DOSEN PEMBIMBING:
Ns. ESTER INUNG SYLVIA, M.Kep.,Sp.MB
OLEH :
SUTRIAN
NIM : PO 62.20.1.19.434
POLTEKKES PALANGKARAYA
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2022/2023
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian. Fraktur dikenal dengan patah tulang.
Biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga,
keadaan tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila
seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan
seluruh ketebalan tulang. Pada beberapa keadaan trauma muskuloskletal,
sering fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan. Dislokasi atau luksasio adalah
kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi secara
lengkap.
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2016 terdapat lebih
dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2
juta orang mengalami kecatatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari
insiden kecelakaan yang terjadi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun
2017 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara
lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/tumpul.
Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775
orang(3.8%) dan 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami
fraktur sebanyak 1.770 orang (8.5%) dari 14.127 trauma benda tajam
tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%).
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah
dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi
fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi. Penanganan tersebut
dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya
oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan
dan infeksi.
Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan
keperawatan langsung kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai
pendidik memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi,
serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan
keperawatan kepada klien fraktur melalui metode ilmiah.
2.2.3 Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan
suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan.
Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan
hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa
memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi disepanjang
tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang
terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap
(Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat
dibedakan menjadi:
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan
8
2) Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
1) Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
2.2.4 Klasifikasi
1) Fraktur Tertutup (Simple Fracture). Fraktur tertutup adalah fraktur yang
fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan / tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar
2) Fraktur Terbuka (Compound Fracture). Fraktur terbuka adalah fraktur yang
mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam), atau from without
(dari luar), fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat,yaitu:
1. Derajat I
1) Luka kurang dari 1 cm
2) kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
3) fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
Kontaminasi ringan.
2. Derajat II
1) Leserasi lebih dari 1cm
2) Kerusakan jaringan lunak,tidak luas, avulse, fraktur kontaminasi
sedang.
9
3. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot
dan neurovaskuler serta kontaminasi tinggi.
3) Fraktur dengan komplikasi (Complicated Fracture). Fraktur dengan
komplikasi tindakan reduksi terbuka dapat dibagi menjadi komplikasi dini
dan komplikasi lambat atau jangka panjang. Contoh komplikasi dini adalah
perdarahan, gangguan saraf, atau arteri. Sedangkan contoh komplikasi
lambat atau jangka panjang adalah tromboemboli atau infeksi, misalnya
mal-union, delayed union, non-union, dan infeksi tulang.
2.2.5 Patofisiologi (Patway)
Fraktur gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat
terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas
fisik terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan
lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara
luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas
kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan metabolic, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
imobilitas yang bertujuan untuk mempertahanakan fragmen yang telah
dihubungkan, tetap pada tempatnya sampai sembuh.
akibat yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan rupturnya
pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan.
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai
contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi visceral. Karena
10
ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah
peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung,
pelepasan katekolamin-katekolamin endogen meningkatkan tahanan
pembuluh perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan
mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu
peningkatan perfusi organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif
juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk
histamin, bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan
sitokin-sitokin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan
permeabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini,
mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous
return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena sistemik.
Cara yang paling efektif untuk memulihkan kardiak pada tingkat seluler, sel
dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrat
esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan
produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah
ke metabolisme anaerobik, mengakibatkan pembentukan asam laktat dan
berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan
penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphat)
tidak memadai, maka membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan
integritasnya dan gradientnya elektrik normal hilang. Pembengkakan
reticulum endoplasmic merupakan tanda ultra struktural pertama dari
hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan cedera mitokondrial.
Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur intra-
seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel . juga
terjadi penumpukan kalsium intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus,
terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan
kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
11
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah
terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk
melakukan aktivitas astoeblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila
tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoreksia jaringan yang
mengakibatkan rusaknya serabut saraf meupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & Suddarth, 2015).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2011).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen
tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2016).
12
B1 B2 B3 B4 B5 B6
Kerusakan Pelepasan mediator Pergeseran fragmen Hipoksia Sel Otak Perubahan jaringan
Hipoksia Sel Otak
pembuluh darah inflamasi tulang sekitar
Brunner & Suddarth, 2011, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, ECG, Jakarta.
13
2.2.7 Komplikasi
1. Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan
darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan
penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang
rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
2. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien
15
distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan
vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan
adanya crush injury dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada
pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri
tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi.
Pada periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan
abnormal.Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian
distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat
mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang
normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya
gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang
membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan
adanya trauma arterial.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara
sistematik.
