Anda di halaman 1dari 15

Tatalaksana kolangitis dan

kolesistisis
Kolangitis
• Terapi kolangitis terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier
• Beratnya kolangitis akan menentukan perlu tidaknya dirawat di rumah
sakit
• Penatalaksaan awal adalah konservatif
• Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan
antibiotik dimulai
• Pemilihan antibiotik empiris harus mencerminkan bakteriologi yg diduga
1. Terapi Antibiotik
Beberapa panduan (guidelines) menyarankan :
• Kolangitis akut ringan :
- 2-3 hari dgn sefalosporin generasi pertama atau kedua,
Penisilin dan inhibitor β laktamase
• Kolangitis sedang sampai berat :
- Pemberian Ab minimal 5-7 hari dgn sefalosporin generasi
ketiga atau keempat
Pemilihan AB sebaiknya berdasarkan :
• Sensivitas antibiotik
• Beratnya penyakit
• Ada tidaknya disfungsi ginjal dan hati
• Riwayat pemakaian antibiotik sebelumnya
• Pola resistensi kuman lokal dan penetrasi bilier dari antibiotik
2. Terapi Drainase Bilier
• Biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut untuk menghilangkan
sumber infeksi dan juga karena obstruksi dpt menurunkan ekskresi nilier
antibiotik
• Beratnya penyakit menentukan dan menegaskan saatnya untuk dilakukan
drainase
• Drainase dpt dilakukan pada pasien kolangitis ringan, kolangitis sedang 24-
48 jam dan pada pasien kolangitis berat dilakukan segera karena tidak
akan reposn dgn pemberian antibiotik
Kolesistisis
• Penatalaksanaan pasien dengan kolesistitis tergantung pada derajat
keparahan serta ada tidaknya komplikasi yang menyertai.
• Kasus yang tanpa disertai komplikasi seringkali dapat berobat jalan saja
namun pada kasus yang disertai komplikasi harus dengan terapi
pembedahan.
• Pada pasien yang tidak stabil, drainase perkutaneus kolesistostomi
transhepatik dapat sangat membantu.
• Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi.
• Terapi definitif diantaranya : kolesistektomi disertai penempatan alat
drainase, dan bila terdapat batu maka ERCP juga merupakan pilihan yang
baik.
• Pasien kolesistitis yang rawat inap dan akan dioperasi sebaiknya tidak
mendapat asupan makanan per oral, kecuali bila kolesistitisnya tanpa
komplikasi , pasien masih diijinkan makan dalam bentuk cair serta rendah
lemak per oral hingga tiba saatnya operasi.
1. Terapi awal dan pemberian
Antibiotik

• Untuk kolesistitis akut, terapi awal meliputi


pengistirahatan usus (bowel rest), hidrasi intravena,
koreksi elektrolit, analgesia, dan antibiotik intravena.
Untuk kasus yang ringan, terapi antibiotik menggunakan
satu jenis antibiotik berspektrum luas sudah cukup
memadai.
• Beberapa pilihan untuk jenis terapi awal ini :
a. Sanford guide merekomendasikan piperacillin/tazobactam (Zosyn, 3,375 gram
IV/6 jam atau 4,5 gram IV/8 jam), ampicilin/sulbactam (Unasyn, 3 gram IV/6 jam),
atau meropenem (Merrem, 1 gram IV/8 jam). Pada kasus berat yang mengancam
jiwa, Sanford guide merekomendasikan Imipenem/cilastatin ( primaxin, 500 mg
IV/6 jam).

b. Regimen alternatif meliputi sefalosporin generasi ketiga plus metronidazole


(Flagyl, 1 gram IV bolus diikuti 500 mg IV/6 jam).

c. Bakteri yang biasa ditemukan pada kolesititis adalah : Eschericia coli, Bacteroides
fragilis, Klebsiella, Enterococcus, dan Pseudomonas.

d. Bila terdapat emesis dapat diberikan antiemesis dan suction nasogastrik.

e. Oleh karena sering terjadi progesi yang cepat dari kolesistitis akalkulus menjadi
gangren dan perforasi, deteksi dan intervensi dini sangat dibutuhkan.

f. Obat-obatan suportif dapat diberikan seperti pengatur kestabilan hemodinamik,


antibiotik untuk mengtasi bakteri gram negatif usus dan bakteri anaerobik,
terutama bila curiga adanya infeksi saluran empedu.
2. Terapi konservatif untuk kolesistitis tanpa
komplikasi
•Pasien dapat dirawat jalan pada kasus kolesititis tanpa komplikasi dengan memberikan terapi
antibiotik, analgesik dan kontrol untuk follow up.
•Kriteria pasien yang dapat di rawat jalan adalah :
a. Tidak demam (afebris) dengan tanda vital yang stabil.
b. Tidak ada bukti adanya obstruksi berdasarkan hasil lab.
c. Tidak ada masalah medis lain, usia lanjut, kehamilan serta masalah
immunocompromised.
d. Analgesia yang adekuat.
e. Pasien memiliki sarana dan akses transportasi yang mudah ke sarana kesehatan.
f. Bersedia untuk kontrol/follow up.
•Beberapa obat-obatan yang dapat diberikan :
a. Antibiotik profilaksis : levoflaxacin (Levaquin, 500 mg per oral 1x/hari) dan metronidazole
(500 mg per oral 2x/hari).
b. Antiemetik : prometazin (phenergan) oral/rectal , prochlorperazine (compazine).
c. Analgesik : oxycodone/acetaminophen oral.
3. Kolesitektomi
• Kolesistektomi laparoskopi merupakan terapi bedah standar untuk kolesistitis.
Kolesistektomi dini yang dilakukan dalam 72 jam setelah pasien masuk rumah
sakit, memberikan keuntungan dari sisi medis maupun sosioekonomi. Pada
pasien yang hamil, kolesistektomi laparoskopi dinyatakan aman untuk semua
umur kehamilan namun paling aman pada trimester kedua.

• CT Scan yang dilakukan 72 jam sebelum operasi sangat membantu mendeteksi


adanya kolesistitis gangrenosa yang ditandai dengan : defek pada dinding
kandung empedu, cairan di perikolesistik dan tidak ditemukan adanya batu
empedu.
• Asosiasi dokter bedah gastrointestinal dan endoskopi Amerika (SAGES)
telah mengeluarkan guideline. Guideline ini mencakup petunjuk kapan
melakukan tindakan, prosedur operasi dan manajemen pasien post operasi.
• Berikut beberapa poin lainnya :
a. Antibiotik preoperatif hanya diberikan untuk mengurangi risiko infeksi luka
bedah pada pasien berisiko tinggi dan hanya menggunakan satu dosis
preoperatif saja.

b. Kolangiografi intraoperatif dapat membantu mengenali cedera yang


mungkin terjadi dan menurunkan risiko cedera saluran empedu.

c. Bila cedera duktus biliaris ditemukan, pasien harus dirujuk pada dokter
spesialis hepatobiliari terlebih dahulu sebelum melakukan perbaikan,
kecuali bila dokter bedahnya telah memiliki pengalaman reparasi duktus
biliaris yang memadai.
• Kontraindikasi untuk kolesistektomi laparoskopi antara lain :
a. Berisiko tinggi terhadap anastesi umum.
b. Obesitas berat.
c. Ada tanda perforasi kandung empedu seperti : abses, peritonitis dan fistula.
d. Batu empedu raksasa atau diduga keganasan.
e. Penyakit hati stadium akhir yang disertai hipertensi portal dan koagulopati
berat.
f. SAGES guideline juga menambahkan kontraindikasi yakni : syok septik
akibat kolangitis, pankreatitis akut, peralatan dan tenaga ahli yang tidak
memadai, serta baru saja mendapat prosedur bedah abdominal lainnya.
4. Drainase Perkutaneus
• Untuk pasien yang kontraindikasi/berisiko tinggi terhadap prosedur
bedah, maka terapi Drainase perkutaneus kolesistostomi transhepatik
(yang dipandu USG) merupakan pilihan terapi definitif dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik.
• Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
kolesistitis akalkulus akut dapat diterapi dengan drainase perkutaneus
saja, akan tetapi SAGES guideline menganjurkan bahwa terapi ini hanya
bersifat sementara sampai pasien dapat menerima kolesistektomi.
5. Terapi Endoskopi
• Endoskopi memiliki kelebihan yakni sebagai alat bantu untuk
mendiagnosis juga dapat sebagai terapi. Beberapa prosedur endoskopik
untuk kolesistitis :
a. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Terapi ini
dapat memvisualisasikan anatomi sekaligus dapat menyingkirkan batu
empedu pada duktus biliaris komunis.

b. Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy. Penelitian


menunjukkan bahwa terapi ini aman sebagai terapi awal, interim
maupun definitif untuk pasien dengan kolesistitis akut berat yang
berisiko tinggi terhadap prosedur kolesistektomi.

c. Endoscopic gallbladder drainage. Mutignani dkk, menyimpulkan dalam


penelitiannya terhadap 35 orang pasien kolesistitis akut bahwa terapi ini
efektif untuk kolesistitis akut namun sifatnya hanya sementara saja.

Anda mungkin juga menyukai