang,
tendon, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi
bentangan cross linking yang tidak teratur. Menurunnya kepadatan
tulang, berubahnya struktur otot dan sendi yang lama kelamaan
32

mengalami penurunan elastisitas menyebabkan kekuatan dan


fleksibilitas otot sendi menjadi menurun sehingga terjadi penurunan
luas gerak sendi (Gusty, 2014).
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik. (D.0077,172)
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal. (D.0054,124)
3) Risiko infeksi berhubungan dengan Prosedur Infasif, Kerusakan
jaringan. (D.0412,304)
4) Resiko Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan Imobilisasi dan
Terpasangnya Alat Fiksasi. (D.0139,300)
33

2.3.3 Intervensi Keperawatan


Diagnosa keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi Rasional
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1) Lakukan pendekatan pada 1. Hubungan yang baik membuat
dengan agen cedera keperawatan 1x7 jam klien dan keluarga. klien dan keluarga kooperatif.
fisik. (D.0077,172) diharapkan nyeri dapat 2) Kaji tingkat intensitas dan 2. Tingkat intensitas nyeri dan
berkurang atau hilang. frekuaensi nyeri frekuensi menunjukkan skala nyeri.
Kriteria hasil : menunjukkan skala nyeri. 3. Memberikan penjelasan akan
 Nyeri berkurang atau 3) Jelaskan pada klien penyebab menambah pengetahuan klien
hilang dari nyeri tentang nyeri.
 Klien tampak tenang 4) Observasi tanda-tanda vital. 4. Tanda-tanda vital untuk
5) Melakukan kolaborasi dengan mengetahui perkembangan klien.
tim medis pemberian analgetik 5. Tindakan dependent perawat,
analgetik berfungsi untuk membelok
stimulasi nyeri.
34

2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kebutuhan akan pelayanan 1. Mengidentifikasi masalah,
fisik berhubungan keperawatan 1x7 jam Pasien kesehatan dan kebutuhan akan memudahkan intervensi
dengan gangguan diharapkan menunjukkan peralatan 2. Mempengaruhi penilaian terhadap
muskuloskeletal. tingkat mobilitas yang 2. Tentukan tingkat motivasi pasien kemampuan aktivitas aspakan
(D.0054,124) optimal dengan dalam melakukan aktivitas ketidakmampuan ataukah
Kriteria hasil : 3. Ajarkan atau pantau dalam hal ketidakmauan.
1. Penampilan yang penggunaan alat bantu 3. Menilai batasan kemampuan
seimbang 4. Ajarkan dan dukung pasien aktivitas optimal.
2. Melakukan pergerakan dalam latihan ROM aktif dan 4. Mempertahankan dan meningkatkan
dan perpindahan pasif, juga mobilisasi dini kekuatan dan ketahanan otot.
3. Klien meningkat dalam 5. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik 5. Mengembangkan perencanaan dan
aktivitas atau okupasi mempertahankan mobilitas pasien.
4. Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
5. Memperagakan
penggunaan alat bantu
untuk mobilisasi
6. Mempertahankan
mobilitas optimal dengan
karakteristik:
 0 = mandiri penuh
 1 = memerlukan alat
bantu
 2 = memerlukan
bantuan dari orang
lain untuk bantuan,
pengawasan,
pengajaran
35

 3 = membutuhkan
bantuan dari orang lain
dan alat bantu
 4 = ketergantunagn
tidak berpartisipasi
dalam aktivitas

3. Risiko infeksi
berhubungan dengan 1) Pantau tanda-tanda vital 1. Mengidentifikasi tanda-tanda
Prosedur Infasif, 2) Lakukan perawatan luka dengan peradangan terutama bila suhu tubuh
Kerusakan jaringan. teknik aseptik meningkat.
(D.0412,304) Setelah dilakukan tindakan 3) Lakukan perawatan terhadap 2. Mengendalikan penyebaran
36

keperawatan 1x7 jam prosedur invasif seperti infus, mikroorganisme pathogen


diharapkan Infeksi tidak kateter, drainase luka 3. Mengurangi resiko infeksi
terjadi atau terkontrol dengan 4) Jika ditemukan tanda infeksi nosokomial.
Kriteria hasil : kolaborasi untuk pemeriksaan 4. Penurunan hemoglobin dan
1) Tidak ada tanda-tanda darah, seperti hemoglobin dan peningkatan jumlah leukosit dari
infeksi seperti pus leukosit normal bisa terjadi akibat proses
2) Luka bersih, tidak lembab, 5) Kolaborasi untuk pemberian infeksi.
dan tidak kotor antibiotic 5. Antibiotik mencegah perkembangan
3) Tanda-tanda vital dalam mikroorganisme patogen.
batas normal

4. Risiko Gangguan
Integritas 1. Kaji kulit dan identifikasi pada
Kulit/Jaringan tahap perkembangan luka 1. Mengetahui sejauh mana
berhubungan dengan 2. Kaji lokasi, ukuran, warna, perkembangan luka mempermudah
imobilitas dan Setelah dilakukan tindakan bau, serta jumlah dan tipe dalam melakukan tindakan yang
terpasangnya fiksasi. keperawatan 1x7 jam cairan yang luka tepat.
(D.0139, 300) diharapkan Mencapai 3. Pantau peningkatan suhu tubuh 2. Mengidentifikasi tingkat keparahan
penyembuhan luka pada
37

waktu yang sesuai dengan 4. Berikan perawatan luka dengan luka sehingga mempermudah
Kriteria hasil : teknik aseptik. Balut luka intervensi.
1) Tidak ada tanda-tanda dengan kasa kering dan steril. 3. Suhu tubuh yang meningkat dapat
infeksi 5. Jika pemulihan tidak terjadi diidentifikasikan sebagai adanya
2) Luka bersih tidak lembab kolaborasi tindakan lanjutan, proses peradangan.
dan tidak kotor misalnya debridement 4. Teknik aseptik membantu
3) Tanda-tanda vital dalam 6. Setelah debridement, ganti mempercepat penyembuhan luka
batas normal balutan sesuai kebutuhan dan mencegah terjadinya infeksi.
7. Kolaborasikan pemberian 5. Agar benda asing atau jaringan
antibiotik sesuai indikasi yang terinfeksi tidak menyebar luas
pada area kulit normal lainnya.
6. Balutan dapat diganti satu atau
dua kali sehari tergantung kondisi
parah atau tidaknya luka, agar
tidak terjadi infeksi.
7. Antibiotik berguna untuk
mematikan mikroorganisme
patogen pada daerah yang beresiko
terjadi infeksi.
38

2.3.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.
2.3.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yg menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Perawat dapat
memonitor kealpaan yg terjadi slm tahap pengkajian, diagnosa,
perencanaan, dan pelaksanaan tindakan.
39

DAFTAR PUSTAKA
Alimul H., A. Aziz. 2016. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan. Buku 1. Jakarta : Salemba Medika.
Alimul Aziz, 2016. Kebutuhan Dasar Manusia, Jilid 2. Jakarta : Salemba
Medika.
Bulechec M.Gloria, Butcher K. Howard, Dochterman Joanne McCloskey.
2014. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 5. Amerika: Mosby
Joanne&Gloria. 2014. Nursing Intervension Classification Fourth Edition,
USA : Mosby Elsevier
Moorhead, Sue. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth
Edition. USA: Mosby Elseviyer.
Mubarak, Wahit & Chayatin. 2011. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia
Teori dan Aplikasi dalam Praktik. Jakarta : EGC.
Mutaqqin,Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal jilid 2. Jakarta: EGC
Nuratif,Amin Huda & Hardhi Kusuma.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction

Anda mungkin juga menyukai