Anda di halaman 1dari 40

Hasil Penelitian Akhir

HUBUNGAN KEJADIAN INFEKSI DINI DENGAN ONSET

DEBRIDEMENT PADA PASIEN FRAKTUR TULANG TERBUKA

DIAPHYSIS DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

RISKA OKTAVIA KASMAN

PEMBIMBING

Dr. HUSNUL FUAD ALBAR SpOT

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................

1.1 Latar Belakang .........................................................................................

1.2 Perumusan Masalah ................................................................................

1.3 Hipotesis ....................................................................................................

1.3.1 Tujuan Umum

1.3.2 Tujuan Khusus

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti

1.4.2 Manfaat Bagi Tenaga Kesehatan, Institusi, Akademisi,

Peneliti lain, pasien dan Masyarakat Awam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Terbuka

2.1.1 Definisi

2.1.2 Klasifikasi

2.1.3 Prinsip Penanganan Fraktur Terbuka

2.2 Infeksi Pada Fraktur Terbuka

2.3 Kerangka Teori

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


3

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

3.3.2 Sampel Penelitian

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5 Besar Sampel

3.6 Cara Kerja

3.7 Kerangka Konsep

3.8 Definisi Operasional

3.9 Analisis Data

3.10 Pertimbangan Etik

BAB IV. HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Sampel Penelitian

4.2 Hubungan Kejadian Infeksi Dini dengan Onset Debridement pada Pasien

Fraktur Tulang Terbuka Diaphysis

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

5.2 Hubungan Kejadian Infeksi Dini Dengan Onset Debridement pada Pasien

Fraktur Tulang Terbuka Diaphysis

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
4

6.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Lokasi Fraktur

Gambar 3.1 Cara Kerja

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian


5

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabulasi Silang pada Penelitian

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian]

Tabel 4.2 Tabulasi Silang antara Onset Debridement dengan Kejadian

Infeksi Dini
6
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Fraktur terbuka merupakan salah satu kegawatan orthopaedi sehingga harus

ditangani segera. Frekuensi terjadinya fraktur terbuka berbeda disetiap

wilayah.Hal ini tergantung dari faktor geografik dan sosial ekonomi, jumlah

populasi dan fasilitas kesehatan. Berdasarkan analisis epidemiologi 40% fraktur

terbuka terjadi pada ekstremitas bawah yaitu pada diafisis tibia dan femur. Angka

kejadian fraktur terbuka di Edinburgh Orthopaedic Trauma Unit Scotlandia sejak

Januari 1988 sampai dengan Maret 1994 sebanyak 1000 kasus dengan frekuensi

21,3 kejadian per 100.000 per tahun. Tulang yang paling banyak terkena

adalah tibia (21,6%), femur (12,1 %) radius dan ulna (9,3%) dan humerus (5,7

%).

Pengobatan fraktur terbuka terdiri dari imobilisasi, antibiotik, profilaksis

tetanus, debridement luka operasi, reduksi dan fiksasi fraktur serta restorasi

jaringan lunak, yang outcome-nya dikaitkan dengan tingkat keparahan trauma

awal dan variabel-variabel ini.

Komplikasi yang paling sering terjadi pada fraktur terbuka adalah

infeksi. Insidensi terjadinya infeksi pada luka fraktur terbuka bervariasi.

Dilaporkan jumlah infeksi pada fraktur terbuka, dari 214 kasus fraktur terbuka

didapatkan grade I 41%, grade II 11% dan grade III 15%. Pada kasus ini, 65 %

adalah fraktur pada daerah ekstremitas bawah, setelah dilakukan pemeriksaan

1
2

didapat angka infeksi superfisial 4,5%, infeksi jaringan bagian dalam 3%,

sedangkan osteomyelitis didapat 7%.

Protokol yang menetapkan waktu terbaik untuk debridement pada fraktur

tulang terbuka dalam 6 jam trauma untuk mengurangi risiko infeksi dalam muncul

dari penemuan klasik Friedrich (1898). Waktu antara trauma dan debridement

kadang-kadang lebih besar dari 6 jam, yang diakibatkan oleh berbagai faktor,

termasuk kebutuhan pasien akan perawatan cedera lainnya sebelum tata laksana

fraktur tulang karena pasien trauma yang datang dengan fraktur terbuka sering

memiliki cedera lain lebih parah yang perlu dikelola sebelum debridement dapat

dilakukan penundaan transfer pasien dari unit kesehatan lain dan masalah logistik,

seperti ketersediaan ruang operasi (Fernandes et al, 2015).

Hingga saat ini di Indonesia belum banyak penelitian tentang infeksi pada

fraktur terbuka. Maka dari itu peneliti ingin melihat hubungan kejadian infeksi

dini dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang terbuka diaphysis di

RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Dari rujukan di atas peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan kejadian

infeksi dini dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang terbuka

diaphysis di RSUP H. Adam Malik Medan?

1.3.Hipotesis

Terdapat hubungan kejadian infeksi dini dengan onset debridement pada

pasien fraktur tulang terbuka diaphysis di RSUP H. Adam Malik Medan.


3

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kejadian infeksi dini

dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang terbuka diaphysis di RSUP

H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Memperoleh data angka kejadian infeksi dini pada pasien fraktur tulang

terbuka diaphysis di RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Memperoleh data rerata onset debridement pada pasien fraktur tulang

terbuka diaphysis di RSUP H. Adam Malik Medan.

3. Mengetahui karakteristik penderita fraktur tulang terbuka diaphysis di

RSUP H. Adam Malik Medan

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai informasi mengenai hubungan kejadian infeksi dini dengan onset

debridement pada pasien fraktur tulang terbuka diaphysis di RSUP H. Adam

Malik Medan.
4

1.4.2 Manfaat Bagi Tenaga Kesehatan, Institusi, Akademisi, Peneliti Lain,

Pasien dan Masyarakat awam

Manfaat penelitian ini bagi tenaga kesehatan adalah sebagai bahan pertimbangan

untuk segera melakukan debridement pada pasien fraktur tulang terbuka diaphysis

demi mencegah terjadinya infeksi.