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber –
sumber yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara
yang dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti
luka fraktur dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada
ghas. Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi.
Antibiotik yang dapat diberikan adalah :
1) Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4 kali
sehari)
2) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo
3) Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg
dosis
4) 2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.
20
dilakukan pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah
reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, biasanya
dilakukan pada patah tulang radius distal. Cara keempat adalah reposisi dengan
traksi secara terus-menerus selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah
tulang yang apabila direposisi akan terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa
reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa
reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara
operatif. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi
interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Cara
yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan prostesis
(Sjamsuhidayat dkk, 2010).
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :
1. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
2. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran garis
tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi terbuka.
Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau mekanis untuk
menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi untuk mengembalikan
kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau kurang memuaskan,
maka bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka dilakukan dengan
menggunakan alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi sampai
penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain
pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam
fraktur melalui pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation).
Pembedahan terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang
yang patah dapat tersambung kembali.
3. Retensi
22
obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian
wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus memproteksi
tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien
dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitive.
D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan
evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal
E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring
dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien.
setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien
tidak hipotermia.
2) Pengkajian Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal
adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder
adalah mencari cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien
sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien
sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical
History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan).
Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui
dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama
jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat
primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari
informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah
sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk
dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan
cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4)
integritas ligamentum dan tulang. Cara pemeriksaannya dapat
dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai warna
28
e) Mata
Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (pada fraktur
tertutup karena tidak terjadi perdarahan). Pasien fraktur
terbuka dengan banyaknya perdarahan yang keluar biasanya
mengalami konjungtiva anemis (Muttaqin, 2018).
f) Telinga
Tes bisik atauWeber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan (Muttaqin, 2018).
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung
(Muttaqin, 2018)
h) Mulut dan Faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat (Muttaqin, 2018).
i) Status mental : observasi penampilan dan tingkah laku pasien.
Biasanya status mental tidak mengalami perubahan (Muttaqin,
2018).
j) Pemeriksaan Sistem Saraf Kranial
Saraf I : pada pasien fraktur tibia-fibula, fungsi saraf I
tidak ada kelainan
Saraf II : tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
Saraf III, IV, dan VI : biasanya tidak mengalami
gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor
Saraf V : pada pasien meningitis umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan reflex kornea tidak ada kelainan
Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris
Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
Saraf IX dan X : kemampuan menelan baik
Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius
31
Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi (Muttaqin, 2018)
4) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urin, termasuk berat jenis urine. Biasanya pasien fraktur tibia-fibula
tidak mengalami kelainan pada sistem ini (Muttaqin, 2018).
5) B5 (Bowel)
Inspeksi abdomen : bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi
: turgor baik, tidak ada defans muscular dan hepar tidak teraba.
Perkusi : suara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi :
peristaltic usus normal ± 20 kali/menit. Inguinal-genitalia-anus : tidak
ada hernia, tidak ada pembesaran limfe dan tidak ada kesulitan BAB
(Muttaqin, 2018)
6) B6 (Bone)
Adanya fraktur pada tibia-fibula akan menggangu secara local,
baik fungsi motorik, sensorik, maupun peredaran darah (Muttaqin,
2008). satu dampak dari fraktur yang ditimbulkan diantaranya
terbatasnya aktivitas terutama pada pasien post operasi fraktur. Post
operasi yang tidak mendapatkan perawatan maksimal setelah pasca
bedah dapat memperlambat penyembuhan dan menimbulkan
komplikasi. Pasien post operasi sering kali dihadapkan pada
permasalahan adanya proses peradangan akut dan nyeri yang
mengakibatkan keterbatasan gerak. Rasa nyeri post operasi yang
dialami pasien, membuat pasien takut untuk menggerakkan
ekstremitas yang cedera (Permana, 2015). Setelah pembedahan nyeri
mungkin sangat berat, adanya edema, hematom dan spasme otot
sehingga hal ini dapat berdampak terjadinya gangguan pada kontraksi
dan relaksasi otot (Potter&Perry, 2005 dalam Gusty, 2014). Kolagen
dan elastin sebagai protein pendukung utama pada kulit, tulang,
tendon, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi
bentangan cross linking yang tidak teratur. Menurunnya kepadatan
tulang, berubahnya struktur otot dan sendi yang lama kelamaan
32
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kebutuhan akan pelayanan 1. Mengidentifikasi masalah,
fisik berhubungan keperawatan 1x7 jam Pasien kesehatan dan kebutuhan akan memudahkan intervensi
dengan gangguan diharapkan menunjukkan peralatan 2. Mempengaruhi penilaian terhadap
muskuloskeletal. tingkat mobilitas yang 2. Tentukan tingkat motivasi pasien kemampuan aktivitas aspakan
(D.0054,124) optimal dengan dalam melakukan aktivitas ketidakmampuan ataukah
Kriteria hasil : 3. Ajarkan atau pantau dalam hal ketidakmauan.
