Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 3.1 (GANGGUAN UROGENITAL)

MODUL 1

Tutor : Prof. dr.H. Fadil Oenzil, PhD, SpGK

Kelompok 23-D

Ferellica Anne Martin 1410314011


Intan Rahma Fitri 1510311011
Gabila Heira Muthia I 1510311109
Habifa Mulya Cita 1510311124
M. Rahmanto Akmal 1510312029
Ririn Putrinaldi 1510312087
M. Halim T. Syam 1510312102
Firhod Purba 1510312104
Rr Dyana Wisnu Satiti 1510312112

Program Studi Pendidikan Dokter - Fakultas Kedokteran


Universitas Andalas
2017
SKENARIO 1: KASUS HARI INI SULIT SEKALI

Seorang dokter muda di FK UNAND pulang dari rumah sakit dengan letih sambil
berfikir kenapa hari ini kasusnya sulit sekali dan merasa kasihan kepada anak yang
menderitanya. Tadi pagi di poliklinik ada seorang anak rujukan dari pukesmas bernama Rudi
umur 8 tahun mogok sekolah karena diolok kawannya sebab ada perbedaan pada saluran
kencingnya.Setiap Rudi kencing celananya selalu basah oleh kencing sehingga berbau pesing.
Rudi memang lahir dengan perbedaan pada kelaminnya.Saat itu bidan mengatakan ada
kelainan pada jenis kelamin Rudi yang selama ini jarang ia temukan. Namun bidan tidak
merujuk Rudi ke rumah sakit. Rudi diasuh sebagai anak laki-laki dan jenis kelamin pada akte
kelahirannya laki-laki.
Pada pemeriksaan didapatkan fisis generalis normal, pertumbuhan normal,
perkembangannormal, saat ini sekolah di kelas 3 SD dengan prestasi menengah. Pada
pemeriksaan urogenital terlihat adanya skrotum bifidum, disertai hipospadia phenoskrotal,
adanya pembukaan seperti introitus vagina dengan ukuran kecil.Teraba gonad kiri volume 2
ml dan gonad kanan tidak teraba. Ukuran phallus 2,5 cm disertai ada khordae.
Dokter menjelaskan kepada ibu Rudi bahwa saat ini belum bisa memastikan jenis
kelaminnya sebab terdapat gangguan diferensiasi genitalia antara lain mikropenis,
undencended testis dextra, khordae, hipospadia, skrotum bifidum.Butuh pemeriksaan lanjutan
seperti analisis kromosom (karyotyping) yang mungkin akan diikuti pemeriksaan lain seperti
gen SRY, hormonal, dan genitografi. Setelah semua pemeriksaan selesai, penentuan jenis
kelamin akan dibicarakan oleh tim Penyesuaian Jenis Kelamin yang terdiri dari beberapa
disiplin ilmu kedokteran yang berkompeten, psikolog, ahli agama, dan lainnya.
Banyak pertanyaan ibu Rudi yang juga menjadi pertanyaan besar bagi dokter muda
tersebut seperti apakah yang menyebabkan kelainan ini dan bagaimana kelainan ini terjadi.
Apakah anaknya akan jadi laki laki atau perempuan? Bagaimana dengan akte yang sudah
dibuat, bagaimana di sekolah nanti kalau ternyata dia perempuan, bagaimana kalau menikah,
apakah dia akan mempunyai anak dst.
Sebagai seorang dokter bagaimana anda bisa membantu menjawab tentang persoalan
kelainan pada Rudi?
I. KLARIFIKASI TERMINOLOGI
1. Skrotum bifidum: skrotum yang memiliki dua belahan.
2. Hipospadia phenoskrotal: kelainan bawaan dimana meatus uretra eksterna
berada di bagian permukaan ventral penis.
3. Introitus vagina: lubang pintu masuk ke vagina.
4. Khordae: suatu pita jaringan fibrosa pada sisi ventral penis sehingga
membentuk curvatura.
5. Mikropenis: pertumbuhan penis yang lebih kecil dari normal
6. Undecended testis dextra: keadaan dimana testis sebelah kanan tidak
terletak di dalam skrotum kanan, atau testis kanan tidak turun.
7. Karyotyping: proses pairing and ordering semua kromosom pada sebuah
organisme, sehingga memberikan potret yang luas dari kromosom
individu.
8. Gen SRY (Sex-Determining Region Y): gen yang terletak pada kromosom
Y atau laki-laki yang merupakan Testis Determining Factor (TDF).
9. Genitografi: pemeriksaan secara radiografi yang menunjukkan gambaran
anatomi traktus genitalia bagian dalam.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Mengapa setiap BAK, Rudi (Laki-laki, 8 tahun) mengeluhkan celananya
selalu basah?
2. Apa saja faktor resiko yang dapat menyebabkan gangguan genitalia seperti
yang terjadi pada Rudi?
3. Apakah interpretasi dari pemeriksaan urogenital Rudi?
4. Mengapa dilakukan pemeriksaan analisis kromosom (karyotyping), gen
SRY, hormonal, dan genitografi pada Rudi?
5. Apakah kemungkinan kelainan yang terjadi pada Rudi?
6. Bagaimana tatalaksana dan prornosis pada kasus Rudi?
7. Mengapa dalam penentuan jenis kelamin dibutuhkan tim Penyesuaian
Jenis Kelamin?
8. Bagaimana penentuan jenis kelamin pada rudi dan bagaimana
perkembangan seksualitasnya apabila ia sudah menikah?
III. BRAIN STORMING
1. Mengapa setiap BAK, Rudi (Laki-laki, 8 tahun) mengeluhkan celananya
selalu basah?
Buang air kecil dengan celana yang selalu basah dapat disebabkan karena
suatu kelainan kongenital dimana letak uretranya tidak normal atau tidak
berada di ujung penis, namun lebih kea rah proksimal (mendekati arah
tubuh) di sisi ventral penis.

2. Apa saja faktor resiko yang dapat menyebabkan gangguan genitalia seperti
yang terjadi pada Rudi?
a. Faktor Genetik
Sekitar 28 % penderita hipospadia memiliki factor familial. Jika
salah satu saudara kandung mengalami hipospadia, risiko kejadian
berulang pada keluarga tersebut adalah 12%. Jika bapak dan anak
laki-lakinya mengalami hipospadia, risiko kejadian berulang pada
anak laki-laki berikutnya adalah 25%.
b. Faktor Hormonal
Proses diferensiasi uretra pada penis bergantung kepada androgen
dihidrotestosteron (DHT). DHT merupakan hasil konversi dari
testosteron oleh enzim 5-α reduktase. Gangguan pada sekresi
testosteron, defisiensi enzim 5-α reduktase, atau defek pada
reseptor androgen (androgen insensitivity syndrome) dapat
menyebabkan hipospadia.
c. Faktor Lingkungan / Eksternal
Salah satu faktor eksternal yang dapat mengakibatkan hipospadia
adalah paparan terhadap estrogen eksternal. Hal ini dapat terjadi
pada ibu hamil yang mendapatkan terapi estrogen. Selain itu,
hipospadia juga dapat diakibatkan oleh paparan zat kimia yang
disebut dengan endocrine disrupter chemicals (EDC). Zat ini dapat
mengganggu atau mengubah fungsi endokrin sehingga terjadi
penghambatan kerja androgen, terutama DHT. Salah satu contoh
EDC adalah zat yang terdapat dalam pestisida kimia, seperti
diklorodifenil-trikloroetan (DDT). Zat ini dapat bereaksi dengan
estrogen atau reseptor androgen serta berperan sebagai senyawa
antagonis terhadap hormon endogen.

3. Apakah interpretasi dari pemeriksaan urogenital Rudi?


a. Skrotum bifidum, merupakan pembelahan yang dalam pada bagian
tengah skrotum akibat tidak sempurnanya penyatuan skrorum.
Keadaan ini biasanya menyertai pasien atau penderita hipospadia
perineal dan hipospadia penoskrotal.
b. Hipospadia penoskrotal
Hipospadia merupakan kelainan kongenital saluran kemih, dimana
muara uretra terletak tidak pada ujung penis, namun lebih kea rah
proksimal di sisi ventral penis dan berdasarkan pembagian posisi
muara uretranya phenoskretal merupakan letak uretran di posterior.
c. Introitus vagina, merupakan adanya lubang pintu masuk ke vagina.
d. Gonad kiri teraba dengan volume kurang lebih 2 mL dan gonad kanan
tidak teraba, kemungkinan:
- Kriptokismus unilateral (testis tidak turun ke salah satu skrotum),
biasanya dicetuskan oleh hormone gonadotropin dari ibu sewaktu
bulan terakhir kehamilan.
- Testis letak ektopik (testis tidak berada di jalur desensus
fisiologik), biasanya disebabkan oleh insersi abnormal
gubernaculum testis.
e. Ukuran phallus 2,5cm
Berdasakran umur Rudi (8 tahun), Rudi termasuk golongan
mikropenis.
f. Terbentuknya khordae
- Pada hipospadia, terjadi gangguan penutupan urethral groove oleh
urethral fold. Sehingga pada tempat tidak terbentuknya urethra,
akan terbentuk khordae, yaitu suatu jaringan ikat yang berasal dari
jaringan mesenkim yang seharusnya berdiferensiasi menjadi
korpus spongiosum, fasia Buck, dan fasia Dortus.
- Karena jaringan ikat tidak elastic, khordae menyebabkan penis
membengkak kea rah ventral saat ereksi.

4. Mengapa dilakukan pemeriksaan analisis kromosom (karyotyping), gen


SRY, hormonal, dan genitografi pada Rudi?
a. Analisis kromosom dilakukan untuk menentukan kromosom Rudi yang
sebenarnya, apakah ia memiliki kromosom 46XX atau 46XY.
b. Pemeriksaan Gen SRY berperan pada kromosom 46XY dengan
memunculkan hormone anti mullerian, sehingga ductus muller tertutup
dan ductus wolfii berkembang.
c. Pemeriksaan hormonal yang mungkin dilakukan adalah tes hCG yang
berperan dalam menginduksi hormone testoteron. Dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui apakah pada kasus Rudi, ia memiliki
testis namun belum turun atau tidak memiliki testis sama sekali.
d. Pemeriksaan genitografi, dilakukan untuk melihat susunan organ
system urogenital untuk menegaskan jenis penyakit yang dialami Rudi.
5. Apakah kemungkinan kelainan yang terjadi pada Rudi?
-

6. Bagaimana tatalaksana dan prornosis pada kasus Rudi?

7. Mengapa dalam penentuan jenis kelamin dibutuhkan tim Penyesuaian


Jenis Kelamin?
Penatalaksanaan DSD meliputi penentuan jenis kelamin
(sex assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal,
koreksi secara pembedahan, dan psikologis.
Oleh karena itu pelibatan multi-disiplin ilmu harus sudah dilakukan sejak
tahap awal diagnosis yang meliputi bidang: Ilmu Kesehatan Anak, Bedah
Urologi, Bedah plastik, Kandungan dan Kebidanan, Psikiatri, Genetika
klinik, Rehabilitasi medik, Patologi klinik, Patologi anatomi, dan Bagian
hukum Rumah Sakit/Kedokteran forensik.

8. Bagaimana penentuan jenis kelamin pada rudi dan bagaimana


perkembangan seksualitasnya apabila ia sudah menikah?
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan:
• Potensi fertilitas
• Kapasistas fungsi seksual
• Fungsi endokrin.
• Perubahan keganasan
• Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan
• Faktor psikoseksual:
gender identity (identitas gender), gender role (peran gender) dan
gender orientation (orientasi gender)
• Aspek kultural
• Informed consent dari keluarga.
IV. SKEMA

V. Learning Objectives
Mahasiswa mampu menjelaskan kelainan pembentukan dan perkembangan
sistem urogenital.
1. Ginjal
2. Ureter
3. Vesika Urinaria
4. Uretra
5. Genitalia Pria
6. Genitalia Wanita
7. Disorders of Sexual Differentiation

VI. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVES


1. GINJAL
A. RENAL AGENESIS
a. Definisi
Keadaan tidak ditemukan jaringan ginjal pada satu sisi atau keduanya
b. Klasifikasi
1. Agenesis ginjal unilateral : tidak didapatkannya jaringan ginjal pada satu sisi

2. Agenesis ginjal bilateral : tidak didapatkannya jaringan ginjal pada kedua sisi

c. Epidemiologi

- Insiden agenesis ginjal unilateral 1: 500 kelahiran hidup


- Agenesis ginjal bilateral terjadi 1 : 4000 kelahiran, dengan 2:1 dominasi laki-
laki.
d. Etiologi
Terjadi kelainan perkembangan tunas ureter yang menyebabkan terganggunya
perkembangan blastema metanefrik
e. Patogenesis
- Sistem ginjal dibentuk oleh pronefros, mesonefros dan metanefros.
- Pronefros berifat rudimenter, yang akan beregresi dan pada akhir minggu ke 4
gestasi akan menghilang
- Mesonefros akan terjadi pertumbuhan keluar menjadi tunas ureter yang
nantinya akan membentuk sistem pengumpul
- Tunas ureter akan berinteraksi dengan metanefros dan saling mempengaruhi
untuk pertumbuhannya
- Jika terjadi mutasi gen yang mengatur pembentukan dari ginjal ditambah
dengan faktor yang mendukung maka akan terjadi kelainan pertumbuhan dan
perkembangan ginjal yang menyebabkan terjadinya agenesis ginjal
f. Manifestasi Klinis
- Agenesis ginjal unilateral à bila kondisi ginjal unilateral baik, bersifat
asimptomatik.
- Agenesis ginjal bilateral à sebagian besar lahir mati, sisanya hanya mampu
hidup dalam beberapa jam atau hari. Sehingga sering tidak terdeteksi
- Pada saat pranatal biasanya oligohidramnion. Pada saat lahir akan didapatkan
bayi dengan sindrom potter dan mengalami hipoplasia paru.
- Sindrom potter : - Pangkal hidung lebar

- mata terpisah jauh


- telinga rendah
Sindrom potter terjadi disebabkan karena bayi mendapatkan tekanan dari
dinding rahim karena volume air ketuban yang sedikit (oligohidramnion),
selain itu hidramnion menyebakan terjadinya hipoplastik paru.

g. Diagnostik

Pada agenesis ginjal unilateral biasanya ditemukan pada saat


pemeriksaan skrining, USG, IVP.
h. Prognosis
- Pada agenesis ginjal unilateral baik bila ginjal unilateral berfungsi normal,
karena fungsinya masih bisa dijalankan.
- Pada agenesis ginjal bilateral buruk

B. GINJAL EKTOPIK
Bentuk-bentuk ginjal ektopik :
1. Crossed ectopic kidney, yaitu kedua ginjal berada pada sisi yang sama, dapat
terpisah tetapi biasanya menyatu (fused crossed-ectopia).

2. Pelvic kidney, adalah ginjal gagal bermigrasi ke posisi anatomi normalnya di fossa
renalis retroperitoneal dan tetap berada dalam posisi awalnya dalam rongga pelvic.

3. Intrathoracal ectopic kidney, merupakan ginjal mengalami percepatan naiknya ke


posisi anatomis sebelum tertutupnya diafragma atau terjadi perlambatan penutupan
diafragma yang menyebabkan ginjal bermigrasi masuk ke rongga thorax.

a. Epidemiologi
- Insiden 1: 500 sampai 1: 1000
- Lebih sering pada laki-laki daripada perempuan
b. Etiologi
- Penyebab terjadinya tidak diketahui pasti
- Faktor-faktor yang dapat menyebabkan ginjal ektopik antara lain:
o Gangguan perkembangan tunas ginjal. Dalam hal ini tidak bertemunya
tunas ureter dengan nefrogenic blastema selama masa perkembangan
ginjal
o Defek parenkim ginjal menyebabkan kecenderungan menurun dari
posisi normalnya
o Faktor genetika
o Faktor penyakit ibu (metanephric maternal diseases atau ibu yang
terpapar obat yang teratogenik atau bahan kimia yang penyebab defek
pada perkembangan sehingga mengakibatkan migrasi abnormal ginjal
sehingga terjadi ginjal ektopik.
c. Patogenesis
Normalnya perkembangan ginjal bermula di rongga panggul dan
selanjutnya berpindah ke posisi anatomi normalnya pada perut bagian atas.
Ginjal mulai menempati posisi anatominya di fosa renalis retroperitonela pada
minggu ke-9 usia kehamilan. Namun dikarenakan beberapa faktor yang
menyebabkan ginjal gagal bermigrasi seperti gangguan perkembangan tunas
ginjal, genetik, penyakit ibu, dll menyebabkan ginjal gagal bermigrasi ketempat
normalnya. Ginjal ektopik bisa terjadi di rongga panggul, daerah iliaka atau
rongga perut, atau bisa ditemukan dimana saja lewat jalur migrasinya ke perut
bagian atas atau dapat pula ditemukan pada posisi kontralateral yang disebut
crossed-ectopic kidney, biasanya lebih dominan pada sisi kiri dan pada laki-
laki.
Jika ginjal gagal bermigrasi dan tetap berada dalam rongga pelvis
disebut ectopic pelvic kidney, yang bisa terjadi unilateral atau bilateral.
Migrasi abnormal yang lebih tinggi dari metanephros akan menyebabkan
defek pada diafragma sehingga bisa terjadi ectopic thorax kidney.
d. Gejala
- Kebanyakan tidak menunjukkan gejala
- Gejala yang dapat timbul : infeksi saluran kemih, nyeri, mual-mual
- Pada ginjal yang terletak pelvikal sering mengalami hipoplasia, refluk dan
mengalami obstruksi
e. Diagnosis
Pemeriksaan:
- USG
- CT SCAN
- MRI
- IVP (Intravenous pyelogram)
- Pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi ginjal
f. Tatalaksana
- Diberikan berdasarkan fungsi ginjal
- Dilakukan nefroktomi bila ginjal tidak berfungsi baik, implantasi ureter
dilakukan untuk kasus refluks vesicoureter

g. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu gangguan dalam ekskresi urin dari
ginjal, kadang-kadang urin dapat mengalami refluks dari vesika urinaria ke
ureter.

2. URETER
A. MEGAURETER
a. Definisi
Ureter mengalami dilatasi berat, memnajang, dan berkelok – kelok. Secara histologis
karena kelebihan serabut-serabut otot sirkuler dan kolagen pada uretr distal, sehingga
menyebabkan obstruksi, hematuria dan infeksi. Ureter secara seluruhnya menjadi
hipotonik dan adinamik yang terkadang jua meliputi vesika urinaria.
b. Diagnosis
Menurut klasifikasi internasional, megaureter dibagi menjadi primer dan sekunder,
obstruksi dan/atau refluks dan non-refluks, non-obstruksi. Penatalaksanaan dari
megaureter tipe refluks dijelaskan pada bagian vesikoureter refluks (VUR). Evaluasi
diagnostik sama seperti pada hidronefrosis unilateral. Derajat obstruksi dan fungsi ginjal
secara terpisah ditentukan dengan skintigrafi ginjal dan IVU.
Pada beberapa survei ditunjukkan bahwa intervensi operasi berdasar hanya dari
urogram ekskretori saat ini sangatlah jarang. Dengan perbaikan spontan sampai 85% pada
pasien dengan megaureter obstruksi primer, drainage tinggi secara Sober atau cincin
ureterokutaneostomi saat ini tidak lagi dilakukan.
c. Komplikasi
 Kemandulan
 Inkontinensia
 Ruptur vesica urinaria spontan
 Infeksi
d. Prognosis
Tergantung dari durasi dan komplikasi yang ditimbulkan oleh megaureter tersebut,
>90% dilaporkan sukses. Operasi ureterosistoneostomi menurut Cohen, Politano-
Leadbetter atau teknik Psoas-Hitch dapat dipertimbangkan sebagai cara operasi. Indikasi
untuk terapi bedah dari megaureter adalah infeksi rekuren selama menggunakan
antibiotika profilaksis, penurunan fungsi ginjal secara terpisah, tetap terjadinya refluks
setelah 1 tahun dibawah profilaksis serta adanya obstruksi yang signifikan

B. URETEROKEL
Ureterokel adalah sirkulasi atau dilatasi kistik terminal ureter. Letaknya mungkin
berada dalam buli-buli (intravesikel) atau mungkin ektopik diluar muara ureter yang normal,
antara lain terletak di leher buli-buli atau uretra. Ureterokel yang letaknya intravesikular
biasanya merupakan ureter satu-satunya yang terletak pada sisi itu, sedangkan ureterokel
ektopik pada umumnya berasal dari duplikasi ureter yang menyalurkan urine dari ginjal kutub
atas. Bentuk ureter ektopik ternyata lebih sering dijumpai pada ureterokel intravesika.
Kelainan ini ternyata 7 kali lebih banyak dijumpai pada wanita, dan 10 % anomaly ini
mengenai kedua sisi.
Patofisiologi
Ureterokel kecil tidak bergejala . Ureterokel yang cukup besar akan mendorong muara
ureter yang sebelah kontralateral dan menyebabkan obstruksi leher buli diikuti dengan
hidroureter dan hidronefrosis. Biasanya ditemukan ISK kambuhan atau kronik. Bila
ureterokel besar atau terdapat penyulit, maka perlu tindak bedah berupa ekstirpasi uretrokel
dan neoimplantasi ureter ke dalam kandung kemih.

C. URETER EKTOPIK
a. Definisi
Kelainan kongenital jika ureter bermuara di leher vesica urinaria atau lebih distal dari
itu.
b. Epidemiologi
Insiden ureter ektopik belum diketahui dengan pasti, tapi autopsi pada anak
didapatkan 1 dari 1900 autopsi. Kurang lebih 5-17% ureter ektopik mengenai kedua sisi.
80% pada wanita, disertai dengan duplikasi sistem pelviureter, pada pria umumnya
terjadai pada single-ureter. Kejadia pria : wanita = 2,9 : 1
c. Etiologi
Kelainan dari perkembangan tunas ureter yang muncul dari duktus mesonefros.
d. Diagnosis
Ureter ektopik pada pria kebanyakan bermuara pada ureter posterior, meskipun
kadang bermuara pada vesikula seminalis, vas deferens, atau duktus ejakulatorius. Muara
pada uretra posterior seringkali tidak memberikan gejala, tetapi muara ureter pada vasa
deferens seringkali tidak menyebabkan keluhan epididimis yang sulit disembuhkan karena
vasa deferens dan epididimis selalu teraliri oleh urin.
Pada wanita, ureter ektopik seringkaloi bermuara pada uretra dan vestibulum.
Keadaan ini memberikan keluhan yang khas pada anak kecil, yaitu celana dalam selalu
basah oleh urine (inkontinensia kontinua) tetapi dia masih bisa miksi seperti orang normal.
Jika ureter ektopik terjadi pada duplikasi system pelviureter, ureter ektopik menerima
drainase dari ginjal system cranial. Selain itu muara ureter ektopik biasanya atretik dan
mengalami obstruksi sehingga seringkali terjadi hidronefrosis pada segmen ginjal sebelah
cranial. Pada pemeriksaan PIV, hidronefrosis mendorong segmen kaudal terdorong ke
bawah dank e lateral sehingga terlihat sebagai gambaran bunga lili yang jatuh (dropping
lily).
Pemeriksaan sitoskopi mungkin dapat menemukan adanya muara ureter ektopik pada
uretra atau ditemukan hemitrigonum (tidak ditemukan salah satu muara ureter pada buli).
Jika ditemukan muara ureter ektopik pada uretra, dapat dicoba dimasuki kateter ureter dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan uretografi retograd
e. Penatalaksanaan
Jika ditemukan muara ureter ektopik pada uretra dapat di coba di masuki kateter ureter
dan dilanjutkan dengan ureterografi retrograd. Namun ureter ektopik tergantung kelainan
yang tedapat pada ginjal. Jika ginjal sudah mengalami kerusakan nefroereterektomi, tetapi
kalau masih bisa dipertahankan dilakukan implantasi ureter pada vesica urinaria.

3. VESIKA URINARIA
A. EKSTROFI KANDUNG KEMIH
a. Definisi
- Ekstrofi kandung kemih atau bladder exstrophy adalah salah satu tipe kelainan
bawaan dari sistem genitourinaria, ditandai terbukanya kandung kemih pada
dinding bawah abdomen. Kandung kemih terbuka, tidak beratap di daerah
abdomen bawah (suprapubik) dengan air kemih merembes melalui celah yang
terbuka, mukosa kandung kemih terlihat menonjol keluar, berlanjut ke kulit
perut, dan tulang pubis terpisah (Alatas, 1999).
- Kelainan ini biasanya disertai epispadia, sphingter dari pintu keluar kandung
kemih sering gagal berkembang dengan baik (Shah et al., 2006).
- Kelainan yang sering menyertai ekstrofi kandung kemih antara lain penis
pendek (corporal anterior 50% lebih pendek dibanding kontrol normal) ,
melengkung ke arah atas waktu ereksi (adanya chordee), lebar penis (30%
lebih lebar dibanding kontrol normal), testis tidak turun (undescended testicle)
disebabkan oleh kelainan perkembangan skrotum yang mendatar, hernia
inguinalis terjadi karena kanal inguinal tidak terbentuk dengan baik, dan
terpisahnya simpisis pubis berakibat rotasi external pelvis dan sendi
sacroiliaca sehingga anak mengalami waddling gait yang bisa berangsur
berkurang dengan pertambahan usia (Gearhart, 2005).
b. Epidemiologi
Kasus ekstrofi jarang terjadi, akan tetapi rasio kemungkinan menemui kasus
sekitar 1:30.000 kelahiran.Lebih sering pada laki-laki, ratio kejadian antara anak
laki-laki dan perempuan 2:1 (Retik, 2009). Kemungkinan kejadian untuk anak
berikutnya adalah 1 per 100 atau 1 per 70 apabila orang tua dengan riwayat yang
sama.
c. Etiologi
Terjadi karena proses penutupan pada saat embrio pada abdomen ventral
karenamigrasi mesenkim tidak terjadi. Dikelompokkan sebagai abnormalitas
perkembangan cloacal membrane dan migrasi mesoderm.
d. Patologi
Defek embriologi kelainan ini dikelompokkan sebagai exstrophy-epispadias
complex. Defek terjadi pada trimester pertama yaitu saat pemisahan primitive
cloaca menjadi sinus urogenital dan hindgut yang waktunya hampir bersamaan
dengan maturasi dinding perut, apabila lapisan mesenchym gagal bermigrasi di
antara lapisan ektoderm dan endoderm membuat membran kloaka tidak stabil
(ruptur), lipatan mukosa bersatu dengan kulit. Ruptur prematur sebelum terjadi
translokasi kaudal mesoderm menimbulkan berbagai anomali infraumbilikal
(Reda, 2005). Kelainan disertai mal development dari tulang pelvis yaitu
pemisahan cukup lebar symphysis pubis dan rotasi eksternal femur (The
Encyclopaedia of Medical Imaging, 2004). Insidennya 1 per 30.000 kelahiran,
diagnosis ditegakkan langsung sejak kelahiran karena langsung nampak di regio
perut bawah.
Faktor risiko danetiologi belum jelas, dan tidak bersifat herediter (Reda, 2005).

Gambar 1. Perjalanan penyakit ekstrofi kandung kemih (Yerkes, E.B, 2002)


Gambar 2. Variasi kelainan exstrophy-epispadias complex: (a) Kandung kemih terbuka

e. Prognosis
Prognosis kelainan ini baik, apabila segera ditangani dengan benar mulai dari
diagnosis awal, alur rujukan yang benar meliputi beberapa bidang disiplin ilmu
antara lain bedah urologi, dokter anak sub bagian urologi dan endokrin, dan
psikolog.
Keterlibatan berbagai disiplin ilmu untuk mencegah resiko gangguan fungsi
ginjal di usia muda, infertilitas, ganggaun fungsi sexual masa dewasa, dan risiko
keganasan testis yang tidak turun (cryptorchidism) yang sering mengikuti kasus
ekstrofi kandung kemih.

B. FISTULA URACHUS
a. Definisi
Fistula urachus mewakili sekita 50% dari seluruh anomali urachal dengan
insiden sekitar 0,25-15/10.000 kelahiran dan 2:1 predominan pada laki-laki.
Fistula terjadi bila saluran sisa hubungan menetap antara vesika urinaria dengan
umbilikus akibat kegagalan total penutupan garis epithelial kanal urachal,
sehingga urin dapat mengalir keluar melalui umbilikus. Kausanya masih idiopatik
tapi ada beberapa teori yg muncul, yaitu teori obstruksi vesika urinaria
intrauterine, teori kegagalan proses penurunan vesika urinaria ke dalam pelvis dan
teori re-tubularization.

b. Patologi, fistula urakus terbagi atas beberapa kasus


1. Tipe 1, Urachus sama sekali tidak menutup sehingga terdapat saluran antara
kandung kemih dengan umbilicus. Tanda klinis terdapat iritasi pada kulit
disekitar pusar karena urin juga keluar melalui umbilicus, dapat terjadi sistitis
ringan.
2. Tipe 2, Urachus tidak menutup pada bagian dalam sehingga terbentuk
sinus/divertikulum pada kandung kemih.  Tanda klinis terdapat sistitis kronis
yang sulit disembuhkan, terjadi stasis urin pada divertikulum menyebabkan
infeksi persisten atau pembentukan kalkuli.
3. Tipe 3, Urachus tidak menutup dan membentuk sinus pada umbilicus,
sedangkan kandung kemih normal. Tanda klinis terjadi infeksi persisten dan
pembengkakan di daerah umbilicus
4. Tipe 4, Urachus tidak menutup pada salah satu bagian saluran dan membentuk
kista yang tidak berhubungan dengan kandung kemih maupun umbilicus.
Tanda klinis menunjukkan ukuran kista bervariasi dan berisi cairan, kista yang
terinfeksi dapat mengalami ruptura sehingga terjadi peritonitis. Jika tidak
terjadi infeksi jarang menimbulkan tanda klinis.
c. Diagnosis
Pada pemeriksaan fisis didapatkan drainase cairan dari umbilikus secara
continuous atau intermiten yang meningkat alirannya saat peningkatan tekanan
intra abdominal seperti menangis, batuk dan mengedan. Gejala tambahan yang
biasa muncul, seperti pembesaran atau edematous umbilikus, dan lambatnya
penyembuhan tali pusat. Konfirmasi diagnosa dapat dilakukan dengan analisis
ureum dan kreatinin pada cairan atau injeksi methylen blue atau indigo Carmen
melalui kateter ke dalam vesika urinaria. Pemeriksaan Longitudinal ultrasound
dan Voiding Cystourethrogram (VCUG) penting dipakai untuk membedakan
dengan paten omphalomesenterik dan juga dapat menunjukkan hubungan
umbilikus dengan vesika urinaria. Pada kultur bakteri tersering didapatkan
staphylococcus aureus, escherichia coli, enterococcus dan citrobacter. Pada 15-
30% pasien, fistula urachus disertai dengan atresia uretra atau obstruksi katup
posterior yang mana merupakan mekanisme proteksi terhadap obstruksi. Paten
urachus di diagnosis banding dengan paten duktus omphalomesenterik, sinus
urachus, omphalitis, granulasi penyembuhan umbilikus, infeksi pembuluh darah
umbilikus.
d. Komplikasi
              Komplikasi serius dari kista urachal yang terinfeksi adalah rupture kista
ke dalam rongga peritoneum, proses inflamasi kista yang meluas sehingga
melibatkan usus didekatnya dan pembentukan fistula enterocutaneus. Pada
divertikulum urachal, pembesaran ukuran dan pengosongannya yang terganggu
dapat menimbulkan infeksi saluran kemih yang rekuren atau pembentukan
batu. Resiko timbulnya keganasan dimasa datang pada sisa urachus telah
diketahui baik. Timbulnya keganasan pada sisa urachus kiranya disebabkan oleh
inflamasi dan infeksi kronik. Keganasan urachal terhitung hanya berkisar 1 persen
hinga 10 persen dari kanker pada orang dewasa. Keganasan urachal pada
umumnya berupa adenokarsinoma walaupun karsinoma sel transisional,
karsinoma sel squamos dan sarcoma telah dilaporkan. Kesemuanya adalah
neoplasma yang jarang dan pada umumnya ditemukan pada dewasa tua.
Karsinoma urachal ditemukan tersering pada lokasi peralihan ligament urachal
dan fundus urinaria.
e. Prognosis 
Kelainan sisa urachus umumnya tidak memiliki morbiditas dan mortalitas
yang signifikan. Kecuali jika kelainan congenital serius ditemukan bersama
dengan sisa urachus, prognosisnya adalah jelek. Pasien dengan kelainan sisa
urachus yang sudah dioperasi lazimnya sangat baik. Pada umumnya anak
mengalami pemulihan dengan cepat. Komplikasi kelainan sisa urachus berupa
adenokarsinoma memberikan prognosis yang jelek.

4. URETRA
A. Hipospadia
a. Definisi
Hipospadia adalah kelainan kongenital dimana meatus orificium urethra terdapat pada
bagian bawah penis. Yang mana seharusnya meatus orificium urethra terdapat pada
bagian ujung penis namun karena terjadinya kelainan meatus orificium urethra
tersebut terdapat pada bagian bawah penis.
b. Epidemiologi
Sekitar 80% kasus hipospadia adalah isolated hypospadias, yaitu hipospadia tanpa
disertai kelainan kongenital lainnya.
c. Etiologi
- Gangguan & Ketidakseimbangan Hormonal
- Genetika
- Terpapar Polutan
d. Patofisiologi

e. Gejala dan Tanda


- Orificium Urethra terdapat pada bagian bawah
- Penis melengkung ke bawah
- Kelainan pada bagian perputium penis
- Harus duduk saat BAK
f. Tatalaksana
Pembedahan melalui 2 cara yaitu :
- Chordechtomi  Pembuangan jaringan ikat sehingga penis dapat lurus,
- Urethroplastik  Rekonstruksi saluran urethra ke bagian distal.

5. GENITALIA PRIA
A. FIMOSIS
a. Definisi
Fimosis (phymosis) adalah preputium penis yang tidak dapat diretraksi (tarik)
ke proksimal sampai ke korona glandis. Fimosis dialami oleh sebagian besar bayi
baru lahir karena terdapat adhesi alamiah antara preputium dengan glans penis.
Hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan berkembang, dan debris yang
dihasilkan oleh epitel preputium (smegma) mengumpul dan perlahan-lahan
memisahkan preputium dengan glans penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala
membuat preputium terdilatasi sehingga preputium dapat di retraksi kebelakang.
b. Insiden
- Hanya 4% dari bayi yang baru lahir preputium dapat ditarik kebelakang
- Kejadian fimosis 1-2 % dari kelahiran bayi laki-laki
c. Etilogi
Fimosis terjadi karena ruang diantara preputium dan penis tidak berekembang dengan
baik.
d. Pathogenesis dan Patofisiologi

e. Gejala dan Tanda


- Preputium tidak bisa ditarik kebelakang
- Preputium menggelembung seperti balon saat kencing
- Bayi/anak sukar berkemih dan sering menangis saat kencing
- Timbul infeksi pada preputium (prostitis), infeksi glans penis (balanitis) atau
keduanya (balanopostitis)
- Kadang timbul benjolan lunak diujung penis yaitu korpus smegma (timbunan
smegma)
f. Tatalaksana
- Tidak dianjurkan melakukan retraksi secara paksa
- Fimosis yang disertai balanitis diberikan salep deksametason 0,1% dioles 3-4
kalii.
- Tanpa komplikasi ; sirkumsisi setelah usia 2 tahun
- Komplikasi ; Sirkumsisi segera

B. PARAFIMOSIS
a. Definisi
Parafimosis adalah preputium penis yang diretraksi sampai di sulkus
koronarius tidak dapat dikembalikan pada keadaan semula dan timbul jeratan pada
penis dibelakang sulkus koronarius. Menarik (retraksi) preputium ke proksimal
biasanya dilakukan pada saat bersenggama/masturbasi atau sehabis pemasangan
kateter.
b. Patofisiologi
Jika preputium tidak secepatnya dikembalikan ketempat semula maka
menyebabkan gangguan aliran balik vena superficial. Hal ini menyebabkan edema
glans penis dan nyeri. Jika dibiarkan, bagian distal penis akan bengkak dan akhirnya
nekrosis.
c. Diagnosis
- Preputium tidak dapat dikembalikan ketempat semula
- Penis bengkak dan berwarna kebiruan
d. Terapi
- Memijat glans penis 3-5 menit. Diharapkan udema berkurang dan preputium
kembali seperti semula
- Dorsum insisi pada jeratan sehingga preputium kembali pada tempatnya
- Setelah udem berkurang lakukan sirkumsisi.

C. TESTIS MALDESENSUS
Pada masa janin testis berada di rongga abdomen, dan testis mengalami desensus
testikulorum atau turun kedalam kantong skrotum. Beberapa factor yang mempengaruhi
penurunan testis kedalam skrotum antara lain :
1. Adanya tarikan dari gubernakulum testis dan refleks dari otot kremastere
2. Perbedaan pertumbuhan gubernakulum dengan pertumbuhan badan
3. Dorongan dari tekanan intraabdominal

Testis yang tidak mencapai skrotum tetapi masih berada pada jalurnya yang normal
disebut kriptorkismus. Sedangkan bila keluar dari jalur normalnya disebut testis ektopik.

Pada kriptorkismus (Undecended testis) testis masih berada di jalurnya mungkin


terletak di kanalis inguinalis atau di rongga abdomen yaitu terletak diantara fossa renalis
dan annulus inguinalis internus.

Testis ektopik mungkin berada diperineal diluar kanalis inguinalis yaitu diantara
aponeuresis obligqus eksternus dan jaringan subkutan, suprapubik atau diregio femoral.

a. Insidensi
- Angka kejadia kriptorkismus pada bayi premature 30% yaitu 10 kali lebih banyak
dibanding bayi lahir cukup bulan.
- Testis mengalami desensus secara spontan hingga usia 1 tahun sehingga angka
kejadian kriptorkismus tinggal 0,7%
b. Etiologi
- Kelainan pada gubernakulum testis
- Defisiensi hormone gonadotropin
c. Patofisiologi dan Pathogenesis
Suhu di rongga abdomen kurang lebih 1°C lebih tinggi daripada suhu di
skrotum, seehingga testis abdominal selalu lebih tinggi yang menyeebabkan
kerusakan sel-seel epitel germinal testis.
Pada usia 2 tahun sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal telah mengalami
kerusakan dan seiring bertambahnya usia testis akan menjadi mengecil. Akibat lain
dari letak testis abnormal adalah mudah terkena trauma dan keganasan.
d. Gambaran Klinis
- Testis tidak dijumpai di kantong skrotum
- Pasien dewasa mengeluh karena infertilitas. Kadang-kadang merasa ada benjolan
di perut bagian bawah.
- Inspeksi pada regio skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak perenah
ditempati oleh testis.
- Palpasi ; testis tidak tereaba di kantong skrotum
e. Diagnosis banding
- Testis retraktil/kriptorkismus fisiologi
- Anorkismus yaitu testis memang tidak ada
g. Tindakan
- Pemberian hormonal yaitu hormone hCG intranasal
- Operasi yaitu orkidopeksi, meletakkan testis kedalam skrotum

6. GENITALIA WANITA

A. HYMEN INFERFORATA
a. Definisi
Himen adalah suatu membran tipis tidak utuh yang melingkari orifisium
vagina dan mempunyai satu atau beberapa lubang yang memungkinkan keluarnya
aliran darah menstruasi.Bentuk dan ukuran lubang himen bervariasi, tetapi umumnya
robek pada waktu koitus pertama. Himen yang “intak” danggap suatu tanda
keperawanan, tetapi ini tidak dapat diandalkan karena beberapa kasus koitus tidak
berhasil menimbulkan robekan dan pada orang lain himen dapat robek akibat
manipulasi digital.
Hymen Imperforata ialah selaput dara yang tidak menunjukan lubang (Hiatus
Himenalis) sama sekali, suatu kelainan yang ringan dan yang cukup sering dijumpai.
Kemungkinan besar kelainan ini tidak dikenal sebelum menarche.Sesudah itu
molimina menstrualia dialami tiap bulan, tetapi darah haid tidak keluar.Darah itu
terkumpul di dalam vagina dan menyebabkan hymen tampak kebiru-biruan dan
menonjol keluar (Hematokolpos).
Bila keadaan ini dibiarkan, maka uterus akan terisi juga dengan darah haid dan
akan membesar (Hematometra).
b. Penyebab
Hymen imperforata merupakan suatu malformasi kongenital tetapi dapat juga
terjadi akibat jaringan parut oklusif karena sebelumnya terjadi cedera atau
infeksi.Secara embriologi, hymen merupakan sambungan antara bulbus sinovaginal
dengan sinus urogenital, berbentuk membrane mukosa yang tipis.Hymen berasal dari
endoderm epitel sinus urogenital, dan bukan berasal dari duktus mullerian.Hymen
mengalami perforasi selama masa embrional untuk mempertahankan hubungan antara
lumen vagina dan vestibulum.Hymen merupakan lipatan membrane irregular dengan
berbagai jenis ketebalan yang menutupi sebagian orifisium vagina, terletak mulai dari
dinding bawah uretra sampai ke fossa navikularis.
Hymen Imperforata terbentuk karena ada bagian yang persisten dari
membrane urogenital dan terjadi ketika mesoderm dari primitive streak yang
abnormal terbagi menjadi bagian urogenital dari membran cloacal.Hymen Imperforata
tanpa mukokolpos yang berasal dari jaringan fibrous dan jaringan lunak antara labium
minora sulit dibedakan dengan tidak adanya vagina.Aplasia dan atresia vagina terjadi
karena kegagalan perkembangan duktus mullerian, sehingga vagina tidak terbentuk
dan lubang vagina hanya berupa lekukan kloaka.
c. Gejala Klinis
Sebagian kelainan ini tidak dikenali sebelum menarche, setelah itu akan terjadi
molimenia menstrualia (nyeri yang siklik tanpa haid), yang dialami setiap
bulan.Sesekali hymen imperforata ditemukan pada neonatus atau anak kecil.Vagina
terisi cairan (sekret) yang disebut hidrokolpos. Bila diketahui sebelum pubertas, dan
segera diberi penanganan asimptomatik, serta dilakukan hymenektomi, maka dari
vagina akan keluar cairan mukoid yang merupakan kumpulan dari sekresi serviks.
Kebanyakan pasien datang berobat pada usia 13-15 tahun, dimana gejala
mulai tampak, tetapi menstruasi tidak terjadi. Darah menstruasi dari satu siklus
menstruasi pertama atau kedua yang terkumpul di vagina belum menyebabkan
peregangan vagina dan belum menimbulkan gejala.
Hymen Buldging, darah yang terkumpul di dalam vagina (hematokolpos)
menyebabkan hymen tampak kebiru-biruan dan menonjol (hymen buldging) akibat
meregangnya membran mukosa hymen.Keluhan yang timbul pada pasien adalah rasa
nyeri, kram pada perut selama menstruasi dan haid tidak keluar.
Hematometra dan Hematokolpos dengan ultrasonografiila keadaan ini
dibiarkan berlanjut maka darah haid akan mengakibatkan over distensi vagina dan
kanalis servikalis, sehingga terjadi dilatasi dan darah haid akan mengisi kavum
uteri(Hematometra).
Tekanan intra uterin mengakibatkan darah dari kavum uteri juga dapat
memasuki tubafallopi dan menyebabkan hemotosalfing karena terbentuknya adhesi
(perlengketan) pada fimbriae dan ujung tuba, sehingga darah tidak masuk atau hanya
sedikit yang dapat masuk ke kavum peritoneum membentuk hematoperitoneum.
Gejala yang paling sering terjadi akibat over distensi vagina, diantaranya rasa
sakit perut bagian bawah, nyeri pelvis dan sakit di punggung bagian
belakang.Gangguan buang air kecil terjadi karena penekanan dari vagina yang
distensi ke uretra dan menghambat pengosongan kandung kemih.Rasa sakit pada
daerah supra pubik bersamaan dengan gangguan air kecil menimbulkan disuria,
urgensi, inkontinensia overflow, selain itu juga dapat disertai penekanan pada rectum
yang menimbulkan gangguan defekasi.
Gejala teraba massa di daerah supra pubik karena terjadinya pembesaran
uterus, hematometra, distensi kandung kemih, hematoperitoneum, bahkan dapat
terjadi iritasi menyebabkan peritonitis.
d. Penanganan
Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, dan
urinalisa.
- Pemeriksaan Imaging
- Foto abdomen (BNO-IVP), USG abdomen serta MRI Abdominal dan pelvis
dapatmemberikan gambaran imaging untuk uterovaginal anomali.
- Dengan USG dapat segera didiagnosis hematokolpos atau hematometrokolpos,
Selain itu, transrectal ultrasonography dalam membantu delineating complex
anatomy.Apabila dengan USG tidak jelas, diperlukan pemeriksaan MRI.
- USG dan MRI sebagai pemeriksaan penunjang untuk mengetahui apakah ada
kongenital anomali traktus urinaria yang menyertai.
- Tindakan Pembedahan
Apabila hymen imperforata dijumpai sebelum pubertas, membran hymen
dilakukaninsisi/ hymenotomi dengan cara sederhana dengan melakukan insisi
silang (gambar 1)atau dilakukan pada posisi 2, 4, 8 dan 10 arah jarum jam disebut
insisi stellate.
Pendapat lain mengatakan, bila dijumpai hymen imperforata pada anak kecil/
balita tanpa menimbulkan gejala, maka keadaan diawasi sampai anak lebih besar
dan keadaan anatomi lebih jelas, dengan demikian dapat diketahui apakah yang
terjadi hymen imperforata atau aplasia vagina.

B. ATRESIA KEDUA LABIUM MINUS


Kelainan Kongenital ini disebabkan oleh membrana urogenitalis yang tidak
menghilang. Di bagian depan vulva di belakang klitoris ada lubang untuk pengeluaran
air kencing dan darah haid. Koitus walaupun sukar masih dapat dilaksanakan,
malahan dapat terjadi kehamilan.Pada partus hanya diperlukan sayatan di garis tengah
yang cukup panjang untuk melahirkan janin.
Penatalaksanaan: Insisi perlekatan dan menjahit luka-luka yang timbul.