Bagi Institusi akademisi, penelitian ini menambah informasi mengenai hubungan

kejadian infeksi dini dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang terbuka

diaphysis di RSUP H. Adam Malik Medan.

Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan

penelitian lebih lanjut tentang hubungan kejadian infeksi dini dengan onset

debridement pada pasien fraktur tulang terbuka diaphysis serta faktor-faktor apa

saja yang mempengaruhinya.

Bagi pasien dan masyarakat awam, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dan

pemahaman agar tidak terlambat untuk membawa pasien dengan curiga fraktur

tulang terbuka diaphysis ke rumah sakit untuk segera ditangani oleh tenaga

kesehatan.
5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Terbuka

2.1.1 Definisi

Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan

lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya

keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan

kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang relatif rapuh, namun

memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan tekanan. Fraktur dapat

diakibatkan oleh cidera, stress yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal

atau disebut juga fraktur patologis (Solomon et al, 2010).

Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur

dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari

dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami

penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga kedalam. Sedangkan fraktur

tertutup adalah bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia

luar (Lamichhane, 2010).

Setelah patah tulang terjadi maka otot, pembuluh darah, dan jaringan lunak

lainnya mengalami kerusakan. Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan sel

mesenkimal dibedakan yang menonjol dalam tiga sampai lima hari pertama.

Peristiwa biologis yang menyebabkan fraktur yang komplek tidak sepenuhnya

dipahami. Kebanyakan patah tulang sembuh dengan cara pembentukan kalus.


6

Dalam penyembuhan fraktur pada tulang panjang menjalani proses klinis dalam

lima tahap : inflamasi, proliferasi, pembentukan kalus, konsolidasi, remodelling.

Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai

usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan – kerusakan yang dialaminya.

Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor

sistemik, adapun faktor lokal: a) Lokasi fraktur, b) Jenis tulang yang mengalami

fraktur, c) Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil, d) Adanya kontak antar

fragmen. e) Ada tidaknya infeksi. f) Tingkatan dari fraktur. Dan faktor sistemik :

a) umur, b) nutrisi, c) riwayat penyakit sistemik, d) hormonal, e) obat-obatan, f)

rokok.

2.1.2. Klasifikasi

Menurut lokasi, fraktur terbagi atas:

1. Diafisis

2. Metafisis

3. Epifisis

4. Intra artikular

5. Dislokasi fraktur
7

Gambar 2.1. Lokasi Fraktur

Klasifikasi patah tulang terbuka yang dibuat oleh Gustillo and Anderson

pada tahun 1976 sebagai berikut :

1. Tipe I

Panjang luka < 1 cm, biasanya luka tusukan atau puncture dimana patokan

ujung tulang menembus kulit. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada

tanda – tanda Crushing Injury.

Fraktur biasanya simple, tranverse atau oblique pendek dan sedikit

comminutive.

2. Tipe II

Panjang luka > 1 cm dan tidak ada kerusakan jaringan lunak yang luas, flap

atau infeksi. Terdapat Crushing Injury ringan – sedang.


8

Fraktur Communitive sedang dan kontaminasi sedang.

3. Tipe III

Ditandai dengan kerusakan jaringan lunak luas meliputi otot, kulit dan

struktur neurovaskuler serta kontaminasi tinggi, sering disebabkan oleh

trauma high velocity yang menyebabkan derajat communitive dan instabilitas

tinggi. Tipe III ini dibagi lagi menjadi :

a. Tipe IIIA

Jaringan lunak yang meliputi tulang yang patah cukup adekuat meskipun

terdapat laserasi luas, flap atau trauma high velocity, tanpa memandang

ukuran luka.

b. Tipe IIIB

Cedera luas, terdapat atau hilangnya sebagian dari pada jaringan lunak

dan stripping periosteal dan bone expose, kontaminasi dari fraktur

communitive yang berat.

c. Tipe IIIC

Meliputi semua fraktur yang terbuka yang berhubungan dengan

kerusakan pembuluh darah yang harus di repair tanpa memandang cedera

jaringan lunak.

2.1.3. Prinsip Penanganan Fraktur Terbuka

Pada fraktur terbuka terdapat hubungan antara daerah fraktur dengan lingkungan

luar melalui luka, hal ini menyebabkan risiko untuk terjadi infeksi menjadi sangat

tinggi. Dengan demikian penanganan fraktur terbuka tidak hanya bertujuan untuk

memicu penyembuhan fraktur dan pengembalian fungsi, namun juga bertujuan


9

untuk mencegah infeksi (Salter, 1999). Fraktur terbuka termasuk kasus gawat

darurat oleh karena itu beberapa prinsip dalam penanganannya harus diperhatikan

untuk mencapai tujuan penatalaksanaan fraktur terbuka.

a. Pembersihan luka. Kontaminan yang dapat berupa tanah, material pakaian,

maupun material lainnya harus diirigasi dengan larutan saline dalam jumlah

besar. Material yang masih menempel setelah irigasi harus diambil hingga

bersih (Salter, 1999).

b. Debridement. Jaringan yang telah kehilangan suplai darahnya dapat

menghambat proses penyembuhan luka dan merupakan media yang baik

untuk tumbuhnya kuman. Oleh karena itu, jaringan yang sudah mati seperti

kulit, lemak subkutan, fasia, otot, dan fragmen tulang yang kecil harus

dieksisi (Salter, 1999). Disarankan untuk mengambil bahan hapusan untuk

kultur kuman pada tahap ini. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam

tahap ini antara lain:

 Eksisi tepi luka. Tapi luka dieksisi hingga tepi kulit yang sehat.

 Ekstensi luka. Pembersihan luka yang baik membutuhkan pemaparan

yang adekuat. Perlu diberhatikan dalam membuat ekstensi luka agar

tidak mengganggu rencana pembuatan flap untuk penutupan luka

lebih lanjut.