1. Penampilan yang penggunaan alat bantu 3. Menilai batasan kemampuan
seimbang 4. Ajarkan dan dukung pasien aktivitas optimal.
2. Melakukan pergerakan dalam latihan ROM aktif dan 4. Mempertahankan dan meningkatkan
dan perpindahan pasif, juga mobilisasi dini kekuatan dan ketahanan otot.
3. Klien meningkat dalam 5. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik 5. Mengembangkan perencanaan dan
aktivitas atau okupasi mempertahankan mobilitas pasien.
4. Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
5. Memperagakan
penggunaan alat bantu
untuk mobilisasi
6. Mempertahankan
mobilitas optimal dengan
karakteristik:
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat
bantu
2 = memerlukan
bantuan dari orang
lain untuk bantuan,
pengawasan,
pengajaran
35
3 = membutuhkan
bantuan dari orang lain
dan alat bantu
4 = ketergantunagn
tidak berpartisipasi
dalam aktivitas
3. Risiko infeksi
berhubungan dengan 1) Pantau tanda-tanda vital 1. Mengidentifikasi tanda-tanda
Prosedur Infasif, 2) Lakukan perawatan luka dengan peradangan terutama bila suhu tubuh
Kerusakan jaringan. teknik aseptik meningkat.
(D.0412,304) Setelah dilakukan tindakan 3) Lakukan perawatan terhadap 2. Mengendalikan penyebaran
36
4. Risiko Gangguan
Integritas 1. Kaji kulit dan identifikasi pada
Kulit/Jaringan tahap perkembangan luka 1. Mengetahui sejauh mana
berhubungan dengan 2. Kaji lokasi, ukuran, warna, perkembangan luka mempermudah
imobilitas dan Setelah dilakukan tindakan bau, serta jumlah dan tipe dalam melakukan tindakan yang
terpasangnya fiksasi. keperawatan 1x7 jam cairan yang luka tepat.
(D.0139, 300) diharapkan Mencapai 3. Pantau peningkatan suhu tubuh 2. Mengidentifikasi tingkat keparahan
penyembuhan luka pada
37
waktu yang sesuai dengan 4. Berikan perawatan luka dengan luka sehingga mempermudah
Kriteria hasil : teknik aseptik. Balut luka intervensi.
1) Tidak ada tanda-tanda dengan kasa kering dan steril. 3. Suhu tubuh yang meningkat dapat
infeksi 5. Jika pemulihan tidak terjadi diidentifikasikan sebagai adanya
2) Luka bersih tidak lembab kolaborasi tindakan lanjutan, proses peradangan.
dan tidak kotor misalnya debridement 4. Teknik aseptik membantu
3) Tanda-tanda vital dalam 6. Setelah debridement, ganti mempercepat penyembuhan luka
batas normal balutan sesuai kebutuhan dan mencegah terjadinya infeksi.
7. Kolaborasikan pemberian 5. Agar benda asing atau jaringan
antibiotik sesuai indikasi yang terinfeksi tidak menyebar luas
pada area kulit normal lainnya.
6. Balutan dapat diganti satu atau
dua kali sehari tergantung kondisi
parah atau tidaknya luka, agar
tidak terjadi infeksi.
7. Antibiotik berguna untuk
mematikan mikroorganisme
patogen pada daerah yang beresiko
terjadi infeksi.
38
DAFTAR PUSTAKA
Alimul H., A. Aziz. 2016. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan. Buku 1. Jakarta : Salemba Medika.
Alimul Aziz, 2016. Kebutuhan Dasar Manusia, Jilid 2. Jakarta : Salemba
Medika.
Bulechec M.Gloria, Butcher K. Howard, Dochterman Joanne McCloskey.
2014. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 5. Amerika: Mosby
Joanne&Gloria. 2014. Nursing Intervension Classification Fourth Edition,
USA : Mosby Elsevier
Moorhead, Sue. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth
Edition. USA: Mosby Elseviyer.
Mubarak, Wahit & Chayatin. 2011. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia
Teori dan Aplikasi dalam Praktik. Jakarta : EGC.
Mutaqqin,Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal jilid 2. Jakarta: EGC
Nuratif,Amin Huda & Hardhi Kusuma.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction