Anda di halaman 1dari 5

27

BAB 5

PEMBAHASAN

1.1. Karakteristik Sampel Penelitian

Pada penelitian ini dijumpai penderita fraktur tulang terbuka diaphysis berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 41 orang (73,2%), dan perempuan sebanyak 15 orang

(26,8%), dengan usia rata-rata 34,46 tahun. Hal ini sejalan dengan kebanyakan

studi lainnya. Penelitian oleh Fernandes dkk (2015) juga menemukan mayoritas

sampel penelitian adalah laki-laki (118 orang (78,14%)) dan 33 orang (21,85%)

perempuan dengan usia rata-rata pasien adalah 31,76 (antara 3-87) tahun

(Fernandes et al. 2015). Penelitian lain menemukan usia rata-rata (SD) adalah

33,9 (16,3) tahun yang 79,0% sampelnya adalah laki-laki (Srour et al. 2015).

Penelitian lainnya juga menyebutkan laki-laki memiliki insidens fraktur tulang

panjang yang lebih tinggi yaitu 21,5 per 100.000 pasien, dibandingkan dengan

wanita dengan insidens 12,3 per 100.000 pasien per tahun (Taki et al, 2017).

Penelitian ini menemukan fraktur tibia (39,3%) merupakan fraktur tulang

terbuka diaphysis yang paling sering terjadi, diikuti oleh radius (28,6%), femur

(14,3%), fibula (10,7%) serta humerus dan ulna (masing-masing 3,6%). Dalam

penelitian sebelumnya diamati 76 patah tulang tibia, yang merupakan tulang yang

paling terkena, yaitu 50,3% dari patah tulang (Fernandes et al. 2015). Lokasi

fraktur yang paling sering dari fraktur terbuka adalah tibia (48,3%), diikuti oleh

femur (21,9%), radius-ulna (21,3%), dan humerus (8,6%) (Srour et al. 2015).

Menurut derajat fraktur terbuka, penelitian ini mendapati derajat fraktur

terbanyak adalah derajat IIIA sebanyak 24 pasien (42,9%). Sejalan dengan


28

Fernandes dkk (2015) yang juga menemukan distribusi fraktur menurut Gustilo-

Anderson yaitu 27 (17,88%) fraktur merupakan derajat I, 42 (27,81%) derajat II,

dan 82 (54,30%) derajat III diamati. Dari jumlah tersebut, 75 kasus adalah derajat

IIIA (49,66%), 2 kasus derajat IIIB (1,32%), dan 5 kasus derajat IIIC (3,31%).

Mekanisme trauma yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas

sebanyak 46 kasus (82,1%). Kecelakaan lalu lintas mendominasi sebagai

mekanisme trauma utama, melibatkan 112 (74,18%) pasien. Mekanisme trauma

lainnya adalah jatuh dari ketinggian (7,95%), cedera akibat senjata api (4,64%),

cedera akibat olahraga (2,64%), kekerasan fisik (1,98%), crushing injury (1,32%),

dan sebagian besar cedera (78,4%) disebabkan oleh trauma tumpul (Fernandes et

al. 2015).

Pada penelitian ini, rata-rata onset debridement dilakukan pada 12,46 jam

setelah fraktur terjadi. Namun, alasan yang menyebabkan penundaan debridement

bukanlah menjadi fokus pada penelitian ini. Pada penelitian oleh Srour dkk

(2015), 64 (20,3%) pasien menjalani debridement dalam 6 jam setelah cedera, 70

(22,2%) pasien antara 7 – 12 jam, 98 (31,1%) pasien antara 13 – 18 jam, dan 83

(26,3%) pasien antara 19 – 24 jam.

Pada penelitian ini didapati rentang lama rawatan adalah 4 – 12 hari

dengan rata-rata 6,41 hari. Hal ini berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya

yang menemukan rata-rata lama rawatan adalah 21 ± 13 hari (Enninghorst et al.

2011).
29

5.2 Hubungan Kejadian Infeksi Dini dengan Onset Debridement pada Pasien

Fraktur Tulang Terbuka Diaphysis

Tata laksana fraktur terbuka telah menjadi topik yang kontroversi. Di rumah sakit

yang merawat pasien yang menderita trauma, terdapat konsensus bahwa tata

laksana awal fraktur ini idealnya dilakukan dalam waktu kurang dari 6 jam. Teori

ini didasarkan pada penelitian Friedrich yang menggunakan tanah dan debu

sebagai agen infeksi untuk luka pada hewan percobaan. Dalam studinya ia

menunjukkan bahwa fase awal pertumbuhan bakteri pada luka yang

terkontaminasi berakhir dalam 6 sampai 8 jam setelah inokulasi. Setelah waktu

ini, debridement akan kurang efektif untuk mengendalikan infeksi pada luka.

Friedrich kemudian merekomendasikan pembersihan dan eksisi sirkumferensial

dalam waktu 6 jam.

Penelitian ini menemukan nilai p = 0,062 pada analisis hubungan kejadian

infeksi dini dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang terbuka

diaphysis, artinya peneliti tidak menemukan hubungan yang signifikan

antarakejadian infeksi dini dengan onset debridement pada pasien fraktur tulang

terbuka diaphysisdi RSUP H. Adam Malik Medan. Meskipun ada kemungkinan

kesalahan tipe II (karena jumlah kasus yang terbatas) dalam penelitian ini, kami

tidak menemukan signifikansi statistik antara onset debridement dan kejadian

infeksi dini.

Namun pada penelitian ini didapatkan nilai rasio prevalens sebesar 2,53.

Artinya, kelompok dengan onset debridement > 6 jam memiliki faktor risiko 2

kali lipat lebih besar untuk terjadi infeksi dibandingkan dengan kelompok dengan
30

onset debridement ≤ 6 jam. Sayangnya hasil penelitian ini dinilai tidak bermakna

(p = 0,062).

Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian prospektif retrospektif dan

terbatas yang meneliti efektivitas debridement awal hanya pada fraktur tibia.

Dalam analisis retrospektif dari 103 pasien dengan fraktur tibia terbuka, Khatod

dkk (2003) tidak menemukan peningkatan dalam kejadian infeksi pada pasien

yang menjalani debridement dalam waktu kurang dari 6 jam dibandingkan dengan

mereka yang menjalani debridement setelah 6 jam. Demikian pula, Tripuraneni

dkk (2008) menunjukkan dalam tinjauan retrospektif dari 206 pasien dengan

fraktur tibia terbuka bahwa tidak ada perbedaan dalam hasil infeksi berdasarkan

debridement kurang dari 6 jam, 6 hingga 12 jam, dan 12 hingga 24 jam.

Enninghorst dkk (2011) secara prospektif menunjukkan dalam penelitian terhadap

89 pasien bahwa debridementfraktur tibia terbuka dalam rata-rata 8 jam

menyimpulkan bahwa derajat fraktur merupakan satu-satunya penentu komplikasi

infeksi pada pasien dengan trauma tumpul. Tidak ada perbedaan dalam

komplikasi infeksi antara kelompok debridement dini (≤6 jam) dan

debridementtertunda (>6 jam).

Dalam sebuah penelitian retrospektif dari 67 pasien dengan fraktur tibia

terbuka derajat III, Singh dkk (2012) menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan dalam tingkat infeksi untuk debridement dini (≤6 jam) dibandingkan

dengan debridement tertunda (>6 jam). Pollak (2010) menunjukkan dalam sebuah

penelitian prospektif dari 307 pasien dengan fraktur terbuka ekstremitas bawah

kelas III Gustilo bahwa tidak ada perbedaan dalam komplikasi infeksi untuk 3

kelompok waktu debridement (<5 jam, 5-10 jam, dan>10 jam). Di Inggris, Al-
31

Arabi dkk (2007) menunjukkan dalam studi prospektif dari 237 pasien dengan

patah tulang panjang selama periode 9 tahun bahwa tidak ada perbedaan dalam

tingkat komplikasi infeksi untuk debridement kurang dari 6 jam atau lebih dari 6

jam. Penelitian oleh Fernandes dkk menemukan ada 20 (13,24%) kasus infeksi

secara keseluruhan, dari jumlah tersebut, 7 kasus (35%) berada dalam kelompok

yang dilakukan debridement dalam 6 jam pertama.

Karena berbagai alasan, debridement tidak selalu dapat dilakukan dalam 6 jam

pertama. Dalam beberapa kasus, debridement ini dilakukan oleh ahli bedah dan

ahli anestesi yang kelelahan pada waktu yang tidak tepat (Landrigan et al 2004).

Waktu tunggu antara 6 hingga 24 jam untuk tata laksana bedah pada fraktur dapat

memungkinkan perencanaan praoperasi tata laksana definitif yang lebih baik,

penilaian keparahan cedera terkaityang lebih baik, sehingga terjadi stabilisasi

klinis yang memadai. Dalam literatur saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang

melaporkan bahwa keterlambatan debridement mempengaruhi kejadian infeksi

(Mathes et al. 2006).

Anda mungkin juga menyukai