 Pembersihan luka. Semua benda asing harus disingkirkan dari luka.

Larutan saline dalam jumlah besar digunakan untuk mengirigasi luka.

Hindari memasukan cairan irigasi melalui sebuah lubang kecil karena

dapat mendorong benda asing lebih dalam.


10

 Pembuangan jaringan mati. Jaringan otot yang sudah mati harus dapat

dikenali, ciri-cirinya antara lain warna keunguan dengan konsistensi

lembek, otot gagal berkontraksi saat diberikan stimulus, dan tidak

berdarah saat dipotong.

 Saraf dan tendon. Secara umum otot dan tendon yang terpotong

dibiarkan begitu saja tanpa dimanipulasi hingga luka benar-benar

bersih dan tenaga yang ahli tersedia, maka saraf dan tendon tersebut

dapat disambung kembali.

c. Penanganan fraktur. Pada fraktur terbuka tipe I dengan luka yang kecil,

fraktur dapat direduksi secara tertutup setelah luka dibersihkan,

debridementt, dan dibiarkan terbuka. Namun bila luka yang terjadi cukup

besar, biasanya dibutuhkan traksi skeletal atau reduksi terbuka dengan

fiksasi skeletal. Secara umum, fiksasi internal dapat digunakan bila tidak

menyebabkan trauma lebih lanjut dan meningkatkan risiko infeksi.

d. Penutupan luka. Bahkan bila kasus fraktur terbuka mendapatkan

penanganan dalam 6 sampai 7 jam pertama dan dengan kontaminasi

minimal, immediate primary closure merupakan suatu kontraindikasi.

Setelah 4 hingga 7 hari, bilatidak didapatkan tanda-tanda infeksi dapat

dilakukan delayed primary closure. Penumpukan darah dan serum di dasar

luka dapat dicegah dengan membuat drainase luka yang baik.

e. Antibiotika. Agar efektif dalam mencegah infeksi, antibiotika harus

diberikan sebelum, selama, dan setelah penanganan luka. Untuk fraktur

terbuka tipe 1 dan tipe 2 direkomendasikan menggunakan cephalosporin

generasi pertama. Sedangkan pada fraktur terbuka tipe 3 dengan derajat


11

kontaminasi yang lebih tinggi, ditambahkan dengan aminoglikosida. Pada

fraktur terbuka dengan kontaminasi organik, ditambahkan penisilin atau

metronidazole (Fletcher, 2007). Namun demikian penggunaan antibiotika

tidak dapat menjamin sepenuhnya luka akan bebas dari infeksi. Antibiotik

sistemik sulit mencapai jaringan luka yang telah kehilangan suplai

darahnya, oleh karena itu telah dikembangkan berbagai macam metode

untuk memberikan antibiotik secara topikal.

f. Pencegahan tetanus. Semua pasien dengan fraktur terbuka membutuhkan

pencegahan terhadap komplikasi yang jarang ditemui namun mematikan

yaitu tetanus. Bila pasien telah mendapatkan imunisasi tetanus toxoid,

dapat diberikan booster toxoid. Bila tidak didapatkan riwayat imunisasi

tetanus sebelumnya, atau informasi mengenai imunisasi tetanus tidak jelas,

harus diberikan imunisasi pasif dengan menggunakan human immune

globulin tetanus 250 unit.

2.2. Infeksi pada Fraktur Terbuka

Salah satu komplikasi yang berbahaya pada fraktur terbuka adalah infeksi. Oleh

karena itu, pencegahan infeksi merupakan salah satu tujuan utama dalam

penanganan fraktur terbuka. Salah satu cara yang digunakan dalam pencegahan

infeksi adalah penggunaaan antibiotika profilaksis baik secara sistemik maupun

topikal.

Dalam keadaan fisiologis, terdapat berbagai macam bakteria pada

permukaan kulit. Biasanya mikroorganisme akan membentuk agregat mikroba

dalam sebuah lapisan lendir dimana mikroorganisme tersebut menjadi resisten


12

terhadap antagonisnya. Kolonisasi bakteri pada permukaan tidak selalu

berhubungan dengan infeksi. Bakteria seperti Staphylococcus epidermidis, spesies

Streptococcal, and kelompok Gram negatif secara fisiologis dapat ditemukan pada

kulit, mukosa mulut, dan traktus gastrointestinal (Moholkar, 2006).

Bakteri yang tidak berkoloni atau berada dalam kelompok kecil, bersifat

aktif secara metabolik dan rentan terhadap sistim imunitas inangnya maupun

antibiotik yang sesuai. Kolonisasi bakteri baru akan terjadi bila bakteri tersebut

menempel pada sebuah permukaan dan mengalami serangkaian proses yang

kompleks dan teratur sehingga dapat bertahan terhadap sistim imunitas inangnya

maupun faktor eksternal lainnya.

Tulang yang rusak dapat berfungsi sebagai substrat yang baik untuk

kolonisasi bakteri. Struktur tulang relatif aseluler dengan matriks organik yang

terdiri dari prolin, hidroksiprolin, glisin, dan alanin. Matriks organik tersebut

dapat berfungsi sebagai ligand dalam proses adhesi dari bakteri terhadap

permukaan tulang.

Bakteri akan membentuk suatu lapisan glikoprotein pada permukaan non

reaktif pada lingkungan biologis. Pada tahap awal kolonisasi, bakteri masih dapat

dibunuh oleh inangnya. Namun terdapat beberapa kondisi dimana bakteri dapat

bertahan yaitu, jumlah inokulum melebihi batasan sistim imunitas inang, rusaknya

sistim imunitas inang, jaringan tempat bakteri berkoloni mengalami cedera

maupun nekrosis, adanya benda asing, dan adanya permukaan yang aselular

(tulang mati, tulang rawan, dan biomaterial).

Bakteri sampai pada permukaan tulang atau permukaan biomaterial

melalui berbagai macam cara seperti kontaminasi langsung, penyebaran kontinyu,


13

atau secara hematogen. Proses mendekatnya bakteri terhadap permukaan jaringan

akibat adanya gaya Van Der Waals. Keadaan ini memungkinkan bakteri untuk

membentuk ikatan yang bersifat irreversibel terhadap permukaan tersebut

(interaksi reseptor adhesin). Setelah melekat pada permukaan, bakteria mulai

membentuk suatu lapisan lendir polisakarida dan akhirnya terbentuklah koloni

bakteri yang diselubungi oleh lapisan biofilm.

Pemahaman mengenai pembentukan lapisan biofilm oleh bakteri dapat

menjelaskan sulitnya penyembuhan infeksi orthopaedi. Lapisan biofilm hanya

akan terbentuk pada permukaan yang non reaktif atau non viabel. Antibiotik harus

dapat menembus lapisan ini sebelum mencapai bakteri. Lapisan biofilm dapat

digambarkan sebagai sekelompok bakteri yang dikelilingi olek matriks

ekstraselular glikokaliks. Permukaan yang bersifat non reaktif seperti jaringan

nekrotik, implan, dan debris lainnya merupakan media yang baik bagi bakteri

untuk membentuk koloni dan lapisan biofilm. Lapisan biofilm ini dibentuk oleh

eksopolisakarida bakteri ekstrakapsular yang melekat pada permukaan dan

memperkuat agregasi antar bakteri. Karena implan dan material yang digunakan

dalam bidang orthopaedi dapat mengurangi respon kekebalan tubuh, koloni

bakteri tersebut menjadi semakin resisten. Setelah terbentuk koloni, bakteri

menjadi semakin resisten terhadap sistim pertahanan inangnya dan aktivitas

antibiotik.

Tubuh akan berusaha untuk mengendalikan kolonisasi bakteri dengan

membatasi ruang gerak bakteri, sehingga terbentuklah involukrum atau abses.

Sebuah sinus juga dapat ditemukan, sehingga terdapat saluran untuk

mengeluarkan sisa jaringan dan bakteri. Pada akhirnya akan terbentuk sebuah
14

keseimbangan dalam bentuk infeksi kronis. Biasanya ditemukan riwayat gejala

yang intermiten dan drainase yang merespon terhadap antibiotik. Manifestasi

klinis yang berbahaya dari infeksi umumnya disebabkan oleh karena masuknya

bakteri ke dalam aliran darah, pelepasan toksin, dan pelepasan enzim oksidatif

oleh sel inang. Meskipun bakteri tersebut cenderung rentan terhadap sistim

pertahanan tubuh dan antibiotik, namun jumlah bakteri dan masuknya bakteri

secara kontinyu ke dalam aliran darah, atau adanya penurunan sistim pertahanan

tubuh, memungkinkan manifestasi klinis terus berlangsung. Dengan demikian

infeksi dapat terjadi, menyebar dan bertahan dalam lingkungan ini (Moholkar,

2006).
15

2.3. Kerangka Teori

Fraktur tulang terbuka


diaphysis

Mekanisme Antibiotik Waktu Penyakit Derajat Terapi


cedera profilaksis dimulainya penyerta fraktur definitif
debridement lainnya fraktur

 Grade I
 Fraktur
 ≤ 6 jam  Grade II
 Kecelakaan terbuka tipe  DM tipe 2  OREF
 > 6 jam  Grade III
lalu lintas I, II:  Penyakit  ORIF
 Jatuh dari sefalosforin ginjal
ketinggian generasi I  Gangguan
 Fraktur
 Cidera pembekuan
terbuka tipe
akibat darah
III:
olahraga sefalosforin  Penyakit
 Cidera generasi I + paru
akibat aminoglikos obstruktif
kekerasan ida kronis
fisik  Kontaminasi
 Tertimpa organic (+):
benda berat ditambahkan
metronnida-
zol dan
penisilin

Infeksi Dini Pasca Debridement


16

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain Cross Sectional untuk melihat

hubungan kejadian infeksi dini dengan onset debridement pada pasien fraktur

tulang terbuka diaphysis di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi

Fakultas Kedokteran USU/ RSUP H Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan

sejak proposal penelitian ini disetujui oleh Komite Etik FK USU.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita fraktur tulang terbuka diaphysis

yang berobat di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah penderita fraktur tulang terbuka diaphysis yang berobat

di RSUP H. Adam Malik Medan sejak bulan Januari hingga Desember 2018 yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


17

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

 Penderita fraktur tulang terbuka diaphysis yang masuk ke rumah sakit

melalui IGD.

 Penderita fraktur tulang terbuka diaphysis yang dilakukan debridement di

KBE.

 Penderita fraktur tulang terbuka diaphysis yang dilakukan pemberian

antibiotik saat masuk dan selama dirawat di rumah sakit.

 Penderita fraktur tulang terbuka diaphysis yang telah diberikan profilaksis

anti tetanus.

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

 Penderita yang diamputasi sebagai tata laksana gawat darurat.

 Penderita yang loss to follow up (meninggal)

 Pasien dengan penyakit penyerta lainnya seperti diabetes mellitus tipe 2,

penyakit ginjal, gangguan pembekuan darah dan penyakit paru obstruktif

kronis.

1.5. Besar Sampel

Untuk menentukan besar sampel tunggal minimal pada uji hipotesis dengan

menggunakan koefisien korelasi dihitung dengan rumus di bawah ini (Madiyono

et al, 2011):
2
(𝑧𝛼 + 𝑧𝛽 )
𝑛= [ ] +3
0,5ln(1 + 𝑟⁄1 − 𝑟)
18

Keterangan:

n: besar sampel

zα : Derivat baku α, dihitung dari kesalahan tipe I. Pada penelitian ini,

ditetapkan kesalahan tipe I adalah 5% sehingga nilai zα two-tailed adalah

1,96.

zβ : Derivat baku β, dihitung dari kesalahan tipe II. Pada penelitian ini,

ditetapkan kesalahan tipe II adalah 20% sehingga nilai zβ adalah 0,84.

r : koefisien korelasi yang diharapkan. Pada penelitian ini, peneliti

mengharapkan penelitian ini setidaknya menunjukkan korelasi sedang

yaitu nilai koefisien korelasi 0,6-0,79, sehingga diambil nilai r adalah 0,6.

Sehingga berdasarkan rumus di atas, besarnya sampel minimal yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah:


2
(𝑧𝛼 + 𝑧𝛽 )
𝑛= [ ] +3
0,5ln(1 + 𝑟⁄1 − 𝑟)

2
(1,96 + 0,84)
𝑛= [ ] +3
0,5ln(1 + 0,6⁄1 − 0,6)

2,8 2
𝑛= [ ] +3
0,5ln(4)

𝑛 = 19,32

Maka didapatkan jumlah sampel minimal 20 orang.


19

3.6 Cara Kerja

Penderita fraktur diaphysis tulang


terbuka (data diambil dari RM)

Kriteria inklusi dan eksklusi

Telah dilakukan debridement dan stabilisasi fraktur

Diambil data : usia, jenis kelamin, mekanisme trauma, tulang yang mengalami fraktur,
klasifikasi fraktur menurut Gustilo-Anderson, waktu antara trauma dan debridement, jenis
tindakan operasi definitif, lama rawatan, terhadap pasien dengan onset debridement ≤ 6 jam dan
> 6 jam

Dilihat dari follow up rekam medis selama 30 hari adanya tanda-tanda klinis infeksi dini
(eritema, hangat, bengkak, atau keluar sekret yang menandakan infeksi) dan uji diagnosis
tambahan (kadar leukosit, laju endap darah, hasil kultur)

Analisis data dengan SPSS ver 20.


Dinilai hubungan antar variabel dengan uji Chi Square

Gambar 3.1 Cara kerja


20

3.7. Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

Onset dilakukannya
Kejadian infeksi dini
debridement
(30 hari)
(≤ 6 jam dan > 6 jam)

 Usia
 Penyakit penyerta lainnya
 Derajat fraktur terbuka

Variabel Perancu

Gambar 3.2. Kerangka Konsep Penelitian

3.8Definisi Operasional

1. Fraktur tulang tebuka diaphysis adalah fraktur dimana terdapat hubungan

fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut

yang menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit

dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar

hingga kedalam.

2. Onset debridement adalah waktu mulai dari pasien mengalami fraktur

terbuka hingga waktu dimulai debridement di kamar operasi dalam satuan

jam yaitu ≤ 6 jam dan > 6 jam

3. Infeksi dini dinilai dalam kurun waktu follow up 30 hari setelah

debridementberdasarkan adanya parameter infeksi


21

4. Parameter infeksi merupakan adanya tanda-tanda inflamasi pada luka

operasi seperti eritema, hangat, bengkak, atau keluar sekret yang

menandakan infeksi (pus) dan disertai adanya leukositosis, peningkatan

laju endap darah, maupun hasil kultur positif

5. Data demografi terdiri dari usia dan jenis kelamin.

a. Usia adalah usia kronologis seseorang yang didata berdasarkan

kartu identitas pasien.

b. Jenis kelamin ditetapkan dengan menilai langsung jenis kelamin

penderita dan melihat kartu identitas pasien.

6. Mekanisme trauma adalah mekanisme terjadinya trauma yang

menyebabkan fraktur tulang terbuka. Terdiri atas:

a. Kecelakaan lalu lintas

b. Jatuh dari ketinggian

c. Cedera akibat olahraga

d. Cedera akibat kekerasan fisik

e. Tertimpa benda berat

7. Tulang yang terkena fraktur terbuka terbagi atas: humerus, radius, ulna,

femur, tibia, fibula

8. Klasifikasi fraktur terbuka dinilai menggunakan klasifikasi Gustilo-

Anderson yaitu derajat I, II, IIIA, IIIB dan IIIC.

9. Terapi definitif yang dilakukan adalah tindakan untuk menyambung

kembali tulang yang fraktur, terdiri dari: fiksasi eksternal, cast, plate and

screw, fiksasi eksternal + Kirchner wire, traksi skeletal, intramedullary

rod, tension band, dan Kirchner wire.


22

10. Lama rawatan adalah durasi pasien dirawat di rumah sakit, dinilai dalam

satuan hari.

3.9 Analisis Data

Data yang sudah dikumpulkan, diolah, dan disajikan secara deskriptif dalam

bentuk tabel atau diagram dan dijelaskan dengan narasi. Sedangkan untuk menilai

hubungan antar variabel digunakan uji Chi Square yang disajikan dalam bentuk

tabel 2x2 (tabel 3.1) dengan menggunakan program SPSS ver. 20.

Tabel 3.1. Tabulasi Silang pada Penelitian Ini

Onset Infeksi
Debridement Ya Tidak
>6 jam
≤ 6 jam

3.10 Pertimbangan Etik

Karena peneliti menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, maka sebagai

manusia harus dilindungi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dalam

pertimbangan etik yaitu: responden mempunyai hak untuk memutuskan apakah ia

bersedia untuk menjadi subjek atau tidak tanpa sanksi apapun. Responden juga

mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus dirahasiakan,

untuk itu perlu adanya nama (anonimity) dan confidentiality.


23

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Pada penelitian ini, 56 subjek didiagnosis dengan fraktur tulang terbuka diaphysis.

Mayoritas penderita fraktur tulang terbuka diaphysis adalah laki-laki yaitu 41

orang (73,2%), dengan usia rata-rata 34,46 tahun. Fraktur tulang terbuka diaphysis

yang paling sering ditemukan pada penelitian ini adalah fraktur tibia sebanyak 22

kasus (39,3%), diikuti dengan fraktur radius sebanyak 16 kasus (28,6%), dengan

derajat fraktur terbuka terbanyak adalah derajat IIIA sebanyak 24 pasien (42,9%).

Mekanisme trauma yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas sebanyak 46

kasus (82,1%). Rata-rata onset debridement dilakukan pada 12,46 jam setelah

fraktur terjadi. Tiga puluh sembilan pasien (69,6%) menjalani prosedur definitif

berupa OREF. Rentang lama rawatan adalah 4 – 12 hari dengan rata-rata 6,41

hari. Karakteristik sampel penelitian terlampir pada Tabel 4.1.


24

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)


Jenis kelamin
Laki-laki 41 73,2
Perempuan 15 26,8
Usia (tahun) (Mean(±SD)) 34,46 (±12,856)
Tulang yang mengalami fraktur
Humerus 2 3,6
Radius 16 28,6
Ulna 2 3,6
Femur 8 14,3
Tibia 22 39,3
Fibula 6 10,7
Derajat fraktur terbuka
I 3 5,4
II 10 17,9
IIIA 24 42,9
IIIB 19 33,9
Mekanisme trauma
Kecelakaan lalu lintas 46 82,1
Jatuh dari ketinggian 5 8,9
Kekerasan fisik 2 3,6
Tertimpa benda berat 3 5,4
Onset debridement (jam) (Mean(±SD)) (12,46(±10,523))
Terapi definitif
OREF 39 69,6
ORIF 17 30,4
Lama rawatan (hari) (Mean(±SD)) (6,41(±1,735))
25

4.2Hubungan Kejadian Infeksi Dini dengan Onset Debridement pada Pasien

Fraktur Tulang Terbuka Diaphysis

Proporsi kejadian infeksi dini pada fraktur tulang terbuka diaphysis di RSUP H.

Adam Malik Medan adalah 30,35%. Untuk mengetahui hubungan antara kejadian

infeksi dini dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang terbuka

diaphysis, dilakukan uji Chi Square. Hasil uji Chi Square didapatkan nilai p 0,062

(Tabel 4.2)

Tabel 4.2 Tabulasi Silang antara Onset Debridement dengan Kejadian

Infeksi Dini

Infeksi Dini
Nilai p
Ya Tidak

> 6 jam 3 17
Onset Debridement
≤ 6 jam 14 22

Pada penelitian ini juga didapatkan rasio prevalensi dengan menggunakan

rumus yaitu sebagai berikut:

𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑝𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑎𝑝𝑎𝑟


𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 =
𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑝𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑎𝑝𝑎𝑟
3
20
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 = 14
36

𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 = 0,385


26

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Sampel Penelitian

Pada penelitian ini dijumpai penderita fraktur tulang terbuka diaphysis berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 41 orang (73,2%), dan perempuan sebanyak 15 orang

(26,8%), dengan usia rata-rata 34,46 tahun. Hal ini sejalan dengan kebanyakan

studi lainnya. Penelitian oleh Fernandes dkk (2015)juga menemukan mayoritas

sampel penelitian adalah laki-laki (118 orang (78,14%)) dan 33 orang (21,85%)

perempuan dengan usia rata-rata pasien adalah 31,76 (antara 3-87) tahun

(Fernandes et al. 2015). Penelitian lain menemukan usia rata-rata (SD) adalah

33,9 (16,3) tahun yang 79,0% sampelnya adalah laki-laki (Srour et al.

2015).Penelitian lainnya juga menyebutkan laki-laki memiliki insidens fraktur

tulang panjang yang lebih tinggi yaitu 21,5 per 100.000 pasien, dibandingkan

dengan wanita dengan insidens 12,3 per 100.000 pasien per tahun (Taki et al,

2017).

Penelitian ini menemukan fraktur tibia (39,3%) merupakan fraktur tulang

terbuka diaphysis yang paling sering terjadi, diikuti oleh radius (28,6%), femur

(14,3%), fibula (10,7%)serta humerus dan ulna (masing-masing 3,6%). Dalam

penelitian sebelumnya diamati 76 patah tulang tibia, yang merupakan tulang yang

paling terkena, yaitu 50,3% dari patah tulang (Fernandes et al. 2015). Lokasi

fraktur yang paling sering dari fraktur terbuka adalah tibia (48,3%), diikuti oleh

femur (21,9%), radius-ulna (21,3%), dan humerus (8,6%) (Srour et al. 2015).
27

Menurut derajat fraktur terbuka, penelitian ini mendapati derajat fraktur

terbanyak adalah derajat IIIA sebanyak 24 pasien (42,9%).Sejalan dengan

Fernandes dkk (2015) yang juga menemukan distribusi fraktur menurut Gustilo-

Anderson yaitu 27 (17,88%) fraktur merupakan derajat I, 42 (27,81%) derajat II,

dan 82 (54,30%) derajat III diamati. Dari jumlah tersebut, 75 kasus adalah derajat

IIIA (49,66%), 2 kasus derajat IIIB (1,32%), dan 5 kasus derajat IIIC (3,31%).

Mekanisme trauma yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas

sebanyak 46 kasus (82,1%). Kecelakaan lalu lintas mendominasi sebagai

mekanisme trauma utama, melibatkan 112 (74,18%) pasien. Mekanisme trauma

lainnya adalah jatuh dari ketinggian (7,95%), cedera akibat senjata api (4,64%),

cedera akibat olahraga (2,64%), kekerasan fisik (1,98%), crushing injury (1,32%),

dan sebagian besar cedera (78,4%) disebabkan oleh trauma tumpul (Fernandes et

al. 2015).

Pada penelitian ini, rata-rata onset debridement dilakukan pada 12,46 jam

setelah fraktur terjadi. Namun, alasan yang menyebabkan penundaan debridement

bukanlah menjadi fokus pada penelitian ini. Pada penelitian oleh Srour dkk

(2015), 64 (20,3%) pasien menjalani debridement dalam 6 jam setelah cedera, 70

(22,2%) pasien antara 7 – 12 jam, 98 (31,1%) pasien antara 13 – 18 jam, dan 83

(26,3%) pasien antara 19 – 24 jam.

Tiga puluh sembilan pasien (69,6%) menjalani prosedur definitif berupa

OREF pada penelitian ini. Fernandes dkk (2015) menemukan tindakan yang

dilakukan untuk menstabilkan fraktur di unit gawat darurat adalah fiksator

eksternal (69,29%), fiksator eksternal disertai dengan fiksator internal minimal

(3,15%), plateand screw (6,3%), intramedullary nails (0, 79%), Kirschner wire
28

(2,36%), imobilisasi atau traksi (14,96%). Dari 151 kasus patah tulang dalam

penelitian Fernandes dkk, 83 kasus (54,96%) dari mereka menjalani tatalaksana

definitif pada operasi kedua. Penelitian lain menemukan 59% kasus membutuhkan

fiksasi internal, dan frekuensi intervensi ini berbeda secara signifikan antara

kelompok yang menjalani debridement dalam waktu kurang dari 6 jam pasca

trauma dan kelompok yang menjalani debridement dalam waktu 19 hingga 24 jam

(48,4% dibandingkan dengan 72,3%; p = 0,02) (Srour et al. 2015).

Pada penelitian ini didapati rentang lama rawatan adalah 4 – 12 hari

dengan rata-rata 6,41 hari. Hal ini berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya

yang menemukan rata-rata lama rawatan adalah 21 ± 13 hari (Enninghorst et al.

2011).

5.2 Hubungan Kejadian Infeksi Dini dengan Onset Debridement pada Pasien

Fraktur Tulang Terbuka Diaphysis

Tata laksana fraktur terbuka telah menjadi topik yang kontroversi. Di rumah sakit

yang merawat pasien yang menderita trauma, terdapat konsensus bahwa tata

laksana awal fraktur ini idealnya dilakukan dalam waktu kurang dari 6 jam. Teori

ini didasarkan pada penelitian Friedrich yang menggunakan tanah dan debu

sebagai agen infeksi untuk luka pada hewan percobaan. Dalam studinya ia

menunjukkan bahwa fase awal pertumbuhan bakteri pada luka yang

terkontaminasi berakhir dalam 6 sampai 8 jam setelah inokulasi. Setelah waktu

ini, debridement akan kurang efektif untuk mengendalikan infeksi pada luka.

Friedrich kemudian merekomendasikan pembersihan dan eksisi sirkumferensial

dalam waktu 6 jam.


29

Penelitian ini menemukan nilai p = 0,062 pada analisis hubungan kejadian

infeksi dini dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang terbuka

diaphysis, artinya peneliti tidak menemukan hubungan yang signifikan antara

kejadian infeksi dini dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang terbuka

diaphysis di RSUP H. Adam Malik Medan. Meskipun ada kemungkinan

kesalahan tipe II (karena jumlah kasus yang terbatas) dalam penelitian ini, kami

tidak menemukan signifikansi statistik antara onset debridement dan kejadian

infeksi dini.

Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian prospektif retrospektif dan

terbatas yang meneliti efektivitas debridement awal hanya pada fraktur tibia.

Dalam analisis retrospektif dari 103 pasien dengan fraktur tibia terbuka, Khatod

dkk (2003) tidak menemukan peningkatan dalam kejadian infeksi pada pasien

yang menjalani debridement dalam waktu kurang dari 6 jam dibandingkan dengan

mereka yang menjalani debridement setelah 6 jam. Demikian pula, Tripuraneni

dkk (2008) menunjukkan dalam tinjauan retrospektif dari 206 pasien dengan

fraktur tibia terbuka bahwa tidak ada perbedaan dalam hasil infeksi berdasarkan

debridement kurang dari 6 jam, 6 hingga 12 jam, dan 12 hingga 24 jam.

Enninghorst dkk (2011) secara prospektif menunjukkan dalam penelitian terhadap

89 pasien bahwa debridement fraktur tibia terbuka dalam rata-rata 8 jam

menyimpulkan bahwa derajat fraktur merupakan satu-satunya penentu komplikasi

infeksi pada pasien dengan trauma tumpul. Tidak ada perbedaan dalam

komplikasi infeksi antara kelompok debridement dini (≤6 jam) dan debridement

tertunda (>6 jam).


30

Dalam sebuah penelitian retrospektif dari 67 pasien dengan fraktur tibia

terbuka derajat III, Singh dkk (2012) menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan dalam tingkat infeksi untuk debridement dini (≤6 jam) dibandingkan

dengan debridement tertunda (>6 jam). Pollak (2010) menunjukkan dalam sebuah

penelitian prospektif dari 307 pasien dengan fraktur terbuka ekstremitas bawah

kelas III Gustilo bahwa tidak ada perbedaan dalam komplikasi infeksi untuk 3

kelompok waktu debridement (<5 jam, 5-10 jam, dan>10 jam). Di Inggris, Al-

Arabi dkk (2007) menunjukkan dalam studi prospektif dari 237 pasien dengan

patah tulang panjang selama periode 9 tahun bahwa tidak ada perbedaan dalam

tingkat komplikasi infeksi untuk debridement kurang dari 6 jam atau lebih dari 6

jam. Penelitian oleh Fernandes dkk menemukan ada 20 (13,24%) kasus infeksi

secara keseluruhan, dari jumlah tersebut, 7 kasus (35%) berada dalam kelompok

yang dilakukan debridement dalam 6 jam pertama.

Karena berbagai alasan, debridement tidak selalu dapat dilakukan dalam 6 jam

pertama. Dalam beberapa kasus, debridement ini dilakukan oleh ahli bedah dan

ahli anestesi yang kelelahan pada waktu yang tidak tepat (Landrigan et al 2004).

Waktu tunggu antara 6 hingga 24 jam untuk tata laksana bedah pada fraktur dapat

memungkinkan perencanaan praoperasi tata laksana definitif yang lebih baik,

penilaian keparahan cedera terkaityang lebih baik, sehingga terjadi stabilisasi

klinis yang memadai. Dalam literatur saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang

melaporkan bahwa keterlambatan debridement mempengaruhi kejadian infeksi

(Mathes et al. 2006).


31

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian infeksi dini

dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang terbuka diaphysis di

RSUP H. Adam Malik Medan (nilai p = 0,062).

2. Onset debridement ≤ 6 jam atau > 6 jam bukan merupakan faktor risiko

terjadinya infeksi dinipada pasien fraktur tulang terbuka diaphysis di

RSUP H. Adam Malik Medan (nilai rasio prevalensi = 0,385).

6.2 Saran

1. Penelitian selanjutnya dapat mencari hubungan setiap karakteristik sampel

yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi dini pada fraktur tulang

terbuka diaphysis.

2. Penelitian selanjutnya diharapkan mencari tahu penyebab keterlambatan

dilakukan debridement sebagai bahan evaluasi untuk keselamatan pasien.

3. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan secara prospektif untuk

menyingkirkan faktor-faktor lain selama dalam masa pengamatan follow

up 30 hari yang mempengaruhi kejadian infeksi seperti akibat perawatan

luka yang salah selama berobat jalan.


32

DAFTAR PUSTAKA

Al-Arabi YB, Nader M, Hamidian-Jahromi AR, Woods DA. 2007. The effect

of the timing of antibiotics and surgical treatment on infection rates in

open long-bone fractures: a 9-year prospective study from a district

general hospital. Injury.;38(8):900-905.

Apley, A.C& Solomon, L. 1995. Buku AjarOrthopaedi dan fraktur Sistem

Apley, ed 7. Jakarta: Widya Medika.

Buckley, R. 2004. General Principle of Fracture Care, Department of Surgery,

Division of Orthopaedi, University of Calgary, Canada:4-32,

Calhoun JH and Manring MM. 2005. Adult Osteomyelitis.Infect Dis N Am;

19:765-786

Court-Brown CM, Brewster N. 1996. Epidemiology of Open Fracture. Court-

Brown CM, McQueen MM, Quaba AA (eds), Management of Open

Fractures. London: Martin Dunitz, 25-35

Enninghorst N, McDougall D, Hunt JJ, Balogh ZJ. 2011. Open tibia fractures:

timely debridement leaves injury severity as the only determinant of poor

outcome. J Trauma.;70(2):352-356.

Fahmi, I., Siregar, C. 2017. Karakteristik Penderita Infeksi Pasca Operasi Fiksasi

Interna Ekstremitas Bawah di Instalasi Bedah Pusat RSUP Haji Adam

Malik Medan Periode Januari 2012 - Juni 2014. Majalah Kedokteran

Nusantara. 50(3):
33

Fernandes, M.C., Peres, L.R., Neto, A.C.Q., et al. 2015. Open Fractures and the

Incidence of Infection in the Surgical Debridement 6 Hours after Trauma.

Acta Ortop Bras;23(1):38-42. DOI: http://dx.doi.org/10.1590/1413-

78522015230100932

Friedrich PL. 1898. Die aseptische Versorgung frischer Wunden. Arch Klin

Chir.;57:288-310.

Gustilo RB, Anderson JT. 1976. Prevention of infection in the treatment of one

thousand and twenty-five open fractures of long bones; retrospective and

prospective analyses. J Bone Joint Surg Am;58:453-8.

Khatod M, Botte MJ, Hoyt DB, Meyer RS, Smith JM, Akeson WH. 2003.

Outcomes in open tibia fractures: relationship between delay in treatment

and infection. J Trauma.;55(5):949-954.

Landrigan CP, Rothschild JM, Cronin JW, Kaushal R, Burdick E, Katz JT, et al.

2004. Effect of reducing interns' work hours on serious medical errors in

intensive care units. N Engl J Med.;351(18):1838-48.

Mathes S, Guy P, Brasher P. 2006. Timing of operative management in the

treatment of open fractures: does delay to or increase the risk of

complications? In: Annual Meeting of the Orthopaedic Trauma

Association, Phoenix, Arizona, October 7.

Pollak AN. 2010. The relationship between time to surgical debridement and

incidence of infection after open high-energy lower extremity trauma. J

Bone Joint Surg Am.;92(1):7-15.

Rasjad C. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi: Struktur dan Fungsi Tulang.

3rd ed. Jakarta: Yarsif.; 317-478


34

Reddy SC, Zgonis MH and Aurbach JD.2008. Musculosceletal Infection. In:

Chin KRand Samir M. Orthopaedic Key Review Concepts. 1st

edition. Philadelphia. Lipincott Wiliam and Wilkins..48-51

Salter RB. 2009. Treatment for open fractures. In : Textbook of disorders and

injuries of the musculoskeletal system. Third ed. Baltimore : The Williams

& Wilkins Co.

Singh J, Rambani R, Hashim Z, Raman R, Sharma HK. 2012: The relationship

between time to surgical debridement and incidence of infection in grade

III open fractures. Strategies Trauma Limb Reconstr.;7(1):33-37.

Srour M, Inaba K., Okoye O et al. 2015. Prospective Evaluation of Treatment of

Open FracturesEffect of Time to Irrigation and Debridement. JAMA Surg.

DOI:10.1001/jamasurg.2014.2022

Taki H, Memarzadeh A, Trompeter A, Hull P. 2017. Closed fractures of the tibial

shaft in adults. Orthopaedics and Trauma, 31(2) 116 – 124. Available at:

https://doi.org/10.1016/j.mporth.2016.09.012

Tripuraneni K, Ganga S, Quinn R, Gehlert R. 2008. The effect of time delay to

surgical debridement of open tibia shaft fractures on infection rate.

Orthopedics.;31(12):1-5.

Zuluaga AF, Galvis W, Saldarriaga JG, Agudelo M, Salahazar BE, Vesga O.

2006. Etiologic Diagnosis of Chronic Osteomyelitis.Arch Intern Med..

166:95 100.

Anda mungkin juga menyukai