C. HIPERTROFI LABIA MINORA


Hipertrofi labia minora pada alat kelamin wanita merupakan kondisi dimana terjadi
disproporsi dari ukuranlabia minora relatif dari ukuran labia mayora. Bagian lainnya
bergabung dengan klitoris membentuk frenulum. Labia minora bergabung dengan
labiamayora di bagian posterior dan dihubungkan dengan lipatan transversal dikenal
denganfrenulum labia atau fourchette: Kulit dan mukosa labia minora kaya akan kelenjar
sebasea.
Ini dapat terjadi pada satu atau kedua labium minus.Pemberian pengertian bahwa
keadaan tersebut bukan suatu hal yang mengkhawatirkan biasanya cukup.
Penatalaksanaan: bila penderita tetap merasa terganggu karenanya, maka
pengangkatan jaringan yang berlebihan dapat dikerjakan.

D. DUPLIKASI VULVA
a. Definisi
Duplikasi Vulva berarti memiliki dua vulva.Ini jarang sekali ditemukan.Bila
ada, biasanya ditemukan pula kelainan-kelainan lain yang lebih berat, sehingga bayi
itu tidak dapat hidup.
b. Etiologi
Kelainan-kelainan kongenital dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti
keadaan endometrium yang mempengaruhi nutriasi mudigah, penyakit metabolisme,
penyakit virus, akibat obat-obatan teratogenik, dan lain-lain yang terdapat dalam masa
kehamilan. Sebagian besar kelainan ini tidak mengikutsertakan ovarium atau genetalia
eksterna, sehingga diantaranya tidak menampakkan diri sebelum menarche atau
sebelum perkawinan.
Disamping itu, terdapat kelainan-kelainan yang berasal dari kelainan
kromosom khususnya kromosom seks dan gangguan hormonal. Kelainan ini sering
sekali menimbulkan masalah interseks. Pada seorang interseks bisa terdapat bahwa
jenis gonadnya tidak sesuai dengan kromosom seksnya atau dengan morfologi
genetalia interna, dan morfologi genetalia eksterna, khususnya bentuk genetalia
eksterna sedemikian rupa, sehingga jenis kelainan bayi yang bersangkutan tidak dapat
ditentukan dengan segera.
c. Penatalaksanaan
Insisi Perlengketan dan menjahit luka – luka yang timbul.

7. DISORDERS OF SEXUAL DIFFERENTIATION (DSD)


a. Definisi
Suatu keadaan tidak terdapatnya kesesuaian karakteristik yang menentukan
jenis kelamin seseorang, atau bisa juga disebutkan sebagai seseorang yang
mempunyai jenis kelamin ganda (Ambigous Genitalia)
b. Epidemiologi
1: 4.500 – 1: 5.500 bayi lahir hidup. Dimana sebanyak 50% kasus46 XY dapat
diketahui penyebabnya dan 20%secara keseluruhan dapat didiagnosis secara
molekuler. Angka interseksualitas belum pernah diteiliti di Indonesia.
c. Klasifikasi
– 46 XX DSD

– 46 XY DSD

– Sex Chromosom DSD

– Ovotesticular DSD

– 46 XX testicular DSD

d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik DSD dapat terlihat pada masa neonatus atau tidak terlihat
sampai menginjak usia pubertas. Pada masa neonatus, umumnya petugas medis
mendapatkan masalah untuk menentukan jenis kelamin pada bayi yang baru saja
dilahirkan akibat klitoromegali, pembengkakan daerah inguinal pada neonatus
“perempuan”, tidak terabanya testis pada neonatus “laki-laki”, ataupun hipospadia.
Sedangkan pada masa pubertas, umumnya manifestasi dapat berupa terhambatnya
pertumbuhan seks sekunder, amenore primer, adanya virilisasi pada perempuan,
gynecomastia dan infertilitas.
e. Diagnosis
- Anamnesis
Pada anamnesis perlu diperhatikan mengenai :

 Riwayat kehamilan adakah pemakaian obat-obatan seperti hormonal atau


alkohol, terutama pada trimester I kehamilan.

 Riwayat keluarga adakah anggota keluarga dengan kelainan jenis kelamin.

 Riwayat kematian neonatal dini.

 Riwayat infertilitas dan polikistik ovarii pada saudara sekandung orangtua


penderita.

 Perhatikan penampilan ibu akne, hirsutisme, suara kelaki-lakian.

- Pemeriksaan jasmani

 Khusus terhadap genitalia eksterna/status lokalis : tentukan apakah testes teraba


keduanya, atau hanya satu, atau tidak teraba. Bila teraba di mana lokasinya,
apakah di kantong skrotum, di inguinal atau di labia mayora. Tentukan apakah
klitoromegali atau mikropenis, hipospadia atau muara uretra luar. Bagaimana
bentuk vulva, dan adakah hiperpigmentasi

 Tentukan apakah ada anomalia kongenital yang lain.

 Tentukan adakah tanda-tanda renjatan.

 Bagi anak-anak periksalah status pubertas, tentukan apakah ada gagal tumbuh
atau tidak.

- Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium
– Analisis kromosom.

– Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti


testosteron, uji HCG, 17 OH progesteron.

– Pemeriksaan elektrolit seperti Natriurn dan Kalium.

 Pencitraan

– USG pelvis : untuk memeriksa keadaan genital interna.

– Genitografi untuk menentukan apakah saluran genital interna


perempuan ada atau tidak. Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi
pencitraan ini ditujukan terutama untuk menentukan ada/ tidaknya
organ yang berasal dari dari saluran Muller.

f. Tatalaksana
Tatalaksana awal pasien DSD, antara lain :
1. Analisis kromosom

2. Perhatikan Gonad

3. Differensiasi ductus internal dan genitalia eksternal

– Penatalaksanaan DSD meliputi penentuan jenis kelamin (sex assessment), pola


asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal, koreksi secara pembedahan,
dan psikologis. Oleh karena itu pelibatan multi-disiplin ilmu harus sudah
dilakukan sejak tahap awal diagnosis yang meliputi bidang : Ilmu Kesehatan
Anak, Bedah Urologi, Bedah plastik, Kandungan dan Kebidanan, Psikiatri,
Genetika klinik, Rehabilitasi medik, Patologi klinik, Patologi anatomi, dan
Bagian hukum Rumah Sakit/Kedokteran forensik.

– Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan :

 Potensi fertilitas

 Kapasistas fungsi seksual

 Fungsi endokrin.

 Perubahan keganasan
 Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan

 Faktor psikoseksual: gender identity (identitas gender), gender role (peran


gender) dan gender orientation (orientasi gender)

 Aspek kultural

 Informed consent dari keluarga.

Anda mungkin juga menyukai